Nama : Dhea Arini Putri NIM : 21201241037
Prodi/Kelas : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/A Mata Kuliah : Semiotika
ANALISIS JURNAL SEMIOTIKA PIERCE
A. IDENTITAS ARTIKEL JURNAL
Judul Artikel : Kritik Sosial dalam Cerpen Pelajaran Mengarang Karya Seno Gumira Ajidarma Melalui Pendekatan Semiotika Pierce
Penulis : Aprillia Ratna Sasmita
Asal : Universitas Negeri Yogyakarta
Jurnal : Basasastra: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, Vol. 9, No. 1, Hal. 61-73
B. KESIMPULAN ANALISIS
Cerpen Pelajaran Mengarang menceritakan kehidupan seorang anak perempuan bernama Sandra, yang tinggal dan tumbuh di sebuah lingkungan dengan latar sosial masyarakat marjinal ibukota. Sandra tumbuh dan dibesarkan oleh ibu yang bekerja sebagai penghibur di lingkungan sosial yang keras, kumuh bahkan dianggap hina oleh masyarakat awam. Suatu ketika di sekolahnya, gurunya memberikan tugas untuk mengarang dengan salah satu tema dari Keluarga Kami yang Bahagia, Liburan ke Rumah Nenek, dan Ibu. Sandra bingung, karena semua tema bahagia itu hanya omong kosong belaka, bukannya menuliskan pengalamannya, Sandra justru teringat dengan kenangan-kenangan buruk tentang ibunya.
Penelitian ini berusaha mengungkapkan kritik sosial dalam cerpen Pelajaran Mengarang dengan pendekatan semiotika Pierce yang menggunakan trikotomi relasi tiga unsur tanda, yaitu hubungan antara represetamen, objek, dan interpretan. Penelitian ini adalah penelitian desktiptif kualitatif dan metode studi pustaka. Metode pengumpulan datanya adalah dengan kegiatan membaca, mengidentifikasi, mencatat, dan menafsirkan data. Melalui penelitian ini, penulis berhasil menemukan tanda berupa ikon, indeks, dan simbol.
1. Ikon
Melalui analisis narasi dan dialog dalam cerpen, penulis menemukan dua ikon yang berfungsi sebagai penanda lingkungan sosial dan sebuah profesi yaitu wanita penghibur. Lingkungan sosial yang dimaksud adalah lingkungan tempat tinggal Sandra yang lekat dengan tempat hiburan malam, kondisi ini direpresentasikan dengan keadaan lingkungan rumah yang berantakan dan kumuh. Penggambaran tempat kerja yang identik dengan kondisi remang-remang dan dipenuhi aktivitas yang memuat unsur-unsur asusila,
sedangkan ikon wanita penghibur direpresentasikan dengan tingkah laku ibu Sandra yang sering bepergian untuk memenuhi pesanan dan jarang pulang selama berhari-hari.
2. Indeks
Penulis menemukan tiga indeks, yaitu status sosial yang rendah, penyimpangan sosial, dan gangguan psikologis. Status sosial yang rendah diindikasikan dengan banyaknya penggunaan kosakata makian dalam percakapan sehari-hari, bahkan mengarah kepada kotakata asusila yang tak pantas. Penyimpangan sosial diindikasikan dengan perilaku tokoh yang merupakan respon dari lingkungan sosial yang ditinggalinya, yaitu lingkungan hiburan malam. Perilaku tokoh tersebut adalah salah satu bentuk caranya dalam menjalankan pekerjaan atau profesinya sebagai wanita penghibur. Terakhir, indikasi gangguan psikologis yang dialami oleh Sandra dapat dilihat dari pergumulan batin yang ia alami, yang mana hal itu menandakan adanya krisis identitas dalam dirinya.
3. Simbol
Penulis menemukan satu simbol yang merepresentasikan gaya hidup. Gaya hidup yang dimaksud ada beberapa hal, yaitu gaya hidup keluarga Sandra yang mana rumahnya selalu terlihat kumuh dan penuh dengan laki-laki langganan ibunya, serta gaya hidup masyarakat perkotaan yang konsumtif dan cenderung hidup mewah. Demi menghidupi Sandra dan menyesuaikan dengan gaya hidup di Jakarta, ibu Sandra bahkan tak peduli jika harus menjual dirinya sendiri.
Selain menemukan tanda dan maknanya, penulis juga menyimpulkan beberapa kritik sosial yang berusaha penulis cerpen sampaikan melalui cerpen Pelajaran Mengarang, yaitu:
1. Masyarakat masih menutup mata terhadap berbagai fenomena yang menyangkut penyimpangan norma, moral, dan asusila.
2. Kebanyakan masyarakat ibukota lebih takut hidup mlarat daripada hidup dengan status sosial dan norma yang baik.
3. Lingkungan sosial memiliki dampak yang besar dalam memberikan perombakan besar pada kehidupan individu.
4. Masyarakat Indonesia mengaku memegang teguh norma dan nilai-nilai luhur, tetapi kenyataannya fenomena penyimpangan sosial malah mengakar di masyarakat.