BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengambilan Keputusan Karir 1. Definisi Pengambilan Keputusan Karir
Secara historis model-model pengambilan keputusan berasal dari ilmu ekonomi. Asumsi pokok kebanyakan beraal dari teori ekonomi Keynesian, adalah bahwa orang memilih suatu tujuan karir atau sesuatu okupasi untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian. Untung dan rugi tidak hanya diukur dengan uang, akan tetapi hal yang lebih bermakna bagi individu. Okupasi atau jalur karir tertentu dapat dipandang sebagai alat untuk mencapai keinginan tertentu, seperti gengsi yang tinggi, keamanan, pasangan, termasuk didalamnya adalah harapan bahwa individu dapat dibantu memprediksi akibat dari setiap alternatif serta peluang yang ada (Manrihu, 1992).
Super (dalam Manrihu, 1992) menyatakan bahwa karir sebagai suatu sekuensi posisi-posisi yang diduduki seseorang selama hidupnya. Selain itu, Flanagan dan Cooley (dalam Manrihu, 1992) juga menyatakan bahwa karir sebagai suatu pohon kehidupan (Decision tree) yan melukiskan titik keputusan yang dihadapi seseorang melalui sekolah sehingga memasuki dunia kerja; sebagai suatu rangkaian tahap-tahap kehidupan dimana berbagai konstalasi tugas-tugas perkembangan yang dihadapi dan dijumpai.
Pengambilan keputusan karir merupakan sebuah proses dalam memilih sebuah pekerjaan (Zunker, 1994 dalam Rowland, 2004). Sedangkan menurut
11
Brown dan Brooks (dalam Rowland, 2004) mendefinisikan pengambilan keputusan karir sebagai sebuah proses pemikiran seseorang dalam mengintegrasikan atau menggabungkan pengatahuan tentang dirinya dengan pengetahuan suatu pekerjaan untuk membuat pilihan berkaitan dengan karir.
Sukardi (1993) menyatakan bahwa pengambilan keputusan karir merupakan suatu proses dimana seseorang mengadakan suatu seleksi terhadap beberapa pilihan dalam rencana masa depan. Sejalan dengan pendapat dari Munandir (1996) menyatakan bahwa keputusan karir yang dimaksud adalah keputusan yang diambil secara arif dan penuh telaah serta penuh pertimbangan. Pengambilan keputusan seperti ini mutlak demi keberhasilan dalam hidupnya kelak dengan karir yang dipilihnya tersebut.
Teori pengambilan keputusan karir menurut Tiedeman dan O’Hara (dalam Manrihu, 1992) menyatakan bahwa identitas karir individu terbentuk oleh pengambilan keputusan yang menjadi sasaran pemahaman dan kehendak individu. Pengambilan keputusan merupakan upaya untuk membantu individu untuk menyadari semua faktor yang melekat pada pengambilan keputusan sehingga mereka mampu membuat pilhan-pilihan yang didasarkan pada pengetahuan tentang diri dan informasi lingkungan yang sesuai.
Pengambilan keputusan karir menurut Hartono (2016) adalah suatu proses dinamis dan berkelanjutan untuk membuat pilihan karir dari beberapa alternatif pilihan karir yang ada dimasyarakat, berdasarkan hasil pemahaman diri (self-knowledge) dan pemahaman karir (occupational knowledge). Setiap manusia pada dasarnya menginginkan kesejahteraan hidup. Untuk mencapai
keinginan itu, dibutuhkan persiapan karir yang memadai, diantaranya daam hal pengambilan keputusan karir, sehingga karir yang dipilihnya merupakan keputusan tepat bagi dirinya. Ketepatan pengambilan keputusan karir didasarkan pada kesesuaian antara apa yang dimiliki dan apa yang diinginkan Sharf (dalam Hartono, 2016).
Pengambilan keputusan karir menurut Conger (dalam Suban, 2016) adalah usaha menemukan dan melakukan pilihan diantara berbagai kemungkinan yang timbul dalam proses pemilihan karir. Tolbert (dalam Manrihu, 1992) berpendapat pengambilan keputusan karir adalah suatu proses sistematik dimana berbagai data digunakan dan dianalisis atas dasar prosedur-prosedur yang eksplisit, dan hasil-hasilnya dievaluasi sesuai dengan yang diinginkan. Sedangkan Hollands (dalam Sukardi dalam Widiyastuti &
Pratiwi, 2013) menyatakan pengambilan keputusan berdasarkan asumsi mengenai pilihan karier yang diekspresikan atau diungkapkan melalui kepribadian seseorang; pilihan pekerjaan merupakan penggambaran ekspresi seseorang yang terlihat pada motivasi, pengetahuan, kepribadian dan kemampuan.
Mitchell & Krumboltz (1987) mengatakan bahwa seseorang mengambil keputusan karir karena ia terlibat dalam berbagai perilaku yang mengarah kesuatu karir. Beberapa perilaku-perilaku pengambilan keputusan karir antara lain bersekolah, serta memasuki program pelatihan, melamar pekerjaan, meningkatkan pekerjaan, perubahan jabatan atau memasuki pekerjaan baru.
Krumboltz (dalam Brown, 2003) menyatakan bahwa proses pengambilan
keputusan karir secara garis besar dipengaruhi oleh sumbangan genetik dan kemampuan khusus, kejadian-kejadian dan kondisi lingkungan, pengalaman belajar dan keterampilan-keterampilan pendekatan tugas.
Dari uraian diatas dalam disimpulkan pengambilan keputusan karir adalah suatu proses seleksi atau pemilihan dari beberapa alternatif pilihan karir yang ada, berdasarkan hasil pemahaman diri dan pemahaman karir serta perilaku pengambilan keputusan karir meliputi bersekolah, serta memasuki program pelatihan, melamar pekerjaan, meningkatkan pekerjaan, perubahan jabatan dan memasuki pekerjaan baru.
2. Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Karir
Berdasarkan teori Krumboltz melahirkan empat kategori faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan karir seseorang, yaitu faktor-faktor genetik, lingkungan, pembelajaran, dan keterampilan menghadapi tugas atau masalah.
1. Genetik
Faktor ini dibawa dari lahir merupa wujud dan keadaan fisik (wajah, jenis kelamin, suku bangsa, dan cacatnya) dan kemampuan. Keadaan diri bisa membatasi preferensi atau keterampilan seseorang untuk menyusun rencana pendidikan dan akhirnya untuk bekerja. Teori ini mengatakan bahwa orang-orang tertentu terlahir memiliki kemampuan, besar atau kecil untuk memperoleh manfaat dari pengalaman pergaulannya dengan lingkungan, sesuai dengan keadaan diri (pengalaman orang laki-laki lain
dari pada pengalaman orang perempuan, tantangan orang normal lain dari pada tantangan yang dihadapi orang cacat). Kemampuan- kemampuan khusus seperti kecerdasan, bakat musik, demikianpun gerak otot, merupakan hasil interaksi pradisposisi bawaan dengan lingkungan yang dihadapi seseorang.
2. Kondisi lingkungan.
Faktor lingkungan yang berpengaruh pada pengambilan keputusan kerja ini, berupa kesempatan kerja (apa dan beberapa banyak), kesempatan pendidikan dan pelatihan ( formal, nonformal, negeri, swasta), kebijakan dan prosedur seleksi (peraturan, persyaratan, dsb), imbalan (uang penghargaan sosial), undang-undang dan peraturan pemburuhan, peristiwa alam (bencana), sumber alam (tersedianya dan kebutuhan), kemajuan teknologi, perubahan dalam organisasi sosial, sumber keluarga (pendidikan, kemampuan keuangan, nilai, penghargaan), sistem pendidikan (organisasi, kebijaksanaan, keterampilan dan kepribadian guru dan sebagainya), lingkungan tetangga dan masyarakat sekitar (pengaruhnya), pengalaman belajar.
Faktor-faktor ini umunya ada diluar kendali individu, tetapi pengaruh bisa direncanakan.
3. Faktor belajar
Kegiatan yang paling banyak dilakukan manusia adalah belajar.
Pengalaman belajar akan mempengaruhi tingkah laku dan keputusan orang, antara lain tingkah laku pilihan karir. Setiap orang memiliki
sejarah pengalaman belajar yang khas. Ada dua jenis belajar, yaitu belajar instumental dan asosiatif. Belajar instrumental ialah belajar yang terjadi melalui pengalaman orang waktu berada didalam suatu lingkungan dan ia “mengajarkan” langsung (berbuat sesuatu atas, mereaksi terhadap) lingkungan itu, dan ia mendapatkan sesuatu sebagian hasil dari tindak perbuatannya itu, yaitu hasil yang dapat diamatinya.
Tiga komponen pengalaman belajar ini adalah anteseden (yang mendahului peristiwa belajar), respon (perbuatan), dan konsekuensi (buah atau hasil perbuatan). Anteseden ialah segala sesuatu mengenai diri, lingkungan, kejadian yang hadir sebelum, atau mendahului, dan ada sangkut pautnya dengan perbuatan (respon) itu : ciri pribadi, keadaan fisik, kemampuan umum, bakat, lingkungan, keadaan, kejadian. Respon perbuatan ialah apa yang dilakukan orang, baik yang tampak maupun yang tidak (menendang bola, menyapa orang, menerima tawaran, menyetujui pendapat orang, menerima sasaran). Konsekuensi ialah segala apa yang terjadi (pada diri, diluar diri) setelah perbuatan dilakukan atau tindakan diambil, yang kelihatan langsung sebagai hasil atau akibat, yang tidak kelihatan (reaksi dalam diri berupa perasaan atau pemikiran, dampak pada orang lain).
4. Keterampilan menghadapi tugas
Keterampilan ini dicapai sebagai buah interaksi atau pengalaman belajar, ciri genetik, kemampuan khusus (bakat), dan lingkungan.
Termasuk didalam keterampilan ini adalah standar kinerja, nilai kinerja,
kebiasaan kerja dan proses persepsi dan kognitif (perhatian, daya ingat), set mental, respon emosional. Dalam pengalamannya individu penerapkan keterampilan ini untuk menghadapi dan menangani tugas- tugas baru. Keterampilan menghadapi tugas ini sendiri, bisa berubah oleh pengalaman dan oleh balikan yang diperoleh dari hasil atau hal hal yang menyangkut hasil pengalaman itu. Keterampilan mengancang tugas ini hasil belajar dan keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya yang merupakan faktor yang berpengaruh pada bagaimana hasil tindakan, jika orang menghadapi tugas atau masalah, sedangkan keterampilan- keterampilan itu sendiri, bisa berubah oleh pengalaman dan balikannya yang diterima mengenai perbuatannya.
Teori yang dikemukakan oleh Krumbolz sejalan dengan teori belajar sosial menurut Manrihu (1992), ada empat faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan karir, yaitu :
a. Bawaan genetik dan kemampuan-kemampuan khusus, seperti ras, jenis kelamin, inteligensi.
b. Kondisi-kondisi dan peristiwa lingkungan, seperti kesempatan-kesempatan pekerjaan dan latihan serta pengalaman-pengalaman keluarga.
c. Pengalaman-pengalaman belajar, seperti belajar instrumen dan asosiatif.
d. Keterampilan-keterampilan pendekatan tugas, seperti keterampilan- keterampilan belajar menyukai kebiasaan-kebiasaan bekerja baik.
Di Fabio, dkk (2013) menambahkan bahwa kecerdasan emosi dianggap sebagai faktor penting dalam mempengaruhi pengambilan keputusan karir, karena orang dengan kecerdasan emosi tinggi cenderung menggunakan pengalaman emosi untuk memandu pikiran dan tindakan mereka dalam perencanaan karir. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Suban (2016) mengungkapkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional dan pengambilan keputusan karir pada siswa kelas X dan XI Kristen 2 Binsus Tomohon.
3. Keterampilan Mengancang Tugas dan Pengambilan Keputusan Karir Menurut Krumboltz dan Barker (Munandir, 1996), hal yang penting dalam pengambilan keputusan karir adalah kemampuan untuk :
1. Mengenal situasi keputusan yang penting.
2. Menentukan apa keputusan atau tugas yang dapat dikelola dan yang realistis.
3. Memeriksa dan menilai secara cermat dan tepat generalisasi observasi diri dan generalisasi pandangan atas dunia.
4. Menyusun alternatif-alternatif yang luas dan beragam.
5. Mengumpulkan informasi yang diperlukan tentang alternatif-alternatif itu.
6. Menentukan sumber informasi mana yang paling handal, cermat, dan relevan.
7. Merencanakan dan melaksanakan urutan langkah-langkah pengambilan keputusan yang disebut diatas.
B. Kecerdasan Emosi 1. Definisi Kecerdasan Emosi
Inti kecerdasan emosi pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosi yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosi atau yang sering disebut EQ sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan (Shapiro dalam Kalsum, 2015).
Kecerdasan emosi atau emotional intelligence Goleman (2003) merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Sedangkan menurut Salovey dan Mayer (1990) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Hal tersebut berarti bahwa emosi adalah perasaan yang banyak berpengaruh terhadap perilaku. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap dorongan dari luar dan dari dalam diri individu. Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia.
Davies, dkk (dalam Setiandarma & Waruru, 2002) menjelaskan bahwa inteligensi emosi adalah kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dirinya sendiri dan orang lain, membedakan satu emosi dengan lainnya, dan menggunakan informasi tersebut untuk menuntun proses berpikir serta perilaku seseorang.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengendalikan emosi dirinya sendiri dan orang lain, serta kemampuan memonitor emosi untuk melakukan suatu tindakan.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi
Faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi menurut Soefandi &
Pramudya (2009) adalah : a. Kondisi Fisik
Apabila keseimbangan tubuh terganggu karena kelelahan, kesehatan yang buruk, atau perubahan yang berasal dari perkembangan, seseorang akan mengalami emosionalitas yang meninggi;
1) Kesehatan yang buruk yang disebabkan oleh gizi yang buruk, gangguan pencernaan, atau penyakit.
2) Setiap gangguan yang kronis, seperti asma atau penyakit kencing manis.
3) Perubahan kelenjer terutama pada saat puber. Gangguan kelenjer mungkin juga disebabkan oleh stress yang kronis, misalnya kecemasan.
b. Kondisi Psikologis
Pengaruh psikologis yang penting antara lain tingkat kecerdasan, tingkat aspirasi, dan kecemasan.
1) Kegagalan mencapai tingkat aspirasi, kegagalan yang berulang- ulang dapat menimbulkan kecerdasan atau ketidakberdayaan.
2) Kecemasan setelah pengalaman emosional tertentu yang sangat kuat, misalnya akibat lanjutan dari pengalaman menakutkan yang akan membuat anak takut kepada setiap situasi yang dirasakan mengancamdan bila ketakutan itu berlanjut tanpa ditanggulangi, akan menyebabkan trauma.
c. Kondisi lingkungan
Ketegangan yang terus-menerus, jadwal yang ketat, dan terlalu banyak pengalaman menggelisahkan yang merangsang anak secara berlebihan.
3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosi
Menurut Goleman (2003) lima aspek dalam kecerdasan emosi adalah ; a. Kesadaran diri
Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat, dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
b. Pengaturan diri
Kemampuan dalam menangani emosi diri sedemikian sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran;
mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
c. Motivasi
Kemampuan mengungkap hasrat diri yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun diri menuju sasaran, membantu diri mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif, dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
d. Empati
Kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami perspekif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.
e. Keterampilan sosial
Kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar menggunakan keterampilan- keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin; bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerjasama dan bekerja dalam tim.
C. Kerangka Berpikir
Teori utama yang digunakan dalam pengambilan keputusan karir adalah teori Krumboltz dan Barker (dalam Munandir, 1996) dan kecerdasan emosi menggunakan teori Goleman (2003).
Siswa yang akan menyelesaikan pendidikannya di tingkat sekolah menengah atas akan mulai berpikir untuk merencanakan masa depannya dengan lebih serius.
Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh Santrock (2007) pada usia remaja, individu akan mulai memikirkan tujuan dan perencanaan dalam hidupnya, baik tujuan jangka panjang (distal) maupun tujuan jangka pendek (proksimal).
Remaja yang mulai memikirkan masa depannya dengan serius kemudian akan melakukan pengambilan keputusan karir untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi atau memilih untuk bekerja. Namun dalam melakukan pengambilan keputusan karir, remaja sering kali melakukan eksplorasi karir dan melakukan pengambilan keputusan yang sampai taraf tertentu disertai dengan ambiguitas, ketidakpastian, dan tekanan. Hal ini berarti bahwa terdapat beberapa hambatan atau permasalahan yang dialami remaja dalam pengambilan keputusan karirnya, dan hal tersebut dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan mengenai karir, keraguan remaja terhadap kemampuan yang dimilikinya dan tekanan seperti ajakan dari teman atau paksaan dari orang tua. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Triana (Setia Wati, 2005), menunjukkan bahwa 45% siswa Sekolah Menengah Atas belum memiliki perencanaan mengenai karir yang akan dipilihnya, karena masih mengalami keraguan.
Kebanyakan keputusan karir itu diambil dengan tiba-tiba dan tidak terencana (Santrock, 2007). Hal ini juga senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Creed, Patton, dan Prideaux (dalam Setiyowati, 2015) mengungkapkan bahwa sebanyak 50% siswa mengalami kebingungan dalam pengambilan keputusan.
Sukardi (1993) menyatakan bahwa pengambilan keputusan karir merupakan suatu proses dimana seseorang mengadakan suatu seleksi terhadap beberapa pilihan dalam rencana masa depan. Salah satu faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan menurut Paus & Steinberg (dalam Santrock, 2012) adalah kecerdasan emosi. Seorang remaja yang dalam kondisi tenang mampu mengambil keputusan secara bijaksana, dapat mengambil keputusan yang tidak bijaksana ketika emosinya sedang tinggi, begitu pula halnya dengan pengambilan keputusan karir, remaja yang mampu mengendalikan dirinya dan memotivasi dirinya mampu melakukan pengambilan keputusan karir sesuai dengan keinginannya. Di Fabio, dkk (2013) berpendapat kecerdasan emosi dianggap sebagai faktor penting dalam mempengaruhi pengambilan keputusan karir, karena orang dengan kecerdasan emosi tinggi cenderung menggunakan pengalaman emosional untuk memandu pikiran dan tindakan mereka dalam perencanaan karir.
Salovey dan Mayer (1999) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Hal tersebut berarti bahwa emosi adalah perasaan yang banyak berpengaruh terhadap perilaku. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap dorongan dari luar dan dari dalam diri individu. Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai
pikiran. Jadi emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia.
Individu yang memiliki kecerdasan emosi akan memiliki kesadaran diri, kesadaran diri akan apa yang dirasakannya pada suatu saat tertentu dan mengetahui kemampuan yang dimilikinya akan mampu untuk memahami bakat, minat dan potensi yang dimiliki oleh remaja tersebut. Misalnya, remaja yang sadar akan dirinya lebih menonjol pada suatu mata pelajaran tertentu atau pada bidang tertentu, ia akan mampu untuk menganalisis kemampuannya kemudian mulai memikirkan untuk melakukan pengambilan keputusan karir kearah bidang atau keahlian yang ia miliki dan sesuai dengan keinginannya.
Remaja yang memiliki keterampilan sosial yang baik yaitu remaja yang mampu berinteraksi dengan baik melalui keterampilan sosial guna berumusyawarah dan menyelesaikan perselisihan akan mampu untuk melakukan pengambilan keputusan dengan tepat, misalnya ketika pengambilan keputusan karir remaja di dasari oleh tuntutan orang tua atau pengaruh teman sebaya, maka remaja tersebut akan memiliki kemampuan untuk bermusyawarah guna menyelesaikan perselisihan dan mampu untuk melakukan pemilihan karir yang tepat.
Remaja yang memiliki kecerdasan emosi mampu memahami perasaannya sendiri dan cara mengungkapkannya dengan tepat akan berpengaruh dengan pergaulan, sekolah dan karirnya. Remaja yang yakin dengan diri dan kemampuannya akan mampu untuk menentukan pilihannya sesuai dengan
keinginannya salah satu bentuknya dalam menentukan pengambilan keputusan karirnya. Menurut Penelitian Goleman (2004) keberhasilan orang- orang sukses lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional yang mereka miliki yang mencapai 80 % sedangkan kecerdasan intelektual hanya berperan 20 % dalam kesuksesan mereka.
D. Hipotesis
Berdasarkan pada kerangka pemikiran yang telah diuraikan diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan yang positif antara kecerdasan emosi dengan pengambilan keputusan karir pada remaja.
Semakin tinggi kecerdasan emosi yang dimiliki remaja, maka semakin baik pengambilan keputusan karir pada remaja.