• Tidak ada hasil yang ditemukan

Amankah Pengawet Makanan Bagi Manusia ?

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Amankah Pengawet Makanan Bagi Manusia ?"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Majalah Ilmu Kefarmasian Majalah Ilmu Kefarmasian

Volume 3 Number 1 Article 2

4-30-2006

Amankah Pengawet Makanan Bagi Manusia ? Amankah Pengawet Makanan Bagi Manusia ?

Harmita Harmita

Staf Pengajar Departemen Farmasi FMIPA-UI, Depok

Follow this and additional works at: https://scholarhub.ui.ac.id/mik

Part of the Natural Products Chemistry and Pharmacognosy Commons, Other Pharmacy and Pharmaceutical Sciences Commons, and the Pharmaceutics and Drug Design Commons

Recommended Citation Recommended Citation

Harmita, Harmita (2006) "Amankah Pengawet Makanan Bagi Manusia ?," Majalah Ilmu Kefarmasian: Vol.

3 : No. 1 , Article 2.

DOI: 10.7454/psr.v3i1.3395

Available at: https://scholarhub.ui.ac.id/mik/vol3/iss1/2

This Mini Review Article is brought to you for free and open access by the Faculty of Pharmacy at UI Scholars Hub.

It has been accepted for inclusion in Majalah Ilmu Kefarmasian by an authorized editor of UI Scholars Hub.

(2)

53 Pengawet makanan termasuk

dalam kelompok zat tambahan makanan yang bersifat inert secara farmakologik (efektif dalam jumlah kecil dan tidak toksis). Pengawet penggunaannya sangat luas, hampir seluruh industri mempergunakannya termasuk industri farmasi, kosmetik, dan makanan.

Di bidang kesehatan termasuk farmasi penggunaan pengawet dibatasi jenis dan jumlah penggunaannya.

Karena Indonesia tertinggal dalam bidang penelitiannya maka diadopsilah peraturan yang ada di WHO. Khusus untuk pengawet makanan peraturannya sesuai dengan Permenkes RI No 722/

Menkes/Per/IX/88 (Anonim, 1988) Industri yang sudah memiliki ISO 9001 tentunya telah menerapkan manajemen produksi yang baik sehingga banyak yang sudah mengurangi jumlah peng- gunaan pengawet atau tidak meng- gunakan pengawet lagi (produk susu, teh dalam botol)

Seringkali ada salah pengertian mengenai pengawet untuk makanan yang seolah-olah aman digunakan selama tidak menyebabkan keracunan atau kematian (toksisitas akut), tetapi sebenarnya menyebabkan kerusakan organ tubuh manusia dalam jangka

panjang (toksisitas kronik) (Hardman J.G et all 1996). Bahaya ini dapat terjadi karena produk makanan tersebut setiap hari dimakan, berbeda dengan obat-obat per oral yang digunakan hanya kalau sakit.

Kebutuhan akan pengawet pada industri kecil (rumah tangga) karena kebersihan tempat, alat produksi, dan proses produksi yang tidak memenuhi syarat. Sesuai dengan persaingan usaha yang terjadi tentunya semakin banyak produk yang dapat dibuat akan semakin murah harga produk tersebut sehingga dapat merebut pasar. Akibat hal ini maka diperlukanlah zat kimia untuk membantu kestabilan produk jika target penjualan tidak tercapai (produk tidak terjual dalam waktu tertentu) Jika zat kimia tersebut tidak termasuk dalam kelompok yang diijinkan pengguna- annya sebagai pengawet oleh peme- rintah tentunya ada alasannya, yang terutama adalah bahaya toksisitas kronisnya akibat tidak inert secara farmakologik.

Daya beli masyarakat Indonesia rendah akibat krisis yang berlangsung sejak 1998, akibatnya masyarakat memerlukan kebutuhan makanan yang murah sesuai dengan daya jangkau keuangannya. Makanan yang murah itu adalah tahu, tempe, ikan, ikan asin.

Produk makanan inilah yang dimakan oleh sebagian besar masyarakat Indone- sia dari tingkat ekonomi atas sampai dengan rendah. Jika produk ini tercemar maka akan sangat merugikan rencana pembangunan Indonesia dan akan merusak kemampuan bersaing generasi mendatang menghadapi globalisasi.

Kerugian yang muncul bukan hanya itu

AMANKAH PENGAWET

MAKANAN BAGI MANUSIA ?

O P I N I

Harmita

Staf Pengajar Departemen Farmasi FMIPA-UI, Depok

(3)

MAJALAH ILMU KEFARMASIAN 54

tetapi juga kepercayaan terhadap makanan terkontaminasi itu akan hilang sehingga akan masuklah produk lain dari luar negeri sebagai penggantinya, hal ini tentunya tidak diinginkan.

Senyawa kimia yang saat ini banyak terdapat pada tahu, ikan, ikan asin, dan mie basah adalah formalin (larutan formaldehid 37% dalam 10-15%

metanol dan air). Formalin in mem- punyai BM = 30 dengan RM CH2O (2).

Karena kecilnya molekul ini memu- dahkan absorpsi dan distribusinya ke dalam sel tubuh(Anonim, The Complete Drug References, 2005. Gugus karbonil yang dimilikinya sangat aktif dapat bereaksi dengan gugus –NH2 dari pro- tein yang ada pada tubuh membentuk senyawa yang mengendap (Anonim, The Merck Index 12 th 1996 ). Enzim, hormon, atau reseptor adalah protein tertier/kwaterner yang jika bereaksi dengan karbonil dari formaldehid dapat menyebabkan hilangnya sifat spesifik- nya. Metabolit yang terdapat pada RNA dan DNA pun akan dapat berikatan dengan gugus karbonil formaldehid yang mengakibatkan cacatnya gen akibat jangka panjangnya adalah terjadinya kanker (Anonim 2005, WHO 2006) Efek formalin pada produk makanan yang mengandung protein seperti tahu, baso, ikan, ikan asin, dan mie sudah dapat dilihat yaitu berubah- nya konsistensi menjadi keras atau kenyal pada produknya, tentunya hal ini akan terjadi juga jika formalin bebas masuk ke organ tubuh dan bereaksi dengan protein tubuh, maka membran sel, tulang rawan akan mengeras; enzim, dan hormon akan berubah atau tidak berfungsi. Sifat permeabelitas dari sel

akan hilang, akibatnya proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi tubuh akan terganggu. Tentunya masya- rakat farmasi khususnya dan bangsa Indonesia umumnya harus segera mencari jalan keluar jika tidak ingin hal ini berlangsung terus. Pemerintah melalui Depkes, Badan POM, Deperin, Deperdag, dan Dinas Kesehatan beserta jajarannya tentunya sudah mengetahui kasus ini dan sedang memikirkan cara penanggulangannya, masalah ini akan cepat teratasi jika semua pihak yang berkepentingan merasa bertanggung jawab terhadap mutu generasi men- datang. Pemerintah harus segera mem- beri bimbingan,penyuluhan,bantuan yang memadai untuk sanitasi produksi dan lingkungan,serta manajemen produksi sehingga dapat terbukti bahwa dengan mematuhi/mengerti cara ter- sebut ternyata pengawet tidak diperlu- kan lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Hardman J,G. et al, Goodman & Gilman s The Pharmacological Basis of Therapeutic, 9th, McGraw-Hill, 1996, hal. 3.Permenkes RI. No. 722/

MenKes/Per/IX/88, Departemen Kesehatan R.I., 1988.

The Merck Index 12th, Merck&Co, 1996, 4262.

The Complete Drug Reference 34th, Phar- maceutical Press, 2005, hal. 1179-3.

WHO Information product on water sanitation, hygiene and Health 2005http//www.who.int/water sanitation health, 14.00 27 Maret 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722/MENKES/PER/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan.. Kementerian

722/Menkes/Per/IX/88, BTP adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan atau minuman dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan, mempunyai atau tidak

722/Menkes/PER/IX?1988, pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi.. Pemanis

Didalam peraturan Mentri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88 dijelaskan juga bahwa BTP adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan

Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 722/menkes/per/IX/1988 Tentang Bahan Tambahan Makanan.. Depatemen kesehatan

Dalam Cahyadi (2009), Pengertian Bahan Tambahan Pangan (BTP) menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.722/Menkes/Per/IX/88 secara umum adalah bahan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/IX/88 tentang Bahan Tambahan Pangan.. Departemen Kesehatan Republik

Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 722/MENKES/PER/IX/88 tentang bahan tambahan makanan, bahwa bahan tambahan makanan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan