• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stereotip terhadap Perempuan Korban Kekerasan

MODUL 2 KEGIATAN BELAJAR 1: KETIDAKADILAN

B. Stereotip terhadap Perempuan Korban Kekerasan

Rahmi (2018) mengungkapkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan terjadi karena beberapa faktor, antara lain 1) karakteristik fisik dan reproduksi perempuan lebih mudah menjadi korban kekerasan seksual seperti perkosaan dan kehamilan yang dipaksakan, 2) stereotip, mitos, dan pemaknaan sosial yang berkembang dalam masyarakat membuat perempuan menjadi rentan terhadap tindak kekerasan, baik dalam keluarga, budaya sehari-hari, maupun di tempat kerja, 3) di sisi ekonomi, perempuan dijadikan alat untuk memperkaya keuntungan dengan jalan dijadikan wanita tuna susilla (pelacur), di- ekploitasi dalam segi pornografi, perbudakan seksual, dan diperdagang- kan secara tidak manusiawi.

Beberapa kasus perkosaan yang menimpa seorang perempuan, akan serta merta diikuti dengan pandangan dan stigma negatif dari masyarakat.

Sering kali perempuan korban perkosaan ataupun pelecehan seksual diidentikkan dengan menggunakan pakaian seksi, terbuka, mengumbar aurat, sikap yang menggoda pada lawan jenis, dan centil. Label seperti inilah yang membuat perempuan korban kekerasan seksual menjadi enggan untuk bercerita dan melaporkan kasus yang mereka alami, guna menghindari „aib‟ yang kelak akan dilabelkan tidak hanya pada korban melainkan juga pada keluarga korban. Selain label yang akan dilekatkan

pada korban kekerasan seksual oleh masyarakat, korban juga tidak mendapatkan perlindungan maksimal dari penyidik pada saat kasus kekerasan seksual tersebut dilimpahkan sebagai perkara pidana. Oleh pihak penegak hukum, korban tindak kekerasan seksual ditempatkan sebagai obyek, bukan sebagai subyek yang perlu didengarkan dan dihormati (Dikdik et al, 2008; Sudiarti, 2000).

Box Kasus 2.3. Dipenjara karena Dilecehkan

Baiq Nuril merupakan Guru Honorer yang mendapat Pelecehan dari Kepala Sekolah tempat dia bekerja via telepon.

Nuril kemudian merekam percakapan pelecehan tersebut tanpa sepengetahuan pelaku. Korban kemudian melaporkan pelecehan tersebuta ke polisi dengan membawa bukti rekaman. Namun, polisi malah menjebloskan dia ke penjara, karena laporan dari pelaku yang merasa dicemarkan nama baiknya oleh Nuril.

Polisi cenderung lebih memproses laporan pelaku daripada memproses laporan dari Nuril. Akibatnya, Nuril divonis bersalah dan dijebloskan ke penjara.

Sumber:

https://sketsanews.com/kasus-baiq-nuril- contoh-kriminalisasi-korban-kekerasan/

Keberpihakan terhadap perempuan korban kekerasan seksual tergantung pada upaya yang dilakukan secara integratif dan sinergis untuk menggeser bias yang selama ini menyudutkan perempuan. Sikap- sikap yang menunjukan bias gender dalam proses penanganan kekerasan menurut Maryam (2017), antara lain 1) sikap menyalahkan korban dan melihat korban sebagai objek seks, 2) pemberian keterangan oleh korban yang tidak konsisten/berubah-ubah, 3) faktor kedekatan korban dan pelaku, 4) penyelesaian kasus di luar pengadilan, 5) pembuktian yang

tidak ramah terhadap korban. Selain penanganan yang bias gender, Cussack (2014) menegaskan bahwa implikasi dari stereotip yang berkem- bang di masyarakat merugikan posisi perempuan sebagai korban dari kekerasan seksual. Implikasi tersebut dapat dilihat dalam Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Implikasi Stereotip terhadap Perempuan Korban Kekerasan Seksual

Stereotip Asumsi Kesimpulan

(tentang Seseorang) Wanita harus suci

atau perawan

Wanita tidak boleh melakukan hubungan seks diluar nikah

a. Wanita yang tidak suci me- miliki kecenderungan berhubungan seks b. Wanita yang pernah

berhubungan seks kurang kredibel dijadikan saksi c. Wanita yang tidak suci

“berhak” diperkosa dan tidak “layak” diintervensi sistem peradilan

d. Kekerasan dibenarkan untuk mengendalikan perzinahan atau mendapatkan kembali pengendalian seksual Wanita harus ber-

pakaian dan berperi- laku sopan

Wanita harus berpakaian dan berperilaku untuk menghindarkan ketidak- pantasan, kesopanan, terutama agar tidak merangsang kaum pria

a. Wanita yang tidak sopan dipandang memprovokasi penyerangan seksual dan harus disalahkan b. Wanita yang tidak sopan

menjadi saksi yang kurang kredibel

Pria adalah kepala keluarga atau harus menjadi kepala keluarga

Pria memegang kekuasa- an tertinggi dalam hubungan antar pribadi dan keluarga, sedangkan wanita di bawahnya

a. Seorang pria boleh meng- gunakan kekerasan untuk mendisiplinkan isterinya jika ia tidak patuh kepada- nya

b. Seorang pria boleh menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan dalam

pernikahan dan hubungan keluarga

Stereotip Asumsi Kesimpulan (tentang Seseorang) c. Keinginan seorang pria

yang menggunakan kekerasan harus

diprioritaskan dibandingkan isteri dan anak-anak mereka termasuk dalam proses peradilan (contoh: proses penentuan perlindungan anak)

Sumber: Cussack (2014)

UNODC (2014) menguraikan beberapa pandangan yang berkem- bang dalam masyarakat terkait dengan kasus kekerasan seksual pada perempuan baik remaja maupun dewasa, antara lain:

1. Perkosaan dilakukan orang tidak dikenal

Pandangan yang berkembang dalam masyarakat menyatakan bahwa perkosaan dilakukan oleh orang yang tidak dikenal, melibatkan paksaan fisik, dan luka fisik sehingga apabila terjadi kasus kekerasan yang dilakukan oleh orang dekat/teman/pacar, maka hal tersebut dianggap bukan tindakan kekerasan.

2. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan keluarga Apabila perempuan mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki, dan kehamilan tersebut disebabkan karena hubungan pacaran, maka masyarakat akan memberikan pendapat agar pasangan tersebut dinikahkan saja tanpa harus melakukan pelaporan ke polisi. Hal tersebut disarankan agar kedua keluarga dari pasangan tidak merasa malu dan tidak akan dianggap aib. Begitu juga dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga, sebaiknya diselesaikan secara kekeluargaan.

3. Laki-laki melakukan kekerasan karena tidak dapat mengontrol amarahnya

Anggapan bahwa laki-laki yang melakukan kekerasan dikarenakan tidak dapat mengontrol amarah dan rasa frustasinya sudah terbukti tidak tepat.

4. Perkosaan atau pemaksaan hubungan seksual tidak terjadi dalam pernikahan

Perkosaan dalam rumah tangga masih menjadi isu sensitif terutama di Indonsia dikarenakan asumsi bahwa suami tidak dapat dikatakan memperkosa istrinya karena terikat dalam pernikahan. Ikatan perkawinan menyebabkan suami dapat melakukan apa saja terhadap istrinya termasuk memaksakan hubungan seksual.

5. Laki-laki berhak mendisiplinkan pasangan

Seorang suami berhak mendisiplinkan pasangannya apabila perilaku pasangannya tidak tepat, termasuk dengan memberikan pukulan kepada pasangannya.

C. Stereotip bahwa Korban Kekerasan selalu

Dokumen terkait