• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN

B. Kajian Teori

1. Tafsir Isyari

B. Kajian Teori

b. Maknanya sendiri itu shahih

c. Pada lafadz yang ditafsirkan terdapat indikasi bagi (makna isyari) tersebut

d. Antara makna isyari dengan makna ayat terdapat hubungan yang erat.29 Hal ini ditekankan agar pemaknaan secara batiniah tidak terlampau jauh dari makna utama lafadz zahir.

Diantara para sufi yang menulis berbagai karya sufistik terkenal antara lain adalah Ibnu „Arabi, al-Hakim al-Tirmidzi, Imam al-Ghazali dan Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Berbagai karya yang fenomenal dalam dunia sufi ada kalanya bersandar pada pengalaman esoteristik pengarangnya sesuai pengetahuan ruhani yang dialami dan adakalanya bersandar pada redaksi al-Qur‟an (tekstual) yang kemudian disebut karya tafsir bercorak sufistik atau dikenal dengan istilah tafsir isyari.30

Contoh-contoh kitab tafsir yang bercorak isyari adalah Tafsir al- Qur’an al-‘Adhim karya Imam al-Tusturi, Haqâiq al-Tafsir karya Al-

„Allamah Sulami, ar-Rais al-Bayan fi Haqâiq al-Qur’an karya Imam al- Syirazi. Sangat sedikit sekali tafsir-tafsir yang mencorakkan isyari secara total, kebanyakan kitab tafsir pada umumnya juga memberikan corak isyari pada penafsiran beberapa lafadz al-Qur‟an. Namun, prosentase yang ditampakkan tidak seperti kitab-kitab tafsir bercorak isyari yang sangat

29 Manna‟ Khalil al-Qathan Ibid, 496.

30 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2014), 332.

kental. Hal ini seperti yang dikandung oleh kitab tafsir Anwâr at-Tanzîl Wa Asrâr at-Ta’wîl karya al-Baidhawi.31

Kitab Tafsir al-Jailani yang sebenarnya bukan dibukukan langsung oleh Syekh Abdul Qadir, melainkan ditemukan dalam keadaan telah berbentuk lembaran mushaf dengan judul asli “al-fawâtiẖ al-Ilâhiyah wa al-mafâtiẖ al-Ghaibiyyah al-muwadhdhiẖah li al-Kalîmal-Qur’aniyyah wal al-Ḫikam al-Furqâniyyah” karena kitab ini asalnya adalah pengajian Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang dicatat oleh tangan-tangan muridnya yang setia mendengarkan di majelis beliau. Kini buah penafsiran Syekh Abdul Qadir al-Jailani telah diterbitkan oleh yayasan al-Jailani (Markaz al- Jailani) di Baghdad dan dinobatkan sebagai kitab tafsir bercorak sufistik atau isyari.

Dalam muqadimah tafsir al-Jailani disebutkan bahwa al-Qur‟an memiliki sekian banyak inspirasi dan isyarat yang beragam bagi masing- masing orang. Hal ini menyesuaikan dengan kualitas mujahadah dan jihad yang dilakukannya untuk mencari keridhaan Allah, sebagaimana yang dinyatakan dalam QS. Al-„Ankabut ayat 69 yakni :

َّللا َّنِإَو اَنَلُ بُس ْمُهَّ نَ يِدْهَ نَل اَنيِف اوُدَىاَج َنيِذَّلاَو َنيِنِسْحُمْلا َعَمَل َو

Artinya : “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan Allah) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh Allah beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. Al-„Ankabut ayat 69).32

31 Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta : Teras, 2004), 121.

32 Al-Qur‟an dan Terjemah DEPAG RI, Mushaf Mufassir (Bandung : Penerbit Jabal, 2009), 404.

Dalam ayat ini Allah tidak menggunakan kata “sabîl” dalam bentuk singular, melainkan menggunakan kata “subûl” dalam bentuk plural. Maksudnya, masing-masing orang akan menangkap inspirasi dan isyarat tertentu dari al-Qur‟an. Sementara efek dan stimulasi Al-Qur‟an terhadap tiap-tiap orang akan berbeda-beda sesuai tingkat spiritual (marẖalah) yang dicapainya dan dengan seluruh aspek kehidupan yang dijalaninya.33

Dengan kesadaran bahwa Al-Qur‟an adalah laksana samudera yang tak bertepi, didalamnya terdapat berbagai hazanah berharga yang tak ternilai harganya. Syekh Abdul Qadir menyatakan dalam setiap mukaddimah yang beliau lafadzkan sebagai pesan untuk para sahabatnya agar tidak menilai tafsir isyari dari satu sudut pandang praktis saja, yakni :

ْيِناَوْخِإ اَقْ بَا -

ُمُك ُللها ْيِنْوُمْوُلَ ت َلَ - اَمِب

اَنَا

،ِوْيَلَع َلََو ْيِنْوُرْ يِعَت رْمَأِب

ُتْدَصَق

؛ِوْيَلِإ ْذِإ ْنَم

ُوُتَّنُس ُوَناَحْبُس َراَهْظِإ

َيِفَخ اَم ْيِف ِوِمْلِع َزاَرْ بِإَو اَم ْنِمَك

،ِوِبْيَغ ُلَعفَي ُللها ُءاَشَي اَم ُمُكْحَيَو

اَم

،ُدْيِرُي َلْوَح َلَ

َلََو َةَّوُ ق َّلَِإ

،ِللهاِب اَمَو ْمُكِب ْنِم ةَمْعِن َنِمَف

،ِللها َوُى ُلْوُقَ ي َّقَحْلا َوُىَو

يِدْهَ ي

، ِلْيِبّسلا اَمَو

ُوُقُ يِفْوَ ت َّلَِإ ِللهاِب ِوْيَلَع ُتْلَّكَوَ ت ِوْيَلِإَو

ُبْيِنُأ ْنَع ِعْيِمَج ْيِنُبْيِعُي اَم

ُبْيِرُيَو

Artinya : ”Wahai sahabatku yang abqâkum Allah janganlah engkau mencela aku atasnya (apa yang aku katakan) dan janganlah kalian mengumpatku atas apa yang aku inginkan atasnya, demi orang (Nabi Muhammad) yang ditampakkan ketakutan atasnya dengan ilmu yang dimilikinya baik dalam keadaan ramai seperti halnya saat sepi, Allah berlaku dengan kehendaknya dan menghukumi dengan kemauannya, tidakada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongannya, ketahuilah bahwa segala kenikmatan adalah dari Allah, Dia berkata benar dan menunjukkan jalan, dan tidak ada taufik kecuali hanya oleh-

33 Abdul Qadir al-Jailani, Tafsir al-Jailani ed. Assayid Asy-Syarif Dr. Muhammad Fadhil Jailani al-Hasani (Penerbit Salima Publika dan Markaz Al-Jailani, 2013), xvi.

Nya, aku berserah diri pada-Nya dan kepada-Nya lah aku kembali dari segala kesalahan dan keraguan.34

2. Konsep teori waliyyullah a. Pengertian waliyyullah

Pendapat al-Jurjani dalam al-Ta’rifat, bahwa waliyullah adalah orang yang mengetahui Allah dan sifat-sifat-Nya (al-’Arif billah wa sifatihi), yang berjalan dalam ketaatan konstan, menghindari kekerasan, dan membebaskan pikirannya dari belenggu/kungkungan kesenangan materi dan nafsu seksual.35

“Fakhrur Razi berkata, kata “wali” jdalam bahasa arab tersusun dari wawu, lam dan ya‟

( ّيلو)

menunjukkan makna al-Qurb (dekat). Wali dari sesuatu berarti dialah yang begitu dekat dengan sesuatu itu. Kesempurnaan kedekatan kepada Allah hanya akan terjadi jika hati telah tenggelam dan diliputi kema‟rifatan pada-Nya. Ketika ia melihat, maka yang dilihatnya adalah bukti-bukti kekuasaan Allah, jika ia melihat, maka yang dilihatnya adalah ayat-ayat ke-Esaan-Nya, jika ia berkata, ucapannya sebagai ekspresi pujian pada-Nya, jika ia bergerak, maka gerakannya adalah untuk khidmah pada-Nya dan kesungguhannya adalah dalam ketaatan dan berbakti kepada- Nya. Jika demikian, maka kesempurnaan hubungan kedekatan dengan Allah benar terjalin, dan Allah swt menjadi wali (penolong) baginya.”36

Syekh Ibnu Taimiyyah membagi kewalian menjadi dua tingkatan, yakni Sâbiqûn muqarrabûn dan Ash-habu al-Yamîn Muqtashidûn.37

34 Abdul Qadir, Tafsîr al-Jailâni Juz 1 (Pakistan : al-Maktabah Ma‟rûfiyah, 2010), 51.

35Al-Jurjani, al-Ta’rifat, (Beirut : Dar al-Kutub al-„Arabiy, 1405 H), 329.

36 Ibnu Taimiyah, Wali Allah dan wali setan, terj. Ali Mas‟ud (Surabaya : Amelia, 2012), 20.

37 Ibnu Taimiyah, ibid,103.

1. Sâbiqûn muqarrabûn

Istilah ini diambilnya dari potongan ayat surat al-Waqi‟ah ayat 10.

Yaitu :

َنوُقِباَّسلا َنوُقِباَّسلاَو

Artinya : “Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). (QS. Al- Waqi‟ah : 10)38

Disebut demikian bagi seorang yang mendapatkan gelar kewalian karena orang-orang tersebut mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan ibadah-ibadah nawafil setelah menyelesaikan ibdah-ibadah fardhu, meninggalkan yang diharamkan dan dimakhruhkan. Dari usaha mereka maka Allah memberikan kenikmatan berupa surga dan seisinya.

2. Ash-habu al-Yamîn Muqtashidûn.

Yakni, gelar kewalian yang diberikan kepada seseorang yang gemar melaksakan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan, mereka tidak memaksakan diri dengan melakukan yang makruh (mandzub) dan tidak pula menahan dari berlebihan dalam hal-hal mubah.39 Nama al-Yamîn dinisbatkan pada QS. Al- Waqi‟ah ayat 27. Yaitu :

ِنيِمَيْلا ُباَحْصَأ اَم ِنيِمَيْلا ُباَحْصَأَو

Artinya : “Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu.” (QS. Al-Waqi‟ah : 27)40

38 Al-Qur‟an dan Terjemah DEPAG RI, Mushaf Mufassir (Bandung : Penerbit Jabal, 2009), 534.

39 Ibnu Taimiyah, ibid, 117.

40 Al-Qur‟an dan Terjemah DEPAG RI, ibid, 535.

Al-Hakim al-Tirmidzi menyatakan bahwa (wali Allah) adalah gambaran hamba yang menenangkan akal (jiwanya) kepada Yang Maha Besar, sehingga hawa nafsunya menjadi terkendalikan oleh genggaman-Nya. Setelah itu Allah akan mengangkat derajat hamba tersebut dengan dihilangkannya rasa takut dan sedih hati dengan berdasar pada firman-Nya,

َنوُنَزْحَي ْمُى لََو ْمِهْيَلَع ٌفْوَخ لَ ِوَّللا َءاَيِلْوَأ َّنِإ لََأ

Artinya : “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus : 62)41

Yaitu karena Allah menjadi wali dalam urusan mereka, sehingga Allah menolong mereka dalam mengendalikan jiwa- jiwanya. Dan pada puncaknya wali tersebut akan mencapai pada derajat tidak ada sesuatu pun yang menyibukkan dirinya selain Allah, juga sebagaimana firman-Nya

ُبوُلُقْلا ُّنِئَمْطَت ِوَّللا ِرْكِذِب لََأ ِوَّللا ِرْكِذِب ْمُهُ بوُلُ ق ُّنِئَمْطَتَو اوُنَمآ َنيِذَّلا

Artinya : “(Yaitu) Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.”

(QS. Ar-Ra‟du : 28) 42 b. Karakteristik waliyyullah

Menurut al-Hakim ada beberapa karakteristik bagi seorang wali. Pertama, dengan melihatnya akan mengingatkan kepada Allah.

Kedua, mereka memiliki argumentasi yang hak, sehingga tidak ada

41 Al-Qur‟an dan Terjemah DEPAG RI, Mushaf Mufassir (Bandung : Penerbit Jabal, 2009), 216.

42 Al-Qur‟an dan Terjemah DEPAG RI, ibid, 252.

seorang pun yang dapat menundukkannya. Ketiga, memiliki firasat.

Keempat, memiliki ilham. Kelima, barang siapa yang menyakitinya maka diazab dengan su’u al-khâtimah. Keenam, mendapat pujian.

Ketujuh, doanya mustajab dan tampaknya beberapa tanda (keajaiban), seperti masuk ke dalam bumi, berjalan di atas air, dan berbicara dengan Nabi Khidir. 43 Al-Hakim juga menambahkan beberapa karakteristik yang termaktub dalam al- Qur‟an, yaitu tidak takut terhadap berbagai cercaan, bersifat loyal terhadap Allah, mengasihi kaum Muslim, memusuhi orang-orang kafir, dan tertancap keimanan dalam hati mereka. Di antara tanda yang paling nyata adalah ilmu yang mereka dapatkan langsung dari sumber aslinya, yaitu Allah Ta‟ala.44

Sedangkan menurut Ibnu Taimiyyah ada beberapa karakter yang harus dipenuhi seorang wali, di antaranya adalah : pertama, beriman dan bertakwa, sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah Ta‟ala, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

(Yaitu) Orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa”45. Kedua, membenci dan mencintai karena Allah. Ketiga, penuh loyalitas dalam ketaatan (memihak kepada sesama Mukmin dan memusuhi orang kafir)

43 Luluk Mursito, Wali Allah menurut Al-Hakim al-Tirmidzi dan Ibnu Taimiyyah, Vol. 13 No.2 (Gontor : Faculty Of Ushuluddin and Association of Ushuluddin‟s Bachelor, 2015) 345.

44 Luluk Mursito, ibid, 345.

45 QS. Yunus 62-63.

c. Waliyyullah dalam tasawwuf

Istilah Sufi/tasawwuf dinisbatkan pada ahlu Suffah, Suffah adalah nama serambi Masjid Nabawi di Madinah, semasa Nabi hijrah bersama para sahabat ke Madinah, para sahabat yang belum mempunyai tempat tinggal dan tidak mempunyai keluarga tinggal di serambi ini sampai mereka mendapatkan tempat tinggal. Mereka tidak bekerja dan makan hanya dengan pemberian sedekah.46 Para sufi meriwayatkan hadis nabawin yang mulia: “Dikatakan, : “Wahai Rasulullah, siapakah sebaik-baik manusia?” Beliau menjawab, “setiap mukmin yang berhati bersih.” Kemudian, Rasulullah menafsirkannya dengan berkata, “Yaitu hati yang bertakwa dan bersih, didalamnya tidak ada tipudaya, kezaliman, penghianatan dan kedengkian.”47

Para sufi mengatakan bahwa Allah SWT. membagi kaum mukminin kedalam beberapa tingkatan sesuai dengan kadar keyakinan mereka. Allah SWT mengkhusukan karuni-Nya bagi para wali-Nya dan mengumumkan keadilan-Nya bagi seluruh makhluk-Nya.48 Tentang pengkhususan karunia-Nya, Allah berfirman “Agar Allah memberi pahala kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari karunia-Nya.” Allah berfirman dalam QS. Ar-Rum: 45:

َنيِرِفاَكْلا ُّبِحُي لَ ُوَّنِإ ِوِلْضَف ْنِم ِتاَحِلاَّصلا اوُلِمَعَو اوُنَمآ َنيِذَّلا َيِزْجَيِل

Artinya : “Agar Allah memberi balasan (pahala) kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan dari karunia-Nya.

46 Ibnu Taimiyah, Wali Allah dan wali setan, terj. Ali Mas‟ud (Surabaya : Amelia, 2012), 66.

47 Muhammad Ibn Abi-Qasim al-Humairi, Jejak-jejak Wali Allah. Terj.Saiful Rahman Barito (Jakarta : Erlangga), 10.

48 Muhammad Ibn Abi-Qasim al-Humairi, Ibid, 6.

Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang ingkar (kafir).” (QS. Ar-Rum: 45).49

Dari ayat diatas, dapat diketahui bahwa dunia sufi menyematkan wali yang sejajar dengan orang-orang saleh hingga mereka mendapatkan pahala dan mempermudah jalan untuk mendekat kepada-Nya.

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi kewalian

Barang siapa yang mengaku cinta dan dekat kepada Allah, maka menjadi keniscayaan baginya membentuk kondisi diri dan kemakrifatannya sebagaimana mestinya. Jika ia bersifat dengan sifat- sifat sebagaimana yang telah disifatkan oleh Allah terhadap para kekasih (wali)-Nya yang beriman, yang menjauhi setan dan pasukannya, dia tegakkan syi‟ar-syi‟ar agama sebagai perwujudan dari tauhid, mendirikan shalat secara total dan berjamaah.

Dia menyerukan pada agama Allah dengan menyandang sifat- sifat salâful ummah dan imam yang mendapatkan petunjuk, berkarakter mulia lakulampahnya dengan didasari niat yang baik.

Maka dengan demikian, dia diharapkan mampu menjadi wali Allah yang bertakwa.50 Hal ini disarikan dari ayat yang Allah sebutkan dalam QS. Yunus ayat 62-64.

49 Al-Qur‟an dan Terjemah DEPAG RI, Mushaf Mufassir (Bandung : Penerbit Jabal, 2009), 409.

50 Ibnu Taimiyah, Wali Allah dan wali setan, terj. Ali Mas‟ud (Surabaya : Amelia, 2012), 16.

ُمُهَل َنوُقَّ تَ ي اوُناَكَو اوُنَمآ َنيِذَّلا َنوُنَزْحَي ْمُى لََو ْمِهْيَلَع ٌفْوَخ لَ ِوَّللا َءاَيِلْوَأ َّنِإ لََأ َليِدْبَ ت لَ ِةَرِخلآا يِفَو اَيْ نُّدلا ِةاَيَحْلا يِف ىَرْشُبْلا ُزْوَفْلا َوُى َكِلَذ ِوَّللا ِتاَمِلَكِل

ُميِظَعْلا

Artinya : “Ingatlah, wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dansenantiasa bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang agung.” (QS. Yunus : 62-64)51

51 Al-Qur‟an dan Terjemah DEPAG RI, Mushaf Mufassir (Bandung : Penerbit Jabal, 2009), 216.

BAB III

SYEKH ABDUL QADIR AL-JAILANI DAN TAFSIR AL-JAILANI A. Biografi Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Nama Syekh Abdul Qadir bergandeng dengan kata al-Jailani, dinisbatkan dengan wilayah Jilan yakni desa Banq, Jilan, satu kota terpencil di kota Tabaristan. Daerah ini masuk dalam wilayah Iran selatan. Dalam bahasa Persia, wilayah ini biasa dikenal dengan nama Kilan. Sampai saat ini kota Jilan masih tercantum dalam peta, terdiri dalam beberapa desa dan perkampungan, berjajar disela-sela pegunungan Brous yang membentang dipantai laut Gazwain.52 Beliau lahir pada tahun 470 H (1077 M) dan menutup usia pada hari Sabtu tanggal 18 Rabi‟ul Akhir tahun 591 H (1165 M) di Baghdad.53

Nasab beliau dari ayah yaitu As-Sayyid asy-Syarif Syekh Abu Muhammad Muhyiddin Abdul Qadir Al-Jailani radhiyallahu ‘anhu bin Abu Shalih as-Sayyid Musa Janki Dausat bin Sayyid Abdullah Al-Jili bin Sayyid Yahya Az-Zahid bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Daud bin Sayyid Musa bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Musa Al-Jun binSayyid Abdullah Al-Mahdh bin Sayyid Hasan al-Mutsanna bin Sayyid Amirul Mu‟minin Sayyid Syabab Ahl Jannah Abu Muhammad Hasan Al-Mujtaba bin Imam Al-Himam Asadullah Al-Ghalib wa Mazhhar Al-‘Ajaib Imam al-Ulum Amirul Mu’minin Ali bin Abi

52 Djanky Dausat, Samudera Hikmah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (Malang : Mihrab, 2013), 1.

53 Abdul Qadir al-Jailani, Tafsir al-Jailani ed. Assayid Asy-Syarif Dr. Muhammad Fadhil Jailani al-Hasani (Tangerang : Penerbit Salima Publika dan Markaz Al-Jailani, 2013) ix.

Thalib radhiyallahu ‘anhu wa karramallahu wajhah wa ‘an jami’i ali baitihim ajma’in. Amin.54

Karya-Karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani sangat banyak jumlahnya dan sampai saat ini menurut Syekh Fadhil bahwa karya-karya beliau yang terpenting antara lain:55

1. Tafsîr al-Jailani (al-fawâtiẖ al-Ilâhiyah wa al-mafâtiẖ al-Ghaibiyyah al- muwadhdhiẖah li al-Kalîmal-Qur’aniyyah wal al-Ḫikam al-Furqâniyyah) 2. Al-Fatẖ ar-Rabbâni

3. Ash-Shalawât wa al-Aurâd 4. Ar-Rasâil

5. Yawâqît al-ẖikam 6. Al-Ghunyah 7. Futûẖ Al-Ghaib 8. Sirr Al-Asrâr 9. Asrâr Al-Asrâr 10. Jala’ Al-Khâthir 11. Al-Amr al-Muẖkam 12. Ushûl As-Saba’

13. Mukhtashar ‘Ulum ad-Dîn 14. Ushul ad-Dîn

Perjalanannya dalam menuntut ilmu dimulai sejak perpindahannya ke kota Baghdad pada Tahun 1095 M. yang saat itu adalah Ibukota dunia Islam.56

54 Abdul Qadir al-Jailani, ibid, vii.

55 Abdul Qadir al-Jailani, ibid, ix.

Sebagai seorang ulama terkemuka dalam keilmuan Islam tradisional dan pakar spiritual Islam, Abdul Qadir mampu menafsirkan ajaran-ajaran Islam dengan cara tradisional yang dipertinggi aspek spiritualnya.57 Bahkan, Syekh Abdul Qadir menjadi salah satu ulama sufi pertama dalam sejarah Islam yang memeiliki begitu banyak pengikut. Kemampuannya dalam mengatasi perbedaan-perbedaan teologis dan rintangan-rintangan sektarian mendorong banyak ulama terkemuka, ahli hukum, mistikus, pendeta dan bahkan politisi pada saat itu untuk memadukan perbedaan mereka dan bersatu dibawah bendera Islam. Syekh Abdul Qadir menikmati kesuksesan dan popularitas seperti itu karena dia mampu menggabungkan praktik-praktik Islam dengan dimensi spiritual.

Tidak heran jika dia tidak menganggap dirinya sebagai seorang esoteris tanpa eksoteris, tidak mempercayai suatu hal (esoterik) tanpa hal lain (eksoterik). Seperti halnya Ma‟ruf al-Karkhi dan Abul Qasim Al-Junayd Al- Baghdadi, Abdul Qadir juga seorang sufi yang “wajar” dan sangat menghindari jalan “kemabukan”.58

B. Kitab Tafsir Al-Jailani

Berkat sekelompok penulisnya yang berdedikasi, ceramah Abdul Qadir dipelihara dalam bentuk buku-buku dan manuskrip untuk generasi mendatang.

Interpretasi Abdul Qadir yang unik dan sangat berpengaruh terhadap spiritualitas Islam yang mengarah pada berdirinya salah satu gerakan spiritual

56 Muhammad Mojlum Khan, 100 Muslim Paling berpengaruh sepanjag sejarah,Terj. Wiyanto Suud, Khairul Anam (Jakarta: Noura Book, 2012) 186.

57 Muhammad Mojlum Khan, ibid 189.

58 Muhammad Mojlum Khan, ibid 190.

paling kuat dalam sejarah Islam. Dinamai berdasarkan namanya, tarekat Qadiriyyah sekarang ini diikuti oleh jutaan orang diseluruh dunia Islam.59

Metodologi penulisan yang digunakan dalam tafsir al-Jailani yakni dengan cara menyusun surah dan ayat-ayat al-Qur‟an secara berurut kemudian menghubungkan satu dengan yang lain. disetiap surah, Ia membuat mukadimah yang disebut dengan “Pendahuluan surah” (fâtiẖah as-sûrah), lalu menutupnya dengan istilah “Penutup surah” (khâtimah as-sûrah). Di bagian ini syekh Abdul Qadir menempatkan ringkasan dari kandungan isi surah yang bersangkutan, meski biasanya syekh Abdul Qadir mengisi bagian penutup dengan doa untuk seluruh umat Islam dan orang-orang yang hadir dalam majelis di saat ia menyampaikan tafsir ini.60

Latar belakang penulisan tafsir ini adalah berkenaan dengan kedudukan Syekh Abdul Qadir yang saat itu adalah berkedudukan sebagai Imam di Madrasah yang ia dirikan dan ia bina sehingga memberikan hasil yang baik. Syekh Abdul Qadir adalah satu tokoh awal yang memenggugah para muda yang alpa (jauh dari ilmu agama) di masa itu. Ia menghembus semangat untuk kembali kepada Islam yang bersumber dari Kitabullah dan sunnah Rasulullah.

Syekh Abdul Qadir telah menjadi pembuka jalan bagi kemunculan Khalifah Shalahuddin al-Ayyubi61 raẖimahullâh. Dengan semangat yang

59 Muhammad Mojlum Khan, 100 Muslim Paling berpengaruh sepanjag sejarah, Terj. Wiyanto Suud, Khairul Anam (Jakarta : Noura Book, 2012) 192.

60 Abdul Qadir al-Jailani, Tafsir al-Jailani ed. Assayid Asy-Syarif Dr. Muhammad Fadhil Jailani al-Hasani (Tangerang : Penerbit Salima Publika dan Markaz Al-Jailani, 2013) xv.

61 Seorang Khalifah dari Bani al-Ayyubi, bernama asli Yusuf bin Najmuddin yang berhasil menaklukkan Yerussalem pada perang Salib melawan pasukan Kristen Romawi.

dirumbuhkan oleh syekh Abdul Qadir dimasa itu, di tangan Khalifah Shalahuddin al-Ayyubi pasukan Islam berhasil menaklukkan bangsa Eropa serta membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman mereka. Semua prestasi itu hanya dapat terwujud dengan membebaskan pemikiran dan ruh generasi muda dari segala bentuk kerusakan material, moral dan intelektual, melalui pengaruh yang kuat dari semangat yang muncul di masa Syekh al-Jailani.62

Syekh Abdul Qadir tidak hanya sekedar menafsirkan Al-Qur‟an dengann pola tafsir yang semata-mata mengandalkan ilmu dan pemahaman seperti yang lazim terdapat dalam berbagai kitab tafsir lain, tetapi tafsir ini lebih banyak bertumpu pada pemaparan berbagai sugesti yang menghidupkan ketakwaan di satu sisi, dan di sisi lain mampu mengikat murid dengan gurunya, sehingga guru dapat terus meningkatkan kualitas murid mencapai derajat setinggi mungkin.63

Itulah sebabnya karya tulis Syekh Abdul Qadir al-Jailani ini disebut dengan “al-fawâtiẖ al-Ilâhiyah wa al-mafâtiẖ al-Ghaibiyyah al- muwadhdhiẖah li al-Kalîmal-Qur’aniyyah wal al-Ḫikam al-Furqâniyyah”.

Inilah sebuah karya otentik yang menjadi bentuk sumbangsih nyata dari seorang „Alim Rabbani dan Quthb Rûẖani, Syekh Abdul Qadir al-Jailani Ridhwânullah ‘alaih.64

Lewat karya ini Syekh Abdul Qadir ingin berbicara tentang berbagai pengaruh inspiratif yang berasal dari al-Qur‟an terhadap dirinya yang nota

62 Abdul Qadir al-Jailani, Tafsir al-Jailani ed. Assayid Asy-Syarif Dr. Muhammad Fadhil Jailani al-Hasani (Tangerang : Penerbit Salima Publika dan Markaz Al-Jailani, 2013) xvi.

63 Abdul Qadir al-Jailani, ibid, xvi.

64 Abdul Qadir al-Jailani, ibid, xvi.

Dokumen terkait