PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sebaliknya, anak yang lahir di luar nikah tidak dapat disebut sebagai anak yang sah dan sering juga disebut sebagai anak yang lahir dari hasil perzinahan atau anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah. Menurut Mahkamah Agung, pasal 43 ayat (1) dipertimbangkan, yang berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar nikah hanya mempunyai hubungan yang sama dengan ibunya dan sanak saudara ibunya”.
Fokus Masalah
Tujuan Masalah
Manfaat Penelitian
Definisi Istilah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengenal anak luar nikah dari ibunya, karena anak luar nikah adalah anak dari ibu yang melahirkannya. Tahun 2012 disebutkan bahwa anak hasil perzinahan tidak mempunyai hubungan kelahiran, hak asuh perkawinan, hubungan waris dan pemeliharaan dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya dan hanya mempunyai hubungan kelahiran, hak asuh perkawinan, pewarisan dan pemeliharaan dengan ibu dan keluarga ibunya, sedangkan Konstitusional Putusan pengadilan nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang kedudukan anak luar kawin menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya serta dengan bapaknya, laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan. . dan teknologi atau alat bukti lain yang menurut hukum bersifat sedarah, termasuk sedarah.Hukum perdata dengan keluarga pihak ayah, karena yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan sah yang dilakukan berdasarkan agama (nikah siri) dan bukan hasil zina.
Sistematika Pembahasan
KAJIAN PUSTAKA
Penelitian terdahulu
Ketiga, tesis Wilda Srijunida, dari UIN Alauddin Makasar “Status Anak Haram Menurut Fiqh, Kompilasi Hukum Islam dan Putusan Mahkamah Konstitusi”. 3 Wilda Srijunida, dari UIN Alauddin Makasar “Status anak haram menurut Fiqh, Kompilasi Hukum Islam dan Putusan Mahkamah Konstitusi”.
Kajian Teori
- Tinjauan Umum Tentang Anak
- Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Anak Hasil Zina
- Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010
Anak Sumbang ialah anak yang lahir daripada perhubungan antara lelaki dan perempuan, yang berada di antara. Menurut Perkara 100 KHI, anak luar nikah hanya mempunyai hubungan keturunan dengan ibu dan keluarga ibunya. Menurut Perkara 186 Kompilasi Undang-undang Islam, anak tidak sah taraf mempunyai hubungan yang saling mewarisi hanya dengan ibunya dan keluarga ibunya.
MUI memaknai putusan Mahkamah Konstitusi ini berarti tidak ada perbedaan status antara anak di luar nikah dengan anak yang dilahirkan melalui perkawinan resmi. 1 Tahun 1974 UU Perkawinan.42 Untuk itu perlu adanya perlindungan terhadap anak luar nikah oleh pemerintah. Agar anak yang lahir di luar nikah tidak mempunyai hubungan leluhur, melainkan hanya hubungan keperdataan dengan ayah kandungnya, hal ini yang harus diketahui.
Namun keputusan tersebut melanggar syariat Islam, dalam hukum Islam keturunan anak yang lahir dari perkawinan tidak sah hanya terletak pada ibu dan keluarga ibu.
METODE PENELITIAN
- Pendekatan Dan Jenis Penelitian
- Sumber Dan Jenis Bahan Hukum
- Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
- Teknik Analisa Bahan Hukum
- Tahap Penelitian
Dengan putusan tersebut, Kemendagri telah menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 mengeluarkan Fatwa Kementerian Dalam Negeri dengan nomor 11 tahun 2012 tentang status anak hasil zina dan perlakuannya. Subyeknya adalah anak yang dilahirkan di luar nikah sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi menilai anak yang lahir di luar nikah dianggap tidak sah.
Mengenai persamaan antara putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010 dengan Fatwa MUI nomor 11 tahun 2012 tentang status anak luar nikah, penulis berpendapat keduanya mempunyai persamaan. Berdasarkan pendapat yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi, ia berpendapat bahwa anak di luar nikah dianggap sebagai anak sah. Halilurrahman dan Abdul Wahid, Putusan Mahkamah Konstitusi RI dan Fatwa MUI tentang Kedudukan Anak Zina (Analisis Komparatif) (Cendikia: Jurnal Kajian Islam), 168.
Persamaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dengan Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Status Anak Luar Nikah, penulis menilai keduanya mempunyai persamaan.
PEMBAHASAN
Latar belakang munculnya Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Dasar dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 didasari oleh beberapa faktor, antara lain, khususnya di mata masyarakat, bahwa anak-anak yang lahir akibat zina seringkali diabaikan dan diperlakukan tidak adil oleh masyarakat, bahkan oleh hukum. Latar belakang lainnya adalah alasan dikeluarkannya Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012, dimana Mahkamah Konstitusi memutus perkara uji materiil Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menurut pemohon melanggar UUD 1945. perlindungan anak dan menghukum laki-laki yang menyebabkan kelahiran itu, berdasarkan pertimbangan-pertimbangannya dalam mengambil keputusan.
Mahkamah Konstitusi pada dasarnya menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan dianggap mempunyai hubungan keperdataan baik dengan ibunya maupun dengan keluarganya, demikian pula dengan laki-laki yang menjadi bapaknya, yang dibuktikan dengan alat bukti ilmiah, teknis, atau alat bukti lainnya. Pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi, timbul pertanyaan mengenai keadaan anak hasil perzinahan, khususnya mengenai nasab, warisan, nafkah dan wali yang sah dari anak hasil perzinahan dengan laki-laki yang menyebabkan lahirnya menurut Hukum Islam. 11 Tahun 2012, dapat disimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang meresahkan masyarakat menjadi alasan pertama dikeluarkannya fatwa tersebut.
Dari sudut pandang hukum Islam, putusan Mahkamah Konstitusi bermasalah dan tidak sesuai dengan kedudukan anak haram dari sudut pandang hukum Islam.
Dasar Fatwa MUI mengeluarkan Fatwa Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Terhadap putusan di atas timbul pertanyaan dari masyarakat mengenai kedudukan anak hasil zina, khususnya yang berkaitan dengan hubungan keluarga, warisan, nafkah, dan perwalian suami-istri. Bahkan beliau berkata: Sa'ad bin Abi Waqqash dan Adb bin Zam'ah sedang berebut seorang anak, lalu Sa'ad berkata: Wahai Rasullullah, anak ini adalah anak saudara laki-lakiku. Abd bin Zum'ah juga berkata: “Anak ini adalah saudaraku wahai Rasullullah, ia dilahirkan dari pemilik kasur ayahku (firasy) ibunya.” Kemudian Rasullullah melihat rupa anak itu dan beliau melihat kemiripan yang nyata dengan Utbah, lalu Rasulullah bersabda, “Anak ini adalah saudaramu wahai abd bin Zum'ah.
Anak itu bagi pemilik kasur atau suami perempuan yang melahirkan (firasy), dan bagi pezina (dihukum) dengan batu, dan memakai hijab darinya, wahai Saudah binti Zum'ah. Artinya: Dari riwayat Amr bin Syu'aib ra, dari bapaknya, dari kakeknya, bahwasanya Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang berzina dengan seorang wanita, baik merdeka atau budak, maka anaknyalah yang menjadi anak”. akibat zina, tidak mewarisi dan tidak mewarisi”. Hak Waris Bagi Anak Hasil Perzinahan | Sean Ochan (wordpress.com).. 5) Hadits yang menjelaskan bahwa anak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan suci, tanpa dosa.
Atsar Shahabt, Khalifah Umar bin Al-Khatabah meninggalkan bahawa dia akan sentiasa memperlakukan anak-anak zina dengan baik, sebagaimana yang dirakamkan oleh Imam Ash-Shan'ani dalam Al-Mushannaf bab 'itq walad Az-zina hadis nombor 13871.
Anak hasil zina menurut Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012
Majelis Ulama Indonesia Pusat disebut-sebut telah mengeluarkan fatwa no. 11 Tahun 2012 tentang perlakuan terhadap anak akibat perzinahan. Berikut fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia: “Seorang anak hasil zina tidak mempunyai hubungan, wali yang sah, warisan dan nafaka dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. keluarga hanya hubungan keturunan, warisan dan warisan.” 90.
Anak luar nikah mempunyai hubungan sivil hanya dengan ibunya dan keluarga ibunya. Seorang anak di luar nikah mempunyai hubungan sivil dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta dengan seorang lelaki. Anak yang dilahirkan dari hasil zina tidak mempunyai pertalian, wali, waris atau nafkah dengan lelaki yang menyebabkan kelahiran itu.
Anak yang lahir akibat zina mempunyai hubungan keturunan, warisan dan nafaqah hanya dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Analisis Dasar Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-
- Latar belakang munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-
- Dasar Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan No.46/PUU-
- Anak diluar nikah menurut Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-
- Relevansi Fatwa MUI No. 11 Tahun 2012 Tentang Kedudukan Anak Hasil
96 Ade Irfan Santosa, “Penerapan Hukum Progresif dalam Upaya Mewujudkan Keadilan Substansial (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII). 99 Ade Irfan Santosa, Penerapan Hukum Progresif dalam Upaya Mewujudkan Keadilan Substansial (Kajian Konstitusi) Putusan Nomor 46/PUU-VIII 107 Eddo Febriansyah, Uji Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Tentang Kedudukan Anak yang Belum Kawin Diakui dalam Pembagian Warisan, (Jurnal Hukum Unnes, 2015), 3.
Temuan putusan MK, putusan MK justru menjelaskan: “anak haram”. Dari penjelasan di atas, setidaknya ada dua poin penting yang dapat ditarik dari putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, tidak dibedakan antara anak luar nikah, baik anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatatkan maupun anak hasil perzinahan, sepanjang ada pengakuan hak biologisnya. ayah.
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI DAN FATWA MUI TENTANG ANAK YANG SIKAP TIDAK SETIA (ANALISIS PERBANDINGAN) | CENDEKIA: Jurnal Kajian Islam (staiha.ac.id). 46/PUU-VIII/2010 yang berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai bapaknya, yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain. menurut .hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayah." Putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya menjelaskan, “anak di luar nikah”. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI DAN FATWA MUI TENTANG ANAK YANG SIKAP TIDAK SETIA (ANALISIS PERBANDINGAN) | CENDEKIA: Jurnal Kajian Islam (staiha.ac.id).
PENUTUP
Kesimpulan
Antara lain, anak hasil zina tidak mempunyai kelahiran, tidak ada wali suami-isteri, tidak ada warisan, dan tidak ada nafkah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. Selanjutnya anak yang lahir dari hasil zina hanya mempunyai ikatan kekerabatan, warisan dan kelangsungan hidup dengan ibu dan keluarga ibunya. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan hukuman ta’zir kepada laki-laki yang berzinah yang menyebabkan lahirnya seorang anak dengan mewajibkannya untuk mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut dan menafkahi harta benda setelah kematiannya melalui wasiat wajib.
Mengenai perbedaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak di Luar Kawin yaitu bahwa sumber hukum Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukumnya adalah semua berdasarkan hukum positif, sedangkan MUI berdasarkan hukum.Sumber yang digunakan adalah sumber hukum Islam seperti Al-Quran dan Al Hadits, sedangkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tidak pernah menyebutkan anak yang tidak menikah atau anak akibat perzinahan. Fokus yang dipertimbangkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi adalah anak haram Fatwa MUI Nomor 11 Tahun 2012 menitik beratkan pada pertimbangan-pertimbangan yang dibahas dalam isi fatwa mengenai anak haram atau anak hasil perzinahan.
Saran
Faqih, Mariyadi, “Nilai Filosofis Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat.” Lembaran Konstitusi, No. 3 (Juni 2010) https://www.neliti.com/publications/112526/Nilai-Nilai Filsafat Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan Mengikat - Neliti Febriansyah, Eddo. Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang kedudukan anak yang belum kawin yang diakui dalam pembagian warisan,” Jurnal Hukum Unnes, 2015.
TINJAUAN HUKUM ATAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU–VIII/2010 TENTANG KEDUDUKAN ANAK DILUAR KAMAR YANG DIKETAHUI DALAM PEMBAGIAN WARISAN | Jurnal Hukum Unnes. Halilurrahman dan Abdul Wahid, “Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Fatwa MUI Tentang Kedudukan Anak Hasil Zina (Analisis Komparatif),” Cendikia: Jurnal Kajian Islam. Najma Fairus, “Pandangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama Kota Malang Terhadap Fatwana MUI No. 11 Tahun 2012 tentang Kedudukan Anak Hasil Perzinahan dan Perlakuannya.”
Wilda Srijunida, “Status Anak Luar Negeri Menurut Fiqih, Kompilasi Hukum Islam dan Putusan Mahkamah Konstitusi”.