• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM JAMINAN KESEHATAN DI BEBERAPA NEGARA ASEAN

MODEL PENGATURAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL BERBASIS KEADILAN DAN

B. SISTEM JAMINAN KESEHATAN DI BEBERAPA NEGARA ASEAN

Penyelenggaraan Jaminan Sosial merupakan suatu mekanisme universal di dalam memelihara dan meningkatkan kesejahteraan rakyat suatu negara. Meskipun prinsip prinsip universalitasnya sama, yaitu pada umumnya berbasis pada mekanisme asuransi sosial dan tabungan sosial, namun dalam penyelenggaraanya terdapat variasi yang luas. Variasi program, tingkat manfaat, dan tingkat iuran serta badan penyelenggara di berbagai negara tidak dapat dihindari karena beragamnya tingkat sosial ekonomi dan budaya penduduk di negara tersebut. Badan penyelenggara yang bervariasi dari yang langsung dikelola oleh pemerintah sampai yang liberal yang diserahkan kepada swasta. Variasi tersebut tidak lepas dari sejarah berkembangnya sebuah sistem jaminan sosial di negara tersebut. Masing masing sistem memiliki kelebihan dan kelemahan, oleh karenanya berbagai contoh tersebut perlu disajikan disini sebagai rujukan bagi

penyusunan SJSN. Dalam bab ini disajikan secara garis besar badan penyelenggara jaminan sosial di beberapa negara tetangga dan negara maju sebagai perbandingan. Model-model di negara tersebut di bawah ini adalah wakil dari model-model yang sama yang diselenggarakan di banyak negara lain.

1. Malaysia.

Sebagai negara anggota persemakmuran, sistem jaminan sosial di Malaysia berkembang lebih awal dan lebih pesat dibandingkan dengan perkembangan sistem jaminan sosial di negara lain di Asia Tenggara. Negara Malaysia sudah memulai program tabungan wajib pegawai untuk menjamin hari tua (employee provident fund, EPF) melalui Ordonansi EPF pada tahun 1951. Seluruh pegawai swasta dan pegawai negeri yang tidak berhak atas pensiun wajib mengikuti program EPF. Ordonansi EPF kemudian diperbaharui menjadi UU EPF pada tahun 1991. Pegawai pemerintah mendapatkan pensiun yang merupakan tunjangan karyawan pemerintah. Selain itu, Malaysia juga memiliki sistem jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat yang dikelola oleh Social Security Organization (SOCSO). Oleh karena pemerintah federal Malaysia bertanggung jawab atas pembiayaan dan penyediaan langsung pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk yang relatif gratis, maka pelayanan kesehatan tidak masuk dalam program yang dicakup sistem jaminan sosial di Malaysia.

Sistem pendanaan kesehatan oleh negara Malaysia, tidak ada risiko biaya kesehatan yang berarti bagi seluruh penduduk Malaysia yang sakit ringan maupun berat. Sektor informal merupakan sektor yang lebih sulit dimobilisasi. Namun demikian, dalam sistem jaminan sosial di Malaysia, sektor informal dapat menjadi peserta EPF atau SOCSO secara sukarela. Termasuk sektor informal yang bekerja secara mandiri dan pembantu rumah tangga. Karyawan asing dan pegawai pemerintah yang sudah punya hak pensiun juga dapat ikut program EPF secara sukarela. Di dalam penyelenggaraannya, masing- masing program dan kelompok penduduk yang dilayani mempunyai satu badan penyelenggara. Program EPF dikelola oleh Central Provident Fund (CPF), sebuah badan hukum di bawah naungan Kementrian Keuangan. Lembaga ini merupakan lembaga tripartit yang terdiri atas wakil pekerja, pemberi kerja, pemerintah, dan profesional. Untuk tugas-tugas khusus, seperti investasi, lembaga ini membentuk Panel Investasi. Penyelenggaraan pensiun bagi pegawai pemerintah dikelola langsung oleh kementrian keuangan karena program tersebut merupakan program tunjangan pegawai (employment benefit) dimana pegawai tidak berkontribusi. Program

jaminan kecelakaan kerja dan pensiun cacat dikelola oleh SOCSO yang dalam bahasa Malaysia disebut Pertubuhan Keselamatan Sosial (PERKESO). Manfaat yang menjadi hak peserta terdiri atas: (1) Peserta dapat menarik jaminan hari tua berupa dana yang dapat diambil seluruhnya untuk modal usaha, menarik sebagian lump-sum dan sebagian dalam bentuk anuitas (sebagai pensiun bulanan), dan menarik hasil pengembangannya saja tiap tahun sementara pokok tabungan tetap dikelola CPF. (2) Peserta dapat menarik tabungannya ketika mengalami cacat tetap, meninggal dunia (oleh ahli warisnya), atau meninggalkan Malaysia untuk selamanya. (3) Peserta juga dapat menarik dananya untuk membeli rumah, ketika mencapai usia 50 tahun, atau memerlukan biaya perawatan di luar fasilitas publik yang ditanggung pemerintah. (4) Ahli waris peserta berhak mendapatkan uang duka sebesar RM 1.000-30.000, tergantung tingkat penghasilan, apabila seorang peserta meninggal dunia. Tingkat iuran untuk program EPF, dalam prosentase upah, bertambah dari tahun ke tahun seperti disajikan dalam tabel berikut. Jumlah iuran tersebut ditingkatkan secara bertahap untuk menyesuaikan dengan tingkat upah dan tingkat kemampuan penduduk menabung. Dalam program EPF di Malaysia, sekali seseorang mengikuti program tersebut, maka ia harus terus menjadi peserta sampai ia memasuki usia pensiun yang kini masih 55 tahun (Kertonegoro, 1998).

Malaysia merupakan negara berpenduduk terbanyak ke 43 dan negara dengan daratan terluas ke-66 di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 27 juta dan luas wilayah melebihi 320.000 km2.

Berbeda dengan Indonesia yang melaksanakan jaminan kesehatan semesta pada tahun 2014 dan baru akan merampungkan total populasi pada tahun 2019, negara Malaysia justru sudah melaksanakannya sejak tahun 1990an (Idris Haerawati, 2017). Namun adanya beberapa isu krusial melibatkan kenaikan biaya, keberlanjutan jangka panjang, kenaikan pajak, efisiensi dan harapan masyarakat akan kualitas pelayanan yang lebih tinggi. Malaysia merubah sistem kesehatannya dari layanan kesehatan yang sebelumnya didominasi pemerintah, saat ini justru lebih besar melibatkan sektor swasta (Chongsuvivatwong, Virasakdi, et all, 2011).

Malaysia juga mengembangkan kesehatan sebagai daya tarik wisatawan berkunjung ke negaranya. Jarak yang tidak jauh dari Indonesia yang memiliki 240 juta penduduk, membuat Malaysia meningkatkan kualitas rumah sakitnya. Salah satu penghargaan Malaysia adalah memenangkan Medical Travel Destination of The Year 2015 di International Medical Travel Journal (IMTJ). Tidak heran jika Malaysia terutama Kuala Lumpur dan Penang jadi negara

tujuan utama untuk berlibur sekaligus menjaga kesehatan (medical check up) (Futuready, 2016). Malaysia sistem pembiayaan kesehatannya lebih maju dibandingkan dengan Indonesia, karena Malaysia merupakan negara persemakmuran Inggris. Pada tahun 1951 Malaysia mewajibkan tabungan wajib bagi pegawai yang nantinya dapat digunakan sebagai tabungan dihari tua. Sedangkan warga yang tidak diwajibkan akan difasilitasi oleh sebuah lembaga yakni EPF (Employee Provident Fund). Lembaga SOSCO (Social Security Organization) menjamin warga yang mendapat kecelakaan kerja atau pensiunan cacat (Purwoko Bambang, 2014). Sistem pembiayaan kesehatan yang ada di Malaysia terdiri dari kesehatan publik dan kesehatan privat. Sumber dana untuk kesehatan publik berasal dari pajak masyarakat kepada pemerintah federal, anggaran pendapatan negara, serta lembaga SOSCO dan EPF, yang mana dana yang ada tersebut disalurkan untuk program keehatan preventif dan promotif.

Pemerintah Malaysia menetapkan Universal Coverage untuk program kesehatan kuratif dan rehabilitative, yang mana semua masyarakat dijamin pelayanan kesehatannya dengan membayar iuran sebesar 1 RM untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari dokter umum, sedangkan untuk pelayanan dari dokter spesialis sebesar 5 RM. Dalam sistem pembiayaan kesehatan di Malaysia ini tidak termasuk dalam kategori penyakit berat yang membutuhkan biaya pengobatan yang tinggi (Jaafar, Safurah Noh, et all, 2013). Pemerintah Malaysia membebaskan pajak untuk alat kesehatan dan obat-obatan, yang berdampak pada biaya operasional di Malaysia yang menjadi murah.

Pemerintah Malaysia membatasi praktik dokter yang hanya satu tempat, sehingga dokter harus memilih akan praktik di pelayanan kesehatan milik pemerintah atau milik swasta. Selain itu, dengan adanya feed back atau pemasukan dari dokter yang tinggi, tentu akan mempengaruhi kualitas pelayanan. Untuk mengklaim pembiayaan kesehatan, rumah sakit pemerintah melihat besarnya pengeluaran yang terjadi di tahun sebelumnya dan kemudian rumah sakit tersebut baru bisa untuk mengajukan anggaran kepada Kementerian Kesehatan/Ministry of Health (MoH) (WHO, 2005).

2. Philipina.

Philipina mengembangkan Program Jaminan Sosial (JS) sejak tahun 1948, akan tetapi UU Jaminan Sosialnya (Republic Act 1161) baru disahkan pada tahun 1954. Dibutuhkan waktu selama enam tahun sejak ide awal pengembangan jaminan sosial dicetuskan oleh Presiden Manuel A. Roxas di tahun 1948. Namun demikian, UU tersebut ditolak oleh kalangan bisnis Filipina sehingga dilakukan

amendemen UU tersebut dan diundangkan kembali pada tahun 1957.

Barulah UU JS tersebut mulai diterapkan untuk pegawai swasta. Pada tahun 1980 beberapa kelompok pekerja sektor informal atau pekerja mandiri mulai diwajibkan mengikuti program JS. Pada tahun 1992 semua pekerja informal yang menerima penghasilan lebih dari P1.000 (sekitar Rp 200.000) wajib ikut. Selanjutnya di tahun 1993 pembantu rumah tangga yang menerima upah lebih dari P1.000 sebulan kemudian juga diwajibkan untuk mengikuti program JS. Program JS tersebut dikenal dengan Social Security System (SSS). Pada saat ini, SSS mempunyai anggota sebanyak 23,5 juta tenaga kerja atau sekitar 50% dari angkatan kerja, termasuk diantaranya 4 juta tenaga kerja di sektor informal (Purwanto dan Wibisana, 2002). Khusus pegawai negeri, pemerintah Filipina menyelenggarakan program tersendiri yang disebut sebagai Government Service Insurance System (GSIS) yang dimulai lebih awal yaitu di tahun 1936 dan kini memiliki anggota sebanyak 1,4 juta pegawai negeri. Angkatan Bersenjata dan Polisi memiliki sistem jaminan sosial tersendiri yang dibiayai dari anggaran pemerintah. Kedua program jaminan sosial pegawai pemerintah, termasuk tentara, lebih tepat dikatakan sebagai program tunjangan pegawai (employment benefit) dibandingkan sebagai program jaminan sosial menurut definisi universal. Pada awalnya program jaminan sosial tersebut menyelenggarakan program jaminan hari tua (old-age) kematian, cacat, maternitas, kecelakaan kerja, dan kesehatan. GSIS memberikan berbagai pelayanan ekstra, selain pelayanan tersebut, seperti program pemberdayaan ekonomi dan asuransi umum (Purwanto & Wibisana, 2002). Namun demikian, di tahun 1995 Pemerintah Filipina mengeluarkan Undang-Undang Asuransi Kesehatan National (RA7875) yang memisahkan program asuransi kesehatan dari kedua lembaga (SSS dan GSIS) menjadi satu dibawah pengelolaan the Philippine Health Insurance Corporation (PhilHealth), suatu badan publik yang bersifat nirlaba (SSS, 2001).

PhilHealth bukanlah suatu badan usaha yang di Indonesia kita kenal sebagai BUMN. Manfaat yang diberikan kepada peserta SSS dan GSIS adalah (1). uang tunai selama peserta menderita sakit dan tidak bisa bekerja paling sedikit 4 (empat) hari, baik dirawat di rumah sakit dan di rumah sendiri. (2). Untuk peserta wanita yang hamil, keguguran, atau melahirkan diberikan uang tunai sebesar antara P24.000- P31.200 (antara Rp 4,4 juta- Rp 6,2 juta). (3). yang menjadi hak peserta adalah uang tunai yang dibayarkan secara bulanan bagi peserta yang menderita cacat tetap, baik parsial maupun total yang bukan disebabkan oleh kecelakaan kerja. (4). jaminan hari tua (baik lump-sum maupun pensiun bulanan) ketika memasuki masa pensiun

(60 tahun). (5). Peserta juga berhak mendapatkan jaminan kematian:

berupa uang tunai atau bulanan yang dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia. (6). adalah jaminan kecelakaan kerja yang dibayarkan apabila terjadi kecelakaan kerja. Manfaat jaminan kecelakaan kerja ini dapat diterima bersamaan dengan manfaat program yang lain. Untuk setiap manfaat yang berhak diterima, peserta harus memenuhi persyaratan kepesertaan tertentu (qualifying conditions). Selain manfaat definitif, peserta juga dapat diberikan fasilitas kredit (loan) untuk menutupi kebutuhan uang tunai yang mendesak dengan bunga 6% setahun untuk pinjaman di bawah P15.000 dan 8% setahun untuk pinjaman lebih dari P15.000. Iuran jaminan sosial bagi tenaga kerja swasta adalah 8,4% sebulan (tidak termasuk iuran untuk asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja) yang dibayar bersama antara majikan (5,04%) dan pegawai (3,36%). Batas maksimum upah untuk perhitungan iuran adalah P12.000 (Rp 2,4 juta) sebulan. Iuran untuk jaminan kecelakaan kerja adalah 1% dengan maksium iuran sebesar P1.000 per karyawan yang hanya dibayar oleh pemberi kerja. Sedangkan besarnya iuran untuk tenaga kerja informal diperhitungkan berdasarkan besarnya pendapatan yang dinyatakan oleh calon peserta pada waktu pendaftaran dengan batas minimum sebesar P1.000. Untuk pekerja Filipina di luar negeri, yang dikelompokan sebagai pekerja membayar sendiri—tidak melalui pemberi kerja, batas minimum penghasilan adalah P3.000 sebulan.

Untuk memudahkan perhitungan iuran, SSS mengembangkan 24 kelompok upah dan besarnya iuran untuk masing-masing kelompok upah. Iuran untuk asuransi kesehatan adalah 2,5% upah sebulan untuk menjamin biaya rawat inap saja (rawat jalan tidak dijamin). Dengan demikian total iuran menjadi 10,9% (tanpa kecelakaan kerja) dan 11,9% (dengan kecelakaan kerja). Sedangkan pada GSIS, tingkat iuran lebih tinggi yaitu 12% dari pemberi kerja (pemerintah) dan 9%

dari pekerja (Purwanto & Wibisana, 2002). Phil-Health merupakan program Asuransi Kesehatan Nasional yang kini memiliki keanggotaan lebih dari 39 juta jiwa (lebih dari 50% penduduk Filipina). Anggota Phil-Health terdiri atas 55% pegawai swasta, 24%

pegawai pemerintah, 9% penduduk tidak mampu, 11% peserta sukarela (informal), dan 2% adalah peserta khusus yang tidak membayar iuran. Manfaat yang menjadi hak peserta adalah jaminan rawat inap di rumah sakit pemerintah maupun swasta dengan standar pembayaran yang sama. Pembayaran ke rumah sakit didasarkan pada sistem biaya jasa per pelayanan (fee for service) mengingat cara inilah yang kini diterima oleh rumah sakit. Pelayanan rawat jalan sementara ini belum dijamin, karena diasumsikan penduduk mampu membayar

sendiri biaya rawat jalan yang tidak menjadi beban berat rumah tangga. Besarnya iuran adalah maksimum 3% dari gaji yang diperhitungkan maksimum P10.000 (sekitar Rp 2 juta). Namun demikian, iuran yang kini dikumpulkan adalah sebesar 2,5% yang ditanggung bersama antara pemberi kerja dan tenaga kerja, bagi sektor formal. Sedangkan bagi sektor informal, iuran ditanggung sepenuhnya oleh peserta dan bagi penduduk miskin, iuran ditanggung pemerintah pusat dan daerah (Purwanto & Wibisana, 2002). Pada tahun 2003, PhilHealth menerima banyak sekali permintaan dari pemberi kerja untuk memperluas jaminan dengan mencakup jaminan rawat jalan. Para pemberi kerja akan menambahkan iuran guna memperluas jaminan tersebut (Dueckue, 2003).

3. Thailand.

Program Jaminan Sosial di Thailand terdiri atas program jaminan bagi pegawai negeri, pegawai swasta, dan program kesehatan. Program Jaminan Sosial di Thailand dimulai sejak tahun 1990 dimana Pemerintah Thailand mengeluarkan UU Jaminan Sosial, tetapi implementasinya baru dimulai enam bulan kemudian, yaitu pada bulan Maret 1991. Dana yang terkumpul dikelola oleh suatu badan tripartit, yang disebut Dewan Jaminan Sosial, yang terdiri dari 15 orang yang mewakili pemerintah, pemberi kerja, dan pekerja masing-masing 5 (lima) orang. Kantor Jaminan Sosial (Social Security Office, SSO) berada di bawah Departemen Tenaga Kerja dan Kesejahteraan. Mula-mula program tersebut wajib bagi pemberi kerja dengan 20 karyawan atau lebih, yang kemudian secara bertahap diwajibkan kepada pemberi kerja yang lebih kecil. Sejak 31 Mei 2002, seluruh tenaga kerja dengan satu atau lebih karyawan wajib menjadi peserta. Kini jumlah peserta SSO adalah 6,59 juta tenaga kerja di Thailand, seluruh tenaga kerja formal telah menjadi peserta.

Pegawai pemerintah mendapat jaminan yang dibiayai oleh anggaran belanja negara tanpa ada iuran sama sekali dari pekerja. Jaminan yang ditanggung meliputi jaminan kesehatan, pensiun dan dana lump-sum pada waktu memasuki masa pensiun. Untuk pekerja sektor informal dan kelompok penduduk lain yang belum termasuk peserta SSO atau CSMBS, Pemerintah Thailand mengembangkan program National Health Security yang dikenal dengan kebijakan ‗30 Baht‗. Dalam program ini, seluruh penduduk sektor informal dan anggota keluarga tenaga kerja swasta diwajibkan mendaftar ke salah satu rumah sakit dimana mereka akan berobat jika mereka sakit. Atas dasar penduduk yang terdaftar itu, pemerintah kemudian membayar rumah sakit secara kapitasi sebesar 1.204 Baht per kepala per tahun. Penduduk yang

terdaftar akan membayar sebesar 30 Baht (kira-kira Rp 6.000) sekali berobat atau sekali perawatan di rumah sakit. Biaya yang dibayar itu sudah termasuk segala pemeriksaan, obat, pembedahan, dan perawatan intensif jika diperlukan. Manfaat program jaminan sosial pekerja swasta dan pekerja informal meliputi jaminan kesehatan, bantuan biaya persalinan, jaminan uang selama menderita cacad, santunan kematian, dana untuk anak-anak, kecelakaan kerja, dan jaminan hari tua. Jaminan kesehatan hanya diberikan kepada tenaga kerjanya, sedangkan anggota keluarga tenaga kerja dijamin melalui program ‗30 Baht‗. Manfaat program jaminan sosial pegawai swastapun dimulai dengan menjamin pelayanan kesehatan, baru secara bertahap pelayanan lain seperti jaminan uang waktu cacad dan jaminan hari tua diberikan kemudian. Sementara pegawai pemerintah memang menikmati manfaat yang lebih baik, karena mereka sudah mendapat jaminan hari tua terlebih dahulu dan jaminan kesehatan komprehensif. Untuk jaminan kesehatan, dikenal dengan program CSMBS, yang dijamin bukan saja pegawai, pasangan dan anaknya, orang tua pegawai pun dijamin. Jaminan yang diberikan komprehensif sehingga peserta tidak perlu lagi membayar apabila mereka memanfaatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan yang sudah ditentukan. Tentu saja, jika mereka mencari pelayanan dari fasilitas kesehatan dan di kelas perawatan di luar ketentuan, masyarakat harus membayar sendiri. Besarnya iuran untuk program jaminan sosial pegawai swasta ditanggung bersama antara pekerja, pemberi kerja dan pemerintah. Disinilah keunikan sistem jaminan sosial Thailand, karena pemerintahpun ikut membayar iuran bagi pekerja swasta dan sektor informal. Besarnya iuran dipisahkan untuk masing-masing program yang total berjumlah 18,5% yang terdiri atas iuran pekerja dan pemberi kerja masing masing sebesar 7,5% dan iuran pemerintah sebesar 3,5%. Selain itu, pemberi kerja masih memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan kecelakaan kerja yang besarnya bervariasi dari 0,2% - 1%; tergantung dari tingkat risiko masing- masing usaha (SSO, 2003). Besarnya upah yang diperhitungkan untuk jaminan sosial ini ditetapkan sampai jumlah maksimum Pegawai pemerintah dan pegawai sektor informal tidak membayar iuran, seluruh biaya ditanggung anggaran belanja pemerintah. Yang menarik dari pembayaran iuran jaminan sosial di Thailand adalah bahwa besarnya iuran untuk kesehatan dan persalinan diturunkan dari tadinya 4,5% (masing-masing 1,5%) menjadi 3% (masing-masing pihak mengiur 1%) karena telah terjadi akumulasi dana yang besar karena penyelenggaraan yang bersifat nirlaba dan setiap dana yang tidak digunakan diakumulasi.

Thailand memulai sistem jaminan kesehatan di negaranya sejak tahun 1990 an yang saat itu baru mencakup 16% dari populasi (pegawai negeri dan pekerja formal), pada tahun 2002, sudah mencakup seluruh penduduk (National Health Security) yang diperkirakan sudah mencakup 75% dari seluruh penduduk. Semenjak tahun 2002 tersebut Thailand telah mencapai Universal Health Coverage sebagai sistem kesehatan di negaranya. Sedangkan pada tahun 2009, penduduk Indonesia sebanyak 30,1% untuk mendapatkan pelayanan kesehatan masih mengeluarkan uang secara out of pocket.

Thailand dalam mencapai sistem kesehatan universal health coverage, hampir setengah decade mengalami evolusi sejarah yang cukup panjang, evolusi tersebut dimulai dari sitem pembiayaan secara out of pocket sampai bertahap mencapai sistem pembiayaan di muka.

Thailand telah menguji dan memperkenalkan berbagai sistem pembiayaan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. (Indrayathi PA, 2016). Thailand dalam mencapai sistem kesehatan UHC, masyarakatnya sebanyak 99% dilindungi dengan 3 skema, yaitu Universal Health Coverage (cakupan semesta 75%), Social Health Insurance for formal private sector (skema asuransi kesehatan untuk pegawai swasta 20%), dan Civil Servant Medical Benefit Scheme (skema asuransi kesehatan untuk PNS 5%). Strategi pembiayaan yang baik sangat dibutuhkan untuk mendukung skema tersebut. Thailand membuat salah satu strategi, yakni menghilangkan kendala keuangan, yang mana strategi tersebut mempunyai resiko yang besar untuk memperluas skema UHC bagi masyarakat yang belum memiliki asuransi kesehatan, agar dapat dengan sukarela menggabungkan kartu asuransi dengan kartu identitas lain (LIC) (Indrayathi PA, 2016).

Sistem pelayanan rujukan merupakan sistem pelayanan kesehatan yang diterapkan oleh Thailand. Sistem tersebut dimulai dari primary care sakit distrik atau biasa disebut rumah sakit sekunder dan tersier sebanyak 800 unit di level provinsi maupun rumah sakit pendidikan.

Sedangkan rumah sakit promotif dan preventif yakni merupakan PCU yang mana PCU ini harus mempunyai standard layanan minimum yang harus ditetapkan secara nasional. Pengembangan infrastruktur dibutuhkan dalam implementasi sistem UHC. Selain itu dalam pengimplementasian ini juga dibutuhkan SDM yang berkualitas serta bersedia bekerja sepenuh hati, yang mana SDM tersebut memerlukan motivasi dan passion dalam memberikan pelayanan semaksimal mungkin pada masyarakat. Thailand mempunyai health center, yang mana SDM berkualitas tersebut diletakkan di perdesaan. SDM tersebut merupakan tenaga kesehtan maupun non kesehatan yang akan dilatih dalam memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat

(Indrayathi PA, 2016). Pemerintah Thailand memberikan kesempatan bagi kader-kader tenaga kesehatan untuk membuka lowongan tenaga kesehatan yang akan mengabdi di perdesaan. Selain itu, pemerintah juga memberikan putra daerah kesempatan untuk menyekolahkan mereka di fakultas kesehatan yang mana kedepannya putra daerah tersebut akan ditempatkan di daerah asalnya sebagai tenaga kesehatan dan akan diberikan dukungan seperti insentif yang memadai.

Pemerintah Thailand mempersiapkan kader-kader tenaga kesehatan dengan membuka lowongan tenaga kesehatan untuk bekerja di pedesaan dan menyekolahkan putra daerah di fakultas-fakultas kesehatan. Nantinya, putra daerah ini diminta untuk mengabdi sebagai tenaga kesehatan di daerah asalnya dan pemerintah menyediakan insentif yang memadai sebagai bentuk dukungan (Indrayathi PA, 2016). Jumlah dokter di Thailand sudah sangat banyak dibandingkan dengan Indonesia. Sementara persentase tenaga kesehatan (bidan, perawat) Indonesia jauh lebih banyak dari Thailand. Terdapat 20 bidan di Indonesia per 100.000 penduduk, sementara di Thailand hanya 1 bidan per 100.000 penduduknya. Dapat diasumsikan bahwa Indonesia masih memprioritaskan pelayanan di tingkat pertama untuk menjangkau masyarakat di daerah- daerah, sedangkan Thailand sudah tidak mempunyai masalah akses layanan tingkat pertama, sehingga lebih memprioritaskan di layanan tingkat lanjut (penyediaan layanan rumah sakit dan dokter). (Indrayathi PA, 2016). Keberhasilan Thailand dengan mutu pelayanan rumah sakitnya dapat dilihat dari salah satu Rumah Sakit Internasional di Bumrungrad International Hospital yang menjadi salah satu tujuan wisata kesehatan. Mengusung tema serupa dengan hotel bintang 5, RS ini mendesain interiornya bernuansa modern tanpa ada aroma obat yang menyengat. Perawat dan para dokter dilatih dengan prosedur internasional, dengan perawatan yang menggunakan peralatan sangat canggih. Terutama pusat-pusat medis dengan spesialisasi sebagai berikut, kardiologi (jantung), onkologi (kanker), neurologi (sistem saraf)/neonatal (bayi), GI (penyakit pencernaan), ortopedi (tulang, otot, ligamen), hingga optometry (mata). (Futuready, 2016).

Perbandingan Jaminan Kesehatan di negara ASEAN dapat dilihat pada tabel pada halaman berikut ini: