A. Kemunduran Islam pada Masa Bani Umayyah
Daulat Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sofyan bin Harb bin Umayyah pada tahun 41 H. Berdirinya daulah ini, karena Muawiyah tidak mau meyakini kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Sehingga pada waktu itu terjadi perang saudara di antara umat Islam yaitu antar pasukan Ali melawan pasukan Muawiyah. Dalam pertempuran yang sengit itu banyak mengorbankan jiwa kaum muslimin, hingga pada akhirnya diadakan perundingan dan Muawiyah dengan tipu dayanya membohongi pasukan Ali bin Abi Thalib.
Sejak itulah Muawiyah menjadi khalifah kaum muslimin secara resmi, meskipun diperoleh dengan tidak wajar dan sekaligus menyimpang dari ajaran Islam.
Sejak berdirinya pemerintahan Bani Umayah pada tahun 661 M dimulai pula tradisi baru dalam sistem pemerintahan Islam. Sistem pemilihan secara demokratis yang dikembangkan selama masa kekhalifahan ar-Rasyidin telah tidak dikenal lagi dalam proses pemilihan khlaifah.
Proses pergantian khalifah untuk seterusnya dilakukan mengikuti sistem turun-temurun. Dalam literatur Islam sistem itu dikenal sebagai Daulah Islamiyah, yang berarti kekuasaan Islam yang berciri kedinastian atau ashobiyah.
Selama masa pemerintahan dan kekuasaan khalifah pertama (Mu`awiyah), Daulah Umayyah banyak mencapai keberhasilan, terutama penaklukan sejumlah kota penting di kawasan Asia Tengah, seperti Kabul, Heart dan Gazna. Dalam pemerintahan, ia mendirikan beberapa departemen yang mengurus masalah-masalah kepentingan umat, seperti playanan pos, pembagian tugas pemerintahan pusat dan daerah, pemungutan pajak dan pengangkatan gubernur- gubernur di daerah.
Dalam pemerintahan Islam yang ditegakkan dengan cara perebutan kekuasaan oleh Muawiyah terhadap Khalifah Ali yang sah, harus tetap waspada terhadap setiap pengkritik. Oleh karenanya selalu menaruh kecurigaan terhadap kemungkinan terjadinya intrik istana maupun gerakan perlawanan terhadap khalifah. Oleh karenanya tidaklah mengherankan kalau Bani Umayyah menjadi sangat kuat, sehingga berhasil menegakkan kekhalifahan Bani Umayyah selama 90 tahun. Selama itu pula telah memerintah 14 orang khalifah, sebagai berikut:
1. Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan (661-689 M) 2. Khalifah Yazid I (680-683 M)
3. Khalifah Muawiyah II (683-684 M)
4. Khalifah Marwan I bin al-Hakam (684-685 M) 5. Khalifah Abdul Malik (685-705 M)
6. Khalifah Al-Walid (705-715 M) 7. Khalifah Sulaiman (715-717 M)
8. KhalifahUmar bin Abdul Aziz (717-720 M) 9. Khalifah Yazid II (720-724 M)
10. Khalifah Hisyam (724-743 M) 11. Khalifah Al-Walid II (743-744 M)
12. Khalifah Yazid III dan Ibrahim (744-744 M) 13. Khalifah Marwan II bin Muhammad (744-750 M)
Empat orang khalifah memegang kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu: Mu`awiyah, Abdul Malik, Al-Walid I dan Hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah sisanya hanya memerintah dalam jangka waktu 20 tahun saja. Dan para pencatat sejarah umumnya sependapat bahwa khalifah- khalifah terbesar mereka ialah: Mu`awiyah, Abdul Malik dan Umar Ibn Abdul Aziz.
Untuk memelihara keutuhan dan mencegah perpecahan umat Islam karena suksesi kepemimpinan, sebagaimana yang pernah ia saksikan pada masa beberapa khalifah sebelumnya, Mu`awiyah mencalonkan putranya, Yazid sebagai putra mahkota yang akan menggantikan kedudukanya jika ia meninggal, pencalonan tersebut dilakukannya pada tahun 679. untuk mengamankan pencalonann itu, Mu`awiyah melakukan bebagai pendekatan kepada para pemuka masyarakat hingga seluruh lapisan masyarakat.
Namun rencana tersebut mendapat tantangan dari beberapa pihak, terutama pemuka-pemuka masyarakat hijaz, sepeerti Abdullah bin Umar, Abdul Rahmn bin Abi Bakar, Husein bin Ali, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Abbas. Penolakan mereka didasari atas suatu keinginan agar khalifah yang diangkat tidak melalui penunjukan, melainkan dengan musyawarah sebagaimana yang pernah diperaktekkan oleh khalifah-khalifah sebelumnya.
Setelah Mu`awiyah wafat, Daulah ini harus berusaha keras mempertahankan posisinya yang goyah, kondisi politik tidak stabil, banyak kelompok masyarakat yang tidak puas dengan raja baru yang sebelumnya telah dinobatkan sebagai putera mahkota. Pengangkatan putera mahkota ini mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dari kalangan sipil yang menyebabkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkepanjangan.
Maka setelah Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia terhadapnya meskipun pada akhirnya terpaksa tunduk juga, kecuali Husain Ibn Ali dan Abdullah Ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi`ah (pengikut Ali) melakukan konsilidasi (penggabungan) kekuatan kembali. Perlawanan terhadap Bani Umayyah dimulai oleh Husain Ibn Ali pada tahun 680 M. namun tentara Husain kalah dan dia sendiri terbunuh dalam pertempuran yang tidak seimbang, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya di kubur di Karbala.
Perlawanan kaum Syi`ah tidak padam dengan terbunuhnya Husain, bahkan mereka menjadi lebih keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi`ah terjadi, diantaranya terjadinya pemberontakan Mukhtar di Kufah yang mendapat dukungan dari kaum Mawali pada tahun 685-687 M.
Selain itu Bani Umayyah juga mendapat tantangan dari kaum Khawarij, dan meskipun gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan baik dari pihak syi`ah maupun dari khawarij dapat dipatahakan oleh Yazid tetapi tidak berarti menghentikan gerakan oposisi dalam pemerintahan Bani Umayyah.
Dan hubungan pemerintahan dan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (717-720). Dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi`ah, dia juga memberi kebebasan kepada penganut agama lainnya untuk beribadah sesuai keyakinan dan kepercayaannya, pajak diperingan, kedudukan Mawali disejajarkan dengan muslim Arab.
Tetapi sayang sekali angin kedamain yang berhebus dari pesona kepemimpinan Umar yang adil dan bijaksana ini tidak berlangsung lama, hanya lebih kurang dua tahun memerintah kemudian beliau meninggal dunia. Penggantinya adalah Yazid Ibn Abd. Malik (720-724) Khalifah ini jauh berbeda dengan khalifah sebelumnya, ia terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang memperhatikan rakyat, sehingga kerusuhan terus berlangsung hingga masa pemerintahan Hisyam Ibn Abd. Malik (724-743). Bahkan dizaman ini mucul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahahn Bani Umayyah. kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan Mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini mampu menggulingkan Daulah Umayyah dan mengantinya dengan Daulah baru, yakni Daulah Bani Abbasiyyah.
Sepeniggal Hisyam Ibn Abd. Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya pada tahun 750 M Daulah Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan Bin Muhammad khalifah terakhir bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh disana.
Dari berbagai kesuksesan dan kebesaran yang telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak mampu menahan kehancurannya, akibat kelemahan-kelemahan internal dan semakin kuatnya tekanan dari fihak luar. Adapun hal-hal yang membawa kemunduran yang akhirnya berujung pada kejatuhan Bani Umayyah dapat diidentifikasikan antara lain sebagai berikut:
1. Pertentangan keras antara suku-suku Arab yang sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah yang menempati Irak dan Arab Selatan Himyariyah yang berdiam di wilayah Suriah. Di zaman Umayyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya, karena para khalifah cederung kepada satu fihak dan menafikan yang lainnya.
2. Ketidak puasan sejumlah pemeluk Islam non Arab. Mereka yang merupakan pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang dikalahkan mendapat sebutan “Mawali”, suatu stastus yang menggambarakan inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat fasilitas dari penguasa Umayyah. Mereka bersama-sama Arab mengalami beratnya peperangan dan bahkan atas rata-rata orang Arab, tetapi harapan mereka untuk mendapatkan tunjangan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti tunjangan tahunan yang diberikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.
3. Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik. Kaum syi`ah dan khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu dapat mengancam keutuhan kekuasaan Umayyah.
Disamping menguatnya kaum Abbasiyah pada masa akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani Umayyah dalam memimpin umat.
B. Masa Kehancuran Bani Umayyah
Secara Revolusioner, Daulah Abbasiyyah (750-1258) menggulingkan kekuasaan Daulah Umayyah, kejatuhan Daulah Umayyah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Daulah Umayyah, pecahnya persatuan antar suku bangsa Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginana mereka untuk memilki pemimpin karismatik. Sebagai kelompok penganut islam baru, mawali diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara bangsa Arab menduduki kelas bangsawan. Golongan agamis merasa kecewa terhadap pemerintahan bani Umayyah karena corak pemerintahannya yang sekuler. Menurut mereka, Negara seharusnya dipimpin oleh penguasa yang memiliki integritas keagamaan dan politik. Adapun perpecahan antara suku bangsa Arab, setidak-tidaknya ditandai dengan timbulnya fanatisme kesukuan Arab utara, yakni kelompok Mudariyah dengan kesukuan Arab Selatan, yakni kelompok Himyariyah. Disamping itu, perlawanan dari kelompok syi`ah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menjatuhkan Daulah Umayyah dan munculnya Daulah Abbasiyyah.
Menurut Dr. Badri Yatim, ada beberapa faktor yang menyebabkan Dinasti Umayyah lemah dan membawanya pada kehancuran, yaitu sebagai berikut:
1. Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebuh menentukan aspek senioritas, pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang terbentuknya Dinasti Umayyah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik politik yang terjadi di masa Ali bin Abi Thalib. Sisa-sisa Syi’ah (para pengikut Ali) dan Khawarij terus terjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti di masa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti di masa pertengahan kekuasaan Dinasti Umayyah.
Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah, pertentangan etnis antara Suku Arabia Utara (Bani Qais) dan Arab Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam semakin runcing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Dinasti Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan Timur lainnya merasa tidak puas karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperhatikan pada masa Bani Umayyah.
4. Lemahnya pemerintah daulah Dinasti Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah di lingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan. Di samping itu, sebagian besar golongan awam kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung runtuhnya kekuasaan Dinasti Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan Al-Abbas bin Abbas Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah, dan kaum Mawali yang merasa dikelasduakan oleh pemerintah Dinasti Umayyah.
Beberapa penyebab tersebut muncul dan menumpuk menjadi satu, sehingga akhirnya mengakibatkan keruntuhan Dinasti Umayyah, disusul dengan berdirinya kekuasaan orang-orang Bani Abbasiyyah yang mengejar-ngejar dan membunuh setiap orang dari Dinasti Umayyah yang dijumpainya.
Demikianlah, Dinasti Umayyah pasca wafatnya Umar bin Abdul Aziz yang berangsur- angsur melemah. Kekhalifan sesudahnya dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh yang melemahkan dan akhirnya hancur. Dinasti Bani Umayyah diruntuhkan oleh Dinasti Bani Abbasiyyah pada masa khalifah Marwan bin Muhammad (Marwan II) pada tahun 127 H/744 M.
C. Hikmah Yang Dapat Diambil dari Kehancuran Pada Masa Bani Umayyah
Hikmah atau pelajaran yang dapat diambil dari kehancuran dinasti Bani Umayyah, diantaranya adalah:
1. Tidak boleh rakus dalam kekuasaan.
2. Tidak boleh boros, apalagi menggunakan uang negara yang sumbernya berasal dari uang rakyat.
3. Harus berlaku adil dalam segala hal ketika menjadi penguasa dan setelahnya.
4. Berakhlak mulia dan jangan sombong.
5. Harus dekat dengan Tuhan dan rakyat yang mendukung kekuasaannya.
6. Mengasihi fakir miskin dan orang-orang lemah.
BAB III PENUTUP KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah tersebut, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Diantara faktor-faktor yang membawa Daulah Bani Umayyah mengalami kemunduran adalah sebagai berikut:
a. Munculnya fanatisme kesukuan dalam suku-suku bangsa Arab
b. Kuatnya pengaruh fanatisme golongan (Arabisme) yang memicu munculnya kecemburuan sosial dikalangan non Arab (Mawali)
c. Adanya perebutan kekuasaan di dalam keluarga besar Bani Umayyah
d. Larutnya beberapa penguasa (khalifah) dalam limpahan harta dan kekuasaan
2. Adapun faktor-faktor yang membawa Daulah Bani Umayyah ke gerbang kehancuran adalah sebagai berikut:
a. Tidak adanya sistem pergantian pemerintah (khalifah) yang baku yang bisa dijadikan patokan dalam pergantian khalifah.
b. Kuatnya gerakan oposisi dari kaum Syi`ah dan Khawarij
c. Perselisihan dan pertentangan etnis antara suku Arab yang mengakibatkan para penguasa mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan.
d. Sikap hidup yang mewah dilingkungan keluarga Bani Umayyah
e. Perhatian penguasa Bani Umayyah terhadap perkembangan agama sangat kurang.
f. Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib dan didukung oleh Bani Hasyim, kaum Syi`ah dan kaum Mawali.
3. Hikmah atau pelajaran yang dapat diambil bahwa, setiap Daulah/kekuasaan akan mengalami masa kejayaan dan kehancuran, dan alangkah jayanya suatu kekuasaan/peradaban kalau ia dapat mengambil pelajaran untuk menggapai kejayaan berikutnya.