• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahap Penelitian

Dalam dokumen kedudukan anak hasil zina menurut fatwa mui (Halaman 44-50)

BAB III METODE PENELITIAN

E. Tahap Penelitian

Pada bagian tahap penelitian terdapat beberapa proses pelaksanaan penelitian, yaitu dimulai dari penelitian pendahuluan, pengembangan desain, penelitian sebenarnya, dan sampai pada menulisan laporan.60 Adapun tahap – tahap penelitian sebagai berikut:

58 Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, 70.

59 Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, 71.

60 Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, (Jember: IAIN Jember Press, 2020), 76.

34

1. Pemilihan Topik Dan Judul

Sebelum menentukan topik penelitian, peneliti perlu mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:

a. Topik harus dimengerti dan dipahami.

b. Topik harus menarik perhatian.

c. Topik yang dipilih sebaiknya aktual.

d. Topik yang dipilih harus manageable (ketersediaan data atau bahan dan dapat dilaksanakan).

e. Topik yang dipilih jangan terlalu teknis.

f. Topik yang dipilih harus mempunyai nilai manfaat.

Untuk dapat menentukan topik penelitian yang tepat dengan kriteria sebagaimana diuraikan di atas, maka upaya pertama yang harus dilakukan ialah melakukan prapenelitian. Diantaranya, melalui membaca, menggali pengalaman, membuat diskusi ilmiah dan merancang kreasi dari ide peneliti sendiri.61

Pemilihan judul penelitian hukum erat sekali kaitannya dengan konsentrasi ilmu hukum yang dikuasai oleh peneliti. Penguasaan suatu konsentrasi ilmu hukum merupakan modal dasar yang membangkitkan keingintahuan seorang peneliti tentang aturan hukum dan peristiwa hukum yang terjadi di sekitarnya. Peristiwa hukum dapat diserap melalui pancaindera, sehingga merangsang pikran dan membangkitkan keingintahuan peneliti dalam bentuk bermacam kemungkinan pertanyaan.

Judul penelitian hukum yang dipilih biasanya didukung oleh latar belakang, alasan, tujuan dan sumber data yang tersedia. Judul penelitian sedapat mungkin menggambarkan kondisi aktual, disesuaikan dengan tingkat kompetensi peneliti, lama waktu yang diperlukan, dana untuk membiayai kegiatan penelitian, dan manfaat yang diperoleh dari hasil penelitian. Judul penelitian menggambarkan juga pelaksana penelitiannya, apakah cukup dilakukan oleh seorang peneliti mandiri, atau secara

61 Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, 33.

berkelompok oleh dua atau tiga atau lebih jumlah tim peneliti. Selanjutnya dalam merumuskan judul penelitian agar tidak terlalu panjang. biasanya tidak lebih dari 20 kata atau kharakter dan diusahakan memiliki key word (kata kunci) yang menjadi fokus dalam penelitian yang akan dilakukan.

Perumusan judul biasanya bersifat sementara (tentatif), karena sewaktu- waktu dapat berubah sesuai dengan perkembangan penelitian yang akan dilakukan bahkan sampai selesai penyusunan laporan masih memungkinkan judul dapat dirubah kembali. Oleh karena itu, seorang peneliti tidak perlu terlalu terfokus pada judul penelitian saja, tetapi judul pada awal penelitian sifatnya untuk mengarahkan peneliti.62

2. Latar Belakang Masalah

Dalam penelitian hukum, latar belakang masalah perlu memuat norma (yang seharusnya diatur dalam norma, peraturan perundang- undangan maupun dalam doktrin dan asas, prinsip hukum) maupun fakta empiris (kenyataan yang terjadi sebagai realitas di dalam masyarakat). Di samping itu, dalam penelitian normatif dapat menguraikan isu hukum adanya kekosongan norma hukum, kekaburan norma hukum, dan konflik norma hukum. Sehingga dalam penyusunan latar belakang peneliti akan menguraikan alasan pentingnya penelitian dilakukan oleh peneliti.63 3. Identifikasi Dan Rumusan Masalah Dan Ruang Lingkup Penelitian

a. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan suatu proses mencari dan menemukan masalah. Identifikasi masalah merupakan tahapan permulaan untuk menguasai masalah di mana suatu objek dalam suatu jalinan situasi tertentu dapat dikenali sebagai suatu masalah. Identifkasi masalah sering dilakukan dengan mengajukan pernyataan, yang sifatnya membatasi ruang lingkup masalah.

Pada umumnya permasalahan adalah kesenjangan (gap) antara yang seharusnya menurut asas, prinsip, norma atau aturan dengan yang

62 Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, 34.

63 Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, 35.

36

senyatanya terjadi dalam praktek hukum di masyarakat; antara cita-cita hukum (idea) dengan yang senyatanya terjadi di masyarakat; atau antara asas, prinsip, teori, doktrin dengan pelaksanaannya di masyarakat.64 b. Rumusan Masalah

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merumuskan masalah yang lebih dari satu adalah:

1) Rumusan masalah harus terkait dengan judul/topik penelitian.

2) Antara satu permasalahan dengan permasalahan lainnya harus terkait.

3) Diusahakan sesuai dengan bidang ilmu dan konsentrasi keahlian peneliti.

4) Sesuaikan dengan isu hukum yang diuraikan pada latar belakang.

5) Sebaiknya diuraikan dalam kalimat tanya.65 4. Rumusan Tujuan Penelitian

Rumusan tujuan penelitian hukum selalu konsisten dengan rumusan masalah. Berapa banyak masalah dirumuskan, sebanyak itu pula tujuan penelitian yang harus dirumuskan dan akan dicapai. Teknik merumuskan tujuan penelitian selalu menggunakan kata kerja transitif yang didahului kata “untuk” dan ditambah dengan kata menjelaskan, menganalisis, mengevaluasi, mengkritisi, dan lain-lain sesuai dengan tingkat dan kedalaman penelitian yang akan dilakukan. Misalnya untuk menjelaskan, untuk menganalisis, untuk mengevaluasi, untuk mengkritisi.66

5. Manfaat / Kegunaan / Kontribusi Penelitian

Setiap penelitian hukum pasti ada manfaatnya. Manfaat penelitian sering juga digunakan istilah kegunaan atau kontribusi penelitian. Secara umum ada 2 jenis manfaat/kegunaan/kontribusi penelitian:

a. Secara Teoritis, sebagai upaya pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan secara khusus sesuai dengan tema penelitian.

64 Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, 35

65 Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, 37.

66 Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, 38.

b. Secara Praktis, sebagai upaya yang dapat dipetik langsung manfaatnya bagi peneliti, sumbangan pemikiran dalam pemecahan masalah hukum yang diteliti secara praktis. 67

6. Tinjauan Pustaka / Kerangka Teoritis Dan Konseptual a. Tinjauan pustaka

Pada dasarnya lingkup tinjauan pustaka meliputi uraian penjelasan mengenai kerangka teoritis, kerangka konseptual, kerangka pikir, kerangka acuan, atau langkah-langkah yang menjadi dasar dan arahan peneliti memecahkan masalah penelitian, sehingga mencapai tujuan penelitian. Oleh karena itu, materi tinjauan pustaka selalu didasarkan dan dibatasi oleh rumusan masalah dan ruang lingkup masalah serta tujuan penelitian. Sumber tinjauan pustaka penelitian hukum adalah peraturan perundang-undangan dan literatur ilmu hukum yang sesuai dengan bidang hukum yang diteliti, di samping itu ada beberapa istilah yang sering digunakan misalnya; studi pustaka, studi dokumen dan studi arsip.68

b. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritik merupakan salah satu sub bahasan awal dalam penyusunan penelitian yang keberadaannya sangat penting bagi peneliti ketika akan melakukan analisis terhadap seluruh permasalahan yang dikaji, termasuk dalam pelaksanaan penelitian di bidang ilmu hukum. Peran penting penguraian kerangka teoritik dalam penelitian hukum akan dapat diketahui dengan terlebih dahulu memahami makna dari teori, baik ditinjau dari aspek etimologi (bahasa) maupun aspek terminologi (istilah) beserta fungsinya dalam sebuah penelitian.

Kerangka teoritis (theoretical framework). Suatu teori atau hipotesis biasanya tersusun lebih dari satu pernyataan mengenai gejala-gejala tertentu yang saling berkaitan secara serasi antara satu sama lain, sehingga membentuk satu ruang lingkup penelitian.

67 Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, 38.

68 Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, 38-39.

38

Dengan kata lain, kerangka teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.

Keberadaan teori hukum harus dijadikan dasar dalam memberikan preskripsi atau penilaian apa yang seharusnya menurut hukum. Selain itu, teori juga dapat digunakan dalam menjelaskan fakta-fakta atau peristiwa hukum yang terjadi dalam praktek hukum di masyarakat.69 c. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan yang utuh, sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan, dan pedoman dalam penelitian atau penulisan. Sumber konsep adalah peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, karya tulis ilmiah, laporan penelitian, disertasi, tesis, ensiklopedia, kamus, dan lain-lain.

7. Memilih Metode Penelitian

Tahapan selanjutnya setelah menentukan topik/judul, latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, kajian pustaka kerangka konsep dan kerangka teoritis), maka selanjutnya melakukan pemilihan metode penelitian yang akan digunakan yakni:

apakah menggunakan metode penelitian hukum normatif, penelitian hukum empiris, atau penelitian hukum normatif-empiris yang sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan. Untuk masing-masing jenis metode penelitian akan diuraikan pada bab-bab selanjutnya.70

69 Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, 41.

70 Muhaimin, Metode Penelitian Hukum, 42.

BAB IV PEMBAHASAN

A. Analisis Dasar Pertimbangan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Anak Hasil Zina

1. Latar belakang munculnya Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Anak Hasil Zina

Landasan dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 dilatar belakangi oleh beberapa faktor diantaranya mereka, khususnya di mata publik, anak-anak yang lahir karena perzinahan seringkali diabaikan dan diperlakukan tidak adil oleh masyarakat, bahkan hukum sekalipun.

Terlebih lagi, di mata publik anak-anak ini sering dipandang sebagai anak haram dan menjadi korban karena akta kelahiran hanya menyinggung sang ibu. Padahal, dilihat dari aturan dan sifat, anak pezina sebenarnya setara dengan anak-anak lain. Bisa dikatakan, anak-anak harus mendapatkan perlakuan hukum yang sama seperti anak-anak sebenarnya. Akan tetapi, dalam hal anak dengan laki-laki yang mengakibatkan ia lahir, tetap terputus dan tidak memiliki hubungan nasab. Memutuskan keturunan tidak berarti penindasan, namun hanya berdasarkan alasan-alasan yang sah (Islami) yang menentukannya demikian.

Latar belakang lainnya sebagai sebab dikeluarkannya fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 ini, Mahkamah Konsitusi memutus perkara uji materil (yudisial review) atas Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dianggap pemohon bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan Pasal 43 tersebut juga berkaitan erat dengan kedudukan anak di luar nikah secara umum (baik anak luar nikah sebab zina maupun sebab nikah sirri).71 Awalnya, perkara yang diputus oleh MK ini terkait permohonan pengakuan hukum kepada anak

71 Setneg RI, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.

40

yang dilahirkan Machicha Muchtar dengan Moerdiono. Anak mereka dilahirkan di luar nikah dalam arti bukan perzinaan, tetapi luar nikah karena pernikahannya tidak dicatatan, atau disebut juga dengan nikah sirri (nikah yang tidak dicatatkan).72

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini Nomor 46/PUU- VIII/2010. Mahkamah Konstitusi justru memberikan perlindungan anak dan menghukum laki-laki yang menyebabkan lahirnya bertanggungjawab berdasarkan pertimbangannya dalam putusannya. Karena diskriminasi terhadap anak akan terjadi jika tidak ada tanggung jawab. Mahkamah Konstitusi pada dasarnya mengatakan bahwa anak yang lahir di luar nikah dianggap memiliki hubungan keperdataan baik dengan ibunya maupun dengan keluarganya, maupun dengan laki-laki yang menjadi bapaknya, sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan, teknologi, atau bukti lainnya.

Muncul pertanyaan mengenai kedudukan anak hasil zina, khususnya terkait nasab, waris, nafkah, dan wali nikah anak hasil zina dengan laki- laki yang mengakibatkan kelahirannya menurut hukum Islam, setelah putusan Mahkamah Konstitusi dikeluarkan. diterbitkan. Oleh karena itu, MUI memandang perlu mengeluarkan fatwa tentang status anak zina dan penanganannya sebagai pedoman untuk menjawab pertanyaan masyarakat terkait hal tersebut.73

Berkaitan dengan dikeluarkannya Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012, dapat disimpulkan bahwa keputusan yang meresahkan masyarakat oleh Mahkamah Konstitusi menjadi alasan awal dikeluarkannya fatwa tersebut.

Dari perspektif hukum Islam, putusan Mahkamah Konstitusi itu mengandung permasalahn dan tidak sesuai dengan kedudukan anak luar nikah perspektif Hukum Islam. Oleh karena itu, MUI merasa perlu mengeluarkan Fatwa MUI No. 11 tahun 2012 untuk mengatasi persoalan tersebut.

72Setneg RI, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010.

73Setjend UI, Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012.

Salah satu fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2012 bertujuan untuk menyikapi kondisi sosial dan perdebatan seputar hak anak zina di Indonesia. Judulnya "Kedudukan Anak Zina dan Perlakuannya". Dalam pendahuluan atau alasan peletakan fatwa ini, perkembangan fatwa MUI ini dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, mengingat pemikiran bahwa dalam Islam, anak zina dibawa ke dunia dalam keadaan suci dan tidak membawa dosa keturunan. terlepas dari apakah mereka dilahirkan ke dunia sebagai konsekuensi dari perzinahan.

Kenyataannya, anak yang lahir dari perzinaan seringkali terlantar karena laki-laki yang melahirkannya tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Selain itu, anak sering dianggap tidak sah dan mengalami diskriminasi karena akta kelahiran hanya merujuk pada ibu.74

Munculnya poin-poin Fatwa MUI dapat ditelusuri kembali pada pertimbangan filosofis dan sosiologis, antara lain. Ketika MUI menjelaskan bahwa setiap anak yang lahir ke dunia ini adalah dalam keadaan suci, pertimbangan filosofis tersebut menjadi jelas. Atas dasar ini, bahkan anak-anak zina harus mendapatkan perlakuan yang sama tanpa membedakan mereka dari anak-anak sah dari aspek kelahirannya.

Argumen sosiologis tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa ibu dan keluarganya sendirilah yang menentukan nasab seorang anak dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya di Indonesia tetapi di seluruh wilayah yang berpenduduk dan mayoritas beragama Islam. Keadaan saat ini dianggap sebagai sesuatu yang deskriminatif.

MUI juga menggunakan penetapan Putusan Mahkamah Konstitusi 46/PUU-VIII/2010 sebagai landasan sosiologis. Putusan MK pada dasarnya merespon adanya upaya pemohon, pada waktu itu dimohonkan oleh Machicha Mochtar dengan basis permohonan yang diuji ialah ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 43 berisi ketentuan bahwa anak luar perkawinan hanya

74 Setjend UI, Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012.

42

punya hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Sementara itu, putusan tersebut justru menganulir dan menetapkan bahwa kedudukan anak yang dilahirkan di luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Terhadap putusan di atas, muncul pertanyaan dari masyarakat terkait kedudukan anak hasil zina, terutama terkait dengan hubungan nasab, waris, nafkah dan wali nikah anak hasil zina dengan laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya menurut hukum Islam.

2. Dasar Fatwa MUI mengeluarkan Fatwa Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Anak Hasil zina

Dalam menentukan sebuah hukum maka Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012, menggunakan dasar sebagai berikut:75

a. Firman Allah SWT :

1) Firman Allah yang mengatur nasab

اًًيِدَق َكُّ بَر َناَكَو ۚ اًًْهِصَو اًبَسَن ۥ ُهَلَعَجَف اًًَشَب ِّء ۚ اَم لٱ َنِم َقَلَخ ىِذَ لٱ َوُهَو

Artinya: Dan dia pula yang menciptakan manusia dari air liur dia jadikan manusia itu punya keturunan dan mushaharah dan dia adalah Tuhanmu Mahakuasa.(QS. Al-Furqon ayat 54).76

2) Firman Allah tentang larangan zina

اًليِبَس َء ۚ اَسَو ًةَشِحََٰف َناَك ۥ ُهَ نِإ ۖۚ ۚ َٰىَنِّ زلٱ ۚ اوُبًَ قَت اَلَو

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.

(QS. Al-Isra’ ayat 32).77

75 Setjend UI, Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012.

76 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 567.

77 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 429.

3) Firman Allah yang menjelaskan pentingnya kejelasan nasab dan asal usul kekerabatan

َوُهَو َ قَح لا ُلوُقَي ُهَ للاَو ْمُكِهاَو فَأِب ْمُكُلْوَق ْمُكِلَذ ْمُكَءاَنْبَأ ْمُكَءاَيِعْدَأ َلَعَج اَمَو ْمُهَءاَبآ اوُمَلْعَت ْمَل نِإَف ِهَ للا َدْنِع ُطَس قَأ َوُه ْمِهِئاَبآل ْمُهوُعْدا بَ سلا يِدْهَي ْمُكيِلاَوَمَو ِنيِّ دلا يِف ْمُكُناَوْخِإَف

Artinya: Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak- bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula- maulamu. (QS. Al-Ahzab ayat 4 – 5).78

4) Firman Allah yang menegaskan bahwa seseorang itu tidak memikul dosa orang lain, demikian juga anak hasil zina tidak memikul dosa pezina

َٰىَلِإ َ مُث ۚ َٰىًَْخُأ َرْزِو ةَرِزاَو ُرِزَت اَلَو ۚ اَهْيَلَع اَ لِإ ٍس فَن ُّ لُك ُبِّس كَت اَلَو َنوُفِلَتْخَت ِهيِف ْمُتنُك اَمِب مُكُئِّ بَنُيَف ْمُكُعِجًَْ م مُكِّ بَر

Artinya: Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakannya kepadamu apa yang kamu perselisihkan. (QS. Al-an’am ayat 164).79

b. Hadis Rasulullah SAW, diantaranya:

78 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 647.

79 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 217.

44

1) Hadist yang menerangkan bahwa anak itu dinasabkan kepada pemilik kasur atau suami dari perempuan yang melahirkan (firasy).

ُنْب ُدْبَعَو ٍصاَ قَو يِبَأ ُنْب ُدْعَس َمَصَتْخا ْتَلاَق اَهَ نَأ اَهْنَع ُهَ للا َيِضَر َةَشِئاَع ْنَع ٍصاَ قَو يِبَأ ِنْب َةَبْتُع يِخَأ ُنْبا ِهَ للا َلوُسَر اَي اَذَه ٌدْعَس َلاَقَف ٍماَلُغ يِف َةَعْمَز ِهَ للا َلوُسَر اَي يِخَأ اَذَه َةَعْم َز ُنْب ُدْبَع َلاَقَو ِهِهَبَش ىَلِإ ًُْظْنا ُهُنْبا ُهَ نَأ َ يَلِإ َدِهَع ىَلِإ َمَ لَسَو ِهْيَلَع ُهَ للا ىَ لَص ِهَ للا ُلوُسَر ًََظَنَف ِهِتَديِلَو ْنِم يِبَأ ِشاًَِف ىَلَع َدِلُو ِشاًَِف لِل ُدَلَو لا َةَعْمَز َنْب ُدْبَع اَي َكَل َوُه َلاَقَف َةَبْتُعِب اًنِّ يَب اًهَبَش ىَأًََف ِهِهَبَش َةَدْوَس ًََي ْمَلَف ْتَلاَق َةَعْمَز َتْنِب ُةَدْوَس اَي ُهْنِم يِبِجَتْحاَو ًَُجَح لا ًِِهاَع لِلَو ملسمو ىراخبلا هاور .ُّ طَق

Dari Aisyah ra. Bahwasannya ia berkata: Sa’ad bin Abi Waqqash dan Adb bin Zam’ah berebut terhadap seorang anak lantas Sa’ad berkata: Wahai Rasullullah, anak ini adalah anak saudara saya

‘Utbah bin Abi waqqash ia sampaikan ke saya bahwasannya ia adalah anaknya, lihatlah kemiripannya. Abd bin Zum’ah juga berkata: “Anak ini saudaraku wahai Rasullullah, ia terlahir dari pemilik kasur (firasy) ayahku dari ibunya.” Lantas Rasullullah melihat rupa anak tersebut dan beliau melihat keserupaan yang jelas dengan Utbah, lalu Rasul bersabda: “Anak ini saudaramu wahai abd bin Zum’ah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur atau suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah (dihukumi) batu, dan berhijablah darinya wahai Saudah binti Zum’ah. “Aisyah berkata: ia tidak pernah melihat Saudah sama sekali. (HR.Al-Bukhari dan Muslim).80

2) Hadist yang menerangkan bahwa anak hasil zina dinasabkan kepada ibunya,

اوناك نم همأ لهأل ” انزلا دلو يف ملسو هيلع هللا ىلص يبنلا لاق

80 Setjend UI, Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012.

Artinya: Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya …” (HR. Abu Dawud).81

3) Hadist yang menerangkan tidak adanya hubungan kewarisan antara anak hasil zina dengan laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya, antara lain

ملسو هيلع هللا ىلص هللا لوسر نأ هدج نع هيبأ نع بيعش نب وًمع نع ثروي الو ثًي ال ، انز دلو دلولاف ةمأ وأ ةًحب ًهاع لجر اميأ ” :لاق ىذمًتلا هاور ”

Artinya: Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa rasulullah saw bersabda: “Setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR. Al- Turmudzi).82

4) Hadist yang menerangkan larangan berzina

نب عفيور عم انوزغ لاق هْنَع ُهَ للا َيِضَر قوزًم يبأ نع يراصنألا تباث ينإ سانلا اهيأ لاقف ابيطخ انيف ماقف ةبًج اهل لاقي بًغملا ىًق نم ةيًق انيف ماق لوقي ملسو هيلع هللا ىلص هللا لوسر تعمس ام الإ مكيف لوقأ ال عرز هءام يقسي نأ ًخآلا مويلاو هللاب نمؤي ئًمال لحي ال لاقف نينح موي

هًيغ

Artinya: Dari Abi Marzuq ia berkata: Kami bersama Ruwaifi’ bin Tsabit Al-Anshari berperang di jarbah, sebuah desa di daerah Magrib, lantas ia berpidato:” Wahai manusia, saya sampaikan apa yang saya dengar dari Rasullullah pada saat Perang Hurairah seraya beliau bersabda: Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya menuangkan air (mani)nya ke tanaman orang lain (berzina).” (HR. Ahmad bin Dawud).83

81 Kholid Syamhudi, “STATUS ANAK ZINA”, di akses tanggal 16 Juni 2023. Status Anak Zina | Almanhaj

82 Setjend UI, Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012.

83 “HAK WARIS ANAK ZINA,” SEAN OCHAN, diakses tanggal 16 J uni 2023.

Hak Waris Anak Zina | Sean Ochan (wordpress.com)

46

5) Hadist yang menerangkan bahwa anak terlahir didunia itu dalam keadaan suci, tanpa dosa

دولوم لك ملسو هيلع هللا ىلص يبنلا لاق لاق هنع هللا يضر ةًيًه يبأ نع هناسجمي وأ هناًصني وأ هنادوهي هاوبأف ةًطفلا ىلع دلوي

Artinya: Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Nabi saw bersabda:

“Setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi. (HR al-Bukhari dan Muslim).84

c. Ijma’ ulama sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tauhid (8/183) apabila ada seseorang berzina dengan perempuan yang memiliki suami, kemudian melahirkan anak, maka anak tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut.85

d. Atsar Shahabt, khalifah Umar bin Al-Khatabah berwasiat untuk senantiasa memperlakukan anak hasil zina denagan baik, sebagaimana ditulis oleh Imam Ash-Shan’ani dalam Al-Mushannaf Bab ‘itq walad Az-zina hadis nomor 13871.

e. Kaidah Sadd Adz-Dzari’ah, yaitu dengan menutup peluang sekecil apapun terjadinya zina serta akibat hukumnya.

f. Kaidah ushuliyah

هنع يهنملا داسف يضتقي يهنلا يف لص ألا

Artinya: Pada dasarnya, di dalam larangan tentang sesuatu menuntut adanya rusaknya perbuatan yang melarang tersebut.

صنلا دروم يف داهتجا ال

Artinya: Tidak ada ijtihad di hadapan nash.86 g. Kaidah fiqhiyyah

84 SEAN OCHAN, “HAK WARIS ANAK ZINA.”

85 Setjend UI, Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012.

86 Setjend UI, Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012

ِدِصاَقَم لا ُم كُح َلِئاَسَو لِل

Artinya: Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju.

ِناَكْمِإ لا ِرْدَقِب ُعَفْدُي ُرًََ ضلا

Artinya: Segala mudharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin.87

رًََ ضلاِب ُلاَزُي َال ُرًََ ضلا

Artinya: Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.

ِحِلاَصَم لا ِب لَج ىَلَع ٌمَ دَقُم ِدِساَفَم لا ُّءْرَد

Artinya: Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.88

ِّ ماَع لا ِرًََ ضلا ِع فَدِل ُّ صاَخ لا ُرًََ ضلا ُلَ مَحَتُي

Artinya: Dharar yang bersifat khusus harus ditanggung untuk menghindarkan dharar yang bersifat umum (lebih luas).

اَمِهِّ فَخ َأ ِباَكِتْراِب اًرًََض اَمُهُمَظْعَأ َيِعْوُر ِناَرًََض ْوَأ ِناَتَدَس فَم ْتَضَراَعَت اَذِإ

Artinya: Apabila terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan atau bahaya yang lebih besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang resiko bahayanya lebih kecil.

ِةَحَلَصَم لاِب طْوُنَم ِةَ يِعَ ًلا ىَلَع ِماَمِإل ا ُفُّ ًَصَت

Artinya: Kebijakan imam (pemerintah) terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan.89

3. Anak hasil zina menurut Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012

Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan Fatwa Nomor 11 Tahun 2012. Majelis Ulama Indonesia antara lain menyatakan bahwa anak zina tidak memiliki hubungan nasab, wali nikah, warisan, atau nafkah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. Namun, Majelis Ulama

87 Nashr farid Muhammad washil, Qawa’id Fiqhiyyah (Jakarta: Amzah, 2009), 17.

88 SEAN OCHAN, “HAK WARIS ANAK ZINA.”

89 Setjend UI, Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012.

Dalam dokumen kedudukan anak hasil zina menurut fatwa mui (Halaman 44-50)