1 LAPORAN
PERANCANGAN IRIGASI DAN BANGUNAN AIR
Disusun Oleh:
I Made Awidyattama Jayaditha 2205511130
PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA 2025
i LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PERANCANGAN IRIGASI DAN BANGUNAN AIR
Dosen Pengampu dan Pembimbing
Perancangan Irigasi dan Bangunan Air
Dr. Ir. I Gusti Ngurah Kerta Arsana, MT NIP. 196410131991031002
PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA 2025
ii KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Perancangan Irigasi dan Bangunan Air ini tepat pada waktunya. Laporan ini disusun guna melengkapi tugas mata kuliah Perancangan Irigasi dan Bangunan Air pada Program Studi Sarjana Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana.
Dalam proses penyusunan laporan ini, penulis menyadari bahwa banyak tantangan dan keterbatasan yang dihadapi. Namun, berkat dukungan, bimbingan, serta bantuan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak Dr. Ir. I Gusti Ngurah Kerta Arsana, MT. selaku dosen pengampu mata kuliah Perancangan Irigasi dan Bangunan Air, yang telah memberikan bimbingan, ilmu, serta masukan berharga selama proses penyusunan laporan.
2. Semua pihak yang telah memberikan dukungan, informasi, motivasi, serta bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
Dalam pembuatan laporan ini, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu sangat diharapkan saran maupun kritik yang sifatnya membangun dari pembaca, sebagai bahan pertimbangan dan penyempurnaan laporan ini dimasa mendatang.
Badung, 25 Maret 2025
Penulis
iii DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vi
BAB I ... 1
PENDAHULUAN ... 1
1.1 Umum ... 1
1.2 Maksud dan Tujuan... 2
1.3 Referensi ... 2
1.4 Lingkup Materi ... 3
BAB II ... 5
STUDI PUSTAKA ... 5
2.1 Pengertian Bendung ... 5
2.2 Data Hidrologi ... 5
2.2.1 Debit Banjir ... 6
2.2.2 Debit Andalan ... 6
2.2.1 Neraca Air ... 7
2.3 Debit Banjir Rencana (Tahapan Analisis) ... 8
2.3.1 Curah Hujan ... 8
2.3.2 Daerah Aliran Sungai ... 9
2.3.3 Teori perhitungan Curah Hujan Rencana ... 9
2.3.4 Teori Dasar Frekuensi ... 12
2.3.5 Teori Dasar Debit Banjir Rencana ... 18
2.4 Bangunan Utama/ Bendung ... 22
2.5 Intake/Bangunan Pengambilan ... 25
2.6 Saluran (Primer, Sekunder, Tersier) ... 27
2.7 Daerah Irigasi (DI) ... 30
2.8 Kantong Lumpur ... 31
2.9 Tahapan Perencanaan ... 33
2.9.1 Lebar Bendung ... 33
2.9.2 Perencanaan Mercu ... 35
2.9.3 Peredam Energi ... 43
2.9.4 Tekanan Air ... 47
2.9.5 Tekanan Lumpur ... 48
2.9.6 Gaya Gempa... 49
2.9.7 Berat Bangunan ... 49
iv
2.9.8 Reaksi Pondasi ... 50
2.9.9 Ketahanan terhadap Gelincir... 51
2.9.10 Ketahanan Terhadap Guling ... 53
2.9.11 Stabilitas Terhadap Erosi Bawah Tanah (Piping) ... 54
BAB III ... 59
PEMBAHASAN ... 59
3.1 Kapasitas Penampang Sungai ... 59
3.1.1 Data Perencanaan ... 59
3.1.2 Perhitungan Hidrolika Air Sungai ... 59
3.2 Hidraulika pada Bendung ... 70
3.2.1 Menentukan Bagian Muka (Up Stream) Bendung... 70
3.2.2 Menentukan Bagian Belakang (Down Stream) Bendung ... 71
3.2.3 Menentukan Koordinat Titik Singgung antara Garis Lengkung dengan Garis ... 72
3.2.4 Lengkung Mercu Spillway ... 73
3.2.5 Perencanaan Lantai Depan (Apron) ... 74
3.2.6 Menentukan panjang lantai muka dengan rumus Bligh ... 75
3.2.7 Menentukan Panjang Creep Line (Creep Length) ... 77
3.3 Stabilitas Bendung ... 78
3.3.1 Tekanan Air ... 78
3.3.2 Tekanan Lumpur ... 80
3.3.3 Tekanan Berat Sendiri Bendung ... 81
3.3.4 Gaya Gempa... 83
3.3.5 Gaya Angkat (Uplift Pressure)... 84
3.3.6 Kontrol Stabilitas Bendung ... 94
3.4 Intake dan Pintu Intake (Baja) ... 103
3.4.1 Perencanaan Pintu Pengambilan ... 106
3.4.2 Dimensi Saluran Primer ... 108
3.5. Pintu Pembilas ... 111
3.5.1 Pintu Terbuka Sebagian ... 112
3.5.2 Pintu Terbuka Penuh ... 113
3.5.3 Pembebanan dan Perencanaan Dimensi Pintu Pembilas ... 115
3.6. Kantong Lumpur ... 116
3.6.1 Perencanaan Kantong Lumpur ... 116
BAB IV PENUTUP ... 122
4.1. Simpulan ... 122
4.2. Saran ... 122
DAFTAR PUSTAKA ... 123
LAMPIRAN ... 124
iv DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Polygon Thiessen ... 10
Gambar 2. 2 Metode Isohyet ... 12
Gambar 2. 3Tipe Pintu Pengambilan ... 26
Gambar 2. 4 Geometri Bangunan Pengambilan ... 27
Gambar 2. 5Definisi Daerah-daerah Irigasi ... 31
Gambar 2. 6 Lebar Efektif Mercu ... 34
Gambar 2. 7Bentuk-bentuk Mercu ... 35
Gambar 2. 8Tekanan pada Mercu Bendung Bulat ... 36
Gambar 2. 9Harga-harga Koefisien C0 untuk Bendung Ambang Bulat ... 37
Gambar 2. 10Koefisien C1 sebagai Fungsi Perbandingan p/H1... 37
Gambar 2. 11Harga-harga Koefisien C2 untuk Bendung Mercu Tipe Ogee ... 38
Gambar 2. 12Faktor Pengurangan Aliran Tenggelam sebagai Fungsi H2/H1 ... 38
Gambar 2. 13Bentuk-bentuk Bedung Mercu Ogee (U.S.Army Corps of Engineers, Waterways Experimental Stasion) ... 39
Gambar 2. 14Faktor Koreksi untuk Selain Tinggi Energi Rencana pada Bendung Mercu Ogee (Menurut Ven Te Chow, 1959, Berdasarkan Data USBR dan WES) ... 40
Gambar 2. 15Faktor Pengurangan Aliran Tenggelam sebagai Fungsi p2/H1 dan H2/H1 ... 41
Gambar 2. 16Harga-harga Cv sebagai Fungsi Perbandingan Luas α1 Cd A*/A1 untuk Bagian Pengontrol Segi Empat (dari Bos, 1977) ... 42
Gambar 2. 17Potongan Hulu dan Tampak Depan Pengontrol ... 43
Gambar 2. 18 Peredam Energi ... 43
Gambar 2. 19 Peredam Energi Tipe Bak Tenggelam ... 44
Gambar 2. 20 Jari-jari Minimum Bak ... 45
Gambar 2. 21 Batas Minimum Tinggi Air Hilir ... 46
Gambar 2. 22 Batas Maksimum Tinggi Air Hilir 1 ... 46
Gambar 2. 23 Gaya Angkat untuk Bangunan yang Dibangun pada Pondasi Buatan ... 48
Gambar 2. 24 Unsur-unsur Persamaan Distribusi Tekanan pada Pondasi... 50
Gambar 2. 25 Tebal Lantai Kolam Olak ... 54
Gambar 2. 26 Metode Angka Rembesan Lane ... 55
Gambar 2. 27Ujung Hilir Bangunan; Sketsa Parameter-parameter Stabilitas ... 57
v
Gambar 3. 1 Rencana Bentuk Mercu Bendung ... 74
Gambar 3. 2 Teori Bligh ... 75
Gambar 3. 3 Rencana Creep Line ... 75
Gambar 3. 4 Tekanan Akibat Air Normal ... 79
Gambar 3. 11 Skema Bentuk Bangunan Pengambil (Intake) ... 104
Gambar 3. 12 Potongan Memanjang Perencanaan Pintu Pengambilan ... 105
Gambar 3. 13 Tampak Atas Perencanaan Pintu Pengambilan ... 106
Gambar 3. 14 Bidang Momen Beban Merata ... 107
Gambar 3. 15 Perencanaan Pintu Pengambilan ... 108
Gambar 3. 16 Sketsa rencana dimensi saluran sebelum kantong lumpur ... 110
Gambar 3. 17 Dimensi Saluran Primer ... 111
Gambar 3. 18 Pintu Pembilas Terbuka Sebagian... 113
Gambar 3. 19 Pintu Pembilas Terbuka Penuh ... 114
Gambar 3. 20 Kantong Lumpur ... 120
Gambar 3. 21 Penampang Melintang Kantong Lumpur ... 121
vi DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1Harga-harga Koefisien Ka dan Kp... 34
Tabel 2. 2Harga-harga K dan n ... 39
Tabel 2. 3 Harga-harga ξ ... 48
Tabel 2. 4 Harga-harga Perkiraan untuk Koefisien Gesekan ... 52
Tabel 2. 5Harga-harga Minimum Angka Rembesan Lane (CL) ... 56
Tabel 3. 1 Perhitungan Tinggi Muka Air Maksimum di Hilir Bendung ... 60
Tabel 3. 2 Perhitungan Tinggi Air di Atas Mercu Bendung ... 65
Tabel 3. 3 Perhitungan Tinggi Kecepatan Air Maksimum ... 66
Tabel 3. 4 Perhitungan Tinggi Energi (Air Terendah) pada Kolam Olakan ... 67
Tabel 3. 5 Ketinggian Energi pada Tiap Titik ... 69
Tabel 3. 6 Nilai P/H terhadap Kemiringan Muka Bendung... 70
Tabel 3. 7 Nilai k dan n Berbagai Kemiringan ... 71
Tabel 3. 8 Nilai x dan y Lengkung Mercu Spillway ... 73
Tabel 3. 9 Bagian Hilir Spillway dengan Kemiringan 1:1 ... 74
Tabel 3. 10 Nilai Koefisien (C) Teori Lane dan Bligh Berdasarkan Jenis Tanah ... 77
Tabel 3. 11Perhitungan Tekanan Air Normal ... 79
Tabel 3. 25 Tinggi Jagaan ... 108
Tabel 3.26 Harga-Harga Kekasaran Koefisien Strickler (K) Untuk Salurn-Saluran Irigasi Tanah... 116
Tabel 3. 27 Tinggi Aliran Kritis ... 119
1 BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Umum
Untuk meningkatkan dan mempertahankan swasembada pangan khususnya beras dan palawija yang merupakan kebutuhan pokok, maka pemerintah sejak PELITA II hingga saat ini telah membangun berbagai prasarana pengairan. Selanjutnya dalam rangka pemanfaatan irigasi yang telah dibangun perlu dilakukan usaha baik pemeliharaan jaringan irigasi, merehabilitasi jaringan irigasi yang fungsinya mulai berkurang, atau merencanakan irigasi teknis khususnya untuk menunjang lahan sawah yang masih berpola tadah hujan menjadi daerah irigasi teknis sehingga akan menambah luas lahan persawahan dan dapat meningkatkan pola tanam (crooping intensity).
Air merupakan sumber daya yang paling berharga diantara semua zat cair yang ada di muka bumi. Sampai saat ini belum ada zat cair dapat menjadi pengganti air yang dibutuhkan semua makhluk agar dapat bertahan hidup. Kelangkaan air di suatu tempat seringkali kita dengar dan saksikan betapa memprihatinkannya dampak akibat kelangkaan air. Banyak negara yang terus berjuang menghadapi kelangkaan air yang menimpa warganya selama bertaun-tahun demi menunjang kelangsungan hidup (Sukri, AS, 2020).
Air mempunyai nilai sosial dan ekonomi, pengelolaan sumber daya air merupakan proses dinamis yang mencakup kuantitas, kualitas dan kontinuitas yang dapat menimbulkan berbagai masalah maka ketersediaan air harus dikelola dengan bijak pada pendekatan terpadu dan menyeluruh. Ketersediaan air sangat tergantung pada faktor alam seperti kondisi iklim. Iklim sangat berpengaruh terhadap distribusi curah hujan disetiap daerah seperti Indonesia yang beriklim tropis dengan dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau dalam satu tahun (Anshori, 2017; Lensley et al, 1995; dalam Sukri. AS, 2020).
Ketersediaan air saat ini sudah mulai berkurang baik jumlah dan volumenya akibat pemanasan global yang berdampak pada kondisi ketersediaan air untuk keperluan pertanian. Global warming merupakan fenomena yang terjadi di bumi berupa peningkatan suhu rata-rata atmosfer sebagai akibat meningkatnya laju emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Pemanasan global terjadi karena proses alami (natural process) dan akibat kegiatan manusia (anthropogenic intervention).
2 Perubahan iklim menyebabkan musim hujan yang lebih pendek dengan intenditas hujan yang tinggi dapat menyebabkan kekeringan dan banjir. Proses secara dinamis dan terus menerus terutama pada sektor
pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung rentan terhadap perubahan iklim terkait faktor biofisik, genetik, dan manajemen. Dampak pada perubahan iklim seperti pola tanam, produksi pangan, pengembangan infrastruktur irigasi dan pengelolaan sistem irigasi sebagai penunjang pertanian terjadi peberuvahan sistem dan manajemen (Las, 2010; Boer, 2010; dalam Sukri. AS, 2020).
Untuk mendukung sistem irigasi yang efisien, dibutuhkan infrastruktur yang dapat memastikan ketersediaan air bagi lahan pertanian. Salah satu infrastruktur tersebut adalah bendung. Bendung adalah struktur yang dibangun melintasi aliran sungai dengan tujuan untuk menghalangi aliran tersebut, sehingga permukaan air sungai dapat naik dan mengalir ke saluran irigasi. Dengan adanya bendung, air dari sumber seperti sungai dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan air tanaman, sehingga irigasi bagi lahan pertanian dapat berjalan dengan lebih baik.
Dengan demikian, melalui Laporan Perancangan Irigasi dan Bangunan Air ini, diharapkan mahasiswa dapat merencanakan bendung dengan tepat sesuai dengan ketentuan yang ada, serta memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan sistem irigasi dan peningkatan produktivitas pertanian.
1.2 Maksud dan Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan laporan perencanaan bendung ini meliputi :
1. Dapat merencanakan bangunan bendung yang efektif dan efisien dalam mengatur aliran air irigasi.
2. Mengetahui syarat-syarat perencanaan bendung yang sesuai dengan standar teknis dan lingkungan.
3. Untuk mengetahui faktor – faktor yng mempengaruhi stabilitas lereng
4. Agar mengetahui tahapan- tahapan dalam merencanakan dan membuat bangunan bending.
1.3 Referensi
Adapun referensi yang digunakan penulis dalam Laporan Perancangan Irigasi dan Bangunan Air sebagai berikut:
3 a) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. 2013. “Standard Perencanaan Irigasi. Kriteria
Perencanaan Bagian Bangunan Utama (Headworks) KP-02,” 240.
b) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. 1986. Standar Perencanaan Irigasi: Kriteria Perencanaan Bagian Jaringan Irigasi KP-01. Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. 269 hal.
c) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. 1986. Standar Perencanaan Irigasi: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan Utama KP-02. Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. 273 hal.
d) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. 1986. Standar Perencanaan Irigasi: Kriteria Perencanaan Bagian Saluran KP-03. Departemen Pekerjaan Umum, Bandung. 186 hal.
e) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air. 1986. Standar Perencanaan Irigasi: Kriteria Perencanaan Bagian Bangunan KP-04. Departemen Pekerjaan Umum, Bandung.
252 hal.
f) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Standar Perencanaan Irigasi Tahun 2010 Kriteria Perencanaan Bagian Petak Tersier KP-05
g) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Standar Perencanaan Irigasi Tahun 2010 Kriteria Perencanaan Bagian Parameter Bangunan KP-06
h) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Standar Perencanaan Irigasi Tahun 2010 Kriteria Perencanaan Bagian Standar Penggambaran KP-07
i) Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Standar Perencanaan Irigasi Tahun 2010 Kriteria Perencanaan Bagian Standar Pintu Pengatur Air Irigasi : Perencanaan, Pemasangan, Operasi dan Pemeliharaan KP-08
1.4 Lingkup Materi
Adapun lingkup materi dalam Laporan Perancangan Irigasi dan Bangunan Air ini sebagai berikut:
a) Pengertian b) Data Hidrologi
c) Debit Banjir Rencana (Tahapan Analisis) d) Bangunan Utama/Bendung
e) Intake/Bangunan Pengambilan
4 f) Saluran (Primer, Sekunder, Tersier)
g) Daerah Irigasi (DI) h) Kantong Lumpur i) Tahapan Perencanaan
5 BAB II
STUDI PUSTAKA 2.1 Pengertian Bendung
Bendung adalah suatu struktur teknik yang dibangun di aliran sungai, kanal, atau saluran air untuk mengatur atau mengalihkan aliran air. Fungsi utama dari bendung adalah untuk mengendalikan volume dan ketinggian air yang melintas, serta menjaga agar aliran air tetap terjaga dalam batas yang diinginkan. Bendung juga berfungsi untuk mengalirkan air ke saluran-saluran irigasi, menyediakan cadangan air bagi berbagai keperluan, seperti pertanian, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan penyediaan air bersih.
Bendung dapat berupa struktur permanen atau sementara, tergantung pada tujuan dan kondisi lokasi. Secara umum, bendung terdiri dari beberapa komponen, seperti bagian yang menahan air (dinding bendung), bagian yang mengatur aliran air (pintu air), serta sistem untuk mengalirkan air berlebih (saluran pembuangan). Tipe bendung juga dapat bervariasi, mulai dari bendung gravitasi (yang mengandalkan berat untuk menahan air), bendung pelimpah, hingga bendung yang dilengkapi dengan mesin pengatur aliran.
Selain itu, bendung juga memiliki peran dalam mitigasi bencana, seperti mengurangi risiko banjir dengan mengontrol laju aliran air saat musim hujan, serta dalam penyediaan energi melalui pembangkit listrik tenaga air. Bentuk dan desain bendung akan disesuaikan dengan karakteristik geografis dan kebutuhan di setiap lokasi.
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa bendung adalah bangunan melintang sungai yang berfungsi untuk meninggikan muka air Sungai sehingga air bisa disadap dan dialirkan ke saluran lewat bangunan pengambilan (intake structure).
2.2 Data Hidrologi
Data hidrologi adalah informasi yang berkaitan dengan peristiwa dan fenomena yang terjadi pada perairan, termasuk aliran air di sungai, curah hujan, kelembaban tanah, penguapan, serta pergerakan air dalam siklus hidrologi di atmosfer, permukaan tanah, dan bawah tanah. Data ini penting untuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya air, seperti dalam irigasi, penyediaan air bersih, pembangkit listrik tenaga air, pengendalian banjir, serta konservasi sumber daya alam. Jenis data hidrologi meliputi curah hujan, debit sungai,
6 tinggi permukaan air tanah, penguapan, transpirasi, dan penggunaan air, yang diperoleh melalui pengamatan lapangan dan teknologi seperti alat ukur dan penginderaan jauh. Data ini digunakan untuk memahami pola aliran air, memprediksi potensi bencana, dan membantu pengelolaan sumber daya air yang efisien dan berkelanjutan.
2.2.1 Debit Banjir
Debit banjir adalah jumlah air yang mengalir melalui suatu saluran atau sungai selama peristiwa banjir, yang biasanya diukur dalam satuan volume per waktu, seperti meter kubik per detik (m³/detik). Debit banjir menggambarkan seberapa besar aliran air yang terbentuk akibat hujan deras, meluapnya sungai, atau adanya faktor lain yang menyebabkan terjadinya banjir. Pada umumnya, debit banjir lebih besar daripada debit normal karena adanya penambahan volume air yang berasal dari curah hujan intensif, aliran air dari daerah hulu, atau saluran yang tidak mampu menampung kapasitas air yang datang.
Perhitungan debit banjir sangat penting dalam perencanaan dan desain infrastruktur pengendalian banjir, seperti bendungan, tanggul, atau saluran drainase. Debit banjir juga digunakan untuk memperkirakan tingkat kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh banjir, serta untuk merencanakan sistem peringatan dini dan evakuasi di daerah yang rawan banjir. Dalam analisis hidrologi, debit banjir dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti luas daerah tangkapan air, curah hujan, kondisi tanah, penggunaan lahan, serta kemampuan saluran untuk mengalirkan air. Dengan memprediksi debit banjir, pemerintah dan pihak terkait dapat mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi risiko dan dampak negatif dari bencana banjir. Adapaun data-data yang diperlukan untuk perencanaan bangunan utama adalah:
1. Data untuk menghitung berbagai besaran banjir rencana.
2. Data untuk menilai debit rendah andalan.
3. Data untuk membuat neraca air sungai secara keseluruhan.
2.2.2 Debit Andalan
Debit andalan adalah debit air yang dapat diandalkan atau diperkirakan secara konsisten untuk dapat memenuhi kebutuhan tertentu dalam periode waktu yang lebih lama, biasanya dalam konteks pengelolaan sumber daya air. Debit ini diukur dalam satuan volume per waktu, seperti meter kubik per detik (m³/detik), dan sering digunakan sebagai acuan untuk
7 merencanakan dan mendesain sistem irigasi, penyediaan air bersih, atau pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Debit andalan dihitung berdasarkan data hidrologi jangka panjang yang mencakup pola aliran air pada suatu sungai atau saluran, termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan air sepanjang tahun, seperti curah hujan dan musim kemarau.
Dalam pengelolaan sumber daya air, debit andalan sangat penting untuk memastikan bahwa pasokan air yang tersedia cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, pertanian, atau industri tanpa menimbulkan kekurangan atau pemborosan. Debit andalan biasanya dipilih berdasarkan tingkat keandalan tertentu, misalnya, debit yang tercapai pada 75% atau 95% waktu dalam setahun, yang berarti debit tersebut dapat diharapkan tersedia pada periode tersebut tanpa terganggu. Perhitungan debit andalan juga mempertimbangkan fluktuasi alami dari aliran air yang terjadi karena faktor iklim dan cuaca. Dengan mengetahui debit andalan, perencana dan pengelola sumber daya air dapat membuat kebijakan yang lebih baik dalam penggunaan dan konservasi air yang berkelanjutan.
2.2.1 Neraca Air
Neraca air adalah suatu alat atau sistem yang digunakan untuk menghitung dan mengukur aliran air masuk dan keluar dari suatu wilayah atau sistem perairan dalam periode waktu tertentu. Neraca air bertujuan untuk mencatat seluruh komponen yang terlibat dalam siklus hidrologi, seperti curah hujan, penguapan (evaporasi), aliran sungai, infiltrasi (penyerapan air ke dalam tanah), dan perubahan volume air tanah. Dengan menggunakan neraca air, kita bisa mengetahui sejauh mana pasokan air di suatu daerah dapat mencukupi kebutuhan, serta mengidentifikasi potensi kekurangan atau surplus air. Neraca air terdiri dari beberapa komponen utama, yaitu:
1. Input air, yang mencakup curah hujan, aliran air dari luar wilayah (seperti sungai atau saluran), dan infiltrasi.
2. Output air, yang mencakup evaporasi, transpirasi oleh tanaman, aliran air keluar (seperti melalui sungai atau drainase), dan perubahan volume air tanah.
3. Perubahan cadangan air, yang menunjukkan apakah jumlah air di daerah tersebut bertambah atau berkurang selama periode tertentu.
8 Melalui perhitungan neraca air, kita dapat mengevaluasi ketersediaan air untuk kebutuhan pertanian, industri, domestik, serta dampak dari perubahan iklim dan penggunaan lahan terhadap sumber daya air. Neraca air sangat penting dalam perencanaan pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan, terutama di daerah-daerah yang rentan terhadap kekeringan atau banjir.
2.3 Debit Banjir Rencana (Tahapan Analisis)
Pemilihan banjir rencana untuk bangunan air adalah suatu masalah yang sangat bergantung pada analisis statistik dari urutan kejadian banjir baik berupa debit air di sungai maupun hujan. Dalam pemilihan suatu teknik analisis penentuan banjir rencana tergantung dari data-data yang tersedia dan macam dari bangunan air yang akan dibangun (Soewarno, 1995). Adapun langkap-langkah dalam analisis debit rencana adalah sebagai berikut:
Menentukan Daerah Aliran Sungai (DAS) beserta luasnya dan STA penakar hujan di sekitarnya.
Menentukan luas pengaruh daerah stasiun-stasiun penakar hujan.
Menentukan curah hujan maksimum tiap tahunnya dari data curah hujan yang ada.
Menganalisis curah hujan rencana dengan periode ulang T tahun.
Menghitung debit banjir rencana berdasarkan besarnya curah hujan rencana di atas pada periode ulang T tahun.
2.3.1 Curah Hujan
Curah hujan adalah pengukuran jumlah air yang jatuh ke permukaan bumi dalam bentuk hujan selama periode tertentu. Curah hujan diukur dalam satuan milimeter (mm) per waktu tertentu, seperti per jam, per hari, atau per bulan, menggunakan alat yang disebut rain gauge. Data curah hujan sangat penting dalam berbagai aspek, seperti untuk memprediksi ketersediaan air, merencanakan sistem irigasi pertanian, serta dalam perencanaan infrastruktur yang mampu mengatasi potensi banjir. Informasi curah hujan juga membantu dalam memantau perubahan iklim dan tren cuaca di suatu daerah. Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan area dan dinyatakan dalam mm (Sosrodarsono, 2003).
9 Untuk memperoleh data curah hujan, maka diperlukan alat untuk mengukur yaitu penakar hujan dan pencatat hujan. Data curah hujan diperoleh dari stasiun- stasiun sekitar lokasi bendung dimana stasiun hujan tersebut masuk dalam DAS.
2.3.2 Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (DAS) atau yang sering disebut sebagai catchment area, basin, atau watershed, merujuk pada seluruh wilayah di mana air hujan yang jatuh akan mengalir menuju sungai tertentu. Aliran air ini mencakup tidak hanya air permukaan yang mengalir dalam sungai, tetapi juga aliran yang mengalir di lereng-lereng bukit menuju sungai tersebut. Daerah aliran sungai biasanya dibatasi oleh garis topografi, yang artinya batasnya ditentukan berdasarkan aliran air permukaan, bukan air bawah tanah, karena permukaan air tanah dapat berubah tergantung pada musim dan tingkat penggunaan (Sri Harto, 1993).
2.3.3 Teori perhitungan Curah Hujan Rencana
Dalam penentuan curah hujan, data dari pencatat atau penakar hanya didapatkan curah hujan di suatu titik tertentu (point rainfall). Jika di dalam suatu areal terdapat beberapa alat penakar atau pencatat curah hujan, maka dapat diambil nilai rata-rata untuk mendapatkan nilai curah hujan areal. Untuk mendapatkan harga curah hujan areal dapat dihitung dengan beberapa metode:
a) Metode Rata-rata Aljabar
Metode perhitungan dengan mengambil nilai rata-rata hitung (arithmetic mean) pengukuran curah hujan di stasiun hujan di dalam area tersebut.
Metode ini akan memberikan hasil yang dapat dipercaya jika topografi rata atau datar, stasiun hujan banyak dan tersebar secara merata di area tersebut serta hasil penakaran masing-masing stasiun hujan tidak menyimpang jauh dari nilai rata- rata seluruh stasiun hujan di seluruh area.
Rumus:
𝑅 =𝑅 + 𝑅 + ⋯ + 𝑅 𝑛
10 (Suyono Sosrodarsono dan Kensaku Takeda, 2003, hal:27)
Dimana:
R = Curah hujan rata-rata DAS (mm)
R1, R2, Rn = Curah hujan pada setiap stasiun hujan (mm) n = Banyaknya stasiun hujan
b) Metode Thiessen
Cara ini berdasarkan atas rata-rata timbang (weighted average). Masing- masing penakar mempunyai daerah pengaruh yang dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua pos penakar.
Rumus:
(CD. Soemarto, 1999, hal:11)
Persamaan di atas dapat ditulis menjadi persamaan di bawah ini:
R = R1. C1 + R2. C2 + ⋯ + Rn. Cn
Dimana:
R = Curah hujan rata-rata DAS (mm)
R1, R2, Rn = Curah hujan pada setiap stasiun hujan (mm) A1, A2, An = Luas daerah pengaruh dari stasiun hujan (km2)
Gambar 2. 1 Polygon Thiessen
11 Metode Thiessen dipandang cukup baik karena memberikan koreksi terhadap kedalaman hujan sebagai fungsi luas daerah yang diwakili. Akan tetapi, metode ini dipandang belum memuaskan karena pengaruh topografi tidak nampak. Demikian juga apabila ada salah satu stasiun hujan tidak berfungsi, misalnya rusak atau data tidak benar, maka polygon harus diubah (Sri Harto, 1993).
c) Metode Isohyet
Pada metode ini, dengan data curah hujan yang ada dibuat garis-garis yang merupakan daerah yang mempunyai curah hujan yang sama (isohyet), seperti Gambar 2.2, kemudian luas bagian di antara isohyet-isohyet yang berdekatan diukur, dan harga rata-ratanya dihitung sebagai rata-rata timbang dari nilai kontur, kemudian dikalikan dengan masing-masing luasnya. Hasilnya dijumlahkan dan dibagi dengan luas total daerah, maka akan didapat curah hujan areal yang dicari.
Rumus:
(CD. Soemarto, 1999, hal: 11) Dimana :
R = Curah hujan rata-rata DAS (mm)
R1, R2, Rn = Curah hujan pada setiap stasiun hujan (mm)
12 A1, A2, An = Luas daerah pengaruh dari stasiun hujan (km2)
Cara ini adalah cara yang paling teliti untuk mendapatkan hujan daerah rata- rata, tetapi memerlukan jaringan pos penakar yang relatif lebih padat. Pada saat menggambar garis-garis isohyet, sebaiknya juga memperhatikan pengaruh bukit atau gunung terhadap distribusi hujan (Sosrodarsono Suyono, 2010).
2.3.4 Teori Dasar Frekuensi
Dari curah hujan rata-rata dari berbagai stasiun yang ada di daerah aliran sungai, selanjutnya dianalisis secara statistic untuk mendapatkan pola sebaran data curah hujan yang sesuai dengan pola sebaran data curah hujan rata-rata.
2.3.4.1 Pemilihan Jenis Sebaran
Ada berbagai macam distribusi teoritis yang keseluruhan dapat dibagi menjadi dua yaitu distribusi diskrit dan distribusi kontinyu. Yang diskrit adalah binomial dan poisson, sedangkan yang kontinyu adalah normal, log normal, pearson dan gumbel (CD. Soemarto, 1999). Berikut ini adalah beberapa macam distribusi yang sering digunakan untuk menganalisis probabilitas banjir, yaitu:
a) Distribusi Normal
Dalam analisis hidrologi, distribusi normal sering digunakan untuk menganalisis frekuensi curah hujan, analisis statistik dari distribusi curah hujan tahunan, debit rata-rata tahunan. Sebaran normal atau kurva normal disebut pula sebaran Gauss. Rumus yang digunakan
Gambar 2. 2 Metode Isohyet
13 dalam perhitungan adalah:
(Soewarno, 1995, hal: 107) Dimana:
P (X) = Nilai logaritmik dari X atau log (X)
= 3,14156 e = 2,71828
X = Variabel acak kontinu
= Rata-rata nilai X = Standar deviasi nilai X b) Distribusi Log Normal
Distribusi Log Normal merupakan hasil transformasi dari distribusi normal, yaitu dengan mengubah varian X menjadi nilai logaritmik varian X. Distribusi ini dapat diperoleh juga dari distribusi log pearson type III, apabila nilai koefisien kemencengan Cs = 0,00. Metode log normal apabila digambarkan pada kertas peluang logaritmik akan merupakan persamaan garis lurus (Soewarno, 1995):
Dimana:
XT = Curah hujan dengan periode ulang T tahun (mm) x̅ = Harga rata-rata curah hujan (mm)
Sd = Standar deviasi (simpangan baku)
k = Nilai variabel reduksi Gauss periode ulang T tahun c) Distribusi Gumbel Type 1
Distribusi Gumbel Type 1 digunakan untuk analisis data maksimum, misalnya untuk analisis frekuensi banjir.
14 Hubungan antara periode ulang T dengan YT dapat dihitung dengan rumus:
Untuk T20, maka: Y = ln T
(CD. Soemarto, 1999, hal: 11) Dimana:
XT = Nilai hujan rencana dengan data ukur T tahun x̅ = Nilai rata-rata hujan
S = Standar deviasi (simpangan baku)
YT = Nilai reduksi variat (reduced variate) dari variabel yang diharapkan terjadi pada periode ulang T tahun Yn = Nilai rata-rata dari reduksi variat (reduce mean),
nilainya tergantung dari jumlah data (n)
Sn = Deviasi standar dari reduksi variat (reduced standart
deviation), nilainya tergantung dari jumlah data (n). Nilai Yn
dan Sn
d) Distribusi Log Pearson Type III
Distribusi Log Pearson Type III digunakan dalam analisis hidrologi, terutama dalam analisis data maksimum (banjir) dan minimum (debit minimum) dengan nilai ekstrim. Bentuk sebaran log pearson type III merupakan hasil transformasi dari sebaran log pearson type III dengan menggantikan variat menjadi nilai logaritmik. Langkah-langkah perhitungannya adalah sebagai berikut (CD. Soemarto, 1999):
1. Mengubah data curah hujan sebanyak n buah X1, X2, X3, … , Xn
15 menjadi log(X1) , log(X2) , log(X3) , … , log(Xn).
2. Menghitung harga rata-ratanya dengan rumus:
∑n log(Xi) log (X) = i−1
n Dimana:
log (x̅) = Harga rata-rata logaritmik n = Jumlah data
Xi = Nilai curah hujan tiap-tiap tahun (R24 maks) 3. Menghitung harga standar deviasinya dengan rumus berikut:
Dimana:
S = Standar deviasi
4. Menghitung koefisien skewness (Cs) dengan rumus:
∑𝑛 (log(X) − log(x̅))3 Cs = 𝑖−1
(n − 1)(n − 2)S3 Dimana:
Cs = Koefisien skewness
5. Menghitung logaritma hujan rencana dengan periode ulang T tahun dengan rumus:
log Y = log x̅ + k. S Xt = 10(log Y) Dimana:
Xt = Curah hujan rencana periode ulang T tahun k = Harga yang diperoleh berdasarkan nilai Cs S = Standar deviasi
Distribusi log pearson type III mempunyai koefisien kemencengan (coefficient of skewness) atau Cs ≠ 0. Setelah pemilihan jenis sebaran dilakukan, maka prosedur selanjutnya yaitu mencari curah hujan rencana periode ulang 2, 5, 10, 25,
16 50, dan 100 tahun (Soewarno,
1995).
2.3.4.2 Pengujian Kecocokan
Pengujian kecocokan sebaran ini digunakan untuk menguji sebaran data apakah memenuhi syarat untuk data perencanaan. Pengujian kecocokan sebaran ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu Chi- square ataupun dengan Kolmogorov-Smirnov. Umumnya pengujian dilaksanakan dengan cara menggambarkand ata pada kertas peluang dan menentukan apakah data tersebut merupakan garis lurus, atau dengan membandingkan kurva frekuensi dari data pengamatan terhadap kurva frekuensi teoritisnya (Soewarno, 1995).
a) Uji Keselarasan Distribusi/Chi-square
Uji keselarasan distribusi ini digunakan pengujian Chi-square yang dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi peluang yang telah dipilih dapat mewakili dari distribusi sampel data yang dianalisis.
(Soewarno, 1995, hal: 194) Dimana:
X2 = Harga Chi-square terhitung
Oi = Jumlah data yang teramati terdapat pada sub kelompok ke-i Ei = Jumlah data yang secara teoritis terdapat pada sub kelompok ke-i G = Jumlah sub kelompok
Adapun prosedur pengujian Chi-square adalah sebagai berikut (Soewarno, 1995):
1. Urutkan data pengamatan (dari besar ke kecil atau sebaliknya).
2. Kelompokkan data menjadi G sub-group, tiap-tiap sub-group minimal terdapat empat buah data pengamatan.
3. Hitung jumlah pengamatan yang teramati di dalam tiap-tiap
17 sub- group (Oi).
4. Hitung jumlah atau banyaknya data yang secara teoritis ada di tiap- tiap sub-group (Ei).
5. Tiap-tiap sub-group hitung nilai:
(O − E ) dan (Oi−Ei)2
i i Ei
6. Jumlah seluruh G sub-group nilai Σ (Oi−Ei)2. untuk menentukan nilai
Ei
Chi-square yang dihitung.
7. Tentukan derajat kebebasan dk = G-R-1 (nilai R = 2 untuk distribusi normal dan binomial, sedangkan nilai R = 1 untuk distribusi poisson).
Dapat disimpulkan bahwa setelah diuji dengan Chi-square, pemilihan jenis sebaran memenuhi syarat distribusi, maka curah hujan rencana dapat dihitung. Adapun kriteria penilaian hasilnya adalah sebagai berikut (Soewarno, 1995):
1. Apabila peluang lebih dari 5%, maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima.
2. Apabila peluang lebih kecil dari 1%, maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima.
3. Apabila peluang lebih kecil dari 1% - 5%, maka tidak mungkin mengambil keputusan, perlu penambahan data.
b) Uji Kolmogorov-Smirnov
Pengujian kecocokan sebaran dengan car aini dinilai lebih sederhana dibandingkan dengan pengujian dengan cara Chi- square. Dengan membandingkan kemungkinan (probability) untuk setiap variat, dari distribusi empiris dan teoritisnya, akan terdapat perbedaan Δ tertentu (Soewarno, 1995). Apabila harga Δma yang terbaca pada kertas probabilitas kurang dari Δ kritis untuk suatu derajat nyata dan banyaknya variat tertentu, maka dapat disimpulkan bahwa penyimpangan yang terjadi disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang terjadis secara kebetulan (Soewarno, 1995). Prosedur uji kecocokan Kolmogorov-Smirnov adalah:
18 1. Urutkan data (dari besar ke kecil atau sebaliknya) dan tentukan
besarnya nilai masing-masing data tersebut:
X1 ⟶ P(X1) X2 ⟶ P(X2) Xm ⟶ P(Xm) Xn ⟶ P(Xn)
2. Tentukan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran data (persamaan distribusinya):
X1 ⟶ P′(X1) X2 ⟶ P′(X2) Xm ⟶ P′(Xm)
Xn ⟶ P′(Xn)
3. Dari kedua nilai peluang tersebut, tentukan selisih terbesarnya antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis.
D = maksimum[P(Xm) − P′(Xm)]
4. Berdasarkan tabel nilai kritis (Kolmogorov-Smirnov Test), tentukan harga D0.
2.3.5 Teori Dasar Debit Banjir Rencana 2.3.5.1 Metode Rasional
Perhitungan metode rasional menggunakan rumus sebagai berikut:
(Ir. Joesron Loebis. M. Eng, 1987, hal: IV-3) Dimana:
Q = Debit banjir rencana (m3/det) f = Koefisien pengaliran
i = Intensitas hujan selama t jam (mm/jam)
19 T = Waktu konsentrasi (jam)
W = 72[H/L]0,66(km/jam) W = 20[H/L]0,66(m/dt)
W = Waktu kecepatan perambatan (m/det atau km/jam)
I = Jarak dari ujung daerah hulu sampai titik yang ditinjau (km) A = Luas DAS (km2)
H = Beda tinggi ujung hulu dengan titik tinggi yang ditinjau (m) Koefisien pengaliran (f) tergantung dari beberapa faktor antara lain jenis tanah, kemiringan, luas dan bentuk pengaliran sungai.
2.3.5.2 Metode Weduwen
Rumus dari metode weduwen adalah sebagai berikut:
Qt = α. β. qn. A (Ir. Joesron Loebis. M. Eng, 1987, hal: IV-3) Dimana:
Dimana:
Qt = Debit banjir rencana (m3/det) Rn = Curah hujan maksimum (mm/hari) α = Koefisien pengaliran (run off)
β = Koefisien pengurangan daerah untuk curah hujan DAS Qn = Debit per satuan luas (m3/det.km2)
t = Waktu konsentrasi (jam) A = Luas daerah pengaliran (km2)
20 L = Panjang sungai (km)
I = Gradien sungai atau medan yaitu kemiringan rata-rata sungai (10% bagian hulu dari panjang sungai tidak dihitung. Beda tinggi dan panjang diambil dari suatu titik 0,1 L dari batas hulu DAS) Adapun syarat dalam perhitungan debit banjir dengan metode weduwen adalah sebagai berikut:
A = Luas daerah pengaliran < 100 km2 T = Waktu konsentrasi 1/6 sampai 12 jam Langkah kerja perhitungan metode weduwen:
1. Hitung A, L, dan I dari peta garis tinggi DAS, substitusikan ke dalam persamaan.
2. Buat harga perkiraan untuk Q1 dan gunakan persamaan di atas untuk menghitung besarnya t, qn, α, dan β.
3. Setelah besarnya didapat t, qn, α, dan β, kemudian dilakukan iterasi perhitungan untuk Q2.
4. Ulangi perhitungan sampai dengan Qn = Qn-1 atau mendekati nilai tersebut.
2.3.5.3 Metode Haspers
Untuk menghitung besarnya debit dengan metode haspers, digunakan persamaan sebagai berikut:
Qt = α. β. qn. A
(Ir. Joesron Loebis. M. Eng, 1987, hal: IV-3) Dimana:
21 Intensitas hujan:
- Untuk t < 2 jam:
- Untuk 2 jam ≤ t ≤ 19 jam:
- Untuk 2 jam ≤ t ≤ 19 jam:
Dimana t dalam jam dan Rt, R24 (mm) Hujan maksimum:
Dimana t dalam jam, q (m3/km2/dt)
Dimana:
f = Luas elips yang mengeliling DAS dengan sumbu panjang tidak lebih dari 1,5 kali sumbu pendek (km2)
t = Waktu konsentrasi (jam) L = Panjang sungai (km) I = Kemiringan rata-rata sungai Qt = Debit banjir rencana (m3/det) Rn = Curah hujan maksimum (mm/hari) Qn = Debit per satuan luas (m3/det.km2)
Adapun langkah-langkah dalam menghitung debit puncak adalah sebagai berikut:
1. Menentukan besarnya curah hujan sehari (Rh rencana) untuk periode ulang rencana yang dipilih.
22 2. Menentukan koefisien runoff (β) untuk daerah aliran sungai.
3. Menghitung A, L, I, F untuk daerah aliran sungai.
4. Menghitung nilai t (waktu konsentrasi).
5. Menghitung β, Rt, qn dan Qt = β α qn A.
2.4 Bangunan Utama/ Bendung
Bangunan utama dapat didefinisikan sebagai: “semua bangunan yang direncanakan di sungai atau aliran air untuk membelokkan air ke dalam jaringan irigasi, biasanya dilengkapi dengan kantong lumpur agar bisa mengurangi kandungan sedimen yang berlebihan serta memungkinkan untuk mengukur dan mengatur air yang masuk”.
Ada 6 (enam) bangunan utama yang sudah pernah atau sering dibangun di Indonesia, antara lain:
a. Bendung Tetap
Bangunan air ini dengan kelengkapannya dibangun melintang sungai atau sudetan, dan sengaja dibuat untuk meninggikan muka air dengan ambang tetap sehinga air sungai dapat disadap dan dialirkan secara gravitasi ke jaringan irigasi.
Kelebihan airnya dilimpahkan ke hilir dengan terjunan yang dilengkapi dengan kolam olak dengan maksud untuk meredam energi.
Ada 2 (dua) tipe atau jenis bendung tetap dilihat dari bentuk struktur dari ambang pelimpahannya, yaitu:
Ambang tetap yang lurus dari tepi ke tepi kanan sungai artinya as ambang tersebut berupa garis lurus yang menghubungkan dua titik tepi sungai.
Ambang tetap yang berbelok-belok seperti gigi gergaji. Tipe seperti ini diperlukan bila panjang ambang tidak mencukupi dan biasanya untuk sungai dengan lebar yang kecil tetapi debit airnya besar. Maka dengan menggunakan tipe ini akan didapat panjang ambang yang lebih besar, dengan demikian akan didapatkan kapasitas pelimpahan debit yang besar. Mengingat bentuk fisik ambang dan karakter hidrolisnya, disarankan bendung tipe gergaji ini dipakai pada saluran. Dalam hal ini
23 diterapkan di sungai harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- Debit relatif stabil.
- Tidak membawa material terapung berupa batang-batang pohon.
- Efektivitas panjang bendung gergaji terbatas pada kedalaman air pelimpasan tertentu.
b. Bendung Gerak Vertikal
Bendung ini terdiri dari tubuh bendung dengan ambang tetap yang rendah dilengkapi dengan pintu-pintu yang dapat digerakkan vertikal maupun radial.
Tipe ini mempunyai fungsi ganda, yaitu mengatur tinggi muka air di hulu bendung kaitannya dengan muka air banjir dan meninggikan muka air sungai kaitannya dengan penyadapan air untuk berbagai keperluan. Operasional di lapangan dilakukan dengan membuka pintu seluruhnya pada saat banjir besar atau membuka pintu sebagian pada saat banjir sedang dan kecil. Pintu ditutup sepenuhnya pada saat kondisi normal, yaitu untuk kepentingan penyadapan air.
Tipe bendung gerak ini hanya dibedakan dari bentuk pintu-pintunya, antara lain:
Pintu geser atau sorong, banyak digunakan untuk lebar dan tinggi bukaan yang kecil dan sedang. Diupayakan pintu tidak terlalu berat karena akan memerlukan peralatan angkat yang lebih besar dan mahal. Sebaiknya pintu cukup ringan tetapi memiliki kekakuan yang tinggi sehingga bila diangkat tidak mudah bergetar karena gaya dinamis aliran air.
Pintu radial, memiliki daun pintu berbentuk lengkung (busur) dengan lengan pintu yang sendinya tertanam pada tembok sayap atau pilar.
Konstruksi seperti
ini dimaksudkan agar daun pintu lebih ringan untuk diangkat dengan menggunakan kabel atau rantai. Alat penggerak pintu dapat pula dilakukan secara hidrolik dengan peralatan pendorong dan penarik mekanik yang tertanam pada tembok sayap atau pilar.
c. Bendung Karet (Bendung Gerak Horisontal)
Bendung ini berfungsi meninggikan muka air dengan cara mengembungkan tubuh bendung dan menurunkan muka air dengan cara mengempiskannya. Tubuh bendung yang terbuat dari tabung karet dapat diisi
24 dengan udara atau air. Proses pengisian udara atau air dari pompa udara atau air dilengkapi dengan instrumen pengontrol udara atau air (manometer). Bendung karet memiliki 2 (dua) bagian pokok, yaitu:
Tubuh bendung yang terbuat dari karet.
Pondasi beton berbentuk plat beton sebagai dudukan tabung karet, serta dilengkapi satu ruang kontrol dengan beberapa perlengkapan (mesin) untuk mengontrol mengembang dan mengempisnya tabung karet.
d. Bendung Saringan Bawah
Bendung ini berupa bendung pelimpah yang dilengkapi dengan saluran penangkap dan saringan.
Bendung ini meloloskan air lewat saringan dengan membuat bak penampung air berupa saluran penangkap melintang sungai dan mengalirkan airnya ke tepi sungai untuk dibawa ke jaringan irigasi.
Operasional di lapangan dilakukan dengan membiarkan sedimen dan batuan meloncat melewati bendung, sedangkan air diharapkan masuk ke saluran penangkap.
Sedimen yang tinggi diendapkan pada saluran penangkap pasir yang secara periodik dibilas masuk sungai kembali.
e. Pompa
Pompa digunakan bila bangunan-bangunan pengelak yang lain tidak dapat memecahkan permasalahan pengambilan air dengan gravitasi, atau kalau pengambilan air relatif lebih sedikit dibandingkan dengan lebar sungai. Dengan instalasi pompa pengambilan air dapat dilakukan dengan mudah dan cepat.
Namun, dalam operasionalnya memerlukan biaya operasi dan pemeliharaannya cukup mahal terutama dengan semakin mahalnya bahan bakar dan tenaga listrik. Dari cara instalasinya, pompa dapat dibedakan atas pompa yang mudah dipindahkan karena ringan dan mudah dirakit ulang setelah dilepas komponennya dan pompa tetap (stationary) yang dibangun/dipasang dalam bangunan rumah pompa secara permanen. Ada beberapa jenis pompa didasarkan pada tenaga penggeraknya, antara lain:
Pompa air yang digerakkan oleh tenaga manusia (pompa tangan),
Pompa air dengan penggerak tenaga air (air terjun dan aliran air),
25
Pompa air dengan penggerak berbahan bakar minyak,
Pompa air dengan penggerak tenaga listrik.
f. Pengambilan Bebas
Pengambilan air untuk irigasi ini langsung dilakukan dari sungai dengan meletakkan bangunan pengambilan yang tepat di tepi sungai, yaitu pada tikungan luar dan tebing sungai yang kuat atau massive. Bangunan pengambilan ini dilengkapi dengan pintu, ambang rendah dan saringan yang pada saat banjir, pintu dapat ditutup supaya air banjir tidak meluap ke saluran induk.
Kemampuan menyadap air sangat dipengaruhi elevasi muka air di sungai yang selalu bervariasi tergantung debit pengaliran sungai saat itu.
Pengambilan bebas biasanya digunakan untuk daerah irigasi dengan luasan yang kecil sekitar 150 ha dan masih pada tingkat irigasi ½ (setengah) teknis atau irigasi sederhana.
g. Bendung Tipe Gergaji
Diperkenankan dibangun dengan syarat harus dibuat di sungai yang alirannya stabil, tidak ada tinggi limpasan maksimum, tidak ada material hanyutan yang terbawa oleh aliran.
2.5 Intake/Bangunan Pengambilan
Bangunan pengambilan berfungsi untuk mengelakkan air dari sungai dalam jumlah yang diinginkan. Pengambilan sebaiknya dibuat sedekat mungkin dengan pembilas dan as bendung atau bendung gerak. Lebih disukai jika pengambilan ditempatkan di ujung tikungan luar sungai atau pada ruas luar guna memperkecil masuknya sedimen.
Pengambilan dilengkapi dengan pintu dan bagian depannya terbuka untuk menjaga bila terjadi muka air tinggi selama banjir. Besarnya bukaan pintu tergantung kepada kecepatan aliran masuk yang diizinkan. Kecepatan ini bergantung kepada ukuran butir bahan yang akan diangkat. Kapasitas pengambilan harus sekurang- kurangnya 120% dari kebutuhan pengambilan (dimension requirement) guna menambah fleksibilitas dan agar dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi selama umur proyek.
Kecepatan masuk sebesar 1,0 – 2,0 m/dt yang merupakan besaran
26 perencanaan normal, dapat diharapkan bahwa butir-butir berdiameter 0,01 sampai 0,04 m dapat masuk.
𝑄 = 𝜇 . 𝑏 . ℎ 2 . 𝑔. 𝑧 Dimana:
Q = Debit pengambilan (m3/dt)
μ = Koefisien debit, untuk bukaan di bawah permukaan air dengan kehilangan
tinggi energi kecil μ = 0,80 b = Lebar pintu (m)
a = Tinggi bukaan (m) g = Percepatan gravitasi (g =
9,8 m/dt2)
z = Kehilangan energi pada bukaan (m)
Bila pintu pengambilan dipasangi pintu radial, maka μ = 0,80 jika ujung pintu bawah tenggelam 20 cm di bawah muka air hulu dan kehilangan energi sekitar 10 cm. elevasi mercu bendung direncana 0,10 di atas elevasi pengambilan yang dibutuhkan untuk mencegah kehilangan air pada bendung akibat gelombang.
Elevasi ambang bangunan pengambilan ditentukan dari tinggi Gambar 2. 3Tipe Pintu Pengambilan
27 dasar sungai.
Ambang direncanakan di atas dasar dengan ketentuan berikut:
- 0,50 m jika sungai hanya mengangkut lanau.
- 1,00 m bila sungai juga mengangkut pasir dan kerikil.
- 1,50 m kalau sungai mengangkut batu-batu bongkah.
Harga-harga itu hanya dipakai untuk pengambilan yang digabung dengan pembilas terbuka; jika direncana pembilas bawah, maka kriteria ini tergantung pada ukuran saluran pembilas bawah. Dalam hal ini, umumnya ambang pengambilan direncanakan 0 < p < 20 cm di atas ujung penutup saluran pembilas bawah.
Bila pengambilan mempunyai bukaan lebih dari satu, maka pilar sebaiknya dimundurkan untuk menciptakan kondisi aliran masuk yang lebih mulus.
Pengambilan hendaknya selalu dilengkapi dengan sponeng skot balok di kedua sisi pintu, agar pintu itu dapat dikeringkan untuk keperluan-keperluan pemeliharaan atau perbaikan.
2.6 Saluran (Primer, Sekunder, Tersier)
Saluran pembawa atau biasa disebut saluran irigasi merupakan salah satu prasarana irigasi yang memiliki fungsi antara lain mengambil air dari sumber air, membawa atau mengalirkan air dari sumber ke lahan pertanian, mendistribusikan air kepada tanaman serta mengatur dan mengukur aliran air. Saluran irigasi secara umum dapat dibedakan menjadi
Gambar 2. 4 Geometri Bangunan Pengambilan
28 beberapa jenis, yaitu:
a) Saluran Primer
Saluran primer adalah saluran yang mengalirkan air irigasi dari jaringan utama ke saluran sekunder dan ke petak-petak tersier yang diairi. Batas ujung saluran primer adalah pada bangunan pagi. Petak primer dilayani oleh satu saluran primer yang mengambil airnya langsung dari sumber air, biasanya sungai. Proyek-proyek irigasi tertentu mempunyai dua saluran primer yang menghasilkan dua petak primer. Daerah di sepanjang saluran primer sering tidak dapat dilayani dengan mudah dengan cara menyadap air dari saluran sekunder.
Apabila saluran primer melewati sepanjang garis tinggi, daerah saluran primer yang berdekatan harus dilayani langsung dari saluran primer.
b) Saluran Sekunder
Saluran sekunder adalah saluran yang mengalirkan air irigasi dari saluran primer ke petak tersier yang dilayani oleh saluran sekunder tersebut. Batas ujung saluran sekunder adalah ujung bangunan sadap terakhir. Petak sekunder terdiri dari beberapa petak tersier yang kesemuanya dilayani oleh satu saluran sekunder. Biasanya petak sekunder menerima air dari bangunan bagi yang terletak di saluran primer atau sekunder.
Batas-batas petak sekunder pada umumnya berupa tanda-tanda topografi yang jelas, seperti misalnya saluran pembuang. Luas petak sekunder bisa berbeda-beda, tergantung pada situasi daerah. Saluran sekunder sering terletak di punggung medan mengairi kedua sisi saluran hingga saluran pembuang yang membatasinya. Saluran sekunder boleh juga direncanakan sebagai saluran garis tinggi yang mengairi lereng- lereng medan yang lebih rendah saja.
c) Saluran Tersier
Saluran tersier adalah saluran dan bangunan yang membawa dan membagi air dari bangunan sadap tersier ke petak-petak kuarter.
Batas ujung saluran tersier adalah boks bagi kuarter yang terakhir. Pada tanah terjal, saluran mengikuti kemiringan medan, sedangkan pada
29 tanah bergelombang atau datar, saluran mengikuti kaki bukit atau tempat-tempat tinggi.
Petak tersier menerima air irigasi yang dialirkan dan diukur pada bangunan sadap tersier. Bangunan sadap tersier mengalirkan airnya ke saluran tersier. Pada petak tersier pembagian air, eksploitasi dan pemeliharaan menjadi tanggung jawa para petani yang bersangkutan, di bawah bimbingan pemerintah. Petak tersier yang terlalu besar akan mengakibatkan pembagian air menjadi tidak efisien.
Petak tersier dibagi menjadi petak-petak kuarter, masing- masing seluas kurang lebih 8 – 15 ha. Apabila keadaan topografi memungkinkan, bentuk petak tersier sebaiknya bujur sangkar atau segi empat untuk mempermudah pengaturan tata letak dan memungkinkan pembagian air secara efisien. Petak tersier harus terletak langsung berbatasan dengan saluran sekunder atau saluran primer.
Panjang saluran tersier sebaiknya kurang dari 1.500 m, tetapi dalam kenyataan kadang-kadang panjang saluran ini mencapai 2.500 m.
d) Saluran Kuarter
Saluran kuarter adalah saluran yang membawa air dari boks bagi kuarter melalui lubang sadap sawah atau saluran cacing ke sawah-sawah. Jika pemilikan sawah terletak lebih dari 150 m dari saluran kuarter, saluran cacing dapat mengambil air langsung tanpa bangunan dari saluran kuarter.
Saluran kuarter sebaiknya berakhir di saluran pembuang agar air irigasi yang tidak terpakai bisa dibuang. Supaya saluran tidak tergerus, diperlukan bangunan akhir. Panjang saluran kuarter lebih baik di bawah 500 m, tetapi prakteknya kadang- kadang sampai 800 m.
Boks kuarter hanya membagi air irigasi ke saluran kuarter saja. Saluran pembuang kuarter terletak di dalam petak tersier untuk
30 menampung air langsung dari sawah dan membuang air itu ke saluran pembuang tersier.
2.7 Daerah Irigasi (DI)
Daerah irigasi adalah satu kesatuan lahan yang mendapat suplai air dari satu saluran, bangunan, dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian, pemberian, penggunaan, dan pembuangan air irigasi (jaringan irigasi).
Daerah irigasi dapat diberi nama sesuai dengan nama daerah setempat, atau desa penting di daerah itu, yang biasanya terletak dekat dengan jaringan bangunan utama atau sungai yang airnya diambil untuk keperluan irigasi. Contohnya adalah Daerah Irigasi Jatiluhur atau D.I. Cikoncang. Apabila ada dua pengambilan atau lebih, maka daerah irigasi tersebut sebaiknya diberi nama sesuai dengan desa-desa terkenal di daerah-daerah layanan setempat. Untuk pemberian nama-nama bangunan utama berlaku peraturan yang sama seperti untuk daerah irigasi, misalnya bendung elak Cikoncang melayani D.I Cikoncang.
Untuk daerah irigasi yang besar, kehilangan-kehilangan air akibat perembesan dan evaporasi sebaiknya dihitung secara terpisah dan kehilangan-kehilangan lain harus diperhatikan. Terdapat beberapa istilah mengenai daerah irigasi, diantaranya:
Daerah Studi adalah daerah proyek ditambah dengan seluruh daerah aliran sungai (DAS) dan tempat-tempat pengambilan air ditambah dengan daerah-daerah lain yang ada hubungannya dengan daerah studi.
Daerah Proyek adalah daerah dimana pelaksanaan pekerjaan dipertimbangkan dan/atau diusulkan dan daerah tersebut akan mengambil manfaat langsung dari proyek tersebut.
Daerah Irigasi Total/Brutto adalah daerah proyek dikurangi dengan perkampungan dan tanah-tanah yang dipakai untuk mendirikan bangunan daerah yang tidak diairi, jalan utama, rawa-rawa dan daerah-daerah yang tidak akan dikembangkan untuk irigasi di
31 bawah proyek yang bersangkutan.
Daerah Irigasi Netto/Bersih adalah tanah yang ditanami (padi) dan ini adalah daerah total yang bisa diairi dikurangi dengan saluran- saluran irigasi dan pembuang primer, sekunder, tersier dan kuarter, jalan inspeksi, jalan setapak dan tanggul sawah. Daerah ini dijadikan dasar perhitungan kebutuhan air, panenan dan manfaat/keuntungan yang dapat diperoleh dari proyek yang bersangkutan. Sebagai angka standar luas netto daerah yang dapat diari diambil 0,9 kali luas total daerah-daerah yang dapat diairi.
Daerah Potensial adalah daerah yang mempunyai kemungkinan baik untuk dikembangkan. Luas daerah ini sama dengan daerah irigasi netto, tetapi biasanya belum sepenuhnya dikembangkan akibat terdapatnya hambatan-hambatan non teknis.
Daerah Fungsional adalah bagian dari daerah potensial yang telah memiliki jaringan irigasi yang telah dikembangkan. Daerah fungsional luasnya sama atau lebih kecil dari daerah potensial.
2.8 Kantong Lumpur
Kantong lumpur adalah bagian potongan melintang saluran yang diperbesar untuk memperlambat aliran dan memberikan waktu bagi sedimen untuk mengendap. Untuk menampung sedimen yang mengendap tersebut, dasar saluran itu diperdalam dan/atau diperlebar.
Tampungan ini dibersihkan secara teratur (dari sekali seminggu sampai dua minggu sekali), dengan jalan membilas endapan tersebut kembali
Gambar 2. 5Definisi Daerah-daerah Irigasi
32 ke sungai dengan aliran yang terkonsentrasi dan berkecepatan tinggi.
Panjang kantong lumpur dihitung berdasarkan perhitungan terhadap kecepatan pengendapan sedimen (w) sesuai dengan kandungan yang ada di sungai. Diharapkan dengan hasil perhitungan tersebut diperoleh dimensi panjang kantong lumpur yang tidak terlalu panjang dan sesuai dengan kebutuhan, sehingga menghemat biaya konstruksi.
Kantong lumpur harus mampu menangkap semua sedimen yang tidak diinginkan yang tidak bisa diangkut oleh jaringan saluran irigasi ke sawah-sawah. Kapasitas pengangkutan sedimen kantong lumpur harus lebih rendah daripada yang dimiliki oleh jaringan saluran irigasi.
Harga parameter angkutan sedimen relatif kantong sedimen harus lebih rendah daripada harga parameter jaringan irigasi. Dalam prakteknya ini berarti bahwa kemiringan dasar dari kantong lumpur yang terisi harus lebih landai daripada kemiringan dasar ruas pertama saluran primer.
Kantong lumpur mengendapkan fraksi-fraksi sedimen yang lebih besar dan fraksi pasir halus, tetapi masih termasuk pasir halus dengan diameter butir berukuran 0,088 mm dan biasanya ditempatkan persis di sebelah hilir pengambilan. Bahan-bahan yang lebih halus tidap dapat ditangkap dalam kantong lumpur biasa dan harus diangkut melalui jaringan saluran ke sawah-sawah. Bahan yang telah mengendap di dalam kantong kemudian dibersihkan secara berkala.
Pembersihan ini biasanya dilakukan dengan menggunakan aliran air yang deras untuk menghanyutkan bahan endapan tersebut kembali ke sungai. Dalam hal-hal tertentu, pembersihan ini perlu dilakukan dengan cara lain, yaitu dengan jalan mengeruknya atau dilakukan dengan tangan.
Efisiensi kantong lumpur dapat diperbaiki dengan jalan membilas endapan di dasarnya secara terus menerus. Sebelum melakukan pengurasan kantong lumpur, ada beberapa hal yang harus
33 diperhatikan, antara lain:
a) Air sedang tidak digunakan oleh petani (bisa dilakukan pada saat di sawah sudah dalam kondisi banyak air, atau saat sedang dilakukan pengeringan lahan sawah untuk persiapan masa tanam yang akan datang).
b) Volume cadangan air di hulu/bendung masih cukup banyak dan dalam kondisi aman.
c) Kondisi sedimen memang sudah cukup banyak menumpuk di kantong lumpur.
2.9 Tahapan Perencanaan 2.9.1 Lebar Bendung
Lebar bendung, yaitu jarak antara pangkal-pangkalnya (abutment), sebaiknya sama dengan lebar rata-rata sungai pada bagian yang stabil. Di bagian ruas bawah sungai, lebar rata-rata ini diambil pada debit penuh (bankful discharge): di bagian ruas atas mungkin sulit untuk menentukan debit penuh. Dalam hal ini, banjir mean tahunan dapat diambil untuk menentukan lebar rata- rata bendung.
Lebar maksimum bendung hendaknya tidak lebih dari 1,2 kali lebar rata- rata sungai pada ruas yang stabil. Untuk sungai-sungai yang mengangkut bahan- bahan sedimen kasar yang berat, lebar bendung tersebut harus lebih disesuaikan lagi terhadap lebar rata-rata sungai, yakni jangan diambil 1,2 kali lebar sungai tersebut.
Agar pembuatan bangunan peredam energi tidak terlalu mahal, maka aliran per satuan lebar hendaknya dibatasi sampai sekitar 12 – 14 m3/dt.m1, yang memberikan tinggi energi maksimum sebesar 3,5 – 4,5 m.
Lebar efektif mercu (Be) dihubungkan dengan lebar mercu yang sebenarnya (B), yakni jarak antara pangkal-pangkal bendung dan/atau tiang pancang, dengan persamaan berikut:
Be = B − 2(nKp + Ka)H1
Dimana: n = jumlah pilar
Kp = koefisien kontraksi pilar
34 Ka = koefisien kontraksi pangkal bendung
H1 = tinggi energi, m
Harga-harga koefisien Ka dan Kp diberikan pada Tabel 2.1.
Dengan memperhitungkan lebar efektif, lebar pembilas yang sebenarnya (dengan bagian depan terbuka) sebaiknya
Gambar 2. 6 Lebar Efektif Mercu
Tabel 2. 1Harga-harga Koefisien Ka dan Kp
35 diambil 80% dari lebar rencana untuk mengkompensasi perbedaan koefisiensi debit dibandingkan dengan mercu bendung itu sendiri.
2.9.2 Perencanaan Mercu
Di Indonesia pada umumnya digunakan dua tipe mercu untuk bendung pelimpah: tipe Ogee dan tipe bulat.
Gambar 2. 7Bentuk-bentuk Mercu
Kedua bentuk mercu tersebut dapat dipakai baik untuk konstruksi beton maupun pasangan batu atau bentuk kombinasi dari keduanya.
Kemiringan maksimum muka bendung bagian hilir yang dibicarakan disini berkemiringan 1 banding 1 batas bendung dengan muka hilir vertikal mungkin menguntungkan jika bahan pondasinya dibuat dari batu keras dan tidak diperlukan kolam olak. Dalam hal ini kavitasi dan aerasi tirai luapan harus diperhitungkan dengan baik.
a) Mercu Bulat
Bendung dengan mercu bulat memiliki harga koefisiensi debit yang jauh lebih tinggi (44%) dibandingkan dengan koefisiensi bendung ambang lebar. Pada sungai, ini akan banyak memberikan keuntungan karena bangunan ini akan mengurangi tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisiensi debit menjadi lebih tinggi karena lengkung streamline dan tekanan negatif pada mercu.
Tekanan pada mercu adalah fungsi perbandingan antara
36 H1 dan r (H1/r). untuk bendung dengan dua jari-jari (R2), jari- jari hilir akan digunakan untuk menemukan harga koefisien debit.
Untuk menghindari bahaya kavitasi lokal, tekanan minimum pada mercu bendung harus dibatasi sampai -4 m tekanan air jika mercu terbuat dari beton; untuk pasangan batu tekanan subatmosfir sebaiknya dibatasi sampai - 1 m tekanan air.
Dari Gambar 2.8 tampak bahwa jari-jari mercu bendung pasangan batu akan berkisar antara 0,3 sampai 0,7 kali H1maks
dan untuk mercu bendung beton dari 0,1 sampai 0,7 kali H1maks.
Persamaan tinggi energi-debit untuk bendung ambang pendek dengan pengontrol segi empat adalah:
Dimana:
Q = Debit, m3/dt
Cd = Koefisien debit (Cd = C0C1C2) g = Percepatan gravitasi, m/dt2 (≅ 9,8) b = Panjang mercu, m
H1 = Tinggi energi di atas mercu, m Koefisien debit Cd
adalah hasil dari:
Gambar 2. 8Tekanan pada Mercu Bendung Bulat Sebagi Fungsi Perbandingan H1/r
37 (1) C0 yang merupakan fungsi H1/r.
(2) C1 yang merupakan fungsi p/H1.
(3) C2 yang merupakan fungsi p/H1 dan kemiringan muka hulu bendung. C0 mempunyai harga maksimum 1,49 jika H1/r lebih dari 5,0. Harga- harga C0 pada Gambar 2.9 sahih (valid) apabila mercu bendung cukup tinggi di atas rata-rata alur pengarah (p/H1 ≥ sekitar 1,5).
Dalam tahap perencanaan p dapat diambil setengah jarak dari mercu sampai dasar rata-rata sungai sebelum bendung tersebut dibuat. Untuk harga- harga p/H1 yang kurang dari 1,5, maka Gambar 2.10 dapat dipakai untuk menemukan faktor pengurangan C1.
Gambar 2. 9Harga-harga Koefisien C0 untuk Bendung Ambang Bulat sebagai Fungsi Perbandingan H1/r
Gambar 2. 10Koefisien C1 sebagai Fungsi Perbandingan p/H1
38 Harga-harga koefisien koreksi untuk pengaruh kemiringan muka bendung bagian hulu terhadap debit diberikan pada Gambar 2.11. Harga koefisien koreksi, C2, diandaikan kurang lebih sama dengan harga faktor koreksi untuk bentuk-bentuk mercu tipe Ogee.
Harga-harga faktor pengurangan aliran tenggelam f sebagai fungsi perbandingan tenggelam dapat diperoleh dari Gambar 2.12.
Faktor pengurangan aliran tenggelam mengurangi debit dalam keadaan tenggelam.
b) Mercu Ogee
Mercu Ogee berbentuk tirai luapan bawah dari bendung ambang tajam aerasi. Oleh karena itu, mercu ini tidak akan memberikan tekanan subatmosfir pada permukaaan mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit rencana. Untuk debit yang rendah, air akan memberikan tekanan ke bawah pada mercu.
Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir, U.S. Army Corps of Engineers telah mengembangkan Gambar 2. 11Harga-harga Koefisien C2 untuk Bendung Mercu Tipe Ogee
dengan Muku Hulu Melengkung (Menurut USBR, 1960) Gambar 2. 12Faktor Pengurangan Aliran Tenggelam
sebagai Fungsi H2/H1
39 persamaan berikut:
Dimana x dan y adalah koordinat-koordinat permukaan hilir dan hd adalah tinggi energi rencana di atas mercu.
Harga-harga K dan n adalah parameter. Harga-harga ini bergantung kepada kecepatan dan kemiringan permukaan belakang. Tabel 2.2 menyajikan harga-harga K dan n untuk berbagai kemiringan hilir dan kecepatan pendekatan yang rendah.
Bagian hulu mercu bervariasi sesuai dengan kemiringan permukaan hilir. Persamaan antara tinggi energi dan debit untuk
bendung mercu Ogee adalah:
Dimana:
Gambar 2. 13Bentuk-bentuk Bedung Mercu Ogee (U.S.Army Corps of Engineers, Waterways Experimental
Stasion)
Tabel 2. 2Harga-harga K dan n
40 Q = Debit, m3/dt
Cd = Koefisien debit (Cd = C0C1C2) g = Percepatan gravitasi, m/dt2 (≅ 9,8) b = Lebar mercu, m
H1 = Tinggi energi di atas ambang, m
Koefisien debit Ce adalah hasil C0, C1, dan C2 (Ce = C0C1C2) (1) C0 adalah konstanta (= 1,30).
(2) C1 adalah fungsi p/hd dan H1/hd.
(3) C2 adalah faktor koreksi untuk permukaan hulu.
Faktor koreksi C1 disajikan pada Gambar dan sebaiknya dipakai untuk berbagai tinggi bendung di atas dasar sungai.
Harga-harga C1 pada Gambar berlaku untuk bendung mercu Ogee dengan permukaan hulu vertikal.
Apabila permukaan bendung bagian hulu miring, koefisien koreksi tanpa dimensi C2 harus dipakai; ini adalah fungsi baik kemiringan permukaan bendung maupun perbandingan p/H1. Harga-harga C2 dapat diperoleh dari Gambar 2.11.
Gambar 2.15 menyajikan faktor pengurangan aliran tenggelam f untuk dua perbandingan: perbandingan aliran Gambar 2. 14Faktor Koreksi untuk Selain Tinggi Energi Rencana pada Bendung Mercu Ogee (Menurut Ven Te
Chow, 1959, Berdasarkan Data USBR dan WES)
41 tenggelam H2/H1 dan
Gambar 2. 15Faktor Pengurangan Aliran Tenggelam sebagai Fungsi p2/H1 dan H2/H1