• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaminan Kesehatan Nasional yang Berkeadilan: Menuju Kesejahteraan Sosial

N/A
N/A
Agus Salim Bhr

Academic year: 2025

Membagikan "Jaminan Kesehatan Nasional yang Berkeadilan: Menuju Kesejahteraan Sosial"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL YANG BERKEADILAN

MENUJU KESEJAHTERAAN SOSIAL

Dr. I Nyoman Dharma Wiasa, S.Kp., S.H.,

M.M., M.Kes., M.H.

(3)

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruhnya isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.Isi di luar tanggung jawab percetakan.Ketentuan pidana Pasal 72 UU No. 19 tahun 2002

1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara palinglama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatuciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00(lima ratus juta rupiah).

(4)

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL YANG

BERKEADILAN MENUJU KESEJAHTERAAN SOSIAL Penulis : I Nyoman Dharma Wiasa

Editing : August Leonardo

Layout : Tim Feniks Muda Sejahtera Design Cover : Tim Feniks Muda Sejahtera

Diterbitkan pertama kali oleh CV. Feniks Muda Sejahtera (Anggota IKAPI No. 007/SUL-TENG/2022)

Perumahan Jinggaland B-1 Mpanau, Kec. Sigi-Biromaru Kab. Sigi, Sulawesi Tengah Telp: 0451-8194166

e-mail: [email protected] www.feniksmudasejahtera.com Cetakan

978-623-5403-48-9 Pertama, September 2022 ISBN:

(5)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas ijin dan perkenannya buku berjudul ―JAMINAN KESEHATAN

NASIONAL YANG BERKEADILAN MENUJU

KESEJAHTERAAN SOSIAL‖ dapat diselesaikan.

Jaminan kesehatan nasional sangat menarik untuk dikaji karena berkaitan dengan hak masyarakat untuk mendapatkan jaminan sosial seperti diamanatkan oleh undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Uraian dalam buku ini menunjukkan bahwa: (1) Pemberian jaminan kesehatan nasional pada hakikatnya merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara untuk memberikan kepastian perlindungan terhadan hak azasi manusia dan menjamin kepastian hak konstitusi warga Negara. (2) Pengaturan jaminan kesehatan nasional dalam sistem hukum Indonesia saat ini didasarkan pada UU 24 tahun 2011 tentang BPJS, yang menyatakan bahwa BPJS merupakan badan hukum publik yang bertanggung jawab kepada Presiden. Dasar hukum lain dalam pengaturan jaminan kesehatan adalah UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyatakan bahwa kesehatan merupakan urusan pemerintahan konkuren, (3) Model pengaturan jaminan kesehatan nasional berbasis keadilan dan kesejahteraan sosial adalah dengan menerapkan model universal partisipatif yakni dengan melibatkan partisipasi seluruh steakholder dalam pemberian jaminan kesehatan seperti pemerintah, BPJS, pemerintah daerah, rumah sakit, organisasi profesi pemberi pelayanan dan masyarakat.

Kami tahu buku ini masih jauh dari sempurna, namun kami berharap semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan terutama bagi penulis sendiri.

Denpasar, September 2022 Penulis

(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... v

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

BAB II : KONSEP HUKUM YANG BERKEADILAN ... 9

A. Teori Hukum ... 9

B. Asas-Asas Hukum ... 23

BAB III : KONSEP PERLINDUNGAN HUKUM, JAMINAN SOSIAL, DAN JAMINAN KESEHATAN ... 26

A. Konsep Perlindungan Hukum ... 26

B. Konsep Jaminan Sosial Dan Jaminan Kesehatan 27 BAB IV : HAKIKAT PEMBERIAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT ... 30

A. Jaminan Sosial Nasional ... 30

B. Pilar Perlindungan Sosial ... 33

C. Prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasional ... 35

D. Jaminan Kesehatan Nasional ... 36

E. Hakikat Pemberian Jaminan Kesehatan Nasional 37 BAB V : PENGATURAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA ... 43

A. Sejarah Jaminan Kesehatan Di Indonesia ... 43

B. Dasar Hukum Pelaksanaan Jaminan Sosial .... 51

C. Hak Peserta Bpjs Kesehatan ... 53

D. Sistem Jaminan Sosial Nasional ... 57

E. Jaminan Kesehatan Daerah ... 70

F. Jaminan Kesehatan Nasional Dalam Perspektif Ius Constitutum ... 72

BAB VI : MODEL PENGATURAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL BERBASIS KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI MASYARAKAT ... 78

A. Sistem Jaminan Kesehatan Di Indonesia ... 78

(7)

B. Sistem Jaminan Kesehatan Di Beberapa Negara

Asean ... 80

C. Jaminan Kesehatan Nasional Berbasis Keadilan 90 D. Jaminan Kesehatan Nasional Berbasis Kesejahteraan Masyarakat ... 93

E. Pengaturan Jaminan Kesehatan Nasional ... 101

BAB VII : PENUTUP ... 126

Daftar Pustaka ... 128

Tentang Penulis ... 134

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

esehatan merupakan salah satu hak asasi manusia selain hak untuk memperoleh penghidupan seperti sandang, pangan dan papan yang layak bagi manusia. Kesehatan merupakan hak dasar manusia yang setiap orang berhak memperolehnya, kesehatan merupakan unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai cita- cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah memajukan kesejahteraan umum. Hal ini menunjukan bahwa sejak kemerdekaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dengan tegas menetapkan konsep Negara Kesejahteraan (welfare state). Negara Kesejahteraan (welfare state) merupakan tanggung jawab dan kewajiban Negara dalam memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya yang meliputi pemenuhan dasar hidup warga negara (basic needs), pelayan sosial dan intervensi ekonomi pasar. Dengan kata lain bahwa welfare state merupakan tanggung jawab negara dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar yang merupakan hak warga negara dan apabila pemerintah tidak dapat melaksananya maka warga negara dapat menuntut sesuai dengan aturan hukum.1

Pencapaian tujuan nasional Indonesia seperti diamanatkan dalam Undang Undang Dasar 1945, diperlukan pelaksanaan pembangunan nasional secara menyeluruh, terpadu, terarah, dan berkesinambungan. Tercapainya tujuan pembangunan nasional tersebut membutuhkan sumber daya manusia yang tangguh, mandiri serta berkualitas. Dalam rangka mewujudkan keberhasilan tujuan tersebut peranan keberhasilan pembangunan kesehatan ikut menentukan, karena penduduk yang sehat akan mendorong keberhasilan program pendidikan, mendorong peningkatan produktifitas dan peningkatan perekonomian.

Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang sesuai amanat pada perubahan UUD 1945 Pasal 34 ayat (2), yang menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan dimasukkannya Sistem Jaminan Sosial dalam perubahan UUD 1945, terbitnya UU

1 Ramesh Mishra, 1984, Welfare State in Crisis, Social Thought and social

K

(9)

Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) menjadi suatu bukti kuat bahwa pemerintah dan pemangku kepentingan memiliki komitmen yang besar untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyatnya. Melalui SJSN sebagai salah satu bentuk perlindungan sosial pada hakikatnya bertujuan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak.

Bentuk perlindungan sosial kepada masyarakat Indonesia juga tertuang dalam Undang Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asazi Manusia, pasal 41, yang menyatakan bahwa ―setiap warga negara berhak atas Jaminan Sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta perkembangan pribadinya secara utuh‖. Hal ini sejalan juga dengan Undang Undang nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Culture Right (Convensi Internasional tentang Hak hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), yang lebih dikenal dengan nama UU Ekosob, yang menyebutkan bahwa salah satu hak masyarakat adalah hak untuk mendapatkan hak atas jaminan sosial, hak ibu dan anak untuk mendapatkan perawatan dan bantuan istimewa.

Pembangunan kesehatan masyarakat yang optimal akan mendukung pencapaian pembangunan nasional. Pelaksanaan pembangun serta perkembangaan nasional harus berjalan seiring dan seimbang agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Peningkatan pembangunan dalam bidang kesehatan ditentukan oleh tersedianya pedoman penyelenggaraan kesehatan, mulai dari perencanaan, metode, dan cara penyelenggaraan jaminan kesehatan. Jaminan perlindungan sosial kesehatan bagi diharapkan mampu meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan, namun dalam implementasinya belum sepenuhnya dapat meningkatkan status kesehatan masyarakat, hal ini akibat fasilitas kesehatan dasar yang masih belum memadai terutama untuk daerah tertinggal, terpencil, perbatasan.

Sebagai salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah Indonesia dalam memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, Pemerintah menuangkannya dalam bentuk peraturan peraturan yang mengatur berbagai hal tentang jaminan perlindungan bagi masyarakat Indonesia. Hal ini tercermin dari Pasal 28A UUD 1945 yang menyatakan bahwa, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28H UUD 1945 ayat (1) menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pengembangan

(10)

system jaminan sosial dan jaminan kesehatan kepada masyarakat terlihat pada pasal 34 UUD 1945 ayat (1) menyatakan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, pada ayat (2) Negara mengembangkan system jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Pasal 34 ayat (3) menyatakan bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Sebagai bentuk implementasi dari pasal 34 UUD 1945 tersebut keluarlah Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) serta keluarnya Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan Nasional yang ditetapkan sejak tanggal 1 Januari 2014.

Pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelenggara Jaminan Kesehatan diharapkan mampu menjawab dan merespon berbagai tantangan pembangunan kesehatan dimasa kini maupun masa yang akan datang. Pelaksanaan Undang Undang nomor 40 tahun 2004 dalam penerapannya banyak mengalami masalah seperti pelayanan kesehatan yang menyebabkan kebingungan dimasyarakat sebagai peserta BPJS, rasa ketidakadilan di masyarakat, masyarakat merasa dipersulit dalam mendapatkan pelayanan, terjadinya system rujukan berjenjang, belum optimalnya peran pemerintah daerah, kesulitan BPJS dalam membayarkan klain kepada rumah sakit menjadikan permasalahan yang cukup pelik untuk dipecahkan.

Tanggung jawab pemerintah untuk memberikan Jaminan sosial, juga tercermin Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, tentang agenda pembangunan yakni: ketahanan ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, kualitas SDM, revolusi mental, memperkuat infrastruktur serta pelayanan dasar, lingkungan hidup, dan terakhir memperkuat stabilitas politik, hukum, pertahanan, dan keamanan. Hal ini berarti bahwa pemerintah Indonesia sangat serius untuk memberikan pelayanan dasar yang didalamnya termasuk jaminan sosial khususnya jaminan kesehatan kepada rakyat Indonesia.

Undang Undang no 36 tahun 2009 tentang kesehatan mengamanatkan bahwa penyediaan anggaran untuk pembangunan kesehatan minimal sebesar 5 persen dan 10 persen anggaran kesehatan berasal dari daerah. Akan tetapi keseriusan Pemerintah Indonesia dalam pembangunan kesehatan, belum didukung oleh penyediaan dana yang cukup untuk pembangunan kesehatan. Sampai saat ini,

(11)

anggaran yang disediakan oleh pemerintah pusat untuk pembangunan baru sebesar 5% dari seluruh anggaran pembangunan setiap tahunnya.

Hal ini tentu tidak mencukupi untuk pembangunan sektor kesehatan bagi seluruh wilayah Indonesia yang begitu luasnya, dibandingkan dengan negara negara lain di ASEAN yang menyediakan anggaran untuk pembangunan sektor kesehatan sebesar rata rata 10%. Oleh karena itu, partisipasi pemerintah daerah, masyarakat serta sektor swasta sangat dibutuhkan untuk ikut serta dalam pembangunan kesehatan sehingga jaminan kesehatan untuk seluruh penduduk Indonesia (Universal Health Coverage) seperti yang ditargetkan akan dapat segera tercapai.

Menyadari banyaknya permasalahan yang menimpa masyarakat dalam pelayanan kesehatan maka Presiden Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan Nasional. Keluarnya Perpres 82 tahun 2018 merupakan upaya dari pemerintah untuk memperbaiki system pelayanan kepada masyarakat, meskipun demikian masih banyak hal yang perlu diperbaiki untuk mewujudkan kesejahteraan kepada masyarakat termasuk juga diperlukan adanya perbaikan hukum, seperti perbaikan substansi hukum Perpres 82 tahun 2018 pada Pasal 12, Pasal 49, Pasal 71 (1), Pasal 75 (2), selain itu diperlukan adanya upaya perbaikan pada struktur hukum Sistem Jaminan Sosial Nasional pada generalisasi program jaminan kesehatan nasional dan perbaikan kultur hukum sangat diperlukan agar terwujudnya rasa keadilan, kemanfaatan, dan kesejahteraan sosial bagi masyarakat.

Fenomena perlindungan masyarakat dalam pelayanan kesehatan masih dirasakan belum maksimal dan masih menimbulkan beberapa masalah/problematika sebagai berikut:

a. Problematik Filosofis

Landasan filosofis menggambarkan peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.

Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan filosofis (filosofische grondslad, filosofische gelding), apabila rumusannya atau norma-normanya mendapatkan pembenaran (rechtsvaardiging) yang apabila dikaji secara filosofis, mempunyai alasan yang dapat dibenarkan apabila dipikirkan secara mendalam, khususnya filsafat terhadap pandangan hidup (way of life) suatu bangsa yang berisi nilai-nilai moral dan etika dari bangsa tersebut.

Secara universal harus didasarkan pada peradaban, cita-cita

(12)

kemanusiaan dalam pergaulan hidup masyarakat. Sesuai pula dengan cita-cita kebenaran (idee der waarheid), cita-cita keadilan (idde der gerechtigheid), dan cita-cita kesusilaan (idge der zedelijkheid)2.

Makna filosofis akan pentingnya kemakmuran atau kesejahteraan akan mengacu pada nilai keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia yang bersifat mendasar. Nilai-nilai dasar keberlakuan hukum dapat diwujudkan dengan terpenuhinya hak-hak bantuan hukum bagi seluruh warga negara. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan pada alinea ke empat pembukaan UUD NRI Tahun 1945 adalah untuk mewujudkan kesejahteraan umum.3 Secara filosofis, merupakan kewajiban bagi negara untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan, memberikan perlindungan sosial, dan menyediakan fasilitas pelayanan dasar.

Kewajiban ini merupakan bentuk implementasi negara hukum yang mengakui dan melindungi serta menjamin hak asasi warga negara untuk mendapatkan keadilan (access to justice) dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) khususnya bagi orang atau kelompok orang miskin. Implementasi perlindungan sosial khususnya jaminan kesehatan pada saat ini, masyarakat sebagai pemilik hak merasakan belum mendapatkan hak yang pantas dan optimal untuk mendapatkan kesejahteraan melalui pelayanan kesehatan, dan masyarakat merasakan adanya pelayanan yang berbelit.

b. Problematika Sosiologis.

Landasan sosiologis menggambarkan peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis (sociologische grondslag, sociologische gelding), apabila ketentuan-ketentuan yang ditetapkan sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran masyarakat. Hal ini penting agar peraturan perundang- undangan yang dibuat ditaati oleh masyarakat dan tidak menjadi huruf-huruf mati belaka. Atas dasar sosiologis ini diharapkan suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat akan diterima masyarakat secara wajar bahkan spontan. Peraturan perundang-undangan yang diterima secara wajar akan menerima daya berlaku efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya. Dalam teori pengakuan (annerken nungstheorie)

2 I Gde Pantja Astawa dan Suprin Na‘a, 2008, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Alumni, Bandung, h.77-81

3 Widhi Handoko, 2014, Kebijakan Hukum Pertanahan Sebuah Refleksi

(13)

ditegaskan bahwa kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Dimensi sosiologis ini mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.

Permasalahan Sosiologis yang dirasakan masyarakat sebagai pemilik hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terlihat dari adanya rasa ketidakadilan di masyarakat, merasa dipersulit dalam mendapatkan pelayanan, terjadinya system rujukan yang berjenjang, peran pemerintah daerah yang belum optimal, naiknya iuran BPJS Kesehatan dirasakan sangat memberatkan dan menghambat hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Munculnya aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, semakin memberatkan kehidupan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang seharusnya merupakan tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan hak dasar seluruh masyarakat.

c. Problemetika Yuridis.

Pemberian perlindungan berupa jaminan kesehatan merupakan bagian dari amanat konstitusi, yang bertujuan untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan kesehatan, meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 Ayat (1), menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 34 Ayat (2) dan (3), Undang Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Dalam Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional, terdapat 2 (dua) sumber peraturan yang mengatur pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, yakni peraturan yang berasal dari pemerintah sebagai regulator, dan yang berasal dari BPJS sebagai operator.

Regulasi dari pemerintah antara lain dalam bentuk UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan Surat Edaran.

Peraturan yang berasal dari BPJS mengatur secara teknis implementasi dari JKN, antara lain dalam bentuk Peraturan BPJS, Peraturan Direksi, dan Surat Edaran. Kedua jenis aturan ini harus sejalan, terutama peraturan yang diterbitkan BPJS sebagai operator harus sejalan dengan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah selaku regulator. Dalam pelaksanaannya terjadi beberapa revisi dari

(14)

peraturan yang telah diterbitkan. Hal ini bisa disebabkan karena adanya kekaburan norma, kerancuan penafsiran, perkembangan situasi ataupun penyesuaian dengan kebutuhan masyarakat luas.

Beberapa kekaburan norma yang terjadi dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 1. Pertentangan norma Pengaturan BPJS Kesehatan Peraturan Perundang Undangan Penjelasan UU No 24/2011:

Pasal 4 BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasar

prinsip: g.

kepesertaan bersifat wajib

Pasal 7 ayat (2), BPJS merupakan Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab kepada Presiden.

Pasal 14 Setiap orang termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi peserta Program Jaminan Sosial

UU No 23/2014, disebutkan bahwa Pelayanan

Kesehatan merupakan salah satu urusan Pemerintahan konkuren dan urusan

Pemerintahan wajib yang merupakan kewenangan daerah.

Hal ini tertuang dalam

Pasal 9 ayat (4) Urusan

pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah Pasal 11 ayat (1), Urusan

Pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas Urusan

Pemerintah Wajin dan Urusan Pemerintahan

Berdasarkan UU 24 tahun 2011, Pasal 4, BPJS

menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan

prinsip: g,

kepesertaan bersifat wajib.

Pasal 7, BPJS merupakan Badan Hukum Publik yang bertanggung jawab kepada Presiden. Hal ini menandakan bahwa

penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional merupakan pelayanan oleh Pemerintahan Pusat melalui BPJS.

Hal ini tidak sejalan dengan UU 23 tahun 2014, Pasal 9 ayat (4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah.

Pasal 11 ayat (1), Urusan Pemerintahan konkuren

sebagaimana

dimaksud dalam pasal 9 ayat (3) yang menjadi kewenangan

(15)

Pilihan.

Pasal 12: Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi

Pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan penataan ruang, perumahan rakyat dan kawasan

pemukiman, ketentraman, keteriban umum, perlindungan masyarakat dan sosial.

Daerah terdiri atas Urusan Pemerintah Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan dan Pasal 12, yang menyatakan bahwa Kesehatan

merupakan Urusan Pemerintahan Konkuren, Urusan Pemerintahan wajib yang merupakan kewenangan daerah.

Tabel 1 diatas memperlihatkan bahwa masih terdapat peraturan yang sifatnya menimbulkan kekaburan norma dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan antara pemerintah pusat melalui BPJS dengan Pemerintah Daerah, sehingga dapat terjadi tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

(16)

BAB II

KONSEP HUKUM BERKEADILAN

A. TEORI HUKUM

alam dunia ilmu pengetahuan, kedudukan teori menempati kedudukan yang sangat penting, karena teori mampu memberikan sarana bagi manusia yang menggunakan akal dan pikiran untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang dihadapi dan dibahas secara lebih baik.4 Menurut Imre Lakatos, ‖teori merupakan hasil pemikiran yang tidak akan musnah dan hilang begitu saja ketika teori lainnya muncul yang pada dasarnya merupakan keanekaragaman dalam sebuah penelitian‖.5 Teori teori hukum yang dipergunakan untuk memahami masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Teori Negara Hukum Kesejahteraan

Konsep tentang Negara hukum (rechtstaat), digunakan sebagai Grand Theory dalam penelitian ini dimana kondisi Indonesia saat ini sedang dihadapkan pada sebuah persoalan hukum dan keadilan masyarakat yang sangat serius. Hukum dan keadilan masyarakat seperti dua kutub yang saling terpisah, tidak saling mendekat. Kondisi ini tentu saja berseberangan dengan dasar filosofis dan hukum itu sendiri, dimana hukum dilahirkan tidak sekedar untuk membuat tertib sosial (social order), tapi lebih dari itu, bagaimana hukum yang dilahirkan dapat memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin yang sangat membutuhkan pelayanan kesehatan.

Pemikiran tentang negara hukum muncul sebelum terjadinya revolusi 1688 di Inggris, tetapi baru muncul kembali pada abad XVII dan populer pada Abad XIX. Pemikiran negara hukum itu sendiri

4 Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Cetakan Kedua, Alumni, Bandung, h. 224. Pada tataran politik praktis, maka terkait proposisi ini perlu dikemukakan pula pidato Sukarno, Bapak Proklamator Negara Republik Indonesia, yang menyinggung soal teori dan aplikasinya, Beliau mengatakan bahwa ―teori tak disertai perbuatan, tiada tujuan, perbuatan tiada pakai teori, tiada berarah tujuan‖… lebih jitu lagi orang boleh berkata, ― teori tak dengan perbuatan, mati! Perbuatan tak dengan teori, ngawur!‖ Selanjutnya lihat Sukarno, 1988, Kepada Bangsaku, Ed. 2, Cet. 1, Haji Masagung, Jakarta, h. 1

5 Eddy O.S Hiareij, Hand Out Mata Kuliah Teori Hukum, Magister

D

(17)

adalah sebuah reaksi akibat kesewenang-wenangan di masa lampau.

Maka dari itu unsur-unsur negara hukum mempunyai hubungan yang erat dengan sejarah dan perkembangan masyarakat dari suatu bangsa.6 Ide negara hukum muncul kembali dengan berkembangnya aliran liberal dengan cara pandang yang individualistik, yang melahirkan negara hukum liberal atau lebih dikenal dengan nama negara penjaga malam (nachwakerstaat). Menurut aliran ini tugas pokok negara hanyalah menjamin dan melindungi kedudukan ekonomu golongan rulling class.7 Munculnya negara hukum liberal di pelopori oleh Immanuel Kant yang melahirkan konsep Rechtstaats. Konsep negara hukum liberal dikembangkan oleh Frederick Julius Stahl yang mengemukakan unsur negara hukum terdiri dari 4 (empat) hal, yakni:

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, 2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan,

3. Pemerintahan diselelnggarakan berdasarkan peraturan, 4. Adanya peradilan administrasi.8

Perkembangan paham sosialisme menghendaki adanya pembagian kesejahteraan secara merata, gagasan yang membatasi kekuasaan pemerintah mengurus kepentingan warganya bergeser ke gagasan bahwa pemerintahan harus bersifat pro aktif untuk mensejahterakan warganya (bestuurszorg), karena itulah kemudian muncul konsep Negara Kesejahteraan (walfare state) atau Negara Hukum Material. Teori Negara Hukum Material (welfare state) ini diimplementasikan tidak saja pada negara yang menganut system pemerintaha republik seperti Amerika Serikat, Prancis, Jerman, dan India tetapi juga pada Negara yang menganut system kerajaan seperti Inggris, Belanda, Jepang, Malaysia.9

Negara hukum adalah negara yang di dalam penyelenggaraannya berdasarkan pada hukum atau aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa. Negara Hukum dalam arti material adalah negara juga turut serta secara aktif untuk kesejahteraan rakyatnya (welfare state), atau dikenal dengan nama negara kesejahteraan yang

6 S.F. Marbun, 1997, Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman, dalam Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 9 Vol. 4, h. 9

7 Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro, 1983, Azas-Azas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 111.

8 Tahir Azhary, 2003, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip- Prinsipnya dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Medinah dan Masa Kini, Edisi Kedua, Prenada Media, Jakarta, h. 89.

9 Sumali, 2002, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, UMM Press, Malang, h. 14.

(18)

kemudian dikenal dengan nama verzorgingsstaat, atau disebutnya sociale rechtsstaat (Negara hukum sosial).10

Dalam pengertian modern, pemerintah dituntut untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. Persamaan di muka hukum, perlindungan hukum, dan asas legalitas bertujuan untuk menghindarkan negara atau pemerintah bertindak sewenang-wenang. Perbuatan atau tindakan negara atau pemerintah tidak boleh melampaui atau melanggar hak asasi, tidak boleh menyebabkan seseorang atau sekelompok orang tidak mendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya, tidak boleh membeda- bedakan orang karena alasan-alasan yang tidak sah dan semua perbuatan atau tindakan-tindakan pemerintah harus berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Konsep kerakyatan tidak dapat dipisahkan dari konsep negara hukum. Begitu pula sebaliknya sehingga suatu negara semacam ini disebut ―Negara hukum demokratis‖. 11

Dalam sebuah negara hukum, hukum adalah sebuah norma yang berisikan tuntunan bertingkah laku bagi masyarakat. Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma yang menekankan aspek ―seharusnya‖ atau das sollen dengan menyertakan beberapa peraturan yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberative. Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum dan aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.12

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut:

1 Asas kepastian hukum (rechmatigheid), asas ini meninjau dari sudut yuridis.

2 Asas keadilan hukum (gerectigheit), asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua.

3 Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau utility.

10 Bachsan Mustafa, 1982, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Alumni, Bandung, h. 22-23.

11 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1993, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung, h. 128

12 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta,

(19)

Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Aliran Positivisme lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan aliran fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa summon ius, summa injuria, summa lex, summa crux (terjemahan bebasnya yaitu hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendati pun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang substantive adalah keadilan).13 Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak hanya bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.14

Adanya kepastian hukum menyebabkan masyarakat menjadi tahu akan hak dan kewajibannya menurut hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penormaan yang baik dan jelas dalam suatu Undang-Undang dan akan jelas pula penerapannya. Dengan kata lain kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya, subjeknya, dan objeknya serta ancaman hukumannya. Akan tetapi kepastian hukum mungkin sebaiknya tidak dianggap sebagai elemen yang mutlak ada setiap saat, tapi sarana yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi dengan memperhatikan asas manfaat dan efisiensi.

Sebagai sebuah negara yang menerapkan konsep negara hukum Kesejahteraan, Indonesia menganut sistem ketatanegaraan yang menitikberatkan pada kepentingan kesejahteraan warganegaranya. Negara kesejahteraan bertujuan bukan untuk menghilangkan perbedaan dalam ekonomi masyarakat, tetapi memperkecil kesenjangan ekonomi dan semaksimal mungkin menghilangkan kemiskinan dalam masyarakat. Adanya kesenjangan yang lebar antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dalam suatu negara tidak hanya menunjukkan kegagalan negara tersebut didalam mengelola keadilan sosial, tetapi kemiskinan yang akut dengan perbedaan penguasaan ekonomi yang mencolok dapat menimbulkan dampak buruk dalam segala segi kehidupan masyarakat, sehingga berdampak buruk pada demokrasi, yang berupa mudahnya orang miskin menerima suap (menjual suaranya dalam pemilihan umum) akibat keterjepitan ekonomi, sebagaimana yang banyak disinyalir terjadi di Indonesia dalam beberapa kali pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, munculnya adanya rasa frustrasi

13 Dosminikus Rato, 2010, Filasafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, PT Presindo, Yogyakarta, h. 59.

14 Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung, h.23

(20)

orang miskin akan mudah disulut untuk melakukan tindakan-tindakan anarkhis, yang dapat berakibat kontra produktif bagi perkembangan demokrasi.

Konsep negara kesejahteraan (welfare state), yang merupakan sistem kenegaraan yang mengupayakan untuk mengurangi dampak dampak yang muncul dengan cara memperkecil jurang pemisah antara mereka yang kaya dengan yang miskin melalui berbagai usaha pelayanan kesejahteraan warganegaranya. Ada lima prinsip penting yang merupakan prinsip yang mendasari suatu sistem negara kesejahteraan, yang karena itu harus diupayakan untuk diwujudnyatakan oleh negara yang menganut system negara kesejahteraan dalam rangka upayanya untuk mencapai tujuan mengurangi kesenjangan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan warga negaranya.

Negara selaku masyarakat politik yang terorganisir memerlukan suatu tingkat kestabilan tertentu dalam system sosialnya untuk mempertahankan keseimbangannya. Untuk mencapai hal ini, tidak hanya diperlukan penyesuaian satu sama lain dari tuntutan- tuntutan yang berlawanan, yang dimajukan oleh bermacam-macam kelompok dalam tata sosial dan tata ekonomi yang baru, tetapi juga diperlukan penciptaan secara terarah dari kondisi-kondisi kesejahteraan sosial yang dituntut oleh doktrin persamaan yang baru.

Pemerintah sebagai alat negara, makin lama makin dipaksa untuk menerima tanggung-jawab positif atas penciptaan dan distribusi kekayaan.

2. Teori Keadilan.

Dalam penelitian ini, teori keadilan menurut Aristoteles digunakan sebagai middle range theory. Istilah keadilan (iustitia) berasal dari kata ―adil‖ yang berarti: tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, sepatutnya, dan tidak sewenang-wenang. Dari beberapa definisi dapat disimpulkan bahwa pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenan dengan sikap dan tindakan dalam hubungan antar manusia, keadilan berisi sebuah tuntutan agar orang memperlakukan sesamanya sesuai dengan hak dan kewajibannya, perlakukan tersebut tidak pandang bulu atau pilih kasih; melainkan, semua orang diperlakukan sama sesuai dengan hak dan kewajibannya.

Untuk memahami bagaimana pandangan filsafat tentang hukum dan keadilan berdasarkan aliran Hukum Alam, perlu diketahui lebih dahulu bagaimana dan apakah aliran Hukum Alam itu sendiri.

Blackstone mengatakan:

(21)

This law of nature being coeval with mankind and dictated by God Himself is, of course, superior in obligation to any other. It is binding over all the globe, in all countries, and at all times, no human laws are of any validity if contrary to this - upon these two foundations the law of nature and the law of revelation depend all human laws.15 (Dalam terjemahan bebasnya: Hukum Alam sudah ada sejak kehadiran manusia di bumi dan diturunkan oleh Tuhan sendiri yang, tentu saja, bersifat superior dalam kewajiban dibanding yang lain. Hukum itu mengikat seluruh bumi, di seluruh negara, dan di sepanjang waktu, tidak ada hukum manusia yang disahkan oleh siapapun yang boleh bertentangan dengan hukum alam dari kedua dasar hukum alam dan hukum wahyu tersebut terletak seluruh hukum manusia).

Pandangan Aristoteles tentang keadilan didapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, rethoric. Spesifik dilihat dalam buku nocomachean ethiacs, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasaraknan filsafat hukum Aristoteles.meski dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, ― karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan‖ 16 Aristoteles membedakan hak persamaan tapi bukan persamarataan. Atistoteles membedakan hak persamaannya sesuai dengan hak proporsional.

Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama dan dapat dipahami senua orang atau setiap warga Negara sama dihadapan hukum. Kesamaam proporsional memberikan tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukan.

Keadilan menurut Aristoteles dibagi kedalam dua macam keadilan yakni keadilan distributive dan keadilan commutatief.

Keadilan distributive adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief, memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar barang dan jasa.17 Keadilan distributive menurut Aristoteles berfokus

15 Sir William Blackstone, 1994, Commentaries on the Laws of England, terungkap dalam Chand, Hari, Modern Jurisprudence, International Law Book Services, Kuala Lumpur, h. 35.

16 Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Huykum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, h.24

17 LJ.Van Apeldoorn, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, cet.ke 26, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 11-12

(22)

pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang barang lain yang sama sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan pembuktian matematis, jelaslan yang ada dibenar Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.18

Pandangan keadilan sebagai penekanan muara dari hukum itu sendiri di samping kemanfaatan serta kepastian hukum. Keadilan menjadi sebuah landasan yang kuat sejalan dengan prinsip hukum kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang harus dijunjung oleh sebuah negara hukum.

Teguh Prasetyo mengatakan bahwa keadilan memiliki nilai material atau bersifat kebendaan yang berguna bagi jasmani manusia.

Teguh Prasetyo juga mengatakan bahwa keadilan memiliki nilai vital yang berguna bagi manusia untuk melaksanakan aktivitas dan nilai kerohanian yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian ini terdiri dari nilai kebenaran kenyataan yang bersumber dari unsur rasio (akal) manusia, nilai keindahan yang bersumber dari unsur rasa (estetis) manusia, nilai kebaikan moral yang bersumber pada kehendak (karsa) manusia dan nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manusia dengan disertai penghayatan melalui akal dan budi nuraninya.19 Kedilan menurut Teguh Prasetyo sering disebut dengan keadilan bermartabat.

Prinsip yang dianut dalam keadilan bermartabat adalah memahami doktrin dan ketentuan-ketentuan yang pernah ada di dalam sistem hukum berdasarkan Pancasila sebagai sistem hukum utama atau kesepakatan pertama yang menjadi sasaran kajian dan penyelidikan keadilan bermartabat. Keadilan bermartabat memiliki dimensi bagaimana teori ini memandang pembangunan sistem hukum yang khas Indonesia. Bagaimana sistem hukum positif memberi identitas dirinya, di tengah-tengah pengaruh yang sangat kuat dari sistem hukum dunia saat ini dan sangat keras, seolah-olah melakukan penetrasi ke dalam cara berhukum bangsa Indonesia.

Keadilan bermartabat mencatat suatu sikap dalam pembangunan sistem hukum berdasarkan Pancasila. Sistem hukum Indonesia tidak mutlak menganut statute law, juga tidak mutlak menganut sistem common law, sekalipun banyak yang mendukung pendapat bahwa sistem judge made law menjunjung tinggi harkat dan

18 Carl Joachim Friedrich, Op.Cit,h.25

19 Teguh Prasetyo, 2015, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum,

(23)

martabat hakim sebagai lembaga atau institusi pencipta hukum.

Sistem common law berkeyakinan bahwa masyarakat yang dinamis dan terus berkembang setiap saat tidak mungkin tertampung dalam undang-undang dan terus berkembang kasus-kasus hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Keadilan bermartabat berdasarkan Pancasila yang berlaku pada sistem hukum di Indonesia menemukan keseimbangan antara kedua sistem hukum yang dominan.20

Pancasila mempunyai arti yang bersifat substantif dan regulatif.21 Adanya nilai yang bersifat substantif karena Pancasila merupakan paham atau pandangan hidup yang fundamental dan merupakan norma dasar dan menjadi landasan dari norma- norma lainnya. Adapun sifat regulatifnya adalah karena di dalam butir-butir masing- masing sila nampak nilai operatif dan regulatif karena masing- masing sila itu sebagai satu kesatuan sistem yang juga berinteraksi dan bekerja sama, juga memberikan pengaturan yang dapat memberikan pedoman kehidupan manusia Indonesia secara langsung. Nilai nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila, berasal dari kehidupan rakyat Indonesia yang hingga sekarang meskipun telah terpengaruh oleh arus globalisasi, masih memperlihatkan tanda-tanda untuk tetap menjadi pedoman untuk dilaksanakan. Sedangkan nilai regulatf juga nampak secara langsung yakni misalnya berupa pengaturan dimana berbagai persoalan yang timbul di dalam masyarakat harus diselesaikan dengan cara musyawarah, selain itu mengingat bahwa penempatannya di dalam UUD 1945 maka sila-sila itu sekaligus mempunyai sifat regulatif fundamental.

Konsep keadilan dalam Pancasila dirumuskan dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Sila kemanusiaan yang adil dan beradab pertama kali dijabarkan dalam Ketetapan MPR No.II/MPR/1978, ketetapan ini kemudian dicabut dengan ketetapan MPR No.XVIlI/MPR/1978. Dalam rumusan tersebut sikap adil digambarkan sebagai bermartabat, sederajat, saling mencintai sikap tepo salira tidak sewenang-wenang, mempunyai nilai kemanusiaan, membela kebenaran dan keadilan serta hormat menghormati dan kerjasama dengan bangsa lain, sedang makna adil dalam sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah gotong royong, keseimbangan antara hak dan kewajiban, memiliki fungsi sosial hak milik dan hidup sederhana. Dengan demikian mengacu pada rumusan

20 Ibid, h. 17

21 Bahder, Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan HAM, Bandar Maju, Bandung, h.110

(24)

tersebut di atas maka konsep keadilan menurut pandangan bangsa Indonesia adalah keadilan sosial."

Sejalan dengan era Reformasi, MPR melalui Sidang Istimewa Tahun 1998, telah mengembalikan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara RI yang tertuang dalam Tap No. XVIII/MPR/1998. Oleh karena itu segala agenda dalam proses Reformasi, yang meliputi berbagai bidang selain mendasarkan pada kenyataan aspirasi rakyat (sila IV) juga harus mendasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Reformasi tidak mungkin menyimpang dari nilai Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan serta keadilan, bahkan harus bersumber kepadanya. Jadi, Pacasila sebagai sumber segala hukum adalah bahwa perbedaan semua makhluk (bangsa Indonesia) tidak mengenal perbedaan SARA, kaya, maupun miskin.

Keadilan di dalam Pancasila, muncul pada sila kelima dengan kata-kata: "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Kata

"sosial" digambarkan oleh Soediman sebagai hubungan antar-manusia dalam kelompoknya. Tiap-tiap individu memiliki empat unsur atau alat perlengkapan hidupnya, yakni raga, rasa, rasio, dan (hidup dengan) rukun. Keempat hal ini harus dijaga dengan sebaik-baiknya agar ada ketenteraman, keseimbangan, dan harmoni. Inilah yang disebut oIeh Soediman Kartohadiprodjo sebagai "bahagia" Jadi, menurut Soediman Kartohadiprodjo, kebahagiaan yang diharapkan sebagaimana dilukiskan di dalam sila kelima Pancasila adalah sama dengan "keadilan sosial" atau "kesejahteraan sosial".22

Soediman Kartohadiprodjo menulis pandangannya dengan kata-kata sebagai berikut: Menurut Pancasila, yang berintikan pada kekeluargaan, yang maknanya ialah, mengakui adanya perbedaan kepribadian individu, tetapi tidak kepribadian yang bebas, yang tidak menghiraukan adanya yang lain, meIainkan yang terikat dalam satu kesatuan "kesatuan dalam perbedaan; perbedaan dalam kesatuan"

maka diakuilah adanya perbedaan antara kelompok-kelompok pergaulan hidup manusia yang satu dan lainnya

Menilai atau menimbang adalah kegiatan manusia yang menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya untuk selanjutnya diambil keputusan seperti, baik dan tidak baik, berguna dan tidak berguna, benar dan tidak benar. Sebagai dasar filsafat negara, Pancasila tidak hanya merupakan sumber dari peraturan Perundang- undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.

22 Soediman Kartodiprojo, Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa

(25)

Dalam sila ke-2 terkandung nilai kemanusiaan yang adil, antara lain: mengakui martabat manusia, perlakuan yang adil terhadap sesama manusia, pengertian manusia yang beradab yaitu manusia yang memiliki potensi daya cipta, rasa, karsa, dan keyakinan sehingga jelas adanya perbedaan antara hewan dengan manusia Sila ke-5 Pancasila, terkandung nilai keadilan sosial, antara lain: Perwujudan keadilan dalam kehidupan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia meliputi bidang idiologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, cita- cita masyarakat adil makmur materil-spirituil, seimbang antara hak dan kewajiban dan menghormati hak orang lain, citi-cita kemajuan dan pembangunan.

Nilai- nilai Pancasila juga bersifat obyektif karena sesuai dengan kenyataan dan bersifat umum. Sedangkan sifat subyektif karena hasil pemikiran bangsa Indonesia. Nilai Pancasila secara obyektif antara lain: bahwa inti sila-sila Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan manusia baik dalam adat kebiasaan, kebudayaan, maupun kehidupan keagamaan.

Nilai Pancasila secara subyektif antara lain: nilai Pancasila timbul dari hasil penilaian dan pemikiran filsafat dari bangsa Indonesia sendiri, nilai Pancsila yang merupakan filsafat hidup/pandangan hidup/pedoman hidup/pegangan hidup/petunjuk hidup sangat sesui dengan bangsa Indonesia.Lebih lanjut oleh Kahar Masyhur memberikan 3 (tiga) hal tentang pengertian adil, yaitu:

a. ―Adil‖ ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya;

b. ―Adil‖ ialah menerima hak tanpa lebih dan memberikan orang lain tanpa kurang,

c. ―Adil‖ ialah memberikan hak setiap yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa kurang antara sesama yang berhak dalam keadaan yang sama, dan penghukuman orang jahat atau yang melanggar hukum, sesuai dengan kesalahan dan pelanggaran.

Hubungan adil dan beradab dapat diumpamakan sebagai cahaya dan api, bila apinya besar maka cahayanya akan terang.

Apabila dihubungkan dengan keadilan sosial, maka keadilan itu harus dikaitkan dengan hubungan kemasyarakatan. Keadilan sosial dapat diartikan sebagai:

a. Mengembalikan hak-hak yang hilang kepada yang berhak;

b. Menumpas keaniayaan, ketakutan dan perkosaan dan pengusaha-pengusaha;

c. Merealisasikan persamaan terhadap hukum antara setiap individu, pengusaha-pengusaha dan orang-orang mewah

(26)

yang didapatnya dengan tidak wajar.

Adil dan keadilan adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Apabila ada pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban, dengan sendirinya kita mengakui ―hak hidup‖, maka sebaliknya harus mempertahankan hak hidup tersebut dengan jalan bekerja keras dan kerja keras yang dilakukan tidak pula menimbulkan kerugian terhadap orang. Sebab orang lain itu juga memiliki hak yang sama sebagaimana halnya hak yang ada pada diri individu23

Konsepsi demikian apabila dihubungkan dengan sila kedua dari Pancasila sebagai sumber hukum nasional bangsa Indonesia, pada hakikatnya menginstruksikan agar senantiasa melakukan perhubungan yang serasi antar manusia secara individu dengan kelompok individu yang lainnya sehingga tercipta hubungan yang adil dan beradab.46 Keadilan sosial menyangkut kepentingan masyarakat dengan sendirinya individu yang berkeadilan sosial itu harus menyisihkan kebesaran individunya untuk kepentingan individu yang lain. Hukum nasional hanya mengatur keadilan bagi semua pihak, oleh karenanya keadilan didalam perspektif hukum nasional adalah keadilan yang menserasikan atau menselaraskan keadilan keadilan yang bersifat umum diantara sebagian keadilan-keadilan individu.

3. Teori Hak Asasi manusia

Hak asasi manusia (HAM) merupakan teori hukum dan normatif yang menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya karena ia adalah seorang manusia. Hak asasi manusia berlaku kapanpun, di manapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya universal. HAM pada prinsipnya tidak dapat dicabut, tidak dapat dibagi-bagi, saling berhubungan, dan saling bergantung. Hak asasi manusia biasanya dialamatkan kepada negara, atau dalam kata lain, negaralah yang mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia, termasuk dengan mencegah dan menindaklanjuti pelanggaran yang dilakukan oleh siapapun. Dalam terminologi modern, hak asasi manusia dapat digolongkan menjadi hak sipil dan politik yang berkenaan dengan kebebasan sipil (misalnya hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, dan kebebasan berpendapat), serta hak ekonomi, sosial, dan budaya yang berkaitan dengan akses ke barang publik (seperti hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, atau hak atas perumahan).

23

(27)

Secara konseptual, hak asasi manusia dapat dilandaskan pada keyakinan bahwa hak tersebut "dianugerahkan secara alamiah" oleh Tuhan. Sementara itu, mereka yang menolak penggunaan unsur alamiah meyakini bahwa hak asasi manusia merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang disepakati oleh masyarakat. Ada pula yang menganggap HAM sebagai perwakilan dari klaim-klaim kaum yang tertindas, dan pada saat yang sama juga terdapat kelompok yang meragukan keberadaan HAM sama sekali dan menyatakan bahwa hak asasi manusia hanya ada karena manusia mencetuskan dan membicarakan konsep tersebut. Dari sudut pandang hukum internasional, hak asasi manusia sendiri dapat dibatasi atau dikurangi dengan syarat-syarat tertentu. Pembatasan biasanya harus ditentukan oleh hukum, memiliki tujuan yang sah, dan diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis. Sementara itu, pengurangan hanya dapat dilakukan dalam keadaan darurat yang mengancam "kehidupan bangsa", dan pecahnya perang pun belum mencukupi syarat ini.

Selama perang, hukum kemanusiaan internasional berlaku sebagai lex specialis. Walaupun begitu, sejumlah hak tetap tidak boleh dikesampingkan dalam keadaan apapun, seperti hak untuk bebas dari perbudakan maupun penyiksaan.

Theo van Boven (2010) dalam bukunya Category of Right, menggolongkan Hak asasi manusia menjadi "hak sipil dan politik"

dan "hak ekonomi, sosial, dan budaya".24 Menurut De Schutter, Olivier (2010) dalam bukunya International Human Rights Law mengatakan bahwa pada dasarnya, hak ekonomi, sosial, dan budaya berupaya memastikan agar individu dapat mengakses barang publik tertentu seperti perumahan, pendidikan, atau layanan kesehatan.25 Oleh sebab itu, hak ekonomi, sosial, dan budaya membutuhkan investasi yang besar dari negara, sehingga hak-hak tersebut tidak dapat diwujudkan dalam sekejap.

Hak asasi manusia juga dapat digolongkan berdasarkan generasi. Berdasarkan klasifikasi ini, terdapat tiga jenis hak, yakni hak generasi pertama, kedua, dan ketiga. Hak asasi manusia generasi pertama adalah hak sipil dan politik yang melindungi kebebasan sipil.

Hak-hak ini berasal dari deklarasi-deklarasi hak asasi manusia yang dikeluarkan di Amerika Serikat dan Prancis pada akhir abad ke-18.

Hak asasi manusia generasi kedua pada dasarnya adalah hak ekonomi,

24 Theo van Boven, 2010, Categories of Rights". Dalam Moeckli, Daniel;

Shah, Sangeeta; Sivakumaran, Sandesh. International Human Rights Law, Oxford University Press, Oxford, h.174

25 De Schutter, Olivier, 2010, International Human Rights Law, Cambridge University Press, Cambride, h.253

(28)

sosial, dan budaya, yang dimaksudkan agar individu dapat mengakses sumber daya, barang, dan jasa tertentu, serta mewajibkan negara agar mengambil tindakan progresif untuk mewujudkan hak-hak ini. Hak- hak ini dikatakan berakar dari tindakan-tindakan yang diambil pada abad ke-19 untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan eksploitasi pasca-industrialisasi di Eropa.26 Hak asasi manusia generasi ketiga merupakan hak kolektif yang dikembangkan pada paruh kedua abad ke-20, akan tetapi hak ini baru mulai dimasukkan ke dalam hukum internasional, seperti dalam Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk.27

4. Teori Penjenjangan Norma (Stufenbautheorie)

Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul ―General Theori of Law and State‖ terjemahan dari teori umum tentang hukum dan negara yang diuraikan oleh Jimly Assihiddiqie dengan judul Teori Hans Kelsen tentang hukum mengungkapkan antara lain bahwa karakter dinamis dari sistem norma dan fungsi norma dasar, juga mengungkapkan suatu kekhasan lebih lanjut dari hukum, hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain, dan juga sampai derajat tertentu, menentukan isi dari norma yang lainnya itu28. Norma hukum dikatakan valid apabila dibuat dengan cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum yang lain, dan norma hukum yang lain ini menjadi landasan validitas dari norma hukum yang disebut pertama.

Menurut Hans Kelsen, norma itu berjenjang berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki. Pengertiannya, norma hukum yang dibawah berlaku, bersumber, dan berdasar dari norma yang lebih tinggi, dan norma lebih tinggi juga bersumber dan berdasar dari norma yang lebih tinggi lagi begitu seterusnya sampai berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut sebagai Norma Dasar (Grundnorm) dan termasuk dalam sistem norma yang dinamis.29

Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain dengan norma yang lain lagi dapat digambarkan sebagai

26 Kälin, Walter; Künzli, Jörg, 2009, The Law of International Human Rights Protection, Oxford University Press, Oxford, h.32

27 Ibid.

28 Hans Kelsen, teori Umum Tentang Hukum dan Negara Judul Aslinya (Theory Of Law and State) Diterjemahkan Rasul Muttakin, (Bandung, Cetakan ke IV, Nusa Media, 2010, h:179). Bandingkan Jimly Asshiddiqie, 2009, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Perss, Jakarta, h. 109.

29 Aziz Syamsuddi, 2011, Proses Dan teknik Penyusunan Undang-Undang,

(29)

hubungan antara ―Superordinasi‖ dan ―Subordinasi‖ yang special menurutnya yaitu:

a. Norma yang menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi;

b. Sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang lebih rendah.

c. Tatanan hukum, terutama tatanan hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk Negara, bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya dikoordinasikan yang berdiri sejajar atau sederajat, melainkan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-tingkatan yang berbeda.

Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi yang karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan hukum. Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungan dengan sesamanya atau dengan lingkungan.

Istilah norma berasal dari bahasa latin, atau kaidah dalam bahasa arab dan sering juga disebut pedoman, patokan, atau aturan dalam bahasa Indonesia mula-mula diartikan dengan siku-siku, yaitu garis tegak lurus yang menjadi ukuran atau patokan untuk membentuk sudut atau garis yang dikehendaki. Dalam perkembangannya norma diartikan sebagai ukuran atau patokan bagi seseorang dalam bertindak atau bertingka laku dalam masyarakat sehingga harus dipatuhi.30 Uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa:

1. Norma membentuk norma dan norma yang menjadi dasar pembentukan norma lebih tinggi dari pada norma yang dibentuk seterusnya sampai pada norma yang paling rinci.

2. Dalam kehidupan bernegara dimulai dari:

a. Konstitusi.

b. kemudian norma hukum yang dibentuk atas dasar konstitusi

c. Selanjutnya hukum yang substantif atau materil dan seterusnya.

30 Maria Parida Indrati, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Disarikan dari Perkuliahan Hamid S. Attamimi, Kanisius, Yogyakarta, h. 6.

(30)

Karena norma membentuk norma, maka norma yang dibentuk dari norma dasar yang membentuknya, tidak boleh bertentang dengan norma dasar pembentukannya. Dengan kata lain bahwa ketentuan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh suatu negara maka ketentuan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi. Dapat dikatakan bahwa norma membentuk norma, maka norma yang dibentuk dari norma dasar yang membentuknya, tidak boleh bertentang dengan norma dasar pembentukannya. Dengan kata lain bahwa ketentuan Perundang- undangan yang ditetapkan oleh suatu negara maka ketentuan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi.

B. ASAS-ASAS HUKUM

Pembentukan hukum yang harmonis perlu berorientasi pada asas-asas hukum, dengan kata lain asas hukum adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif. Menurut Achmad Ali, bahwa ―dalam sistem hukum, asas hukum memiliki fungsi yaitu menjaga ketaatan asas atau konsistensi‖.31 Menurut Satjipto Rahardjo bahwa ―Asas hukum bukanlah norma hukum konkrit karena asas hukum adalah jiwa dari norma hukum itu sendiri‖.32 Lebih lanjut dikatakan asas hukum sebagai jiwa dari norma hukum karena dasar lahir atau ratio legis dari peraturan hukum. Asas- asas hukum yang dipergunakan untuk membahas dan dijadikan dasar dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Asas Persamaan Dihadapan Hukum (Equality Before the Law) Asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas persamaan di hadapan hukum merupakan hak asasi setiap manusia untuk diakui sekaligus dijamin adanya persamaan setiap warga negara di hadapan hukum.33 Asas persamaan di hadapan hukum itu sendiri

31 Achmad Ali, 2015, Menguak Tabir Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h. 370

32 Satjipto Rahardjo, 2009, Hukum dan Perilaku, Kompas, Jakarta, h. 160

33 Hak asasi manusia secara universal pada dasarnya terbagi ke dalam tiga kerangka besar yaitu hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak manusia sebagai suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Hak sipil dan politik yang dimiliki oleh setiap individu mencakup juga hak asasi di bidang hukum.

Hak asasi manusia di bidang hukum di antaranya adalah hak untuk mendapat persamaan di hadapan hukum yang dikenal dengan istilah equality before the law.

Lihat Binziad Kadafi, dkk., 2001, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi Studi Tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan

(31)

dalam arti sederhananya adalah semua orang sama di depan hukum.

Negara Indonesia sebagai negara yang berdaulat, untuk memahami asas hukum dalam konteks tujuan negara, maka dapat disebut asas equality before the law sebagai asas ke Pancasila-an.34

Asas persamaan di hadapan hukum telah diintrodusir dalam konstitusi sebagai suatu pengakuan tertinggi dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia. Asas persamaan di hadapan hukum seperti ditegaskan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 tersebut menjadi dasar perlindungan bagi warga negara agar diperlakukan sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Asas ini kemudian dipertegas lebih lanjut dalam Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 G ayat (1) dan (2) UUD NRI Tahun 1945.

2. Asas Keterbukaan

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dalam bentuk asas-asas merupakan arahan dalam memahami secara mendalam mengenai ruang lingkup dan tujuan pembentukan peraturan perundang-undangan. Bruggink memberikan pendapat bahwa ―asas hukum merupakan nilai yang melandasi kaedah hukum‖.35 Lebih lanjut dikatakan bahwa asas hukum sebagai sejenis meta-kaidah yang berkenaan dengan kaidah-kaidah perilaku. Asas hukum berfungsi sebagai fondasi dari sistem hukum positif dan sebagai batu uji kritis terhadap sistem hukum positif.36 Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang bersifat formal berdasarkan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan beserta penjelasannya salah satunya adalah asas keterbukaan.

Asas keterbukaan dalam Pembentukan Peraturan Perundang- undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan.

34 Pengertian definitif dari prinsip equality before the law dalam pengertian Pancasila mempunyai perbedaan dengan prinsip yang dianut oleh negera-negara demokrasi barat, yaitu bahwa persamaan kedudukan dan kebebasan di Indonesia adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Artinya, hak asasi manusia tidak bersifat mutlak karena setiap warga negara wajib mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku. Dengan demikian, pemerintah berhak mengambil tindakan kepada warganya, asalkan dapat dipertanggungjawabkan.

35 J.J.H. Bruggink, yang disunting oleh B Arief Sidarta, 1996, Refleksi Tentang Hukum, Citra Adytia Bhakti, Bandung, h. 121

36 Ibid, h. 123

Gambar

Tabel 1. Pertentangan norma Pengaturan BPJS Kesehatan  Peraturan Perundang Undangan  Penjelasan  UU No 24/2011:
Tabel  1  diatas  memperlihatkan  bahwa  masih  terdapat  peraturan  yang  sifatnya  menimbulkan  kekaburan  norma    dalam  penyelenggaraan  pelayanan  kesehatan  antara  pemerintah  pusat  melalui  BPJS  dengan  Pemerintah  Daerah,  sehingga  dapat  terj

Referensi

Dokumen terkait

Jaminan kesehatan nasional (JKN) yang dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari sistem jaminan sosial nasional yang diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme

Peran BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara yang ditunjuk oleh undang-undang untuk melaksanakan sistem jaminan sosial di bidang kesehatan adalah memberikan perlindungan kesehatan

Peran BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara yang ditunjuk oleh undang-undang untuk melaksanakan sistem jaminan sosial di bidang kesehatan adalah memberikan perlindungan kesehatan

Peran BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara yang ditunjuk oleh undang-undang untuk melaksanakan sistem jaminan sosial di bidang kesehatan adalah memberikan perlindungan kesehatan

Implementasi kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah kebijakan yang bertujuan memberikan

Jaminan Kesehatan Nasional yang selanjutnya disebut JKN adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar Peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan

•Bagaimana partisipatif publik untuk mengajak keterlibatan orang lain terhadap penegakan dan perlindungan HAM khususnya Hak atas Kesehatan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional di

Dalam buku pedoman badan penyelenggara jaminan sosial telah dijelaskan bahwa manfaat yang akan diperoleh peserta Jaminan Kesehatan Nasional adalah manfaat promotif- preventif,