BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatukan Pidana
Pada penjelasan pasal 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, disebut bahwa kebebasan dalam dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegak hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, sehingga putusan yang mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Pada prinsipnya, tugas hakim adalah menjatukan putusan yang mempunyai akibat hukum bagi orang lain.
Hakim tidak dapat menolak, menjatukan putusan apabila perkara sudah dimulai atau diperiksa.
Pertimbangan hakim dalam putusan perkara Nomor 674/Pid.Sus/2017/PN.Bdg terdapat empat pertimbangan hakim antara lain:
1. Buny Yani tidak berusaha mencari sumber video asli Ahok.
Bahwa Buny Yani suda menonton video berdurasi 30 detik sebanyak 5-6 kali tetapi tidak berupaya untuk mencari sumber kebenaran video asli dan dengan sengaja tetap mengungga video berdurasi 30 detik itu. Terdakwa tidak mengurangi niatnya untuk mengungga video tersebut di akun facebooknya. Bahwa dengan demikian unsur dengan sengaja telah terpenuhi.
2. Buny Yani tidak diskominformas DKI Jakarta unggahan video Ahok.
Bahwa menyebut video asli Ahok berdurasi 1 jam 48 menit 33 detik dan diunggah Diskominfomas DKI Jakarta di akun resmi YouTube Pemprov DKI. Namun Buni yani mengunggah video berdurasi yang sudah dikurangi menjadi 30 detik tanpa seizin Pemprov DKI ke akun Facebook- nya. Postingan itu berupa potongan video pidato Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 27 september 2016. Bahwa unsur mengubah, menambah, mengurangai, melakukan transaksi, merusak, menghilangkan, memindakan, menyembunyikan telah terpenuhi
3. Buny Yani menamba caption tampa izin
Bahwa saat mengungga video berdurasi 30 detik, Buny Yani menamba captian di halaman facebooknya tampa izin Dikominfomas DKI Jakarta.
Terdakwa dalam mengunggah video tersebut mengetahui ada kata pakai yang diucapkan saksi Basuki Tjahaja Purnama, namun terdakwa menghilangkan kata pakai dalam dinding/wall akun Facebook kemudian mempostingnya. Yang dimaksud adalah kalimat ‘dibohong pakai surat Al Maidah’ yang diucap Ahok dalam pidato di Pulau Seribu, yang kemudian diviralkan tampa kata ‘pakai’ sehingga seakan akan Ahok mengatakan dibohongi Al maidah. Pasal 26 ayat (1) UU ITE bahwa “perlindungan data pribadi merupakan salah satu bagian dari hak pribadi”.
4. Buny Yani meresahkan umat beragama.
Hakim menyebutkan Buni Yani pernah membaca UU ITE. Selain itu, Buny Yani disebut sebagai seorang dosen yang harusnya menjadi teladan
tapi malah melanggar hukum. Perbuatan ini juga disebut meresahkan umat beragama.
Dari apa yang telah dipaparkan diatas maka majelis hakim yang diketuai oleh M.
Saptono menilai, Buny Yani secara sah bersalah melakukan tindak pidana yang termuat dalam pasal 32 ayat (1) junto pasal 48 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) atas perbuatannya. “mengadili menyatakan perbuatan terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana Undang-undang Informsi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) secara sah bersalah melakukan mengubah, menambah, mengurangi, melakukan, transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik.” Dan menjatukan pidana kurungan selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan.
Pertimbangan hakim yang memberatkan yaitu: Terdakwa adalah seorang dosen yang seharusnya memberikan teladan yang baik selain itu, tindakan terdakwa membuat keresahan umat beragama”. Hal yang meringankan terdakwa adalah “terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya, selain itu juga mempunyai tanggungan keluarga
Hakim mempunyai peranan penting dalam menjatukan pidana, meskipun hakim memeriksa perkara yang dilakukan pihak kepolisian dan dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Undang-undang kekuasaan kehakiman mengatur bahwa hakim bebas dalam menjatukan putusan, namun pasal 50 undang-undang No 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman menjelaskan hakim dalam memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar
putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tertulis yang menjadi dasar mengadili. 28 Menurut pasal 1 angka (8) Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. hakim memberi keputusannya mengenai29
1. Keputusan mengenai peristiwa, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang ditudukan kepadanya
2. Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana.
3. Keputusan mengeni pidanannya, apabila terdakwa dapat dipidana.
Hakim diberikan kebebasan untuk menjatukan putusan dalam setiap pengadilan perkara pidana. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 1 yang berbunyi;
“kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegak hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hukum republik Indonesia”. Sebagai penegak hukum hakim mempunyai tugas pokok dibidang yudisial, yaitu;
menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya30. Putusan hakim yang berkualitas adalah putusan yang
28Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1986, Hal. 84-85 (selanjutnya disebut Sudarto I)
29 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1966, Hal.74 (selanjutnya disebut sudarto II)
30Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yokyakarta,2003,Hal.77
didasarkan dengan pertimbangan hukum sesuai fakta yang terungkap di persidangan, sesuai dengan undang-undang dan keyakinan hakim tampah terpengaruh dari berbagai intervensi eksternal dan internal sehingga dapat dipertanggung jawabkan secara professional kepada publik (the truth end justice)
Hakim dalam menjatukan putusan harus mempertimbangkan hal-hal berikut;
1. Faktor yuridis, yaitu undang-undang dan teori-teori yang berkaitan dengan kasus atau perkara
2. Faktor non yuridis, yaitu melihat dari lingkungan dan berdasarkan hati nurani dari hakim itu sendiri.
Menurut Mackenzie ada beberapa teori pendekatan yang dapat digunakan hakim dalam mempertimbangkang penjatuan putusan suatu perkara31
1. Teori Keseimbangan
Keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undag-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara. Dalam hal ini dirumuskan dengan hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa 2. Teori pendekatan seni dan intuisi
Pendekatan seni digunakan oleh hakim untuk menjatukan suatu putusan lebih ditentukan oleh insting atau intuisi dari pada pengetahuan hakim. Hakim dengan keyakinannya akan menyesuikan dengan keadaan dan hukuman yang sesuai bagi setiap pelaku tindak pidana.
3. Teori pendekatan keilmuan
31Ahmad Rifai, Op.Cit Hal 103
Pemikiran bahwa penjatuan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati hatian, khususnya dalam kaitannya dengan putusan terdahulu guna menjamin konsistensi dari putusan hakim sehingga untuk menghindari adanya putusan hakim ang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
4. Teori pendekatan pengalaman
Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya.
5. Teori rotio decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok-pokok perkara yang disengketakan. Landasan filsafat merupakan bagian dari pertimbangan hakim dalam menjatukan putusan, karna berkaitan dengan hati nurani dan rasa keadilan dalam diri hakim.
6. Teori kebijaksanaan
Teori kebijaksanaa mempunyai beberapa tujuan yaitu sebagai upaya perlindungan terhadap pelaku yang telah melakukan tindak pidana. Melihat rasa keadilan tidak dapat apabila terdakwanya semata-mata bukan atas niat jahat, dan sudah berusia lanjut, dibawa umur atau karena suatu keadaan tertentu yang sepatutnya tidak diganjar dengan hukum pidana penjara maka hakim harus dapat memberi pertimbangan sesuai dengan rasa keadilan.
Dalam suatu keputusan, terdapat 3 pilihan yang akan dikeluarkan ole hakim yaitu:
1. Pemidanaan atau penjatuan pidana (veroordeling)
2. Putusan bebas (vrijspraak)
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum(onslag van alle rechtsvervolging) Menurut penulis Putusan hakim yang berkualitas adalah putusan yang didasarkan dengan pertimbangan hukum sesuai fakta yang terungkap di persidangan, bukan berdasarkan dakwaan jaksa penuntut umum. Jadi hakim harus melihat pada bukti-bukti yang terungkap dalam proses pembuktian. Dalam memutuskan suatu perkara pidana seorang hakim harus memutuskan dengan seadil adilnya dan harus sesuai aturan yang berlaku. Menurut Van Apeldoom hakim haruslah:
1. Menyesuaikan undang-undang dengan fakta kongkrit, kejadian-kejadian konkrit dalam masyarakat
2. Menamba undang-undang apabila perlu.
Kebebasan hakim mutlak dibutukan terutama untuk menjamin keobjektifan hakim dalam mengambil keputusan.
Pembuktian merupakan bagian yang penting dalam proses persidangan suatu perkara di pengadilan. Dengan pembuktian hakim akan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai perkaran yang sedang diproses dipengadilan.
Seperti yang tercantum dalam pasal 183 KUHAP bahwa “hakim tidak boleh menjatukan pidana seorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya.32 Berdasarkan hal tersebut perlu di
32Leden Marpaung, Op.Cit, Hal.23
jelaskan dalam hal apa saja pembuktian itu harus dilakukan, siapa saja yang diwajibkan untuk membuktikan dan hal apa yang tidak perlu dibuktikan.
Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan pembuktian adalah menyakinkan hakim dengan kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam dalam satu persengketaan. Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanya diperlukan dalam persengketaan atau perkara dimuka hakim atau pengadilan.33sedankan menurut Yahya Harahap pembuktian adalah ketentuan- ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didkwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim membuktiakn kesalahan terdkwa.34
Alat bukti yang dapat dipergunakan dalam pemeriksaan persidangan dijelaskan dalam pasal 5 UU ITE yaitu:
Pasal 5 ayat (1) “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen elektrronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah”.
Pasal 5 ayat (2) “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di indonesia”.
R Soesilo menyatakan bahwa secara teoritis dikenal empat macam sistem teori pembuktian, yaitu:
33R Subekti, Hukum Pembuktian Perkara Pidana, Cetakan Ke Enam Belas, PT. Pradya Paramita, Jakarta 2007, Hal.1
34M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Peneraan KUHP Jilid II Pustaka Kartini, Jakarta, 1985, Hal.793
1. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang positif/teori pembuktian positif.
Dalam menilai kekuatan pembuktian alat bukti yang ada, dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian. Pembuktian yang didasarkan selalu pada alat bukti pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif. Dalam teori ini undang-undang menentukan alat bukti yang dipakai oleh hakim cara bagaiman hakim dapat mempergunakannya asalkan alat bukti itu telah dipakai secara yang ditentukan oeh undang-undang, maka hakim harus dan berwenang untuk menetapkan terbukti atau tidaknya suatu perkara yang diperiksanya.
Sebaliknya bila tidak dipenuhi persyaratan tentang cara-cara mempergunakan alat-alat bukti itu sebagaiman telah ditetapkan undang-undang bahwa putusan itu berbunyi tentang sesuatu yang tidak dapat dibuktikan tersebut. Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut di Indonesia, dan teori pembuktian ini sekarang tidak mendapat penganut lagi karena teori ini terlalu banyak mengandalkan kekuatan pembuktian yang disebut oleh undang-undang.
2. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif ialah teori pembuktian menurut keyakinan hakim, didasari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiripun tidak selalu membuktikan kebenaran, pengakuan kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Bertolak dari pemikiran itulah bahwa teori berdasarkan keyakina hakim yang didasarkan kepada keyakinan hati
nuraninya sendiri ditetapkan bahwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Dengan sistem ini pemidanaan dimungkinkan tampa didasarkan pada alat bukti dalam undang-undang. Putusan hakim diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia sesuai diatur dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 14 ayat (1)
3. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis/teori pembuktian bebas.
Sistem atau yang disebut teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang di dasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebutkan alasa-alasan keyakinan yang berdasarkan keyakinan hakim sampai pada batas tertentu ini tercapai kedua jurusan. Pertama, yaitu pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasa yang logis ( conviction rasionnee) dan yang ke dua, yaitu teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negative.
4. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang negative (negative wettelijk) Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatukan pidana apabilah sedikit- sedikitnya alat alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu.
Dalam pasal 183 KUHAP menyatakan “hakim tidak boleh menjatukan
pidakan kepada seseorang kecuali dengan kurang-kurangnya dua alat buti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjdi.35
B. Hubungan Antara Dakwaan Dan Putusan Hakim
Surat dakwaan adalah surat tuduhan dari penuntut umum kepada terdakwa atas perbuatan terdakwa sesuai pasal-pasal yang ditentutkan oleh undang-undang dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Pada surat dakwaan, penuntut umum menjerat si terdakwa, bisa dengan pasal tunggal atau dakwaan tungal, yaitu melakukan tindak pidana satu pasal saja. Sebagai mana dijelaskan sebelumnya dalam KUHAP tidak memberi definisi atau pengertian mengenai surat dakwaan. Menurut Ramelan
“dengan memperhatikan ketentuan undang-undang mengenai syarat-syarat surat dakwaan maupun pengalaman praktek, dapat dikatakan bahwa surat dakwaan adalah surat atau akte yang memuat uraian perbuatan atau fakta-fakta yang terjadi, uraian mana yang akan mengambarkan atau menjelaskan unsur- unsua yang yuridis dari pasal-pasal tindak pidana (delik) yang dilanggar”.
Secara filosofi, kejaksaan, dalam hal ini penuntut umum adalah kuasa negara untuk menegakkan ketertiban umum dan juga sebagai representasi dari para korban kejahatan. Sehingga jika penuntut umum mendalikan dalam dakwaannya bahwa terdakwa bersalah, penuntut umum wajib membuktikan
35R. Soesilo (http://bloghukumumum.blogspot.com//) diases pada 20 desember 2013
kesalahan si terdakwa. Penuntut umum mendalilkan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Kejaksaan sebagai pihak penuntut umum dalam hal mengajukan seorang terdakawa ke pemeriksaan sidang pengadilan harus memperhatikan surat dakwaan agar dalam pembuktian di sidang pengadilan tidak menemui kendala sehingga apa yang didakwakan bisa terbukti dan menghindari lepasnya terdakwa akibat surat dakwaan tidak jelas atau kabur. Fungsi surat dakwaan bahwa surat dakwaan merupakan dasar dan sekaligus membatasi ruang lingkup persidangan berati;
1. Dalam pemeriksaan sidang, pemeriksaan itu dibatasi oleh fakta-fakta perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaan yang menjadi dasar pemeriksaan sidang tersebut.
2. Hakim/pengadilan dalam menjatukan putusannya harus semata-mata didasarkan pada hasil pemeriksaan dan penilaian terhadap fakta-fakta yang didakwakan dalam surat dakwaan.
3. Keseluruhan isi dakwaan yang terbukti di persidangan merupakan dasar pertimbangan hakim dalam menjatukan putusan.
4. Tindak pidana apa yang dinyatakan terbukti di persidangan harus dapat dicari dan ditemukan kembali dakwaan.
Fungsi surat dakwaan sebagai dasar pemeriksaan pengadilan mempunyai 3 fungsi yaitu :
1. Jaksa penuntut umum dalam upaya menyajikan dan mengungkapkan pembuktian serta penyusun surat tuntutan (requiitoir) nya, demikian pula dalam melakukan upaya hukum harus selalu didasarkan pada surat dakwaan;
2. Terdakwa atau penasihat hukumnya dalam eksepsi dan pembelaan (pleidooi) nya tidak boleh menyimpang dan harus selalu berdasarkan pada surat dakwaan
3. Pengadilan atau majelis hakim dalam melakukan pemeriksan disidang pengadilan dalam upaya membuktikan kesalahan terdakwa dan menjatukan putusannya berdasarkan surat dakwaan.
Maka bagi pihak majelis hakim, surta dakwaan akan menjadi dasar pemeriksaan di persidangan dan mengambil keputusan. Dengan demikian hakim tidak boleh memutuskan atau mengadili perbuatan pidana yang tidak didakwakan. Pasal-pasal pidana mengandung hukuman maksimal. Jaksa tidak harus menuntut maksimal tuntutan jaksa mempertimbangkan fakta-fakta hukum dan juridis yang muncul di persidangan, sejak pemeriksaan saksi, ahli, barang bukti, alat bukti, pemeriksaan terdakwa, pembelaan, dan seluru perdebatan dalam proses pembuktian di pengadilan.
Majelis hakim hanya boleh mengambil putusan menjatukan pidana apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana yang didakwakan itu benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Empat unsur penegak hukum (kepolisian/penyidik, kejaksaan, hakim, dan pembela/advokat) masing-
masing menjalankan tugasnya sesuai koridor dan ketentuan undang-undang.
Hakim memiliki kebebasan tujuannya adalah untuk memberi ketertiban dan kepastian hukum, serta mengurangi subjektivitas kebebasan keyakinan tersebut.
Putusan hakim adalah tindakan akhir dari hakim didalam persidangan, menentukan apakah dihukum atau tidaknya si pelaku, jadi putusan hakim adalah pernyataan dari seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara didalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Berdasarkan visi teori dan praktek peradilan maka putusan hakim merupakan putuasn yang diucapkan oleh hakim karena jabatanya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedur hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara.36
Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum yaitu dengan dengan menetapkan bagaimana seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum pengertian ini mengenai putusan hakim adalah hasil musyawara yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segalah sesuatu yang terbukti di dalam persidangan.
Pasal 182 ayat (3) dan (4) mengatakan bahwa “sesudah itu hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila
36Lilik Mulyadi, Ibit Hal.127
perlu musyawara itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum, dan hadirin meninggalkan ruang sidang. Pasal (4) musyawara tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segalah sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
Majelis hakim akan bermusyawara dalam membuat suatu putusan dengan memperhatikan dua hal berikut:
1. Surat dakwaan dari jaksa penuntut umum
2. Segala yang terbukti dalam pemeriksaan sidang pengadilan (apabila ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang menyakinkan hakim atas suatu tindak pidana dan pelaku tindak pidana tersebut. Pasal 183 KUHAP)
C. Putusan Hakim Yang Tidak Sesuai Dakwaan Jaksa Penuntu Umu
Dalam penjatuan pidana hakim menggunakan pertimbangan yang bersifat yuridis dan normatif. Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap didalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dianut didalam putusan disamping pertimbangan yang bersifat yuridis hakim dalam menjatukan putusan membuat persidangan yang bersifat non yuridis. Pertimbangn yuridis saja tidak cukup untuk menentukan nilai keadilan dalam pemidanaan tampa ditopang dengan pertimbangan non yuridis yang bersifat sosiologis, pisikologis, kriminologis dan filosofis.
Putusan No 674/pid.sus/2017/PN Bdg perkara pidan pelanggaean UU ITE dalam putusan tersebut terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan tidak memuat perintah supaya terdakwa ditahan. Hakim dalam membuat suatu putusan pengadilan, harus memperhatikan apa yang diatur dalam pasal 197 KUHAP, yang berisikan berbagai hal yang harus dimasukan dalam membuat surat putusan.
Adapun hal-hal yang harus dimasukan dalam sebuah putusan pemidanaan sebagai mana dimaksud dalam pasal 197 KUHA yaitu :
a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “Demi Kadilan Berdasarkan Ketuhanan YangMaha Esa”;
b. Nama lengkap, tempat tanggal lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa;
c. Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan disidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa, tuntutan pidana, sebagaiman terdapat dalam surat tuntutan;
e. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa;
f. Hari dan tanggal diadakan musyawara majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
g. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
h. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumblahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
i. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik yang dianggap palsu;
j. Perintah suapaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
k. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutuskan dan panitera;
Dari prosedur diatas maka jika dibandingkan dengan putusan perkara No.674/pid.sus/2017/PN.Bdg maka terlihat jelas bahwa dalam putusan tersebut tidak disertai dengan perintah eksekusi atau perintah penahanan terhadap terdakwa, berbedah dengan putusan yang lain, yang disertai perintah langsung eksekusi . Pasal 193 ayat (2)amengatakan bahwa “pengadilan dapat menjatukan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut bisa ditahan apabila dipenuhi ketentuan pasal 21 KUHAP terdapat buktiyang cukup untuk itu”.
Pidana pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik dalam perkara tersebut terdakwa Buni Yani melakukan pengeditan video. Kronologi kasus Basuki Thjaja Purnama alias Ahok berawal dari pidato Ahok di Kepulauan Seribu. Pemprov DKI mengungga rekaman video full kunjungan
Ahok ke Kepulauan Seribu dengan durasi 1:48:33. Kemudian Buni Yani mengungga video rekaman pidato Ahok di akun facebooknya, dengan transkrip pidato dan video Ahok yang telah dipotong 30 detik dan menghapus kata ‘pakai’. Status facebook Buni Yani yang menuliskan: “penistaan agama?” bapak ibu (pemilih muslim), [dan] “masuk neraka (juga bapak ibu) dibodohi”. Sedankan kalimat Ahok yang asli adalah
“kan bisa saja dalam hati kecil bapak ibu, nggak bisa pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak bapak ibu. Kalau bapak ibu merasah nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohi, begitu, oh nggk apa apa, karena ini panggilan pribadi bapak ibu”. www.asmik.id/kronologi-kasus-basuki-tjahaja- purnama-ahok-yang-dituduh-menista-agama/
Putusan Nomor.674/pid.sus/2017/PN.Bdg terungkap bahwa putusan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara Pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dilakukan oleh terdakwa Buni Yani adalah hukuman penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan. Ini tidak sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum yang mendakwa terdakwa dengan dengan pidana selama 2 (dua) tahun dimana perbuatan terdakwa oleh jaksa penuntut umum didakwa dengan ancaman pidana berdasarkan pasal 32 ayat (1) dan jo pasal 48 ayat (1) dan pasal 28 ayat (2) UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Transaksi dan Informasi Elektronik (ITE) Jo. Undang-undang Republik Indonesia No.19 tahun2016 tentang perubahan atas Undang-undang
Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bunyi pasal 32 ayat (1)
“setiap orang dengan sengaja dan tampa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik milik oranglain atau milik publik”
Jo pasal 48 UU ITE berbunyi,
“setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan ) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupia)”
Pasal 28 ayat (2) UU ITE berbunyi,
“setiap orang dengan sengaja dan tampa hak menyebarkan informasi yang ditunjukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, ras, dan antar golongan (SARA)”
Tuntutan pidana diajukan oleh penuntut umum setelah pemeriksaan perkara perkara pidana selesai dalam pasal 182 ayat (1) huruf a KUHP surat tutntutan pidana sedikit banyak berpengaruh pradikma para hakim dalam menjatukan putusan pemidanaan. Menurut penulis yang menjadi dasar hakim dalam memutuskan perkara adalah surat dakwaan dan fakta persidangan terhadap bukti-bukti yang terungkap di persidangan.37 bukan surat tuntutan.
Penjatuan hukuman pemidanaan terhadap seorang terdakwa sepenuhnya
37Ibit yahya harahap hal.132
bergantung pada penilaian dan keyakinan hakim terhadaap bukti-bukti dan fakta yang terungkap di persidangan. Sesuai pasal 193 ayat (1) KUHAP berbunyi,
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, maka pengadilan menjatukan pidana kepadanya”.
Ketika seorang terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana, mampu bertanggung jawab dan kemudian dijatuhi pidana. sebagai hakim ternyata memiliki kecendrungan pendapatnya tergantung pada isi surat tuntutan pidana penuntut umum. Secara teknis, muncul kebiasaan memutuskan berat ringannya pidana yang akan dijatukan minimal setengah atau dua pertinga dari yang dituntut oleh penuntut umum. Hakim diberikan jaminan kebebasan dalam memutuskan perkara guna menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam konteks pemidanaan harus dikaitkan pula dengan asas legalitas yakni nullum delictum, nulla puna sine paevia lage punali ( tiada kejahatan, tampa undang-undang hukum pidana). Dengan demikian hakim bebas memutuskan sangsi pidana sesuai dengan yang ditentukan dalam undang- undang, namun dengan ancaman pidana yang diatur dalam ketentuan pidana di berbagai undang-undang yang memberi batasan minimal dan/atau maksimal yang terlalu besar disatu sisi, dan banyaknya fariabel yang harus dipertimangkan di sisi lain menyulitkan hakim untuk menentukan pidana. Jika akan menjatukan pidana denda, maka harus menentukan pidana penjara, maka
harus menentukan beberapa lama (hutungan tahun, bulan, atau hari).38 Jika akan menjatukan pidana denda, maka akan menentukan berapa jumlah dendanya. Misalnya perkara pelanggaran UU ITE (pasal 32 ayat (1) jo pasal 48 ayat (1) ancaman pidananya paling lama delapan (8) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar) dengan demikian hakim memilih pilihan menentukan pidana penjara dari satu hari hingga delapan tahun atau denda dari minimal Rp 50,00 (lima pulu) sampai dengan 2.000.000.00 (dua milyar).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 182 ayat (1) huruf a berbunyi : “setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana”. Pasa 182 ayat (1) huruf b berbunyi
“selanjutnya terdakwa atau penasehat hukum mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukum selalu mendapat giliran terakhir”. Amar putusan Buni Yani tidak memuat amar penahanan terhadap terdakwa menurut penulis jika tidak ada amar penahanan berati hakim dapat memberikan putusan bebas atau putusan lepas.
Majelis hakim dapat menjatuka putusan lebih rendah, sama, atau lebih tinggi dari rekuisitor penuntut umum. Putusan majelis hakim diluar tuntutan jaksa tidak melanggar hukum acara pidana. Pemidanaan berati terdakwa dijatuhi hukum pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang
38Wirjono Pradjodikoro, asas-asas hukum pidana di Indonesia, redika aditama, Bandung 2003, Hal.42
didakwakan kepada terdakwa. Sesuai dengan pasal 193 ayat (1) penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan39.
Putusan hakim merupakan hasil (output) dari kewenangan mengadili setiap perkara yang ditangani dan didasari pada surat dakwaan dan fakta persidangan dan dihubungkan dengan berat ringannya penetapan pidana penjara hal ini sesuai asas hukum pidana yaitu asas legalitas yang diatur dalam pasal (1) KUHP yaitu hukum pidana harus bersumber pada undang-undang artinya pemidanaan harus berdasarkan undang-undang. Hakim dihadapkan dalam praktek peradilan dimana ada yang betul-betul menerapkan aturan hukum sebagaimana adanya dengan alasan kepentingan undang-undang dan ada juga sebagian hakim yang menerapkan/menafsirkan undang-undang yang tertulis dengan cara memberikan putusan pidana (Straft macht) lebih rendah dari batasan ancaman minimal dengan alasan demi keadilan masyarakat.
Pada hakekatnya putusan pemidanaan merupakan putusan hakim yang berisikan suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan. Apabila hakim menjatukan putusan pemidanaan, hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagai mana dalam surat dakwaan.40Tidak ada aturan KUHAP yang menyatakan tegas surat dakwaan jaksa sebagai dasar atau landasan pemeriksaan dalam forum persidangan.
39M Yahya Harahap, Op.Cit, Hal.354
40Lilik Mulyadi, Op.Cit, Hal.133
Adapun jenis pidana yang dijatukan oleh seorang hakim terhadap pelaku kejahatan diatur dalam ketentuan pasal 10 KUHP yaitu:
1. Pidana pokok a. Pidana mati b. Pidana penjara c. Pidana kurungan d. Pidana denda 2. Pidana tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu b. Perampasan barang-barang tertentu c. Pengumuman putusan hakim
Apabila hakim menjatukan pidana berupa pidana penjara (perampasan kemerdekaan), maka ketentuan-ketentuan diatas adalah menjadi dasar hukum tentang jenis pemidanaan yang akan diterapkan terhadap pelaku kejahatan yang menurut hukum telah terbukti secara sah dan menyakinkan serta hakim mendasari pada hati nurani, tampa ada kepentingan apapun. Seorang hakim terikat dengan undang-undang yang sangat normatif mengatur ancaman pidana minimal baik pidana penjara maupun pidana denda, walaupun dalam praktek ada juga hakim yang menerobos batas minimal ancaman yang suda diatur jelas dengan alasan rasa keadilan dan hati nurani.
Putusan yang sesuai dengan dakwaan jaksa penuntut umum apa bila dakwaan tidak menguraikan dengan cerdas dan cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dan tidak menyebutkan waktu dan
tempat tindak pidana itu baru dapat dinyatakan batal demi hukum. Kitab undang- undang hukum acara pidana tidak menjelaskan pengertian tentang surat dakwaan harus berisi uraian secara cermat, jelas dan lengkap, tetapi berdasarkan praktik pengadilan, hal tersebut diartikan sebagai berikut:
1. Surat dakwaan harus memuat/ merumuskan unsur-unsur delik dalam pasal pidana yang didkwakan
2. Menyebut keadaan-keadaan yang melekat pada tindak pidana yang di dakwakan;
Dan jika fakta persidangan tidak sesuai dakwaan, pada prinsipnya hakim tidak boleh mengadili keluar dari dakwaan. Karena dakwaan adalah dasar bagi hakim dalam menjatukan putusan. Jaksa penuntut umum mengajukan dakwaan bersifat alternative berdasarkan pasal 32 ayat (1) dan pasal 28 ayat (2) UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Transaksi dan Informasi Elektronik (ITE) Jo. Undang-undang Republik Indonesia No.19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. kemudian dipersidangan menurut jaksa penuntut umum yang terbukti adalah pasal 28 ayat (2) ada unsur “menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan”. Pasal ini diangkat sesuai alat bukti yang dan fakta persidangan yang mana jaksa penuntut umum menghadirkan 3 (tiga) orang saksi dalam persidangn tersebut.
Namun Hakim memutuskan vonis kasus pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik berdasarkan pasal 32 ayat (1) jo pasal 48 ayat (1) apabila sifat dakwaannya adalah dakwaan berlapis atau gabungan. Dan jika hakim tetap
memutuskan berdasarkan pasal tersebut maka jaksa maupun terdakwa dapat mengajukan banding.