• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PAPARAN DATA DAN TEMUAN

B. Dampak Perceraian (Broken Home) Terhadap Perkembangan

Dampak (impact) merupakan pengaruh yang sangat kuat yang mendatangkan akibat negative ataupun positif.

Keretakan dalam keluarga yang disebabkan oleh perceraian pastilah akan membawa dampak juga. Setiap terjadinya perceraian orang tua sudah pasti akan berdampak negative terhadap proses pendidikan dan perkembangan jiwa anak.

Howard and DeClaire membuktika bahwa perpisahan orang tua memiliki pengaruh besar lebih besar terhadap masalah- masalah kejiwaan dikemudian hari daripada pengaruh

23 Muhamm, Hukum Perceraian…, Hlm. 19

24 Ihromi, T.O, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004) , Hlm. 137.

25 Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Dewasa Muda, (Jakarta: Grasindo, 2008), Hlm. 160.

16

kematian orang tua. Perceraian memberikan pengaruh yang mendalam bagi anak. Anak-anak tetap berhak mendapatkan cinta, perhatian dan dorongan dari kedua orang tuanya pasca perceraian. Seringkali pengasuhan anak pasca perceraian dibantu oleh kerabat dekat dikarenakan kedua orang tuanya hanya fokus mencari nafkah.26

Padahal anak juga masih memerlukan pengasuhan oleh kedua orang tuanya, oleh karena itu pengasuhan bersama dapat dilakukan oleh kedua orang tua meski sudah resmi berpisah. Pengasuhan bersama dapat dilakukan dengan metode co-parenting. Priyatna menjelaskan co- parenting ialah kerjasama antara kedua belah pihak orang tua setelah berakhirnya sebuah ikatan perkawinan. Orang tua tetap melakukan pengasuhan bersama pasca perceraian.27

Dampak perceraian terhadap anak lebih berat dibandingkan pada orang tua. Rasa marah, takut, cemas akan perpisahan, sedih dan malu merupakan reaksi-reaksi bagi kebanyakan anak dari dampak perceraian. Anak yang mengalami hambatan dalam pemenuhannya terkait rasa cinta dan memiliki orang tua harus menghadapi kenyataan bahwa orang tuanya telah bercerai. Anak mendapatkan gambaran buruk tentang kehidupan berkeluarga. Dalam perasaan anak perceraian adalah suatu kekurangan yang memalukan. Perceraian hampir selalu membuat anak merasa sedih, pemarah dan lemah jiwanya. Anak akan merasa tersaingi diantara masyarakat yang kebanyakan terdiri atas keluarga yang masih utuh.28Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang mengalami perceraian mempunyai resiko yang tinggi untuk menderita gangguan perkembangan kepribadiannya, baik perkembangan mental intelektual, mental emosional maupun mental psikososial.

26 Gottman J & Joan D, Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), Hlm.160

27 Priyatna A, Focus On Children, (Jakarta: Gramedia, 2010), Hlm. 32

28 Widi Tri Estuti, Dampak ..., Hlm. 31

17

Lesley dalam hasil penelitiannya mengenai dampak perceraian terhadap anak menyimpulkan bahwa reaksi anak-anak yang orang tuanya bercerai sering hidupnya menderita, khususnya dalam hal keuangan serta secara emosional kehilangan rasa aman.29Dampak lain dari perceraian yang terlihat oleh Landis adalah meningkatnya

“perasaan dekat” anak dengan ibu serta menurunnya jarak emosional terhadap ayahnya. Ini terjadinya bila anak berada dalam pengasuhan dan perawatan ibu. Selain itu, anak-anak yang orang tuanya bercerai merasa malu dengan percerain tersebut. mereka menjadi inferior terhadap anak- anak lain. oleh karena itu, tidak jarang mereka berbohong dengan mengatakan bahwa orang tua mereka tidak bercerai atau bahkan menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang perceraian orang tua mereka.30

Menurut Gardner dampak lain dari perceraian adalah bahwa anak-anak merasakan kepedihan yang luar biasa dan sangat mendalam. Tidak jarang anak malah menyalahkan dirinya sendiri serta mengganggap bahwa merekalah penyebab perceraian kedua orang tua mereka.

Selain itu anak merasa bahwa perginya salah satu orang tua meninggalkan mereka dikarenakan orang tuanya sudah tidak menyayangi mereka lagi. Berbagai macam kepedihan dirasakan oleh anak seperti terluka, bingung, marah dan tidak aman.31

Seorang anak akan mengalami keterbelakangan mental, fisik, dan fikirannya, sehigga seorang anak tidak akan mempunyai gairah hidup untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Salah satu penyebab kehancuran seorang anak adalah kondisi rumah tangga atau orang tua yang secara terus menerus mengalami pertengkaran atau perselisihan yang tidak dapat dipersatukan kembali keutuhan rumah tangganya.

29 Ihrom, Bunga…, Hlm. 161

30 Ibid.

31 Ibid., Hlm. 162

18

Problematika keluarga didalam rumah tangga apabila seorang anak ikut terjerumus atas konflik yang terjadi antara orang tuanya, maka hal ini dapat menyebabkan kondisi psikologis anak akan terganggu. Pertengkaran dan perselisihan antara suami istri apabila hal ini terjadi perpisahan atau perceraian, bukan hanya kondisi psikologis seorang anak yang akan terganggu melainkan juga kondisi lingkungan tempat bermain/belajar anak akan terganggu pula.32

Secara psikologi, perceraian dari orang tua berakibat terhadap perubahan sikap, tanggung jawab dan stabilitas emosional. Perubahan sikap anak akibat dari orang tuanya bercerai adalah anak menjadi pemalu, minder, susah bergaul dan suka menyendiri. Bentuk sikap ini terjadi karena perkembangan psikologi anak terganggu yang diakibatkan dari perceraian kedua orang tuanya sehingga menyebabkan anak menjadi depresi. Selain pada perubahan sikap, tanggung jawab anak juga berubah. Dampak perceraian orang tua pada tingkat emosional anak juga terganggu, batin mereka tertekan dan menderita, timbul perasaan malu terhadap lingkungan, perasaan bersalah semuanya menimbulkan konflik batin. Anak sering marah, suka memberontak dan tidak mudah diatur karena merasa orang tuanya yang bercerai tidak pantas menjadi panutan.33

Pada dasarnya perceraian itu menimbulkan dampak yang sangat kompleks bagi pasangan yang bercerai maupun bagi anak keturunannya. Meskipun perceraian disatu sisi dapat menyelesaikan suatu masalah rumah tangga yang tidak mungkin lagi dikompromikan, tetapi perceraian itu juga dapat menimbulkan dampak negatif berkaitan dengan pembangunan ekonomi rumah tangga, hubungan individu dan sosial antar dua keluarga menjadi rusak, dan yang lebih

32 Dahwadin, Dkk, Perceraian Dalam Sistem Hukum Di Indonesia, (Jawa Tengah: Penerbit Mangku Bumi, 2018), Hlm. 180

33 Rina Nur Azizah, “Dampak Perceraian Orang Tua Terhadap Perkemabangan Psikologis Anak”, Jurnal Al-Ibrah: Universitas Madura, Vol. 2 No. 2, 2017, Hlm. 171

19

berat adalah berkaitan dengan dengan perkembangan psikis anak mereka, yang pada gilirannya akan mempengaruhi perilakunya. Dalam kasus perceraian, anak pada umunya merasakan dampak psikologis, ekonomis dan koparental yang kurang menguntungkan dari orang tuanya.

Kepribadian anak menjadi terbelah karena harus memilih salah satu orang tuanya.34

Menurut Cole ada enam dampak negative utama yang dirasakan oleh anak-anak akibat adanya perceraian antara lain sebagai berikut:

a. Penyangkalan adalah salah satu cara yang sering digunakan untuk mengatasi luka emosinya dan melindungi dirinya dari perasaan di khianati dan kemarahan. Penyangkalan yang berkepanjangan merupakan indikasi bahwa anak yakin dialah penyebab perceraian yang terjadi pada orang tuanya

b. Rasa malu merupakan suatu emosi yang berfokus pada kekalahan atau penyangkalan moral, membungkus kekurangan diri dan memuat kondisi pasif atau tidak berdaya

c. Rasa bersalah adalah perasaan melakukan kesalahan sebagai suatu sikap emosi umumnya menyangkut konflik emosi yang timbul dari kontroversi atau yang dihayalkan dari standar moral atau sosial, baik dalam tindakan atau pikiran. Anak biasanya lebih percaya bahwa perceraian orang tua disebabkan oleh diri mereka sendiri, walaupun anak-anak yang lebih besar telah mengetahui bahwa perceraian itu bukan salah mereka, tetap saja anak merasa bersalah karena tidak menjadi anak yang lebih baik

d. Ketakutan, anak menderita ketakutan karena akibat dari ketidakberdayaan mereka yang disebabkan oleh perpisahan kedua orang tua mereka.

34 Tappil Rambe & Taufik Hidayat, Sosiologi Dari Ruang Kelas, (Medan:

Yayasan Kita Menulis, 2021), Hlm. 50

20

e. Rasa marah/kemarahan, beberapa anak menunjukkan kemarahan mereka pada orang tua yang tinggal bersama mereka, karena mereka merasa aman melampiaskan frustasi mereka pada orang tua yang tidak meninggalkan mereka.35

Perceraian orang tua banyak menimbulkan dampak negative bagi perkembangan anak dimasa yang akan datang. Menurut Hetherington & Kelly berdasarkan beberapa riset, 25% anak hasil perceraian ketika masa dewasa awal memiliki masalah serius secara sosial, emosional dan psikolgis dibanding 10% dari anak yang orang tuanya bersama.36

Adapun faktor-faktor penyebab perceraian menurut George Levinger dalam penelitiannya tahun 1996 ada beberapa kategori yang menjadi suatu alasan terjadinya perceraian yaitu:

1) Karena pasangan sering meninggalkan kewajibannya terhadap rumah tangga dan anak, seperti jarang pulang, tidak ada kepastian saat berada dirumah dan juga tidak adanya kedekatan emosional dengan anak maupun pasangan (istri)

2) Permasalahan keuangan (kurangnya pendapatan yang diberikan untuk menghidupi keluarga dan kebutuhan sehari-hari)

3) Adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

4) Pasangan sering berteriak dan mengucapkan kata yang kasar serta menyakitkan hati pasangan

5) Adanya perselingkuhan (tidak setia)

6) Sudah tidak ada lagi kecocokan dalam hal hubungan seksual dengan pasangan, seperti sering menolak melakukan senggama dan tidak bisa memberikan kepuasan

7) Sering mabuk-mabukan

35 Stimson Hutagalung, Dkk, Konseling Pastrol, (Medan: Yayasan Kita Menulis, 2021), Hlm. 103-105

36 Dedi, Anak…, Hlm. 104

Perkembangan sosial ialah pencapaian kematangan dalam hubungan ataupun interaksi sosial. Diartikan juga sebagai suatu proses belajar dalam menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok, tradisi dan moral agama.38

Menurut Hurlock perkembangan sosial adalah perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan

37 Ihromi, Bunga…, Hlm. 153

38 Nani M. Sugandhi, Syamsu Yusuf, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2011), Hlm. 65.

22

tuntutan sosial.39Selain itu Yusuf menyebutkan bahwa perkembangan sosial ialah proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi, meleburkan diri menjadi menjadi satu kesatuan dalam menjalin suatu komunikasi dan dalam bekerjasama. Jadi, perkembangan sosial ialah suatu proses kehidupan anak untuk bertingkah sesuai dengan norma dan aturan dalam lingkungan masyarakat.40

Hurlock menerangkan dalam tahun-tahun awal kehidupan, yang memberikan pengaruh terpenting terhadap perilaku sosial dan sikap anak tampaknya adalah bagaimana pendidikan yang diberikan oleh orang tua dirumah. Rumah ialah tempat belajar bagi ketrampilan sosial. Jika lingkungan rumah secara keseluruhan memberikan perkembangan sosial yang baik, kemungkinan besar anak akan menjadi pribadi sosial yang baik begitupun sebaliknya.41

Anak mengembangkan berbagai bentuk perilaku dalam situasi sosial. Bentuk perilaku sosial anak dalam situasi sosial yaitu: perilaku sosial yang meliputi kerjasama, persaingan, kemurahan hati, hasrat penerimaan sosial, simpati, empati, ketergantungan, ramah, tidak egosentris, menirukan dan kelekatan.

Sedangkan perilaku tidak sosial meliputi:

membangkang, agresif, bertengkar, mengejek dan menggeretak, sok berkuasa, egosentris, prasangka dan antagonism jenis kelamin.42

Adapun proses perkembangan sosial terdiri dari tiga proses antara lain adalah sebagai berikut:

1) Belajar bertingkah laku dengan berbagai cara yang dapat diterima oleh masyakarat

39 Hurlock. E. B, Perkembangan Anak Jilid I, (Jakarta: Erlangga, 1993), Hlm.

250.

40 Yusuf S, Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), Hlm. 122.

41 Hurlock, Perkembangan…, Hlm. 256.

42Ibid., Hlm. 262.

23

2) Belajar memainkan peran sosial yang ada di masyarakat

3) Mengembangkan sikap sosial terhadap sesama dan aktivitas sosial yang ada dimasyarakat.43

2. Perkembangan Emosional

Emosi ialah suatu keadaan yang kompleks, dapat berupa perasaan atau getaran jiwa yang ditandai oleh perubahan biologis yang muncul menyertai terjadinya suatu perilaku. Aspek emosional melibatkan tiga variable yaitu: variable stimulus/rangsangan, variable organismic dan variable respons.44

Menurut Santrock emosi sering di istilahkan juga dengan perasaan atau afeksi yang timbul ketika seseorang sedang berada dalam suatu keadaan ataupun suatu interaksi yang dianggap penting olehnya, terutama well-being dirinya. Jadi emosi timbul karena terdapat suatu situasi yang dianggap penting dan mempunyai pengaruh dalam diri seseorang.45

Goleman dalam Deswita menggunakan istilah emosi merujuk pada a feeling and its distinctive thoughts, psychological and biological states, and range of propensities to act.46Menurut Crow and Crow dalam syaodih menjelaskan bahwa emosi ialah suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian diri dalam) kepada lingkungan agar mencapai kesejahteraan dalam keselamatan individu.47

Emosi memiliki peran yang sangat penting didalam perkembangan anak, karena memiliki pengaruh

43 Dr. Dadan Suryana, Stimulasi Dan Aspek Perkembangan Anak, (Jakarta:

Prenadamedia Group, 2018), Hlm.180.

44 Ibid., Hlm. 179.

45 Santrock J.W., Perkembangan Anak Jilid 2, (Jakarta:Erlangga, 2007), Hlm. 6.

46 Desmita, Psikologi Perkembangan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2017), Hlm. 116.

47 Syaodih, Bimbingan Di Taman Kanak-Kanak, (Jakarta:Depdiknas, 2005), Hlm. 46.

24

pada setiap perilaku anak. Pola emosi pada anak hampir sama dengan pola emosi orang dewasa. Pola emosi yang umum pada awal masa kanak-kanak yaitu takut meliputi malu, canggung, khawatir, cemas. Marah meliputi tempetantrum, negativism, agresif berlebihan dan kekejaman, cemburu, duka cita, keingintahuan, iri hati, gembira sedih, kasih sayang, bangga dan bersalah semua itu merupakan pola emosi yang muncul pada awal anak usia pra sekolah.

Perkembangan sosial emosional merupakan dua aspek yang berlainan, namun dalam kenyataannya satu sama lain saling mempengaruhi. Perkembangan sosial sangat erat kaitannya dengan dengan perkembangan emosional, walaupun masing-masing ada kekhususannya.48 Jadi, perkembangan sosial emosional ialah kepekaan anak untuk memahami perasaan orang lain ketika berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.

Tingkat interaksi anak dengan orang lain dimulai dari orang tua, saudara, teman bermain hingga masyarakat luas. Dapat diketahui bahwa perkembangan sosial emosional tidak bisa dipisahkan satu sama lain. dengan kata lain, membahas perkembangan emosi harus bersinggungan dengan perkembangan sosial, begitupun sebaliknya keduanya saling terintegrasi.49

3. Tahapan Perkembangan Sosial Emosional

Erikson mengemukakan ada delapan tahapan perkembangan sosial emosional anak usia dini menurut antara lain adalah sebagai berikut:50

1) Trust Vs Mistrust (0-1 Tahun)

Tahap pertama ini berkaitan dengan persoalan apa yang patut untuk dipercayai (trust) dan apa

48 Ahmad Susanto, Perkembangan Anak Usia Dini: Pengantar Dalam Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), Hlm. 133

49 Suyadi S, Psikologi Belajar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), (Yogyakarta: Pedagogia, 2010), Hlm.109

50 Diana Mutiah, Psikologi Bermain Anak Usia Dini, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), Hlm. 25

25

yang patut untuk tidak dipercayai (mistrust).

Seorang anak, katakanlah seorang bayi misalnya, akan mengerti dunia sekitarnya melalui perasaannya, dalam pandangan Erikson, percaya dalam hubungan itu diartikan sebagai suatu kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan bayi dengan dunia sekitarnya.

Erikson tidak melihat bahwa setiap tahap merupakan kunci dengan menguasai secara penuh beberapa kualitas yang positif. Dalam tahapan pertama ini, suatu rasio tertentu mengenai keperayaan dan ketidakpercayaan yang tumbuh dalam sikap sosial setiap orang adalah merupakan faktor kritis. Apabila seseorang masuk kesituasi baru, maka yang bersangkutan harus mampu menentukan seberapa jauh ia dapat menaruh kepercayaan dan seberapa jauh ia harus menaruh kecurigaan.51

2) Kemandirian Vs Rasa Malu (1-3 Tahun)

Pada tahap ini kemandirian dibentuk berdasarkan pengalaman. Dan pada tahap ini pula kemandirian dibangun diatas perkembangan kemampuan mental dan kemampuan motoric.

Dalam tahap kedua ini Erikson mengidealisasikan tumbuhnya sifat-sifat positif (autonomy) dan malu (shame) secara bersama-sama.

Dalam hubungan ini Erikson melihat bahwa pertumbuhan kemandirian pada dasarnya memerlukan pengembangan rasa kepercayaan diri.

Pada usia ini, anak mencoba untuk menjadi mandiri yang secara fisik dimungkinkan oleh kemampuan mereka untuk berjalan, berlari, dan berkelana tanpa dibantu orang dewasa. Dengan kebebasan ini, anak masuk dalam periode menjelajah atau eksplorasi.

51 Ibid.

26

Problem yang dapat terjadi, menurut Erikson adalah rasa malu, karena mereka merasa tidak mampu “be on their own”. Ini akan terjadi bila orang tua terlalu banyak ikut campur misalnya, misalnya membantu atau mengoreksi kekeliruan anak. 52

3) Inisiatif Vs Rasa Bersalah (3-6 Tahun)

Tahap ini terjadi apabila anak telah memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu untuk dirinya, mereka telah dapat memakai pakaian sendiri.

Namun, apabila anak merasa disalahkan terhadap keputusan yang dibuatnya anak-anak akan merasa bersalah. Untuk memunculkan tanggung jawab membutuhkan inisitaif, anak mengembangkan rasa bersalah apabila mereka tidak bertanggung jawab atau merasa cemas.53

Bagi Erikson, masa usia 3-6 tahun ini merupakan fase bermain. Dalam fase inilah anak- anak belajar berfantasi, belajar menertawakan diri, mulai belajar bahwa ada pribadi lain selain dirinya.

Pada saat yang sama, kalau fase sebelumnya, anak perlu menciptakan sense of identity sebagai seorang manusia dan kepercayaan untuk melakukan eksplorasi sendiri, maka pada fase ini yang harus diciptakan adalah identitas diri macam apa, terutama sehubungan dengan jenis kelamin anak.

Seperti anak belajar menjadi lelaki atau perempuan bukan hanya dari alat kelamin, tetapi juga dari perlakuan sekeliling mereka. 54

4) Kerja Keras Vs Rendah Diri (6-12 Tahun)

Anak pada usia ini mulai membandingkan dirinya dengan orang lain (misalnya dengan teman- teman dikelasnya). Anak dapat mengenal

52 Ibid., Hlm. 26-27

53 Masganti Sit, Psikologi Perkembangan Anak Usia dini, (Medan: Perdana Publishing, 2015), Hlm. 25

54 Diana, Psikologi…, Hlm. 28-29

27

kemampuannya dan lebih antusias. Erikson menekankan kepada guru untuk menyakinkan anak terhadap kemampuannya dan tidak merasa rendah diri. Masa ini adalah masa dimana anak mulai mengembangkan kepercayaan dirinya bahwa mereka mampu untuk berkarya dan bereksplorasi.55 5) Identitas Vs Kebingungan (Pada Masa Remaja)

Tahap ini dialami seseorang pada masa remaja . tahap ini individu menemukan dirinya sendiri dan menentukan langkah-langkah dalam hidupnya. Orang tua sebaliknya memberikan kesempatan kepada remaja untuk dapat melakukan penjelajahan dalam rangka menemukan identitas diri. Pada tahap ini orang tua harus berperan penting dalam urusan kegiatan anak, dimana anak akan membutuhkan saran atau masukan dari orang tua atau sekelilingnya.56

6) Keintiman Vs Keterasingan (18/19-30 Tahun) Pada usia ini kita bukanlah lagi anak-anak atau remaja, tetapi pemuda dan pemudi. Kita sudah dianggap dewasa dan kita dituntut untuk untuk bertanggung jawab penuh atas segala keberhasilan dan kegagalan kita. Tugas kita pada periode ini adalah mengenal dan mengizinkan diri kita untuk mengenal orang lain secara lebih dekat, atau masuk kehubungan yang intim. Sedang kegagalan kita akan membuat kita terisolasi atau mengisolasi diri dari sekeliling kita.57

7) Generativity Vs Stagnation (Pertengahan 20-50 Tahun)

Tugas kita dalam fase ini adalah mengembangkan keseimbangan antara generavity dan Stagnasi. Generavity adalah rasa peduli yang

55 Masganti, Psikologi…, Hlm.35

56 Ibid., Hlm. 36-37

57 Diana, Psikologi…, Hlm. 35

28

sudah lebih dewasa dan luas dari pada intimacy karena rasa kasih ini telah meng-“generalize”

kekelompok lain, terutama generasi selanjutnya.

Sedangkan stagnasi ialah lawan dari generavity yakni terbatasnya kepedulian kita pada diri kita, tidak ada rasa peduli pada orang lain.

8) Integritas Vs Keputusasaan (60 Tahun Keatas) Seseorang dikatakan sudah memiliki integritas apabila ia telah mampu menyikapi kehidupannya sebagai suatu kenyataan yang sangat berguna dan berfaedah. Sebalinya ada pula seseorang yang menanggap kehidupannya sebagai satu hal yang sia-sia tanpa harapan (despair).58 4. Karakterstik Perkembangan Sosial Emosional Anak Usia

Dini

1. Karakteristik Perkembangan Sosial Anak Usia 3-6 Tahun

Adapun karakteristik perkembangan sosial anak usia 3-6 tahun antara lain adalah sebagai berikut:

a. Mulai senang bergaul dengan teman

b. Anak ingin disukai oleh teman-temannya.

Anak ingin bisa bermain dengan sebanyak mungkin teman. Anak mulai memahami bahwa fungsi pertemanan termasuk didalamnya aturan untuk berbagi, memberi dukungan, bergantian dan berbagai ketrampilan sosial lainnya

c. Meniru kegiatan orang lain

d. Menunjukkan rasa sayang kepada saudara- saudaranya. Ini ditunjukkan dengan cara mengucapkannya, memeluk, mencium adik atau kakaknya

e. Mulai terbiasa mandiri dalam mengerjakan tugas

58 Ibid., Hlm.37-38

29

f. Anak meningkatkan usaha agar dapat melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan kegiatan sehari-hari seperti telah mampu buang air kecil sendiri

g. Mulai mengerti bagaimana perilaku hubungan konsekuensi. Sebagai contoh, ketika anak tdak diajak bermain oleh teman sebayanya lalu anak merespon dengan cara menangis dan marah.59 h. Membuat kontak sosial dengan orang diluar

rumahya

i. Mulai dapat bermain bersama

j. Mulai menunjukkan tingkah laku sosial seperti pembangkangan, agresif, berselisih, menggoda, persaingan, kerja sama, mementingkan diri sendiri, simpati, tingkah laku berkuasa, dukungan sosial dan saling membagi.60

Menurut Snowman dalam Patmonodewo mengemukakan beberapa karakteristik perilaku sosial pada anak usia prasekolah (3-6 tahun), diantaranya yaitu: (1) pada umumnya anak pada usia dini memiliki satu atau dua sahabat, akan tetapi sahabat ini akan cepat berganti, (2) kelompok bermainnya cenderung kelompok kecil, tidak terlalu terorganisasi secara baku sehingga kelompok tersebut cepat berganti-ganti, (3) anak yang lebih kecil sering mengamati anak yang lebih besar, (4) pola bermainnya lebih bervariasi, (5) perselisihan sering terjadi, (6) setelah masuk TK pada umumnya kesadaran mereka terhadap peran jenis kelamin telah berkembang.61

59 Susianti Selaras Ndari, Dkk, Metode Perkembangan Sosial Emosi Anak Usia Dini, (Jawa Barat: Edu Publisher, 2018), Hlm. 39

60 Konstantinus Dua Dhiu, Dkk, Aspek Perkembangan Anak Usia Dini, (Jawa Tengah: PT. Nasya Expanding Management, 2021), Hlm. 83

61 Susianti, Metode…, Hlm. 51

30

Adapun pola perilaku sosial anak adalah sebagai berikut yaitu:

a. Meniru adalah agar sama dengan kelompok.

anak akan meniru sikap dan perilaku orang yang mereka sangat kagumi. Menirukan pertama kali muncul dilingkungan keluarga, kemudian lingkungan tetangga hingga ke masyarakat

b. Persaingan adalah keinginan anak untuk memenangkan dan mengalahkan orang lain.

Persaingan ini biasanya sudah mulai muncul pada usia empat tahun. Anak bersaing dengan teman untuk meraih prestasi dengan berlomba- lomba

c. Kerjasama adalah sikap mau bekerjasama dengan kelompok. Mulai dari usia tahun ketiga akhir, anak akan mulai bermain bersama serta kegiatan kelompok mulai berkembang dan meningkat dengan baik

d. Simpati membutuhkan pengertian mengenai perasaan dan emosi orang lain. Maka hal ini hanya kadang-kadang timbul sebelum berusia tiga tahun, semakin banyak kontak bermain semakin cepat simpati berkembang

e. Empati ialah mengenai perasaan dan emosi orang lain. Tetapi disamping itu juga membutuhkan untuk membayangkan diri sendiri ditempat orang lain. empati diartikan sebagai suatu keadaan jiwa yang merasa iba dan kasihan melihat penderitaan orang lain dan terdorong dengan kemauan sendiri untuk menolongnya tanpa mempermasalahkan perbedaan latar belakang, agama, budaya, etnis dan golongan

f. Membagi, anak mengetahui bahwa salah satu cara untuk memperoleh persetujuan sosial

Dokumen terkait