• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan Perkembangan Sistem Perbankan Syariah

BAB V PENUTUP

F. Tujuan Perkembangan Sistem Perbankan Syariah

Pada tahun 1998 muncul UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Di dalam UU ini terdapat beberapa perubahan yang memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah. Pada UU tersebut disebutkan bahwa system perbankan syariah dikembangkan dengan beberapa tujuan, yaitu:

1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Dengan ditetapkannya sistem perbankan syariah yang berdampingan dengan system perbankan perbankan konvensional, mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas terutama dari segmen yang selama ini belum dapat tersentuhh oleh system perbankan konvensional yang menerapkan system bunga.

2. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah hubungan investor yang harmonis (mutual investor relationship).

Sementara, dalam bank konvensional konsep yang diterapkan adalah hubungan debitur dan kreditur (debitor to creditor relationship).

3. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga

22 Rosyidah, Nizar, and Khoirul Huda, “ANALISIS PENGETAHUAN NASABAH TENTANG PRODUK PERBANKAN SYARIAH (Studi Pada Bank Muamalat KCP Malang Kepanjen).”

yang berkesinambungan (perpectual interest effect) membatasi kegiatan spektulasi yang tidak produktif (unproductive speculation), pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih memperhatikan unsur moral.23 G. Pembagian Produk Perbankan Syariah di Indonesia

Secara garis besar, produk perbankan syariah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu produk penyaluran dana, produk penghimpunan dana, dan produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya.24 Pada prinsipnya kegiatan usaha perbankan termasuk perbankan syariah secara garis besar terdiri dari tiga macam yaitu kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat, kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat, dan kegiatan berupa pemberian jasa perbankan kepada masyarakat.25 Secara garis besar produk penyaluran dana kepada masyarakat adalah berupa pembiayaan didasarkan pada akad jual beli yang menghasilkan produk murabahah, salam, dan istishna. Berdasarkan pada akad sewa menyewa yang menghasilkan produk produk mudharabah, musyarakah, muzzaroah, dan musaqah. Sedangkan, yang berdasarkan pada akad pinjaman yang bersifat sosial (tabarru) berupa qardh dan qardh al hasan. Akad murabahah adalah suatu perjanjian antara bank dengan nasabah dalam bentuk pembiayaan pembelian atas sesuatu barang yang dibutuhkan oleh nasabah.

Obyeknya bisa berupa barang modal seperti mesin-mesin industri, maupun barang untuk kebutuhan sehari-hari seperti motor.26

1) Produk Penyaluran Dana

Menyalurkan dana pada nasabah secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu:

23 Nofinawati, “Perkembangan Perbankan Syariah Di Indonesia,” JURIS 14, no. 2 (2015):

173.

24 Fahrur Ullum, Perbankan Syariah Di Indonesia, (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2011), Hal.87.

25 Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009), Cet-Ke 2. Hal., 80.

26 Ibid., Hal. 106.

a) Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli,

b) Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa, dan

c) Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.27

Didalam produk penyaluran dana terdapat 4 prinsip, yaitu prinsip jual beli, prinsip sewa, prinsip bagi hasil, dan akad pelengkap.

a) Prinsip jual beli

(1) Pembiayaan Murabahah

Murabahah atau ribhu (keuntungan) adalah transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya.

Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Dalam perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.28

(2) Salam

Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjual belikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai penjual.

(3) Istishna

Pada produk istishna hampir menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istishna dalam bank syariah umunya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.

b) Prinsip Sewa (Ijarah)

27 Fahrur Ullum, Perbankan Syariah Di Indonesia, (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara, 2011), Hal.88.

28 Ibid., Hal. 90.

Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat.

Jadi, pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya.

Apabila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa. Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Oleh karena itu, dalam perbankan syariah dikenal ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan perpindahannya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.

c) Prinsip Bagi Hasil (Syirkah) (1) Musyarakah

Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.

(2) Mudharabah

Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.

Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100%

modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib.

d) Akad Pelengkap

Pada akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Didalam akad pelengkap ini diperbolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk

melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul. Yang termasuk akad pelengkap ini diantaranya yaitu hiwalah (alih utang piutang), rahn (gadai), qardh (pinjaman uang), wakalah (perwakilan), kafalah (garansi bank).29

2) Produk penghimpunan dana dari masyarakat (Funding)

Pendekatan yang dilakukan Keynes yang mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang untuk tiga kegunaan, yaitu transaksi, cadangan (jaga-jaga) dan investasi. Oleh karena itu produk penghimpunan dana pun disesuaikan dengan tiga fungsi itu, yaitu berupa giro, tabungan, dan deposito.30 Berdasarkan UU No 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, menurut Sutan Remy Sjahdeini, telah ditetapkan bahwa bank-bank syariah Indonesia yang terdiri atas bank yang sepenuhnya melaksanakan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan bank konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah melalui UUS yang dimilikinya, tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang melanggar prinsip syariah. Pada prinsipnya penghimpunan dana hampir sama dengan bank konvensional, maksudnya adalah dalam system perbankan syariah dikenal produk- produk berupa giro (demand deposit), tabungan (saving deposit), deposito (time deposit), sebagai sarana untuk penghimpunan dana masyarakat.31

Perbedaannya adalah bahwa didalam sistem perbankan syariah tidak dikenal adanya bunga sebagai kontraprestasi terhadap nasabah deposan, melainkan melalui mekanisme bagi hasil dan bonus yang bergantung pada jenis produk yang dipilih oleh nasabah.32 Jenis-jenis produk perbankan syariah yang ditawarkan di bidang penghimpunan

29 Ibid., 102.

30 Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah Teori Dan Praktik, Cetakan ke. (Jakarta:

Gema Isnani, 2001).

31 Khotibul Umam Dan Setiawan Budi Utomo, Perbankan Syariah Dasar-Dasar Dan Dinamika Perkembangannya Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016), 79.

32 Ibid., Hal 79.

dana dari masyarakat (funding) hampir sama dengan produk funding yang ada di bank konvensional. Nama-nama produk tersebut sama-sama bernama giro, tabungan dan deposito. Tetapi perbedaannya ada pada kontrak dan konsep panduan yang diterapkan. Hasilnya, masyarakat menerima berbagai manfaat.

a) Giro syariah

Giro adalah deposit bank yang dapat ditarik kapan saja menggunakan cek, bilyet giro, berbagai metode pay order, atau dengan pemindah bukuan. Giro syariah merupakan nama produk giro yang ada di bank syariah. Giro yang mengikuti hukum syariah dikenal sebagai giro syariah. Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menunjukkan bahwa giro yang dibenarkan oleh syariah dikelola sesuai dengan prinsip wadiah dan mudharabah.33

(1) Giro Wadiah

Pengertian giro wadiah adalah simpanan atau titipan pihak ketiga pada bank yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat tanpa pemberitahuan sebelumnya kepada bank dengan menggunakan cek, bilyet giro, kuitansi, ataupun alat perintah lainnya.34 Dalam akad wadiah yad dhamanah yang dikenal dengan giro wadiah, bank diperbolehkan menggunakan dana nasabah yang terkumpul selama tidak ditarik untuk melakukan kegiatan jangka pendek yang bertujuan untuk menghasilkan keuntungan. Karena sifat jangka pendeknya, bank sering tidak menggunakan dana ini untuk pembiayaan bagi hasil. Bank adalah pemilik sah dari keuntungan yang dihasilkan dengan menggunakan uang ini.35

(2) Giro Mudharabah

33 Nofinawati Nofinawati, “Akad Dan Produk Perbankan Syariah,” FITRAH:Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Keislaman 8, no. 2 (2014): 219.

34 Agung Eko Purwarna, Perbankan Syari’ah (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009).

35 Nofinawati, “Akad Dan Produk Perbankan Syariah.” 224.

Giro yang dijalankan dengan prinsip mudharabah disebut sebagai giro mudharabah. Baik mudharabah mutlaqah maupun mudharabah muqayyadah merupakan penerapan dari prinsip mudharabah. Perbedaan mendasar antara kedua jenis mudharabah tersebut adalah apakah bank tersebut diwajibkan oleh pemilik dana untuk mengelola dana tersebut dari segi waktu, lokasi, dan tujuan investasi atau tidak. Dalam skenario ini, klien mengambil peran sebagai shahibul maal sementara bank syariah mengambil peran sebagai mudharib (pemilik dana).36

b) Tabungan Wadiah

Tabungan adalah simpanan yang hanya dapat ditarik dalam kondisi tertentu dan tidak dapat ditarik menggunakan uang, giro cek/bilyet, atau alat lain yang setara dengan itu. Tabungan wadiah adalah simpanan yang hanya dapat ditarik dalam kondisi tertentu dan tidak dapat ditarik menggunakan cek atau alat yang dapat dibandingkan dengan yang satu. Kontrak wadiah, di sisi lain, adalah transaksi di mana uang atau barang dipercayakan kapan saja.37

c) Tabungan Mudharabah

Mudharabah adalah sejenis perkongsian di mana pihak pertama (shahibul al'mal) menyumbangkan uang dan pihak kedua (mudharib) bertugas menjalankan perusahaan. Tujuan mudharabah adalah untuk menciptakan kemitraan antar pemilik aset (modal) sehingga tidak ada peluang bagi perusahaan untuk dilakukan sendiri dengan orang-orang yang memiliki pengalaman di sektor ini tetapi kekurangan modal.38

d) Deposito Syariah

Deposito adalah barang-barang yang diproduksi bank dan

36 Ibid. 225.

37 Wiroso, Produk Perbankan Syariah, Revisi 201. (Jakarta Barat: LPFE Usakti, 2007).

38 Ibid.140.

sebenarnya diperuntukkan untuk digunakan sebagai investasi dalam bentuk surat berharga, memungkinkan penerapan konsep mudharabah dalam perbankan syariah.39

3) Produk Jasa

Produk bank syariah pada bidang jasa ini merupakan salah satu sektor pendapatan yang saat ini dikembangkan oleh bank-bank syariah.

Berbagai produk baru dikeluarkan oleh bank dengan terlebih dahulu pihak bank meminta fatwa dari DSN. Pengeluaran produk baru sebagaimana dimaksud juga memerlukan izin dari Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas perbankan. Melalui metode rekayasa keuangan islami (Islamic financial engineering method) ternyata dapat menghasilkan berbagai produk yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dibidang keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah.40

Dalam rangka memberikan pengaturan terhadap produk-produk perbankan syariah, Bank Indonesia telah mengeluarkan PBI No.

10/17/PBI/2008 tentang Produk Bank Syariah Dan Unit Usaha Syariah.

Latar belakang munculnya PBI ini antara lain karena perkembangan dan kelangsungan usaha bank tergantung dari kemampuan bank dalam melakukan inovasi produk dan jasa Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah harus tetap mengacu kepada prinsip syariah dan prinsip kehati- hatian. Produk perbankan syariah di bidang jasa didasarkan pada akad- akad yang sudah dikenal dalam islam, antara lain hiwalah, wakalah, kafalah, sharf dan sebagainya.41 Berikut ini adalah penjelasan dari produk-produk jasa:

a) Sharf (jual beli valuta asing) pada prinsipnya jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukannya harus dilakukan pada waktu

39 Ibid. 140.

40 Khotibul Umam Dan Setiawan Budi Utomo, Perbankan Syariah Dasar-Dasar Dan Dinamika Perkembangannya Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2016), 155.

41 Ibid., 156.

yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.

b) Ijarah (sewa) jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposito box) dan jasa tata laksana administrasi dokumen (custodian). Bank mendapat imbalan sewa dari jasa tersebut.42

c) Hiwalah (pengalihan utang) maksud dari hiwalah ini adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah islam hiwalah merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal ‘alaih atau orang yang berkewajiban membayar utang. Menurut Zainul Arifin hiwalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Maka dari itu, didalamnya terdapat tiga pihak, yaitu pihak berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal atau da’in), dan pihak yang menerima tambahan (muhal ‘alaih). Hiwalah dibedakan menjadi beberapa jenis. Hanafi membedakan hiwalah ini menjadi dua jenis, yaitu:

(1) Hiwalah Mutlaqah adalah seseorang memindahkan utangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan utang yang ada pada orang itu. Menurut ketiga mahzab lain kalau muhal ala’ih tidak punya utang kepada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah dan ini harus dengan keridhaan tiga pihak.

(2) Hiwalah Muqayyadah, adalah seseorang memindahkan utang dan mengaitkan dengan piutang yang ada padanya. Inilah hiwalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakan para ulama.43 d) Kafalah (meminjam/utang kepada orang lain) maksud dari kafalah ini

adalah kegiatan meminjam/utang kepada orang lain biasanya diminta untuk memberikan jaminan bahwa ia di kemudian hari pasti

42 Rosyidah, Nizar, and Khoirul Huda, “Analisis Pengetahuan Nasabah Tentang Produk Perbankan Syariah (Studi Pada Bank Muamalat KCP Malang Kepanjen).”, Hal 168.

43 Ibid., Hal 157.

membayar utangnya tersebut. Untuk itu, jaminan barangnya berupa barang bergerak dengan sistem gadai atau fiducia, menjaminkan barang yang tidak bergerak dengan hipotik atau hak tanggungan.

Selain itu, juga dapat meminta orang lain untuk menjadi penjamin atas utang-utangnya. Dalam perjanjian pertanggungan utang disyaratkan adanya kafiil, ashiil, makfullaahu dan makfulbihi. Kafiil adalah orang yang wajib melakukan penanggungan, sedangkan ashiil adalah orang yang berutang dan membutuhkan seorang penanggung.

Sedangkan, makfullaahu yaitu orang yang memberikan utang, yang tentu saja harus dikenal oleh kafiil. Sedangkan, makfulfihi adalah sesuatu yang dijadikan jaminan atau tanggungan, baik berupa jaminan kebendaan ataupun jaminan perorangan. Menurut M. syafi’i Antonio al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggug. Dengan pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.

e) Wakalah (pemberi kuasa). Wakalah merupakan suatu perjanjian dimana seseorang mendelegasikan atau menyerahkan sesuatu wewenang (kekuasaan) kepada seseorang yang lain untuk menyelenggarakan sesuatu urusan dan orang lain tersebut menerimanya, dan melaksanakannya untuk dan atas nama pemberi kuasa. Sayyid Sabiq dalam buku Fikih Sunah 13 mendefinisikan wakalah sebagai pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang dapat diwakilkan. Pemberian kuasa ini tentu saja ada yang sifatnya sukarela, pun ada yang sifatnya profit, dengan pemberian semacam upah/fee kepada pihak yang menerima kuasa.

Namun, dalam praktik biasanya pemberian kuasa dilaksanakan dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya.44

44 Ibid., Hal 168.

f) Gadai (Rahn). Menurut syariah rahn adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan ditarik kembali. Selain itu, rahn juga dapat diartikan menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syariah sebagai jaminan utang, sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utangnya semuanya atau sebagian. Dengan kata lain, rahn adalah akad berupa menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak lain, dengan utang sebagai gantinya.45