• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anasir Dan Klasifikasi Hadits Dari Segi Kuantitas Dan Kualitas

N/A
N/A
NIK USWATI BINTI NIHENG YUSOH IPG-Pelajar

Academic year: 2024

Membagikan "Anasir Dan Klasifikasi Hadits Dari Segi Kuantitas Dan Kualitas"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/349007301

Anasir Dan Klasifikasi Hadits Dari Segi Kuantitas Dan Kualitas

Article · February 2021

CITATIONS

0

READS

6,087

1 author:

Arif Sugitanata

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta 34PUBLICATIONS   78CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Arif Sugitanata on 03 February 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.

(2)

1

Anasir Dan Klasifikasi Hadits Dari Segi Kuantitas Dan Kualitas Arif Sugitanata 1

Mahasiswa Magister Ilmu Syariah

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Email: arifsugitanata@gmail.com

ABSTRAK

Dalam makalah ini pemateri memaparkan materi dengan tema anasir dan klasifikasi hadits yang membahas pengertian dan kedudukan sanad dan matan dalam studi tentang hadits, pembagian hadits berdasarkan batas akhir sanad, skema hadits Nabi dan Klasifikasi hadits berdasarkan kualitas sanad dan matan. Salah satu kajian Islam yang sangat penting dalam memahami perkembangan menganai hadis terutama pada sisi keilmuannya seperti yang ada di atas, serta akan berdampak pula pada semua umat Islam dalam mengamalkan kesehariannya sehingga tetap berada pada kaidah-kaidah Islam guna mendapatkan ridha Allah SWT.

A. Latar Belakang

Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan.

Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu naqli dan aqli. Sumber yang bersifat naqli ini merupakan pilar dari sebagaian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang sangat otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW. Allah SWT telah memberikan kepada umat terdahulu yang selalu menjaga al-Qur’an dan hadits Nabi SAW mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan memegang janji.

Sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap al-Qur’an dan ilmunya yaitu para mufassir. Dan sebagian yang lain memprioritaskan perhatiaanya untuk menjaga hadits-hadits Nabi SAW dan ilmu-Nya, mereka adalah para ahli hadits, para shabat, tabi’in, dan tabiut tabi’in, juga sangat perhatian untuk menjaga Hadits-hadits Nabi SAW dan periwayatannya dari generasi ke generasi yang lain.

Hadits mempunnyai pengaruh yang besar terhadap agama. Para sahabat selalu mengajak untuk mengikuti cara hidup dan perilaku Rasulullah SAW,

1 Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Fakultas Syariah dan Hukum, NIM: 19203010089.

(3)

2

mereka juga diperintahkan untuk mengerjakan apa yang dibawa oleh Nabi SAW dan dilarang untuk mengerjakan semua yang dilarang-Nya.

Keteladanan mereka kepada Rasulullah SAW sangat luar biasa sehingga tidak pernah bertanya tentang sebab atau musabab dari perbuatan beliau.

Diriwayatkan al-Bukhari dari Ibnuu Umar R.A,“Bahwa Nabi SAW mengenakan cincin dari emas, lalu orang-orang mengenakan juga cincin dari emas.”Ibnu Hajar berkata, ini menunjukan bahwa para sahabat selalu bergegas untuk meneladani semua perbuatan Rasulullah SAW selama beliau menetapkan mereka mengikutinya, dan ketika beliau melarang mereka meninggalkannya"

2dan Rasulullah SAW mengajarkan untuk mendengarkan, menghafalkan dan menyampaikan hadits-hadits beliau, dan seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadits Nabi SAW merupakan sumber hukum Islam setelah al-Qur’an, dan umat Islam diwajibkan mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti al-Qur’an. Al-Qur’an dan hadits merupakan dua sumber hukum syar’iat Islam yang tetap. Umat Islam tidak mungkin bisa memahami syar’iat Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut.Seorang mujtahid dan seorang alimpun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.3 Banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang memberikan pengertian bahwa haditsmerupakan sumber hukum Islam selain al-Qur’an yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangan.

Mengesampingkan, apalagi menafikan kedudukan hadits sebagai salah satu sumber hukum Islam, berarti memenggal pilar utama yang menyangga tegakknya ajaran Islam itu sendiri, dan sekaligus menolak fungsi Kenabian dan Kerasulan Muhammad SAW. Penafikan tersebut merupakan fitnah terbesar dalam tradisi akidah Islam, yang menyeret pandangan ummat Islam pada kegelapan yang zalim, sekaligus meruntuhkan struktur bangunan Islam yang telah ditegakkan oleh Rasulullah SAW selama ini.4

Menurut catatan para pakar hadits, hadits mulai tercatat dan terbukukan secara resmi sekitar abad II H, yaitu pada masa dinasti Bani Umayyah oleh Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz yang memberikan intruksi kepada Abu Shihab Az-Zuhri dan Abu Bakar ibn Hazm untuk mengumpulkan dan mencatat hadits yang tersebar dan tercecer dalam hafalan para ahli dan penghafal hadits.5

2 Fathul Bari, Syarah Shahih Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalany: 1/321, cet. Salafiyah

3 Munzir Suparta, Ilmu Hadis. (Jakarta: PT Raja Grafindo persada 2008), hlm. 49-57.

4 Jalaluddin As-Suyuthy, Argumentasi As-Sunnah, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm.

V

5 Khoiriyah, Memahami Metodelogi Studi Islam, (Yogyakarta: Teras, 2013) hlm. 74-75.

(4)

3

Pembukuan hadits merupakan konsep yang tetap penting dipahami dengan benar dalam studi hadits, karena ia berkaitan dengan eksistensi periwayatan serta salah satunya anasir dan klasifikasi hadits-hadits Nabi SAW yang telah terjadi dalam sejarah, yang kemudian dibukukan dalam kitab-kitab hadits yang diwarisi oleh umat pada masa kemudian.6

Dalam perkembangan ilmu yang berkaitan dengan hadits, tidak sedikit umat Islam khususnya terhadap penulis sendiri dalam memahami pembagian hadits, dimana ada begitu banyak tingkatan dan pembagian dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan.

Hadits sebagai informasi atau fakta yang disandarkan atau dihubungkan kepada suatu masa, yaitu ke masa Nabi SAW yang isinya memuat perkataan, pengalan, pengakuan, dan penafsiran Nabi,7

Dari pemaparan singkat mengenai latar belakang yang telah diuraikan, penulis ingin meninjau sejauh mana pembagian hadits tersebut, dan penulis hanya akan memfokuskan pada anasir Hadits dan pembagian hadits dari segi kualitas hadits saja.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian dan kedudukan sanad dan matan dalam studi tentang hadits?

2. Apa saja pembagian hadits berdasarkan batas akhir Sanad?

3. Bagaimana skema hadits Nabi dan Klasifikasi hadits berdasarkan kualitas sanad dan matan?

C. Tujuan

1. Menjelaskan pengertian dan kedudukan sanad dan matan dalam studi tentang hadits

2. Menjelaskan pembagian hadits berdasarkan batas akhir Sanad

3. Menjelaskan skema hadits Nabi dan Klasifikasi hadits berdasarkan kualitas sanad dan matan.

6 M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, (Bogor: Kencana, 2003) hlm. 156-157.

7 Dalam konteks ini terlihat, bahwa ilmu hadits dan ilmu sejarah mempunyai kesejalanan, terutama dari sudut aktivitas rekonstruksi bahan atau informasi atau peristiwanya. Karena itu wajar bila pada saat demikian tiap-tiap ilmu dalam beberapa segi mempunyai keberbedaan konsep, tapi pada kesempatan yang sama memiliki banyak kesejalanan, termasuk dalam persoalan keaslian sumber atau teks atau naskah hadits

(5)

4

PEMBAHASAN A. Definisi Hadits

Kata hadis berasal dari kata hadits, jamaknya ahadits, hidtsan dan hudtsan. Namun yang terpopuler adalah ahadits, dan lafal inilah yang sering dipakai oleh para ulama hadis selama ini. 8 Hal ini terbukti dengan adanya kitab- kitab hadis atau kumpulan hadis-hadis yang diberi nama dengan ahadits seperti kitab mukhtar al-Hadits, al-Jami as-Shagir fi Ahadits al-Basyir an-Nadzir dan sebagainya.

Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, di antaranya al-jadid (sesuatu yang baru) yang merupakan lawan dari kata al-qadim (sesuatu yang lama). Juga bisa diartikan sebagai al-khabar (berita/informasi) dan al-qarib (sesuatu yang dekat). Kata al-jadid sendiri diidentikkan dengan al-hadits, sedagkan al-qadim diidentikkan dengan al-Qur’an karena hal itu sesuai dengan sifat dari keduanya. Didalam al Qur’an sendiri terdapat banyak lafal hadits, baik dalam bentuk mufrad (tunggal) maupun jamak, sedikitnya ada 28 tempat dengan perincian, 23 ayat dalan bentuk mufrad dan 5 ayat dalam bentuk jamak.9

Adapun pengertian hadis menurut istilah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Misalnya, ulama hadis mengatakan segala keadaan yang ada pada Nabi Muhammad.10 Sedangkan ulama ushul mengatakan hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi Muhammad yang bersangkut paut dengan hukum Islam.11 Sebagian ulama, antara lain at-Thiby, sebagaimana dikutip M. Syuhudi Ismail, mengatakan bahwa hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi, para sahabat, dan para tabiin.12

Perbedaan-perbedaan dalam memberikan definisi hadis dikarenakan peredaan cara peninjuan semata. Ulama hadis misalnya , meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad itu adalah sebagai usawatun hasanah (teladan terbaik) sehingga segala apa yang berasal dari beliau, baik berupa biografi, akhlak, berita, perkataan, dan perbuatannya, yang ada hubungannya dengan hukum atau

8 M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm. 20.

9 Misalnya surah an-Nisa’; 140, al-An’am; 68, Yusuf; 6 dan 21. Lebih jelas lihat Fuad al-Baqy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al Qur’an (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t.) hlm 247-248.

10 Termasuk “segala keadaan yang ada pada Nabi Muhammad” adalah sejarah hidup beliau (semisal kelahiran, keadaan sebelum dan setelah diangkat menjadi Rasul, dan masih banyak yang lain). Syuduh Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), hlm. 2

11 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 23

12 Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, Loc.cit.

(6)

5

tidak dikatagorikan sebagai hadis. Sedangkan ulama ushul meninjau bahwa pribadi Nabi Muhammad adalah sebagai pembuat undang-undang (selain yang sudah ada di dalam al Qur’an) yang membuat dasar-dasar ijtihad bagi para mujtahid yang datang sesudahnya dan menjelaskan kepada umat Islam tentang aturan hidup.13

Term hadis yang berkembang dalam khazanah ilmu keIslaman adalah seperti yang penulis paparkan di atas yakni hadis, sunnah, asar dan khabar.

Keemapat istilah tersebut secara umum bermakna sama yakni terkait erat dengan perkataan, perbuatan dan taqrir Rasulullah SAW. namun, ada juga perbedaan yang dilakukan oleh ulama terhadap beberapa istilah tersebut, kami selaku penulis sudah mencoba memaparkan secara ringkas mengenai perbedaan-perbedaan tersebut di atas.

B. Sanad Dan Matan

Pengertian Sanad dan Matan 1. Sanad

Kata “Sanad” menurut bahasa adalah “sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadis bersandar kepadanya.

Menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jama’ah dan Al-Thiby mengatakan bahwa sanad adalah:

نتملا قيرط نعرابخلإا

“Berita tentang jalan matan”.

Yang lain menyebutkan:

نتملل ةلصوملا لاجرلا ةلسلس

“Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), menyampaikannya kepada matan hadis”

Ada juga yang menyebutkan

اورلا ةلسلس هردصم نع نتملاولقن ني ذلا ة

لولأا

“Silsilah para perawi yang menukilkan hadis dari sumbernya yang pertama”.14 2. Syarat-Syarat Keshahihan Sanad Hadis:

13 M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits, Op.cit. hlm, 21.

14 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, Cet-10, (Jakarta: RajaGrafindo, 2016), hlm. 45-46

(7)

6

Para ulama ahli hadits di kalangan al-Mutaqaddimin, yaitu ulama hadits sampai abad ke III H. Belum memberikan definisi yang eksplisit tentang hadits sahih. Dan pada umumnya hanya memberikan penjelasan tentang penerimaan berita yang dapat dipercaya kebenarannya, misalnya:

a. Tidak boleh diterima suatu riwayathadits kecuali Ia berasal dari orang yang tsiqat.

b. Hendaklah orang yang akan memberikan riwayat hadits itu diperhatikan ibadah shalatnya, perilakunya, dan keadaan dirinya. Apabila ibadah shalatnya, perilakunya, dan keadaan dirinya tidak baik, agar tidak diterima riwayat hadits dari nya.

c. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang-orang yang suka berdusta, mengikuti hawa nafsunya.

d. Tidak boleh diterima riwayat hadits dari orang yang dikenal tidak memiliki pengetahuan tenteng hadits.

e. Dilarang menerima hadits dari orang yang ditolak kesaksiannya.15

Pernyataan-pernyataan tersebut tertuju kepada kualitas dan kapasitas sanad, baik yang boleh diterima maupun yang ditolak riwayatnya. Imam al- Syafi’i telah mengemukakan penjelasan yang lebih kongrit dan terurai mengenai riwayat hadits yang dapat dijadikan hujjah, Ia mengatakan, bahwa khabar al-Khassah (hadits ahad) tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila hadits itu:

a. Diriwayatkan oleh orang yang:

Pertama: Dapat dipercaya pengalaman agamanya. Kedua: dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan berita. Ketiga: dapat memahami dengan baik hadits yang diriwayatkan. Keempat: mengetahui perubahan makna hadits apabila terjadi perubahan lafal hadits. Kelima: mampu menyampaikan riwayt hadits secara lafal. Keenam: terpelihara hafalannya, jika Ia meriwayatkan hadits secara hafalan, dan terpelihara catatannya jika Ia meriwayatkan hadits melalui kitabnya. Ketujuh: apabila ada hadits yang diriwayatkannya juga diriwayatkan orang lain, maka bunyi hadits itu tidak ada perbedaan dan yang Kedelapan: terlepas dari perbuatan tadlis.

b. Rangkaian riwayat bersambung sampai pada Nabi SAW.16 Kriteria yang dilakukan oleh al-Syafi’i tersebut sangat menekanan kepada sanad dan

15 Muhammad Syuhudi Isma’il, selanjutnya disebut Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Bulan Bintang, Jakarta, 1988), hlm. 105-106.

16 Lihat al-Syafi’i, al-Risalah, diteliti dan diberi syarah oleh Ahmad Muhammad Syakir, (Maktabah Dar al-Turas, Kairon 1979), juz II hlm. 369-371.

(8)

7

periwayatan hadits. Sesungguhnya periwayatan hadits yang ditekankan ini adalah periwayatansecara lafal (harfiah). Sedangkan ulamamuta’akhir telah mendefinisikan haditssahih, yang pada prinsipnya terkait dengan keterangan ulama mutaqaddimin, diantara definisi itu dikemukakan oleh ibnu al-Shalah (W.643 H) Sebagai berikut:

ا ام ا ﺚيدﺤل ا ﺢﯿﺤصل وﮭﻓ

ا ﺚيدﺤل ا دﻨسمل ا ذل ى ﻞصتي ا اﻨس هد ﻞقﻨﺑ ا اﻀل ﻂﺑ

17

ﻼلﻌمﻻو اذاﺷ نوﻜيﻻو هاﮭتﻨم ﻲلإ ﻂﺑ اﻀلا لدﻌلا نع

“Adapun hadits sahih, adalah hadits yang bersambung sanad-Nya (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh (Periwayat) yang ‘adil dan dabit sampai akhir Sanad, (didalam hadits-hadits itu) tidak terdapat kejanggalan dan cacat.

Jadi dapat penulis simpulkan bahwasannya hadits itu bisa dikatakan berkualitas Shahih jika memenuhi beberapa persyaran yang telah disepakati oleh ulama dan para ahli hadits diantaranya adalah: Pertama, sanadnya bersambung. Kedua: seluruh periwayat didalam sanad harus bersifat ‘adil.

Ketiga: seluruh periwayat di dalam sanad bersifat dabit. Keempat, hadits tersebut terhindar dari syuzuz, dan yang kelima, sanad hadits tersebut terhidar dari ‘illat. Dengan demikian, suatu sanad hadits yang tidak memenuhi unsur- unsur diatas, berarti adalah hadits yang kualitas sanadnya tidak shahih.

Contoh:

ِهْيِبَأ ْنَع ٍديِعَس يِبَأ ُنْب ُديِعَس يِنَثَّدَح َلاَق هللا ِدْيَبُع ْنَع ىَيْحَي اَنَثَّدَح ٌدَّدَسُم اَنَثَّدَح ِبَأ ْنَع َلاَق َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُهللا ىَّلَص ِ يِبَّنلا ْنَع ُهْنَع ُهللا َي ِض َر َة َرْي َرُه ي ُحَكْنُت

كاَدَي ْتَب ِرَت ِني ِدلا ِتاَذِب ْرَفْظاَف اَهِنْيِدِل َو اَهِلاَمَج َو اَهِبَسَحَل َو اَهِلاَمِل ٍعَب ْرَ ِلِ ُةَأ ْرَمْلا َ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Musaddad Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ubaidullah ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Abu Sa'id dari bapaknya dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "perempuan itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung”.18

17 Abu ‘Amri ‘Usman ibn ‘Abd al-Rahman ibn al-Salih. Selanjutnya disebut ibn al- Shalah, Ulumul al-Hadis, al-Maktabah al-‘Iimiyah, (Madinah, 1972), hlm. 15.

18 Muhammad bin Al-Bukhari Al-Ju’fi, Shahih Al-Bukhori, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2009), juz 3, hlm. 368

(9)

8

Dalam hadis tersebut dinamakan sanad adalah:

ْيَبُع ْنَع ىَيْحَي اَنَثَّدَح ٌدَّدَسُم اَنَثَّدَح ِهْيِبَأ ْنَع ٍديِعَس يِبَأ ُنْب ُديِعَس يِنَثَّدَح َلاَق هللا ِد

َلاَق َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُهللا ىَّلَص ِ يِبَّنلا ْنَع ُهْنَع ُهللا َي ِض َر َة َرْي َرُه يِبَأ ْنَع

Peranan sanad pada dasarnya terbagi kepada dua bagian yaitu:

1. Untuk menjagadan pemeliharaan matan hadits.

2. Untuk penilaian kualitas hadits.

3. Matan

Matan dari segi bahasa artinya membelah mengeluarkan, mengikat.

Sedangkan menurut istilah ahli hadis, matan yaitu:

ام ﻼﻜلا نم دﻨسلا هﯿلا ىﮭتنا .هل داﻨس ﻻا رك ذ يذلا ﺚيدﺤل سفن وﮭﻓ م

(Perkataan disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW. Yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya).

Contoh:

ِهْيِبَأ ْنَع ٍديِعَس يِبَأ ُنْب ُديِعَس يِنَثَّدَح َلاَق هللا ِدْيَبُع ْنَع ىَيْحَي اَنَثَّدَح ٌدَّدَسُم اَنَثَّدَح ُهللا َي ِض َر َة َرْي َرُه يِبَأ ْنَع َلاَق َمَّلَس َو ِهْيَلَع ُهللا ىَّلَص ِ يِبَّنلا ْنَع ُهْنَع

ُحَكْنُت

كاَدَي ْتَب ِرَت ِني ِدلا ِتاَذِب ْرَفْظاَف اَهِنْيِدِل َو اَهِلاَمَج َو اَهِبَسَحَل َو اَهِلاَمِل ٍعَب ْرَ ِلِ ُةَأ ْرَمْلا َ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Musaddad Telah menceritakan kepada kami Yahya dari Ubaidullah ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Abu Sa'id dari bapaknya dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "perempuan itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung”.19

Adapun yang disebut matan dalam hadis tersebut yaitu:

19 Ibid.,

(10)

9

َو اَهِبَسَحَل َو اَهِلاَمِل ٍعَب ْرَ ِلِ ُةَأ ْرَمْلا ُحَكْنُت ِني ِدلا ِتاَذِب ْرَفْظاَف اَهِنْيِدِل َو اَهِلاَمَج

20

َ كاَدَي ْتَب ِرَت

Al-Siba’i, Muhammad Abu Syuhbah, dan Nur al-Din‘itr, mereka menyatakan bahwa ulama hadits dalam upaya melakukan penelitian hadits Nabi SAW sama sekali tidak mengabaikan penelitian matan, sebagaimana terbukti adanya kaedah kesahihan hadits yang telah ditetapkan oleh ulamahadits. Dalam kaedah tersebut dinyatakan sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh hadits yang berkualitas sahih adalah matan dan sanad hadits itu harus terhidar dari Syuzuz (kejanggalan) dan Ilat (cacat).ulamahadits pun telah menyusun berbagai kaedah, untuk menjalankan penelitian matan hadits yang tidak mengandung syuzuz dan ilat.21

Terdapat banyak hadits yang dari segi sanad termasuk kategori shahih, tetapi dari segi matan bertentangan dengan al-Qur’an. Sehingga orang-orang seperti Ahmad Amin, dan Abu Royah menolaknya. Bahkan Muhammad al- Ghazali, dalam bukunya yang terbaru al-Sunnah al-Nabawiyah Bayn Ahl al- Fiqh wa Ahl al-Hadits, menyatakan bahwa betapapun sahihnya sanadsuatu hadits, sepanjang matan-nya bertentangan dengan al-Qur’an, maka ia tidak ada artinya.22

Ke-shahihan suatu hadits tidak dapat ditentukan oleh kesahihan sanad saja.

Tetapi matan-nya pun harus diteliti, guna memastikan apakah itu tidak syadz dan tidak mengandung ‘illat.

C. Kedudukan Sanad Dan Matan

Dalam bidang ilmu hadis sanad itu merupakan salah satu neraca yang menimbang shahih atau dha’ifnya suatu hadis. Andaikata salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta atau jika setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung (muttasil), maka hadis tersebut dha’if sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Demikian sebaliknya jika para pembawa hadis tersebut orang-orang yang cakap dan cukup persyaratan yakni adil, takwa, tidak fasik, menjaga kehormatan diri (muru’ah), dan memiliki daya ingat yang kredibel, sanad-nya bersambung dari satu periwayat kepada

20 Ibid.,

21 Abu al-Hsen Muslim Ibn al-Hajjaj al-Qusyair. Selanjutnya disebut Muslim, al-Jami’

al-Sahih, ttp, Isa al-Babi al-Hlm. Abi wa Syurakah, 1995, juz I, hlm.14.

22 Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al Hadis, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritik Hadis Nabi SAW, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontektual, (Bandung, Mizan, 1991).

(11)

10

periwayat lain sampai kepada sumber berita pertama, maka hadisnya dinilai shahih.23

Sanad ini sangat penting dalam hadis, karena hadis itu terdiri dari dua unsur yang secara integral tidak dapat dipisahkan satu sama yang lain, yaitu matan dan sanad. Hadis tidak mungkin terjadi tanpa sanad karena mayoritas hadis pada masa Nabi tidak tertulis sebagaimana al Qur’an dan diterima secara individu (ahad) tidak secara mutawatir. Hadis hanya disampaikan dan diriwayatkan secara ingat-ingatan dan hafalan para sahabat yang andal, di samping hiruk-pikuk para pemalsu hadis yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, tidak semua hadis dapat diterima oleh ulama, kecuali telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, di antaranya disertai sanad yang dapat dipertanggung jawabkan keshahihannya. 24

Ada beberapa hadis yang menerangkan keutamaan sanad, di antaranya yaitu: diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Sirin, bahwa beliau berkata:

اﻓ نيد ملﻌلاا ذه .مﻜﻨيد نوذخ أت نمع اورظن

Artinya:

“Ilmu ini (hadis ini), ialah agama. Karena itu telitilah orang-orang yang kamu mengambil agamamu dari mereka.”

Perhatian terhadap sanad di masa sahabat yaitu dengan menghapal sanad-sanad itu dan mereka mempunyai daya ingat yang luar biasa. Dengan adanya perhatian mereka maka terpelihara sunnah Rasul dari tangan-tangan ahli bid’ah dan para pendusta. Karenanya pula imam-imam hadis berusaha pergi dan melewati berbagai kota untuk memperoleh sanad yang dekat dengan Rasul.25

Ibn Hazm mengatakan bahwa nukilan orang kepercayaan dari orang yang dipercaya hingga sampai kepada Nabi SAW. dengan bersambung- sambung perawi-perawinya adalah suatu keistimewaan dari Allah khususnya kepada orang-orang Islam. 26

D. Pembagian Hadis Berdasarkan Batas Akhir Sanad

Hadis dari segi batas akhir sanad terbagi kepada tiga bagian:

23 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, Cet- 5, (Jakarta: Amzah, 2019), hlm. 107.

24 Ibid

25 Oleh karena itu, tidak semua hadis dapat diterima oleh para ulama kecuali telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, diantaranya disertai sanad yang dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya

26 H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis. Op.cit. hlm. 55-56.

(12)

11 1. Al Marfu’:27

DEFINISI:

Secara etimologi: al marfu’ merupakan ism maf’ul dari rafa’a (mengangkat), lawan kata dari wadha’a (menaruh), dinamakan demikian karena ia disandarkan kepada pemilik kedudukan yang tinggi, yaitu nabi Muhammad SAW

Secara terminologi: al marfu’ adalah apa saja yang dinisbatkan kepada nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (sikap diam setuju) dan sifat

Penjelasan definisi: yaitu apa saja yang dinisbatkan atau disandarkan kepada nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat yang disandarkan kepada nabi. Baik sahabat yang menisbatkannya, atau mereka yang tingkatannya dibawah sahabat, baik bersambung sanadnya atau terputus. Maka hadits maushul, mursal, muttashil, munqathi termasuk dari hadits marfu’. Ini adalah pendapat yang masyhur mengenai hakikat hadits marfu’, dan ada juga pendapat-pendapat yang lain mengenai hakikat dan definisinya.

Pembagiannya: dilihat dari definisi yang ada, hadits marfu’ terbagi menjadi tiga yaitu:

a) Marfu’ qouli (perkataan)

Contoh seperti yang diberitakan oleh Abu Sa’id Al Khudri r.a berkata:

لا نا ملسو هﯿلع هللا ىلص هللا لوسر لاق م

هﻀﻌﺑ دشي ن اﯿﻨبل اك نمؤملل نمؤ

ضﻌﺑ

Telah bersabda Rasulullah saw: sesungguhnya orang yang beriman itu terhadap sesamanya, sama dengan keadaan batu tembok, satu dengan yang lain saling mengikat. (HR. Al Bukhar, Muslim, At Tizmidzi, dan An Nasa’i)

b) Marfu’ fi’li (perbuatan)

Contohnya ialah seperti perkataan Anas r.a:

سي ملسو هﯿلع هللا ىلص ﻲبﻨلا ناك وفص يو

اذإﻓ ةﻼصلا ىلإ اﻨمق اذإ اﻨﻓ

ا ربك اﻨيوتس

Bahwa Nabi saw membetulkan shaf-shaf kami apabila kami akan shalat. Maka setalah shaf itu lurus, barulah Nabi bertakbir.

27 Mahmud Ath-Thahhan, Cet-3, dasar-dasar ilmu hadits, (Jakarta: Ummul Qura, 2018) hlm. 152-159.

(13)

12 c) Marfu’ taqriri (persetujuan Nabi)

Contoh hadis persetujuan Nabi ialah seperti perkataan Ibnu Abbas:

اﻨك هﯿلع هللا ىلص هللا لوسر ناكو سمشلا بورغ دﻌﺑ نﯿتﻌكر ﻲلصن ملسو

أي ملو اناري اﻨﮭﻨي ملو انرم

Bahwa kami (para sahabat) bersembahyang dua rakaat setelah terbenamnya matahari (sebelum shalat magrib). Rasulullah melihat pekerjaan kami itu, beliau tidak menyuruh kami dan tidak mencegahnya. (HR. Muslim)

Beberapa contoh di atas menggambarkan ragam hadis marfu’ dalam berbagai aspeknya, yaitu yang meliputi marfu’ qouli, fi’li dan taqriri.

Macam-macam Hadis Marfu’ ada dua macam sebagai berikut:

a. Di marfu’-kan secara tegas

Hadis yang di marfu’kan kepada Nabi saw dengan tegas adalah hadis yang tegas-tegas dikatakan oleh seorang sahabat bahwa hadis tersebut didengar atau dilihat dan atau disetujui dari Rasulullah saw, misalnya perkataan seorang sahabat dengan kata:

تﻌمس :لولقي ملسو هﯿلع هللا ﻞص هللا ل وسر

Aku mendengar Rasulullah saw berkata:

اذﻜﺑ ملسو هﯿلع هللا ﻞص هللا لوسر ﻲﻨث دح

Diceritakan kepadaku oleh Rasulullah saw begini:

:ملسو هﯿلع هللا ﻞص هللا لوسر لاق

Berkatalah Rasulullah saw

ملسو هﯿلع هللا ﻞص هللا لوسر ثدح اذك

Rasulullah saw menceritakan begini.

Demikian pula menjadi marfu’ apabila seorang berkata:

اذك ﻞﻌفي ملسو هﯿلع هللا ﻞص هللا لوسر تيأر

Aku melihat Rasulullah saw berbuat begini

ملسو هﯿلع هللا ﻞص هللا لوسر ناك اذك ﻞﻌفي

Adalah Rasulullah saw berbuat begini.

Demikian juga menjadi marfu’ sesuatu perkataan sahabat yang seperti berikut ini:

اذك ملسو هﯿلع هللا ﻞص ﻲبﻨلا ةرﻀﺤﺑ تلﻌﻓ

Saya berbuat di hadapan Rasulullah saw begini, serta sahabat itu tiada menerangkan pengingkaran Nabi saw.

b. Di-marfu’-kan secara hukum

(14)

13

Maksudnya hadis tersebut seolah-olah lahirnya dikatakan oleh seorang sahabat muwquf lafalnya), tetapi hakikatnya disandarkan kepada Rasulullah saw (dihukum marfu’).

Beberapa gambaran marfu’ secara hukum:

1. Seorang sahabat mengatakan dan dia tidak diketahui pernah mengambil riwayat dari ahli kitab suatu perkataan yang tidak ada lingkup untuk berijtihad dalam hal tersebut, juga tidak berkenaan dengan bahasa, atau menerangkan kalimat asing seperti:

a. Mengabarkan tentang perkara-perkara masa lalu, seperti dimulainya penciptaan.

b. Mengabarkan tentang perkara-perkara yang akan datang seperti berbagai peperangan, fitnah-fitnah, dan keadaan hari kiamat.

c. Mengabarkan pahala tertentu jika melakukan suatu pekerjaan, atau sanksi tertentu. Seperti perkataan mereka, “barang siapa yang melakukan ini, maka akan mendapatkan pahala seperti ini

2. Perbuatan sahabat yang tidak ada lingkup untuk berijtihad di dalamnya, seperti shalat gerhana yang dilakukan oleh Ali, terdapat lebih dari dua rukuk disetiap rakaatnya.

3. Sahabat mengabarkan, bahwa mereka mengatakan atau mengerjakan seperti ini, atau berpendapat boleh tentang hal ini.

a. Jika dinisbatkan kepada zaman Nabi, menurut pendapat yang benar, hadist tersebut adalah marfu’, seperti perkataan jabir :

“kita melakukan ‘Azl di zaman Rasulullah” (‘azl ; mengeluarkan air mani diluar Rahim istri) (HR. bukhari dan Muslim)

b. Jika tidak dinisbatkan kepada zaman nabi, hadis tersebut mauquf, menurut pendapat mayoritas ulama, seperti perkataan Jabir, kami semua jika bepergian apabila kami berjalan mendaki, kami bertakbir, dan apabila menuruni jalan kami bertasbih.

4. Seorang sahabat mengatakan, kami diperintakan dengan ini atau kami dilarang dengan ini, atau termasuk sunah seperti ini”. Seperti perkataan sebagian sahabat,

“bilal diperintahkan untuk menggenapkan azan, dan mengganjilkan iqomah.

(HR. bukhari)

Juga perkataan Ummu Athiyah:

“kami dilarang untuk turut mengikuti jenazah, akan tetapi (larangan ini) tidak ditekankan atas kami” (HR. bukhari dan Muslim)

Juga perkataan Abu Qibalah dari Anas :

(15)

14

“termasuk dari sunah, jika seseorang menikahi perawan atas janda, (maksudnya jika menikah dengan istri kedua yang masih perawan) agar tingga bersama gadis tersebut selama tujuh hari” (HR. bukhari dan Muslim).

5. Perkataan seorang rawi di dalam hadis ketika menyebutkan seorang sahabat, salah satu dari empat kalimat ini, yaitu: yarfa’uhu (mengangkatnya kepada nabi, yanmihi (menisbtakannya kepada nabi), yablughu bihi (sampai kepadanya), riwayatan (secara riwayat).’ Seperti hadist Al A’raj dari Abu hurairah secara riwayat:

“kalian akan memerangi kaum yang bermata sipit”. (HR. al Bukhari) 6. Sahabat menafsirkan sebuah penafsiran yang berkenaan dengan sebab

turunnya suatu ayat, seperti perkataan jabir, “orang yahudi mengatakan, barang siapa yang mendatangi istrinya dari arah belakan pada kemaluannya, maka anak yang lahir akan juling matanya, kemudian Allah menurunkan ayat, “ istri-istrimu adalah tempat bercocok tanam bagi kalian…(Al Baqarah; 223) (HR. Muslim)

2. Al Mauquf28

DESINISI:

Secara etimologi: al mauquf merupakan ism maf’ul dari al waqfu (berhenti), seakan-akan rawi memberhentikan hadits tersebut pada sahabat, dan tidak meneruskan penyebutan sisa rangkaian sanad.

Secara terminology: hadits yang dinisbatkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir.

Penjelasan definisi: hadits yang dinisbatkan atau disandarkan kepada seorang sahabat atau sejumlah sahabat, baik hal yang dinisbatkan tersebut perkataan, perbuatan, atau taqrir, baik sanad kepada mereka bersambung atau terputus. Jadi, sandaran hadis ini hanya sampai kepada sahabat, tidak sampai kepada Nabi SAW, jelasnya, hadis ini perkataan sahabat atau perbuatan dan persetujuannya.

Contoh mauquf

Sebagaimana penjelasan di atas bahwa hadis mauquf terdiri dari qauli, fi’li, dan taqriri. Contoh mauquf qauli seperti:

ع هللا ﻲضر بل اط ﻲﺑأ نﺑ ﻲلع لاق نأ نوديرتأ نوﻓرﻌي امﺑ ساﻨلا اوثدح هﻨ

؟هلوسرو هللا بذﻜي

28 Ibid.

(16)

15

Ali bin Abi Thalib r.a berkata: berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui, apakah engkau menghendaki Allah dan Rasul-Nya didustakan? (HR. AL Bukhari)

Contoh mauquf fi’li, seperti perkataan Al Bukhari:

ممﯿتم وهو سابع نﺑا ماو

Dan Ummu Ibnu Abbas sedangkan ia bertayammum (HR. Al Bukhari) Contoh mauquf taqriri seperti perkataan sebagian tabi’in:

ﻲلع رﻜﻨي ملو ةﺑاﺤصلا دحأ مامأ اذك تلﻌﻓ

Aku melakukan begini di dapan salah seorang sahabat dan ia tidak mengingkariku.

Penggunaan lain untuk mauquf

Nama mauquf juga digunakan untuk riwayat selain dari para sahabat, akan tetapi secara terikat. Seperti dikatakan, “hadits ini diriwayatkan secara mauquf oleh Fulan kepada Az-Zuhri atau Atha’, dan semisalnya ( Az-Zuhri dan Atha’ keduanya dari kalangan Tabi’in)

Istilah pakar fikih khurasan menamakan:

1. Al marfu’ dengan khabar 2. Al mauquf dengan atsar

Akan tetapi para ahli hadist menanamkan keduanya dengan ‘atsar, karena kata tersebut diambil dari atsartu asy-syai’, maksudnya aku meriwayatkannya.

Beberapa cabang yang berkenaan dengan marfu’ secara hukum:

Apakah hadits mauquf bisa dijadikan hujjah?

Hadist mauquf sepeti yang telah diketahui, bisa jadi shahih, hasan, atau bahkan dhaif, akan tetapi jika ada kepastian akan keshahihannya apakah bisa dijadikan dalil?

Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah: pada dasarnya hadist mauquf tidak bisa dijadikan hujjah, sebab ia adalah perkataan dan perbuatan sahabat.

Akan tetapi, jika ada kepastian akan keshahihanya, ia menguatkan sebagian hadist dhaif seperti yang telah lewat dalam pembahasan mursal, karena sahabat selalu mengamalkan sunah Nabi. Hal ini jika hadits mauquf tersebut tidak termasuk marfu secara hukum, namun jika ia termasuk dari yang mempunyai hukum marfu’ maka ia bisa dijadikan hujjah, seperti halnya hadits marfu’.

(17)

16 3. Al Maqthu’:29

DEFINISI:

Secara etimologi: al maqthu’ merupakan ism maf’ul dari qatha’a (memotong), yang berarti lawan kata dari washala (menyambung).

Secara terminology: apa saja yang dinisbatkan kepada tabi’in atau yang setelah mereka dari perkataan atau perbuatan.

Penjelasan definisi:

Hadist maqthu’ yaitu apa saja yang dinisbatkan kepada tabi’in atau tabi’ut tabi’in atau yang dibawah mereka, baik berupa perkataan atau perbuatan.

Hadist maqthu’ berbeda dengan munqathi’, sebab maqthu’ adalah sifat dalam matan, dan munqathi’ adalah sifat dalam sanad. Maksudnya, hadist maqthu’

adalah perkataan tabi’in atau setalah mereka, dan terkadang sanadnya bersambung kepada tabi’in tersebut, sedangkan yang dimaksud dengan munqathi’ adalah sanad perkataan tersebut tidak bersambung, dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan matan.

Contoh;

1. Maqthu’ yang berupa perkataan; perkataan hasan al bashri mengenali shalat dibelakang ahli bid’ah,

ﻞص هتع دﺑ هﯿلعو

Shalatlah (di belakang mereka), dan bid’ah mereka atas mereka. (shahih bukhari, 1/157)

2. Maqthu’ yang berupa perbuatan; perkataan Ibrahim bin Muhammad bin al muntasyir,

ﻞع ﻞبقيو ,هلهأ نﯿﺑو هﻨﯿﺑ رتسلا ﻲخري قورسم ن اك اﯿندو مﮭﯿلخيو هتﻼص

مه

Bahwasanya masruq menjulurkan tirai antara dia dan keluarganya, kemudian menuju shalatnya, dan meninggalkan mereka dan dunia mereka. (Hilayatul Auliya’ 2/96).

Hukum Berdalil Dengan Hadist Maqthu’:

Hadist maqthu’ sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah dalam hukum syariat, walaupun shahih penyandarannya kepada yang mengatakannya, sebab ia hanyalah perkataan dan perbuatan seorang muslim. Akan tetapi, jika ada indikasi yang menunjukkan ia marfu’, seperti perkataan sebagian rawi- ketika menyebutkan seorang tabi’in – yarfa’uhu (mengangkatnya kepada nabi)

29 Ibid.

(18)

17

misalnya, ketika itu ia dianggap sebagai hadist mursal yang memiliki hukum marfu’.

Penyebutan Hadist Maqthu’ Dengan Munqathi’:

Sebagian ahli hadits seperti asy syafi’I dan ath thabrani menyebutkan lafal al maqthu’ dan mereka menginginkan (dengan lafal tersebut) al munqathi’

atau yang tidak bersambung sanadnya. Ini adalah ungkapan yang tidak masyhur.

Pembelaan untuk asy-syafi’I adalah ia mengungkapkan hal tersebut sebelum istilah tersebut ditetepakan. Adapun ath thabrani, ungkapannya tersebut dianggap melampui istilah yang ada.

Kitab-kitab yang terdapat di dalamnya hadist mauquf dan maqthu’

1. Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 2. Mushannaf Abdurrazaq.

3. Kitab-kitab tafsir karya Ibnu Jarir, ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Al- Mundzir.

E. Skema Hadis Nabi

Dadan Munawar membagi al-khabar atau sanad kepada dua bagian, yaitu sanad ditinjau dari segi periwayatan (kuantitas) dan sanad ditinjau dari segi kualitasnya. Sanad dari segi periwayatan, yaitu sanad ditinjau dari segi banyaknya jalur periwayatan, yang pada hal ini, Dadan Munawar membaginya kepada dua, yaitu Mutawattir dan Ahad. Mutawattir pun terbagi kepada dua, yaitu mutawattir secara makna dan mutawattir secara lafal.

Sedangkan Ahad terbagi kepada tiga, yaitu Masyhur, Aziz, dan Gharib.

Masyhur dan gharib, masing-masing terbagi menjadi dua kecuali aziz. Pada pembagiannya masyhur terbagi kepada masyhur yang muthlaq dan masyhur yang muqayyad. Untuk gharib terbagi kepada gharib yang muthlaq dan gharib yang Nisbi.30

Untuk pembagian sanad pada segi kualitas. Dadan Munawar membaginya kepada dua, yaitu yang maqbul dan yang mardud. Pada kategori yang maqbul, terdapat dua, yaitu Shahih dan hasan. Shahih pun terbagi lagi, ada yang lidzatih dan la lidzatih. Begitupun dengan hasan, ada yang lidzatih dan la lidzatih. Sedangkan pada kategori mardud, terbagi kepada dua yaitu mardud yang disebabkan oleh keterputusan sanad dan mardud yang disebabkan oleh kecacatan pada rawi.31

30 Lebih lanjut, lihat: Dadan Munawar bin Munir, Mabȃdi Awaliyah fî Ulum al- Mushthalah. (Garut: Ibn Azka, 1413), hlm. 18.

31 Ibid

(19)

18 F. Hadis Ditinjau Dari Kualitasnya:

Berdasarkan fungsinya, hadis dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu hadis yang diterima (maqbul), yaitu hadis shahih dan hadis yang ditolak (mardud) yaitu hadis dhaif. Di antara ulama ahli hadis ada yang membagi hadis dalam tiga bagian, yaitu sahih, hasan, dan dhaif. Oleh karena itu, setiap hadis yang ada tidak pernah lepas dari pengelompokan kualitas periwayatannya dari ketiga bentuk hadis tersebut.

Diantara ulama ternyata masih memperselisihkan nilai kehujjahan hadis hasan. Apakah hadis hasan tersebut masuk dalam kedua katagori pembagian hadis di atas. Pendapat pertama, memaknai hadis hasan masuk salah satu dari kriteria shaih dan dhaif. Al Zahabi yang mengutip pendapat al Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa hadis hasan masuk dalam katagori hadis shahih ada kalanya ulama memasukkan hadis hasan kedalam katagori dhaif yang tidak dapat begitu saja diamalkan. Namun, menurut Ahmad ibn Hanbal pemakaian hadis dhaif termasuk diperbolehkan dan lebih baik ketimbang qiyas (dalil analogi). Pendapat kedua menyatakan bahwa hasan adalah otonom, tidak termasuk dalam hadis shahih dan tidak termasuk hadis hasan tetapi nilainya lebih baik ketimbang hadis dhaif. Adapun hadis maudu’ tidak termasuk dalam pembagian tersebut.32

Pembagian atas ketiga hal hadis tersebut sangat banyak sekali. Ada pembagian hadis berdasarkan ketiga hal tersebut secara mandiri yakni berinduk kepada hadis sahih, hasan dan dhaif. Demikan juga ada yang mengelompokkannya secara bersamaan. Di antara ulama ada yang menyebutnya sebagai suatu ilmu khusus dan ada juga yang menilainya hanya sebagai jenis atau cabang dari keilmuan. Jumlah ragam keilmuan atau hal yang terkait danganya banyak sekali. Oleh karena itu, tidaklah heran kalau al-Hazimi mengatakan bahwa jumlahnya mencapai ratusan dan masing-masing jenis merupakan ilmu tersendiri. 33

1. Hadis Shahih

Shahih menurut bahasa adalah lawan dari sakit. Ini adalah makna hakiki pada jasmani. Sedagkan dalam penggunaannya pada hadis dan makna-makna yang lain, ia adalah makna yang majazi

Shahih menurut istilah ilmu hadis ialah:

32 Syubkhi al-Salih, ‘Ulumul al-Hadis wa Mustalahuh (Bairut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1977), hlm. 141-142.

33 Ibid., 142-144.

(20)

19

نع ﻂﺑ اﻀلا لدﻌلا ﻞقﻨﺑ هدﻨس ﻞصتاام ذوزﺷ رﯿغ نم هاﮭتﻨم ىلإ هلثم

.ةلعﻻو

“Suatu hadis yang sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, disampaikan oleh orang-orang yang adil, memiliki kemampuan menghafal yang sempurna (dhabith), serta tidak ada penyelisihan dengan perawi yang lebih terpercaya darinya (syadz) dan tidak ada ‘illat yang erat”.34

Dafinisi di atas mengandung lima sifat yang harus dimiliki oleh suatu hadis agar dapat dikatagorikan shahih yaitu:

a) Bersambung sanadnya b) Keadilan para perawinya c) Kedhabitan para perawinya

d) Tidak rancu atau matannya bersifat syaz e) Tidak ada cacat

Contoh Hadis Shahih

Di antara hadis-hadis shaih adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim,)35 mereka berkata:

ﺷدح دﯿﻌس نﺑ ةبﯿتق اﻨﺷدح ﺑا نع عاقﻌقلا نﺑ ةرامع نعريرج اﻨ

ى نعةع رز

لوسر اي :ﻞقﻓ ملسو هﯿلع هللا ﻞص هللا لوسر ىلا ﻞجرءاج :لاق ةريره ىﺑا :لاق ؟ىتﺑ اﺤص نسﺤﺑ قحا نم هللا :لاق .كما

كما :لاق ؟نم مﺷ مﺷ :لاق .

.كوﺑا مث لاق؟نم مﺷ لاق .كما :لاق ؟نم

“Meriwayatkan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, ia berkata: “meriwayatkan kepada kami Jarir dari ‘Umarah bin Al-Qa’qa dari Abu Zur’ah dari Abu Hurairah, ia berkata: datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW., lalu berkata: Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan perlakuanku yang baik? Rasulullah menjawab: Ibumu. Orang itu bertanya:

kemudian siapa? Rasulullah menjawab: Ibumu. Orang itu bertanya lagi:

kemudian siapa? Rasulullah menjawab: Ibumu. Orang itu bertanya lagi:

kemudian siapa? Rasulullah menjawab: kemudian bapakmu.”

Sanad hadis di atas bersambung melalui pendengaran orang yang adil dan dhabith dari orang yang semisalnya. Al Bukhari dan Muslim adalah dua

34 H.A. Aziz Masyhuri, Ilmu Hadist (Jakarta: Cv Sagung Seto, 2011), hlm. 39-40.

35 Al Bukhari, permulaan kita al-Adab, 8:2, Muslim, Permulaan kitab Al Birr wa ash- Shilah, 8;2.

(21)

20

orang imam yang agung dalam bidang ini. Dan guru mereka, Qutaibah bin Sa’id, adalah orang yang tsiqat dan tsabt serta berkedudukan tinggi.

Jarir adalah putra Abdul Hamid, seorang rawi yang tsiqat dan sahih kitabnya. Ada yang mengatakan bahwa pada akhir hayatnya ia meragukan apabila ia telah meriwayatkan berdasarkan hafalannya. Namun hal ini tidak menjadi masalah karena Qutaibah bin Sa’id adalah salah seorang muridnya yang senior dan telah lebih dahulu mendengar hadis-hadis darinya.

‘Umarah bin Al-Qa’qa juga seorang yang tsiqat. Demikan pula Abu Zur’ah al-Tabi’I. ia adalah putra ‘Amr bin Jarir bin Abdullah al-Bajali.

Para rawi dalam sanad di atas seluruhnya orang tsiqat dan dipakai berhujjah oleh para imam. Untaian sanad di atas dikenal dikalangan muhadditsin, dan padanya tidak terdapat hal-hal yang janggal. Demikian pula matan hadis tersbut sesuai dengan dalil-dalil tentang masalah yang sama. Jadi hadis tersebut termasuk hadis shahih.

Dari berbagai literatur yang penulis baca yakni dapat kami simpulkan bahwa hadis shahih wajib diamalkan sesuai dengan ijma’ ahli hadis begitu pula menurut ahli ushul dan para fuqaha, serta bisa dijadikan hujjah ataupun argument yang kuat dan syar’i.

2. Hadis Hasan

ي دﺤلا وه نسﺤلا ﺚيدحا بض فخ لدع ﻞقﻨﺑ هدﻨس ﻞصتا ىذلا ﺚ

ذ اﺷ رﯿغ هط

.ﻞلﻌم ﻻو

Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hapalnya, tidak rancu dan tidak cacat.36

Menurut bahasa hadis hasan merupakan sifat musyabbahah dari kata al- husn, yang berarti al-jamal (bagus)

Sedangkan menurut istilah para ulama memiliki definisi yang berbeda- beda megenai hadis hasan, karena melihat bahwa hadis hasan itu di tengah- tengah hadis shahih dan hadis dhaif, ditambah lagi sebagian ulama-ulama mendefinisikannya dengan mencakup salah satu dari dua katagaori tersebut.37 Kalau kita melihat dan membandingkan definisi hadis hasan dengan hadis shahih yang kami kutip, maka akan kita temukan titik kesamaan yang cukup besar di antara kedua jenis hadis ini. Keduanya harus memenuhi seluruh kriteria kecuali yang berkaitan dengan kekuatan daya hapal, dimana seperti yang kami kutip bahwa hadis shahih diriwayatkan oleh rawi yang sempurna

36 Syarh al-Nukhbah, hlm. 17, lihat pula Syarh al-Baiquniyah karya al-Zarqani, hlm. 25.

37 H.A. Aziz Masyhuri, Ilmu Hadist.,Op.Cit

(22)

21

daya hapalnya dengan tingkat akurasinya yang tidak diragukan lagi, sedangkan rawi hadis hasan adalah rendah tingkat daya hapalannya.

Dari definisi yang kami pilih di atas sangat ringkas namun detail, karena definisinya tersebut merupakan pembeda antara hadis hasan dan hadis hasan.

Contoh Hadis Hasan

Adalah hadis yang diriwayatkan Ahmad,38 ia berkata, Yahya bin Sa’id meriwayatkan hadis kepada kami dan Bahz bin Hakim, ia mengatakan.

“Meriwayatkan hadis kepadaku, Bapakku dari kakekku, katanya aku bertanya:

مث :تلق لاق .كما مث :لاق ؟نم مث:تلق لاق .كما :لاق ؟رﺑا نم هللا لوسراي .برقﻻاﻓ برق ﻻا مث كاﺑا مث كما لاق ؟نم

Ya Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti? “Rasulullah menjawab, kepada ibumu. Aku bertanya, lalu kepada siapa? Rasulullah menjawab, lalu kepada ibumu, aku bertanya, lalu kepada siapa? Rasulullah, Ibumu, kemudian bapakmu, kemudian kerabat terdekat dan selanjutnya”.

Sanad hadis ini bersambung, taka da kejanggalan dan tidak ada cacat padanya, karena baik dalam rangkaian sanadnya maupun dalam matannya tidak terdapat perbedaan di antara riwayat-riwayatnya.

Imam Ahmad dan gurunya, Yahya bin Sa’id Al-Qathtan, adalah dua orang imam yang agung. Bahz bin Hakim adalah orang yang jujur dan dapat menjaga diri, sehingga dinilai tsiqat oleh Ali bin Al-Madani, Yahya bin Ma’in, al-Nasa’I dan lainnya. Akan tetapi sebagian ulama mempermasalahkan sebagian riwayatnya dan oleh karena itu Syu’bah bin al-Hajjaj memperbincangkannya. Hal ini tidak mencabut sifat ke dhabitannya. Akan tetapi mengesankan bahwa ia rendah tingkat ke dhabitannya.39

Dari paparan di atas jelaslah bahwa ada banyak kesamaan antara hadis hasan dengan hadis shahih, sehingga sekolompok ahli hadis memasukkan hadis hasan ke dalam jajaran hadis shahih dan tidak menjadikannya sebagai jenis hadis sendiri.

Akan tetapi para muhadditsin tetap menganggap bahwa hadis hasan sebagai suatu jenis hadis tersendiri, karena hadis yang dapat dipakai hujjah itu ada kalanya berada pada tingkat tertinggi, yakni hadis shahih, atau berada pada tingkat terendah yakni hadis hasan.40

Syarat-syarat Hadis Hasan41

Secara rinci syarat-syarat hadis hasan sebagai berikut:

38 Dalam al-Musnad, 5:5

39 Nururdin ‘Ltr, Ulumul Hadis, (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1994), hlm. 29.

40 Ibid

41 Munzier Suparta M.A, Ilmu Hadis.,Op.cit.

(23)

22 a. Sanadnya bersambung

b. Perawinya adil

c. Perawinya dhabit, tetapi kualitas kedhabitannya di bawah ke dhabitannya perawi hadis shahih

d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz e. Tidak ber ‘illat

3. Hadis Dhaif

Definisi yang paling baik untuk hadis dhaif adalah sebagai berikut:

.لوبقملا ﺚيدﺤلا طورشﻨماطرﺷدقﻓام

Hadis yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadis maqbul (yang dapat diterima)42

Hadis yang di dalamnya tidak terdapat ciri ke-shahihan dan ke- hasanannya. Di dalamnya terdapat periwayat pendusta atau tertuduh dusta, banyak membuat kekeliruan, suka pelupa, suka maksiat dan fasik, banyak angan-angan, menyalahi periwayat kepercayaan, periwayatnya tidak dikenal, penganut bid’ah dan tidak baik hafalannya.43

Di kalangan ulama masih memperselisihkan jumlah bentuk hadis dhaif.

Di antara ulama ada yang mengklasifikasikan menjadi 381 bentuk. Namun, Ibn Shalah berpendapat jumlahnya tidak sampai lebih dari 42 bentuk.

Pembagian hadis dhaif menurut ulama menjadi berbagai macam tergantung di mana letak kelemahannya. Kelemahan tersebut bisa dalam lima hal, sebagaimana telah disebutkan di atas sebagai salah satu syarat hadis shahih.

44

Berikut diagram macam-macam hadis dhaif yang dihimpun dari beragai kitab ‘Ulum al-Hadis.45

No. Catatan Kelemahan

Nama Keterangan

42 Nururdin ‘Ltr, Ulumul Hadis.,Op.cit.

43 Octoberrinsyah, dkk, Al-Hadis, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 120.

44 Ibid.,

45 Lihat antara lain oleh M. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jilid pertama (Jakarta: Bulan Bintang: 1987),

(24)

23 1. Sanad

Terputus Secara

Jelas

Mursal Hadis yang perwayat pertama di tingkat sahabat digugurkan atau tidak disebut namanya

Munaqathi’ Hadis yang periwayatnya gugur atau disebutkan periwayat yang tidak jelas Mu’dal Hadis yang gugur periwayatnya

sebanyak dua atau lebih periwayat secara berturut-turut

Mu’allaq Hadis yang dibuang di permulaan sanadnya baik yang dibuang seorang maupun banyak

Secara Khafi

Mudallas Hadis yang disembunyikan aibnya. Hal tersebut bisa terjadi periwayat yang tidak pernah bertemu dan mendengar langsung hadis yang diriwayatkannya dan dinyatakan bertemu, namun sejatinya tidak demikian. Atau memberikan sifat-sifat yang agung dan baik dari kenyataannya atau dengan memberi nama yang lebih baik.

2. Adalah al- rawi

Maudul Hadis yang dibuat dan seakan-akan dari Rasulullah saw.

Matruk Hadis yang ditinggalkan karena diriwayatkan oleh seorang periwayat yang tertuduh dusta dan nama kefasikannya

3. kedhabitan Munkar Hadis yang hanya diriwayatkan secara sendirian oleh periwayat yang lemah dan periwayat lainnya tidak meriwayatkannya atau periwayatan yang diriwayatkan oleh periwayat yang lemah atau menyalahi periwayat lain yang lebih siqat

Mu’allal Hadis yang dapat mengandung cacat yang dapat menodai keshahihan

Mudraj Hadis yang sanad atau matannya terdapat suatu tambahan

Maqlub Hadis yang terbalik lafal pada matan, nama seseorang atau nasabnya dalam sanad.

(25)

24 Mazid fi Muttasil al-

Asanid

Adanya penambahan periwayat tertentu dalam suatu sanad

Mudtorib Hadis yang didalamnya masih terdapat perselisihan

Syaz Hadis yang diriwayatkan oleh seorang kepercayaan periwayatnya berlawanan dengan riwayat orang banyak yang dipercayai juga baik dengan menambah maupun menguranginya.

Gambaran hadis yang dhaif di atas, masih dapat diperkaya karena jumlah yang diinvetarisir oleh ulama hadis sangat banayak.

Sebagai gambaran berikut kami kutip salah satu contoh hadis dhaif yakni hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Sunan-Nya.46 Meriwayatkannya kepada kami Abu Ahmad al-Marrar bin Hammuyah, katanya meriwayatkan kepada kami Muhammad bil al-Mushaffa, katanya meriwayatkan kepada kami Baqiyyah bin Al-Walid dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Mi’dan dan dari Abu Umamah dari sabda Nabi SAW. bahwa beliau berkata:

اق نم بستﺤي نيدﯿﻌلا ﻲتلﯿل م .بلقلا تومت موي هبلق تمي مل هلل

Barangsiapa berdiri mengerjakan shalat pada malam dua hari raya semata- mata karena Allah, maka tidak akan mati hatinya pada hari semua hati mati.

Para rawi sanad di atas adalah tsiqat. Hanya saja Tsaur bin Yazid dituduh sebagai berpaham Qadariyah namun dalam kesempatan ini ia meriwayatkan hadis yang berkaitan dengan perilaku bid’ahnya iru sehingga tidak menghalangi kehujjahannya.47

Muhammad bin Mushaffa adalah shaduq dan banyak hadisnya sehingga Ibnu Hajar menjulukinya sebagai hafizh. Al Dzahabi berkata, “ia adalah tsiqat dan masyhur”. Akan tetapi, dalam beberapa riwayatnya terdapat banyak kemungkaran. Hal ini menunjukkan bahwa hadis di atas tidak mensyariatkan sesuatu yang baru, melainkan hadis itu datang sebagai petunjuk operasional bagi pokok-pokok syariah dan dalil-dalilnya yang umum dan oleh kerena itu sama sekali tidak dapt diragukan keharusan diamalkan dan diikuti petunjukknya.48

46 Pada akhir kitab puasa, nomor hadis 1782

47 Nururdin ‘Ltr, Ulumul Hadis.,Op.cit

48 Ibid., hlm. 61.

(26)

25

KESIMPULAN

Dari paparan ringkas yang penuh kekurangan dari segi refrensi, kami sebagai penyusun makalah menyimpulkan bahwa hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan takrir Nabi Muhammad yang bersangkut paut dengan hukum Islam, dimana cabang hadis tersebut mempunya unsur yang sangat penting yakni sanad dan matan.

Sanad ialah silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), menyampaikannya kepada matan hadis sedangkan matan adalah perkataan disebut pada akhir sanad, yakni sabda Nabi SAW. Yang disebut sesudah habis disebutkan sanadnya

Kemudian hadis dari segi batas akhir sanad terbagi kepada tiga bagian yakni : al marfu’: apa saja yang dinisbatkan kepada nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (sikap diam setuju) dan sifat, al mauquf:

hadits yang dinisbatkan kepada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir, dan al maqthu’: apa saja yang dinisbatkan kepada tabi’in atau yang setelah mereka dari perkataan atau perbuatan.

Skema hadis hadis yang kami kutip ialah buku dari Dadan Munawar, dimana Dadan Munawar membagi al-khabar atau sanad kepada dua bagian, yaitu sanad ditinjau dari segi periwayatan (kuantitas) dan sanad ditinjau dari segi kualitasnya. Sanad dari segi periwayatan, yaitu sanad ditinjau dari segi banyaknya jalur periwayatan, yang pada hal ini, Dadan Munawar membaginya kepada dua, yaitu Mutawattir dan Ahad. Mutawattirpun terbagi kepada dua, yaitu mutawattir secara makna dan mutawattir secara lafal.

Sedangkan Ahad terbagi kepada tiga, yaitu Masyhur, Aziz, dan Gharib.

Masyhur dan gharib, masing-masing terbagi menjadi dua kecuali aziz. Pada pembagiannya masyhur terbagi kepada masyhur yang muthlaq dan masyhur yang muqayyad. Untuk gharib terbagi kepada gharib yang muthlaq dan gharib yang Nisbi.

Untuk pembagian sanad pada segi kualitas. Dadan Munawar membaginya kepada dua, yaitu yang maqbul dan yang mardud. Pada kategori yang maqbul, terdapat dua, yaitu Shahih dan hasan. Shahih pun terbagi lagi, ada yang lidzatih dan la lidzatih. Begitupun dengan hasan, ada yang lidzatih dan la lidzatih. Sedangkan pada kategori mardud, terbagi kepada dua yaitu mardud yang disebabkan oleh keterputusan sanad dan mardud yang disebabkan oleh kecacatan pada rawi

Hadis ditinjau dari kualitasnya secara mandiri yakni berinduk kepada hadis sahih, hasan dan dhaif, dimana hadis shahih ialah suatu hadis yang

(27)

26

sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, disampaikan oleh orang- orang yang adil, memiliki kemampuan menghafal yang sempurna (dhabith), serta tidak ada penyelisihan dengan perawi yang lebih terpercaya darinya (syadz) dan tidak ada ‘illat yang erat, kemudian hadis hasan ialah Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan daya hapalnya, tidak rancu dan tidak cacat serta hadis dhaif ialah hadis yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai hadis maqbul (yang dapat diterima.

(28)

27

DAFTAR PUSTAKA

1. Al Qur’an/Tafsir al-Qur’an/’U;um-al-Qur’an

Baqy, Fuad al-, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al Qur’an Indonesia:

Maktabah Dahlan, t.t.

Shiddieqy, M. Hasbi Ash-, Sejarah dan Pengantar Ilmu tafsir, Jakarta:

Bulan Bintang, 1991

2. Hadis/’Ulum al-Hadis

‘Ltr, Nururdin, Ulumul Hadis, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1994.

Al Bukhari, permulaan kita al-Adab, 8:2, Muslim, Permulaan kitab Al Birr wa ash-Shilah, 8;2.

al-Syafi’i, al-Risalah, diteliti dan diberi syarah oleh Ahmad Muhammad Syakir, Maktabah Dar al-Turas, Kairon 1979.

Bari, Fathul, Syarah Shahih Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalany: 1/321, cet.

Salafiyah t.t.

Ghazali, Muhammad al-, al-Sunnah al-Nabawiyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al Hadis, diterjemahkan oleh Muhammad al-Baqir dengan judul Studi Kritik Hadis Nabi SAW, Antara Pemahaman Tekstual dan Kontektual, Bandung, Mizan, 1991.

ibn al-Shalah, Ulumul al-Hadis, al-Maktabah al-‘Iimiyah, Madinah, 1972.

Isma’il, Muhammad Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Dan Tinjauan Dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Bulan Bintang, Jakarta, 1988.

Ismail, Syuduh, Pengantar Ilmu Hadis, Bandung: Angkasa, 1991.

Ju’fi, Muhammad bin Al-Bukhari Al-, Shahih Al-Bukhori, Beirut: Dar Al- Fikr, 2009.

Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis, Cet- 5, Jakarta: Amzah, 2019.

Masyhuri, H.A. Aziz, Ilmu Hadist, Jakarta: Cv Sagung Seto, 2011.

Munir, Dadan Munawar bin, Mabȃdi Awaliyah fî Ulum al-Mushthalah.

Garut: Ibn Azka, 1413 H.

(29)

28

Muslim, al-Jami’ al-Sahih, ttp, Isa al-Babi al-Hlm. Abi wa Syurakah, 1995.

Octoberrinsyah, dkk, Al-Hadis, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005.

Salih, Syubkhi al-, ‘Ulumul al-Hadis wa Mustalahuh Bairut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1977.

Soebahar, M. Erfan, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, Bogor:

Kencana, 2003.

Suparta, Munzir, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo persada 2008.

______ Munzir, Ilmu Hadis, Cet-10, Jakarta: RajaGrafindo, 2016.

Suryadilaga, M. Alfatih, dkk, Ulumul Hadits, Yogyakarta: Kalimedia, 2015.

Suyuthy, Jalaluddin As-, Argumentasi As-Sunnah, Surabaya: Risalah Gusti, 1996.

Thahhan, Mahmud Ath-, Cet-3, dasar-dasar ilmu hadits, Jakarta: Ummul Qura, 2018.

3. Fikih, Ushul Fikih, dan Hukum.

Khoiriyah, Memahami Metodelogi Studi Islam, Yogyakarta: Teras, 2013.

View publication stats

Referensi

Dokumen terkait

2 Hadits Hasan Hadits hasan menurut Syi’ah adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dari periwayat adil, sifat keadilannya sesuai dalam semua atau sebagian

Dan sanadnya mereka adalah pancaindra.2Sedangkan Menurut As-Siddiqi mendifinisikan hadis mutawatir sebagai hadis yang diriwayatkan berdasarkan pengamatan panca indra orang banyak yang

Maka khabar ahad adalah khabar berita yang diriwayatkan oleh satu orang perawi.9 Menurut istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara lain adalah: طورش هيف عمتجي لا ام رتاوتلا