• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relevansi Kearifan Lokal dengan Prinsip

Dalam dokumen Pengelolaan Hutan Adat Berbasis Kearifan Lokal (Halaman 162-172)

BAB II. PEMBAHASAN

F. Relevansi Kearifan Lokal dengan Prinsip

penentuan wilayah adat menjadi perdebatan utama dalam proses penyusunan naska atau draf Perda306.

F. Relevansi Kearifan Lokal dengan Prinsip Pengelolaan

pemaksimalan potensi lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat dapat melatih masyarakat untuk memikul tanggung jawab dan kewenangan dalam menjaga dan mempertahankan eksistensi hutan.

1. Modernisasi ekologi dengan menjadikan hutan adat sebagai destinasi ekowisata

Ekowisata merupakan salah satu jawaban atas kejenuhan masyarakat akan wisata modern dan keinginan untuk merasakan kehidupan di alam pedesaan. Daya tarik utama dari ekowisata adalah ketersediaan objek dan daya tarik wisata alam. Kedua daya tarik tersebut dapat bersumber dari keindahan dan keunikan objek sumber daya alam dan sosial budaya masyarakat setempat, baik berupa flora, fauna dan lanskap serta juga nilai tambah dari atraksi budaya yang ada. Salah satu objek yang dapat dijadikan sebagai destinasi ekowisata adalah hutan.

Saat ini kegiatan ekowisata telah menjadi salah satu sasaran pembangunan untuk memanfaatkan sumberdaya hutan yang berkelanjutan, karena selain dapat meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar hutan, juga meningkatkan peranan masyarakat dalam melakukan konservasi sumberdaya hutan. Kegiatan ekowisata ini tidak hanya meningkatkan pendapatan masyarakat melalui penguatan ekonomi lokal, yang antara lain berupa devisa, pendapatan tambahan kepada masyarakat, serta peluang pekerjaan yang dapat ditangkap oleh masyarakat, tetapi juga meningkatkan pendapatan pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat307,308.

307 Yoeti, O. A. (2000) Ekowisata Pariwisata Berwawasan Lingkungan. Jakarta:

PT. Pertja.

308 Rahayu, S., Dewi, U., & Fitriana, K. N. (2016). Pengembangan Community Based Tourism sebagai Strategi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta.

Jurnal Penelitian Humaniora, 21(1), 1–13.

Pemanfaatan hutan sebagai destinasi ekowisata merupakan salah satu implementasi dari Community Based Tourism (CBT).

Community Based Tourism (CBT) merupakan konsep pengembangan wisata yang memberikan kesempatan penuh bagi masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam seluruh kegiatan sehingga tercipta pengembangan wisata yang berkelanjutan. Melalui konsep ini maka diharapkan pengembangan wisata yang dilakukan berdasarkan pada aspirasi, dilaksanakan dengan keterlibatan penuh dari masyarakat dan memberikan manfaat utamanya pada kesejahteraan masyarakat Partisipasi masyarakat dalam CBT menjadi penting karena akan menjadi tolok ukur keterlibatan mereka pengelolaan ekowisata.

Bentuk partisipasi masyarakat, dapat berupa partisipasi nyata (memiliki wujud) dan partisipasi tidak nyata (abstrak) Partisipasi nyata dapat berbentuk materiil dan tenaga, sedangkan partisipasi yang tidak nyata yaitu ide/gagasan309.

2. Pelibatan anggota komunitas dalam mengelola hutan melalui program Perhutanan Sosial

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan dapat menimbulkan benturan kepentingan setiap stakeholder yang kemudian berdampak pada terjadinya konflik. Konflik dapat disebabkan oleh benturan kepentingan pihak-pihak terhadap hutan, di antaranya pemerintah, masyarakat dan swasta. Konflik pengelolaan hutan yang paling sering terjadi yaitu antara masyarakat sekitar hutan dengan pengelola hutan, dalam hal ini adalah pemerintah atau swasta, ataupun bisa dengan sesama

309 Laksana, N. S. (2013). Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat desa dalam program desa siaga di Desa Bandung kecamatan Playen Kabupaten Gunung Kidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebijakan Dan Manajemen Publik, 1(1), 1–12.

masyarakat itu sendiri. Konflik tersebut dapat berdampak pada kerusakan kelestarian lingkungan, baik fisik maupun non-fisik, maka pihak pengelola harus melakukan segala upaya untuk menyelesaikan konflik tersebut310.

Konflik sumber daya adalah hubungan antara sumber daya dengan kekerasan yang tidak selalu sederhana dan bersifat linier, ketika ada sumber daya di situ pula ada kekerasan, dan juga dari berbagai kasus yang ditemukan bahwa ketika ada tempat dengan sumber daya melimpah maka kekerasan sering terlihat. Dengan kata lain konflik atas sumber daya disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antaranya; (1) pola dan akumulasi modal yang bernuansa distribusi tidak seimbang secara spasial, (2) bentuk-bentuk akses kontrol terhadap sumber daya yang juga tidak merata termasuk hak kepemilikan dan hak penguasaan, (3) para aktor yang muncul dari hubungan sosial produksi yang tidak seimbang seperti perusahaan, pekerja, alat negara dan sebagainya311.

Ada banyak pendekatan untuk penyelesaian konflik atas sumber daya, namun yang menarik terdapat alternatif penyelesaian konflik tersebut yaitu pendekatan melalui partisipasi masyarakat lokal yang sifatnya persuasif dan berkomitmen pada kesepakatan bersama (Mitchell et al. 2000) atau pendekatan tersebut dapat dikatakan sebagai proses manajemen konflik312.

310 Arifandy M I, Sihaloho M. 2015. Efektivitas Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat sebagai Resolusi Konflik Sumber Daya Hutan. Jurnal Sosiologi Pedesaan, 2(3), 147-158.

311 Suseno, D., & Suyatna, H. (2007). Mewujudkan kebijakan pertanian yang pro-petani. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 10(3), 267-294.

312 Mitchell, B., Setiawan, B. & Rahmi, D. (2000). Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

Pasca reformasi, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan negara yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Salah satunya adalah program Perhutanan Sosial.

Program pemberdayaan melalui perhutanan sosial; yang merupakan salah satu strategi resolusi konflik, dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal.

Perhutanan Sosial adalah sistem dan bentuk pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta berbagai pihak lain (berbagai unsur sosial) yang dapat dilakukan di mana saja, di lahan milik pribadi, umum atau di kawasan hutan yang diizinkan.

Perhutanan Sosial ada yang sudah dikembangkan secara tradisional di berbagai daerah seperti Repong Damar di Sumatera, Simpunk di Kalimantan, Kane atau hutan keluarga di Timor maupun yang diperkenalkan oleh pihak luar, misalnya Hutan Kemasyarakatan, Kehutanan Masyarakat, PHBM dan sebagainya. Perhutanan Sosial memberi perhatian bukan hanya peran dan hak masyarakat tetapi keterlibatan dan perhatian berbagai pihak atas pengelolaan sumber daya hutan yang memadukan kegiatan perlindungan, kesejahteraan masyarakat lokal, dan tujuan produksi yang lestari313.

Tujuan pengembangan perhutanan sosial menurut Sumanto (2009) adalah meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengelola hutan sehingga dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat sekitar hutan. Perhutanan sosial sebagai kebijakan pengelolaan hutan memiliki sisi dan potensi bagi terjadinya konflik disebabkan antara lain oleh dua hal yakni dikotomi ruang lingkup pengelolaan; di dalam atau di luar

313 CIFOR (Center for international Forestry Research), (2003). Warta Kebijakan. Perhutanan Sosial

http://cifor.org/acm/download/pub/wk/warta09.pdf

kawasan hutan dan fakta historis pengelolaan kawasan antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa314.

a. Dikotomi ruang lingkup program perhutanan sosial: di dalam kawasan atau di luar kawasan hutan

Walau pada intinya semua program pembangunan selalu berimplikasi terhadap terjadinya konflik, sebagaimana dialami dalam pengembangan HKm dan HR, namun keduanya memiliki ruang lingkup (scope) yang berbeda.

Dikotomi yang jelas antara HKm dan HR (dan mungkin HTR) sangat diperlukan bagi penentuan aktor dan perannya.

Dikotomi ini mengacu pada ruang lingkup 'kawasan hutan' dengan 'tanah milik masyarakat'. Pengembangan HKm (dan HTR) dan program-program perhutanan sosial di dalam kawasan hutan selalu melibatkan sedikitnya dua aktor utama, yaitu pemerintah

(Departemen Kehutanan) dan masyarakat sekitar hutan.

Sementara dalam pengembangan HR, aktor utama yang terlibat adalah masyarakat, sedangkan peran pemerintah sebagai pendukung program.

b. Fakta historis tentang pengelolaan hutan antara pulau Jawa dan luar pulau Jawa

Perspektif yang kedua adalah fakta historis tentang pengelolaan hutan di Jawa dan luar Jawa. Pengelolaan kawasan hutan di Jawa telah berlangsung beratus-ratus tahun dengan penetapan batas-batas kawasan hutan yang sebagian

314 Sumanto, S. E. (2009). Kebijakan pengembangan perhutanan sosial dalam perspektif resolusi konflik. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 6(1), 13-25.

sudah permanen dan model pengelolaan yang sudah cukup baik. Implikasi dari keadaan ini adalah batas-batas kawasan hutan dengan hak milik masyarakat menjadi lebih jelas.

Sementara itu penentuan batasbatas kawasan hutan di luar Jawa sebagian besar ditentukan berdasarkan peta-peta peninggalan kolonial yang dibuat sebagai bagian dari kompensasi terhadap penaklukan raja-raja di luar Jawa.

Sebagian batas-batas kawasan di lapangan hanya ditentukan melalui pengukuran-pengukuran sementara, sehingga banyak ditemui batas-batas kawasan yang kabur dan mengabaikan hak-hak ulayat masyarakat.

3. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran aturan adat dalam pengelolaan hutan

Penerapan sanksi terhadap pelanggaran aturan adat cukup efektif dalam pengelolaan hutan. Hal ini disebabkan masyarakat adat cenderung lebih percaya dengan pemberlakuan hukum adat dibandingkan dengan hukum positif. Jika terjadi kasus pelanggaran hukum adat, masyarakat adat bersama lembaga adat biasanya akan langsung memberikan penindakan dalam bentuk sanksi terhadap oknum yang melakukan pelanggaran. Pemberian sanksi biasanya akan diikuti dengan ritual di hutan adat.

Kegiatan ritual dimaksudkan sebagai upaya membersihkan hutan adat dari pelanggaran yang terjadi dan sekaligus sebagai peringatan bagi siapapun yang berniat untuk melakukan pelanggaran aturan adat dalam pengelolaan hutan.

Kebijakan perlindungan hutan dengan mengakomodasi nilai hukum kehutanan lokal, dapat meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dan akan memudahkan pemerintah dalam membangun jaringan komunikasi massa, baik secara vertikal maupun horizontal. Implikasi lebih lanjut akan memudahkan

pemerintah dalam pengendalian sosial dan politik di daerah.

Karena itu, dalam perlindungan hutan, seyogyanya pemerintah memperhatikan kemajemukan nilai-nilai hukum lokal yang hidup dalam masyarakat sebagai living law, sehingga pelaksanaan perlindungan hutan tercapai secara maksimum315.

Lebih lanjut Yamani (2011) menyebutkan contoh kasus di daerah Bengkulu, bahwa hukum lokal yang secara efektif diatur dalam pemerintahan tradisional, telah berhasil dalam menanamkan nilai-nilai moral kepada setiap anggotanya yang menjadi justiabelennya. Buktinya, setiap orang dengan kesadarannya sendiri ikut serta secara aktif dalam menjaga hutan di dalam wilayah ulayat dan bertindak dengan perhatian sebagai petunjuk hukum hutan lokal. Simpulannya bahwa: pertama, model perlindungan hukum dalam hukum lokal pada enam komunitas adat daerah Bengkulu dilakukan secara preventif;

kedua, nilai-nilai hukum lokal komunitas adat daerah Bengkulu dapat diadopsi ke dalam produk peraturan perundang-undangan daerah sebagai salah satu model perlindungan hutan di Provinsi Bengkulu melalui perumusan naskah akademis peraturan daerah316.

Contoh lain dari efektifnya penerapan aturan adat dalam pengelolaan hutan adalah sebagai ditunjukkan pada penerapan awig-awig dalam pengelolaan hutan adat di daerah Bayan.

Penerapan aturan adat tersebut telah mampu mencegah terjadinya alih fungsi/konversi lahan pada hutan adat. Atas dasar

315 Yamani, M. (2011). Strategi perlindungan hutan berbasis hukum lokal di enam komunitas adat daerah Bengkulu. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 18(2), 175-192.

316 Ibid

itulah maka saat ini Masyarakat Adat Bayan memiliki hutan adat terluas di Kabupaten Lombok Utara, NTB317,318,319.

4. Pemaksimalan potensi lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat

Upaya penguatan lembaga adat yang dimiliki oleh masyarakat adat adalah salah satu aspek penting dalam pengelolaan hutan karena diyakini akan mampu meningkatkan tata kelola, sekaligus menjamin terwujudnya hutan yang lestari.

Pengelolaan wilayah hutan, tidak dapat dilepaskan dari masyarakat sekitar yang menggantungkan hidup dari kawasan dan hasil hutan. Untuk itu, upaya penguatan kelembagaan adat perlu terus digalakkan agar terwujud lembaga yang dinamis dengan anggota yang terlibat aktif,

bertanggungjawab dan terampil dalam bekerjasama.

Penataan sistem kelembagaan dalam pengembangan dan pengelolaan hutan, bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi masyarakat sehingga benar-benar mempercepat difusi dan adaptasi untuk secara aktif berperan serta dalam pengembangan hutan. Dengan demikian penataan sistem

317 Jayadi, E. M. & Soemarno.(2013). Analisis transformasi awig-awig dalam pengelolaan hutan adat (Studi Kasus Pada Komunitas Wetu Telu di Daerah Bayan, Lombok Utara). Indonesian Green Technology Journal, 2(2), 39-51.

318Jayadi, E.M., Soemarno, Yanuwiadi, B., & Purnomo, M. (2014). Local Wisdom Transformation of Wetu Telu Community on Bayan Forest Management, North Lombok, West Nusa Tenggara. Research on Humanities and Social Sciences, 4(2), 109-118.

319 Jayadi, E.M., Soemarno, Yanuwiadi, B., & M. Purnomo, M. (2014).

Revitalization on Local Wisdom of Wetu Telu Community in Forest Management of Bayan, North Lombok, West Nusa Tenggara. Journal of Biodiversity and Environmental Sciences, 4(4), 384-397.

kelembagaan dengan tepat akan memberikan keleluasan bagi pertumbuhan peran serta, tanggungjawab dan pemberdayaan masyarakat320.

320 Qurniati, R., Duryat, D., & Kaskoyo, H. (2018). Penguatan Kelembagaan Pengelola Hutan Desa di Sekitar Gunung Rajabasa, Lampung. Sakai Sambayan Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat, 1(3), 80-86.

BAB III

Dalam dokumen Pengelolaan Hutan Adat Berbasis Kearifan Lokal (Halaman 162-172)

Dokumen terkait