MAKALAH
ANALISIS PERUNDUNGAN DI LINGKUNGAN KERJA
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Studi Independen GNIK
Oleh :
Imes Azzah Indriana
GERAKAN NASIONAL INDONESIA KOMPETEN 2024
A. SITUASI PROBLEMATIK
Di masa kini, sudah tidak asing lagi bagi kita mengenal istilah bullying.
Perundungan tidak hanya berlaku di kalangan pendidikan (seperti sekolah) melainkan berlaku juga di lingkungan pekerjaan. Menurut American Psychological Association (dalam Yusuf and Fahrudin, 2012) perundungan atau bullying adalah suatu bentuk perilaku agresif di mana seseorang secara sengaja dan berulang kali menyebabkan orang lain cedera atau tidak nyaman. Menurut Einarsen (dalam Silviandari & Helmi, 2018) bullying merupakan situasi di mana seseorang berulang kali dan selama periode waktu tertentu terpapar tindakan negatif, yaitu adanya tindakan kekerasan yang terus menerus, komentar ofensif atau menggoda, cemoohan atau pengecualian sosial yang dilakukan oleh rekan kerja, pengawas atau bawahan. Tindakan negatif bullying dapat dilakukan melalui kontak fisik, kata-kata, atau dengan cara lain, seperti membuat wajah atau gerakan jahat, dan pengucilan yang disengaja dari suatu kelompok (Volk et al., 2014). Terdapat tiga ciri-ciri utama suatu perilaku bullying, yang pertama, perilaku yang menetap atau berkepanjangan, artinya perilaku tersebut dilakukan secara berulang dan dalam jangka waktu tertentu.
Kedua, terdapat kesenjangan pengaruh (imbalance power) yaitu pelaku memiliki kekuatan (power) yang tidak seimbang dengan target bullying. Dan yang ketiga, terdapat rasa benci, rasa tidak suka, serta tindakan bermusuhan (Silviandari & Helmi, 2018).
Workplace bullying merupakan permasalahan yang kompleks dan masih terjadi hingga saat ini. Perilaku perundungan ini dapat berupa tindakan kekerasan verbal, intimidasi, pengecualian sosial, atau bahkan penyalahgunaan kekuasaan. Contoh konkret dari perilaku bullying di tempat kerja meliputi kritik yang terus-menerus terhadap hasil kerja karyawan, pelecehan verbal, pemberian tugas yang tidak masuk akal, atau mengabaikan kontribusi karyawan dalam diskusi. Tindakan ini sering kali berasal dari rekan kerja, atasan, atau bawahan dan dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Bullying di tempat kerja memiliki dampak yang signifikan terhadap karyawan dan organisasi. Secara fisik, korban dapat mengalami gangguan seperti sakit kepala, masalah tidur, dan penyakit kronis akibat stres yang berkepanjangan. Dampak mental dan emosional juga sangat dirasakan, banyak korban bullying yang mengalami kecemasan, depresi, dan bahkan gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Dari segi kinerja, bullying berkontribusi pada menurunnya produktivitas karena korban sulit berkonsentrasi, motivasi kerja pun akan menurun. Dampak sosial dari bullying di tempat kerja juga tidak dapat diabaikan, karena dapat memicu polarisasi antar karyawan, menyebabkan perpecahan dan mengganggu harmoni serta kolaborasi tim.
B. ANALISIS
Menurut KBBI, integritas diartikan sebagai mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan atau kejujuran. Menurut Karssing (dalam Huberts, 2018) integritas memiliki arti bahwa seorang profesional melaksanakan tugasnya secara memadai, cermat dan bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan semua kepentingan yang relevan. Solomon (dalam Prawani & Redjeki, 2013) dengan menyebut integritas tidak hanya tentang otonomi individu dan kebersamaan, tetapi juga loyalitas, keserasian, kerjasama, dan dapat dipercaya. Menurut Peraturan Menteri PAN RB RI No.60 Tahun 2020, integritas adalah konsistensi berperilaku yang selaras dengan nilai, norma dan/atau etika organisasi, dan jujur dalam hubungan dengan atasan, rekan kerja, bawahan langsung, dan pemangku kepentingan, serta mampu mendorong terciptanya budaya etika tinggi, bertanggung jawab atas tindakan atau keputusan beserta risiko yang menyertainya.
Bullying di tempat kerja sering kali mencerminkan kurangnya integritas dalam organisasi dan individu. Integritas, sebagai landasan moral dalam lingkungan profesional, mengharuskan setiap anggota organisasi untuk
bertindak secara etis, transparan, dan bertanggung jawab. Ketika seorang pemimpin tidak memberikan contoh yang baik, mengabaikan keluhan mengenai bullying, atau bahkan terlibat dalam tindakan perundungan itu sendiri, mereka menciptakan budaya kerja yang permisif terhadap perilaku agresif. Hal ini tidak hanya merugikan individu yang menjadi korban, tetapi juga menurunkan moralitas keseluruhan organisasi. Dalam konteks ini, kurangnya integritas menunjukkan bahwa individu atau organisasi tersebut tidak menghargai nilai-nilai etis yang seharusnya menjadi acuan bagi perilaku semua anggota.
Tindakan bullying jelas melanggar prinsip-prinsip integritas, karena melibatkan pelanggaran terhadap hak asasi individu dan menciptakan ketidakadilan dalam hubungan kerja. Bentuk-bentuk bullying, seperti pelecehan verbal, intimidasi, dan pengecualian sosial, sangat tidak sesuai dengan prinsip kejujuran, etika, dan profesionalisme yang seharusnya menjadi dasar interaksi di tempat kerja. Ketika tindakan ini terjadi, kepercayaan antara rekan kerja terganggu, dan individu merasa tidak aman serta terancam di lingkungan kerjanya. Hal ini berpotensi menyebabkan ketidakpuasan kerja yang tinggi dan peningkatan tingkat turnover karyawan.
Faktor-faktor yang memungkinkan pelanggaran integritas ini terjadi sering kali berkaitan dengan kurangnya regulasi atau mekanisme pelaporan yang efektif. Ketika organisasi tidak memiliki prosedur yang jelas untuk menangani kasus bullying, karyawan mungkin merasa tidak memiliki saluran yang aman untuk melaporkan perilaku tersebut. Selain itu, budaya organisasi yang permisif terhadap perilaku agresif dapat memperburuk situasi, di mana individu merasa bahwa tindakan bullying adalah hal yang wajar atau dapat diterima. Jika organisasi tidak memiliki kebijakan yang jelas dan tindakan tegas terhadap perilaku bullying, hal ini menunjukkan ketidakseriusan dalam
menjaga integritas, yang dapat memicu perilaku serupa di antara karyawan lainnya.
Dampak dari pelanggaran integritas akibat bullying tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga berimbas pada tim secara keseluruhan.
Budaya kerja yang toxic akan menciptakan suasana yang tidak produktif, di mana kolaborasi dan komunikasi antar anggota tim terhambat. Ketidakpastian dan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh karyawan dapat mengakibatkan penurunan motivasi, serta penurunan produktivitas dan kualitas kerja. Jika organisasi ingin membangun lingkungan kerja yang sehat dan produktif, penting bagi mereka untuk menegakkan prinsip-prinsip integritas, menerapkan kebijakan anti-bullying yang jelas, dan memberikan dukungan bagi individu yang mengalami perundungan.
Design thinking adalah metode kolaborasi yang mengumpulkan banyak ide dari disiplin ilmu untuk memperoleh sebuah solusi. Dalam metode ini terdapat 5 tahap/proses yang memungkinkan kita untuk memperoleh keluaran yang inovatif, yaitu empathize, define, ideate, prototype, dan test (Redjeki &
Heridiansyah, 2013). Design thinking memberikan pendekatan berbasis solusi untuk memecahkan masalah. Design thinking mengaplikasikan cara berpikir dan bekerja menggunakan serangkaian metode yang sederhana dan jelas, ini dapat membantu kita mengamati dan mengembangkan empati untuk target pengguna. Design thinking dapat membantu kita dalam mengajukan pertanyaan, mengajukan hipotesis, dan mengajukan relevansi, karena design thinking sangat berguna dalam mendefinisikan ulang masalah yang berpusat pada manusia, menciptakan banyak ide dalam brainstorming, dan menggunakan metode prototipe dan pengujian langsung, design thinking sangat bermanfaat dalam mengatasi masalah yang penyebabnya belum jelas atau belum diketahui (Fariyanto et al., 2021).
Dalam konteks analisis bullying di lingkungan kerja, pendekatan design thinking dapat digunakan untuk menemukan solusi yang efektif dan inovatif.
Tahap pertama dalam proses ini adalah empathize. Pada tahap ini, organisasi perlu mengembangkan pemahaman mendalam mengenai pengalaman dan perspektif karyawan yang menjadi korban bullying. Dapat dilaksanakan melalui wawancara, survei, atau observasi, pihak manajemen dapat mengidentifikasi dampak emosional, psikologis, dan profesional yang dialami oleh korban. Pendekatan berbasis empati ini membantu organisasi melihat masalah dari sudut pandang karyawan, sehingga memungkinkan mereka untuk lebih peka terhadap kebutuhan dan perasaan korban bullying.
Tahap kedua, define, melibatkan perumusan masalah dengan lebih terstruktur berdasarkan hasil dari tahap empati. Dalam hal ini, bullying perlu didefinisikan secara spesifik, termasuk pola perilaku agresif yang sering terjadi, pelaku yang terlibat, serta bagaimana dinamika kekuasaan di tempat kerja mempengaruhi terjadinya bullying. Masalah ini harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan yang memandu pencarian solusi.
Setelah masalah didefinisikan dengan jelas, tahap berikutnya adalah ideate, di mana berbagai ide kreatif dan solutif dikembangkan. Dalam tahap ini, semua pemangku kepentingan, termasuk pimpinan, manajer, dan karyawan, dilibatkan dalam sesi brainstorming. Ide-ide yang dihasilkan bisa mencakup penerapan program pelatihan anti-bullying, pengembangan kebijakan pelaporan yang aman dan anonim, atau pembentukan tim khusus yang bertugas menangani insiden bullying. Dengan pendekatan ini, organisasi dapat mengumpulkan berbagai solusi potensial yang dapat diuji lebih lanjut.
Tahap keempat adalah prototype, di mana ide-ide yang paling potensial dikembangkan menjadi model atau skema uji coba. Prototipe ini bertujuan untuk menguji apakah solusi tersebut dapat diterapkan secara efektif di lingkungan kerja. Misalnya, organisasi dapat mencoba sistem pelaporan
anonim dalam skala kecil atau menerapkan program mentoring untuk memastikan bahwa setiap karyawan merasa didukung dan terlindungi dari tindakan perundungan.
Tahap terakhir, test, adalah fase di mana prototipe solusi diuji dalam lingkungan nyata. Proses ini melibatkan pengujian langsung di tempat kerja untuk melihat bagaimana solusi yang diimplementasikan dapat mengurangi insiden bullying. Feedback dari karyawan menjadi bagian penting dalam mengevaluasi efektivitas solusi yang diterapkan. Jika diperlukan, solusi tersebut dapat disesuaikan atau disempurnakan berdasarkan hasil uji coba dan umpan balik yang diterima.
C. IMPLIKASI MANAJERIAL
Manajer dan pemimpin organisasi memiliki tanggung jawab untuk mengambil langkah-langkah strategis dan operasional dalam mencegah serta menangani kasus perundungan di tempat kerja. Pertama, perusahaan harus menerapkan kebijakan anti-bullying yang jelas dan tegas. Kebijakan ini harus mencakup definisi bullying, prosedur pelaporan, serta sanksi yang diberikan kepada pelaku bullying. Manajemen harus memastikan bahwa semua karyawan memahami kebijakan tersebut melalui sosialisasi yang intensif, serta menjamin pelaksanaannya secara konsisten dan adil.
Selain itu, pelatihan dan edukasi berkala perlu dilakukan sebagai bagian dari upaya preventif. Manajemen bertanggung jawab untuk mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk memberikan pelatihan tentang perilaku profesional, etika kerja, dan resolusi konflik. Pelatihan ini tidak hanya untuk karyawan, tetapi juga untuk para manajer dan pimpinan agar mereka mampu mengidentifikasi tanda-tanda bullying, serta mengetahui cara menanganinya dengan cepat dan efektif. Edukasi yang berkelanjutan akan membantu meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai dampak negatif bullying,
sekaligus mempromosikan nilai-nilai kerjasama, integritas, dan saling menghormati dalam organisasi.
Implikasi lain yang perlu diperhatikan oleh manajemen adalah penyediaan saluran pelaporan yang aman dan anonim. Manajemen harus memastikan bahwa korban bullying memiliki akses ke sistem pelaporan yang mudah dan terjamin kerahasiaannya. Hal ini penting untuk melindungi karyawan dari potensi balas dendam atau diskriminasi setelah melaporkan insiden bullying. Perusahaan dapat menggunakan platform digital anonim yang memungkinkan karyawan untuk melaporkan perilaku bullying tanpa rasa takut atau tekanan.
Selain menyediakan sarana pelaporan, manajemen juga perlu membentuk tim penanganan khusus yang bertugas menindaklanjuti setiap laporan bullying secara objektif dan independen. Tim ini harus terdiri dari personel yang terlatih dan memiliki otoritas untuk menyelidiki insiden secara menyeluruh, serta memberikan rekomendasi tindakan yang sesuai. Terakhir, manajer harus melakukan pemantauan dan evaluasi berkala terhadap lingkungan kerja. Ini termasuk melakukan survei iklim kerja untuk mengukur tingkat kesejahteraan karyawan dan mengidentifikasi potensi risiko bullying.
Hasil survei ini harus dianalisis dan dijadikan acuan dalam merancang strategi perbaikan yang berkelanjutan. Evaluasi rutin juga penting untuk memastikan bahwa kebijakan anti-bullying dan mekanisme pelaporan tetap relevan dan efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Fariyanto, F., Suaidah, & Ulum, F. (2021). PERANCANGAN APLIKASI
PEMILIHAN KEPALA DESA DENGAN METODE UX DESIGN THINKING ( STUDI KASUS : KAMPUNG KURIPAN ). Jurnal Teknologi Dan Sistem Informasi, 2(2), 52–60.
Huberts, L. W. J. C. (2018). Integrity : What it is and Why it is Important Integrity : What it is and Why it is Important. Public Integrity, 0(0), 1–15.
https://doi.org/10.1080/10999922.2018.1477404
Redjeki, D. P. S., & Heridiansyah, J. (2013). Memahami Sebuah Konsep Integritas.
5(3), 1–14.
Silviandari, I. A., & Helmi, A. F. (2018). Bullying di Tempat Kerja di Indonesia.
Buletin Psikologi, 26(2), 137–145.
https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.38028
Volk, A. A., Dane, A. V., & Marini, Z. A. (2014). What is bullying? A theoretical redefinition. Developmental Review, 34(4), 327–343.
https://doi.org/10.1016/j.dr.2014.09.001
Yusuf, H., & Fahrudin, A. (2012). Perilaku Bullying : Asesmen Multidimensi dan Intervensi Sosial. Jurnal Psikologi Undip, 11(2).
https://doi.org/10.14710/jpu.11.2.10