• Tidak ada hasil yang ditemukan

Para ulama hadits membagi hadits

N/A
N/A
Mella Wahyuni

Academic year: 2023

Membagikan "Para ulama hadits membagi hadits"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Para ulama hadits membagi hadits berdasarkan kualitasnya dalam tiga kategori, yaitu hadits shahih, hadits hasan, hadits dhaif. Urainnya sebagai berikut:

A. Hadits Shahih

Hadits shahih ialah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang berkualitas dan tidak lemah hafalannya, di dalam sanad dan matannya tidak ada syadz dan illat. Mahmud Thahan dalam Taisir Musthalahil Hadits menjelaskan hadits shahih yang artinya, “Setiap hadits yang rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit dari awal sampai akhir sanad, tidak terdapat di dalamnya syadz dan

‘illah.” Para ulama‟ ahli hadits membagi hadits–hadits menjadi dua macam yaitu:

1. Hadits Shahih Li-Dzatih

Ialah hadits shahih dengan sendiriya, artinya hadits shahih yang memiliki lima syarat atau kiteria sebagaimana disebutkan pada persyaratan di atas, atau hadits shahih adalah: “hadist yang melengkapi setinggi-tinggi sifat yang mengharuskan kita menerimanya”. Dengan demikian penyebutan hadist shahih li dzatih dalam pemakaiannya sehari-hari pada dasarnya cukup memakai sebutan dengan hadist shahih. Adapun contoh hadist Li-dzatih, yang artinya “Dari Ibnu Umar ra. Rasulullah SAW bersabda: “Dasar (pokok) Islam itu ada lima perkara: mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan mengaku bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan Sholat (sembahyang), membayar zakat, menunaikan puasa dibulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji” (HR. Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan rangkaian sanad diatas, dapat diartikan bahwa Ibnu Umar ra.

mendapatkan hadist dari Rasulullah SAW. Kemudian hadist tersebut disampaikan kepada penulis hadist yaitu Imam Bukhari dan Muslim.

Matan dalam hadist diatas adalah “Dasar (pokok) Islam itu ada lima perkara:

mengakui tidak ada tuhan selain Allah dan mengaku bahwa Muhammad adalah Rasul Allah, menegakkan Sholat (sembahyang), membayar zakat, menunaikan puasa dibulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji”,

2. Hadist Shahih Li-Ghairih

Yang dimaksud dengan hadist Li-Ghairih adalah Hadist yang keshahihannya dibantu adanya keterangan lain. Hadist pada kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek kedhabitannya.Sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai Hadist shahih. Contoh hadist shahih Li-Ghairihi:

(2)

Artinya: “Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “sekiranya aku tidak menyusahkan ummatku tentulah aku menyuruh mereka bersunggi (menyikat gigi) disetiap mengerjakan sholat.”(HR. Bukhari dan Tirmidzi).

Berdasarkan rangkaian sanad diatas, dapat diartikan bahwa Abu Hurairah mendapatkan hadist dari Rasulullah SAW. Kemudian hadist tersebut disampaikan kepada penulis hadist yaitu Imam Bukhari dan Tirmidzi.

Matan dalam hadist diatas adalah “Dari Abu Hurairah Bahwasahnya Rasulullah SAW bersabda: “sekiranya aku tidak menyusahkan ummatku tentulah aku menyuruh mereka bersunggi (menyikat gigi) disetiap mengerjakan sholat”.

B. Hadits Hasan

Hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih, yaitu hadits yang rangkaian sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit, tidak terdapat syadz dan

‘illah. Namun perbedaannya adalah kualitas hafalan perawi hadits hasan tidak sekuat hadits shahih. Ulama hadits sebenarnya berbeda-beda dalam mendefenisikan hadits hasan.

Menurut Mahmud Thahhan, defenisi yang mendekati kebenaran adalah defenisi yang dibuat Ibnu Hajar. Menurut beliau hadits hasan ialah: “Hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi adil, namun kualitas hafalannya tidak seperti hadits shahih, tidak terdapat syadz dan ‘illah.” Para ulama hadist membagi Hasan menjadi dua bagian yaitu:

1. Hadist Hasan Li-Dzatih

Yang dimaksud hadist hasan Li-Dzatih adalah hadist hasan dengan sendirinya, yakni hadist yang telah memenuhi persyaratan hadist hasan yang lima. Menurut Ibn Ash- Shalah, pada hadist hasan Li-Dzatih para perawinya terkenal kebaikannya, akan tetapi daya ingatannya atau daya kekuatan hafalan belum sampai kepada derajat hafalan para perawi yang shahih. Contoh Hadist Hasan Li-Dzatih adalah sebagai berikut:

“Dari Nadhir bin Syaiban, ia mengatakan, “Aku pernah bertemu dengan Abu Salamah bin Abdurrahman rahimahullah, aku mengatakan kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari bapakmu (maksudnya Abdurraman bin

‘Auf Radhiyallahu ‘anhu) tentang Ramadhan. Ia mengatakan, “Ya, bapakku (maksudnya Abdurraman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘anhu) pernah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut bulan Ramadhan lalu bersabda, Bulan yang Allah Azza wa Jalla telah wajibkan atas kalian puasanya dan aku menyunahkan buat kalian shalat malamnya. Maka barang siapa yang berpuasa dan melaksanakan shalat malam dengan dasar iman dan mengharapkan

(3)

sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibunya“. (HR Ibnu Majah, No. 1328 dan Ibnu Khuzaimah, No. 2201 lewar jalur periwayatan Nadhr bin Syaiban).

Berdasarkan rangkaian sanad diatas, dapat diartikan bahwa Abdurraman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘anhu mendapatkan hadist dari Rasulullah SAW, kemudian ia menceritakan kepada anaknya Abu Salamah bin Abdurrahman rahimahullah kemudian menceritakan kepada Nadhir bin Syaiban. Kemudian hadist tersebut disampaikan kepada penulis hadist yaitu Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah.

Matan dalam hadist diatas adalah “Dari Nadhir bin Syaiban, ia mengatakan, “Aku pernah bertemu dengan Abu Salamah bin Abdurrahman rahimahullah, aku mengatakan kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari bapakmu (maksudnya Abdurraman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘anhu) tentang Ramadhan. Ia mengatakan, “Ya, bapakku (maksudnya Abdurraman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘anhu) pernah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallahu

‘alaihi wa sallam pernah menyebut bulan Ramadhan lalu bersabda, Bulan yang Allah Azza wa Jalla telah wajibkan atas kalian puasanya dan aku menyunahkan buat kalian shalat malamnya. Maka barang siapa yang berpuasa dan melaksanakan shalat malam dengan dasar iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah Azza wa Jalla, niscaya dia akan keluar dari dosa-dosanya sebagaimana saat dia dilahirkan oleh ibunya“.

2. Hadist Hasan Li-Ghairih

Hadist Hasan Li-Ghairih adalah hadist yang sanadnya tidak sepi dari seorang mastur- tak nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan hadistnya adalah baik berdasarkan pernyataan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain”. Hadist Hasan Li- Ghairihi ialah Hadist Hasan yang bukan dengan sendirinya, artinya Hadist yang menduduki kualitas Hasan, karena dibantu oleh keterangan hadist lain yang sanadnya Hasan. Jadi Hadist yang pertama itu terangkat derajatnya oleh hadist yang kedua, dan yang pertama itu disebut Hadist Hasan. Contoh sebagai berikut:

Rasulullah SAW, bersabda: “Hak bagi seorang Muslim mandi di hari Jum’at, hendak mengusap salah seorang dari mereka wangi-wangian keluarganya, jika ia tidak memperoleh airpun cukup dengan wangi-wangian”. (H.R.Ahmad).

Berdasarkan rangkaian sanad diatas, dapat diartikan bahwa hadist tersebut langsung dari Rasulullah SAW. Kemudian hadist tersebut disampaikan kepada penulis hadist yaitu Imam Ahmad.

(4)

Matan dalam hadist diatas adalah “Hak bagi seorang Muslim mandi di hari Jum’at, hendak mengusap salah seorang dari mereka wangi-wangian keluarganya, jika ia tidak memperoleh airpun cukup dengan wangi-wangian”.

C. Hadits Dhaif

Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memenuhi persyaratan hadits shahih dan hadits hasan.

Dalam Mandzumah Bayquni disebutkan hadits hasan yang artinya, “Setiap hadits yang kualitasnya lebih rendah dari hadits hasan adalah dhaif dan hadits dhaif memiliki banyak ragam.” Dhaif dari sudut sandaran matannya, maka hal ini terbagi dua macam, yaitu:

a. Hadits Mauquf, ialah Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya. Sebagai contoh Ibnu Umar berkata: “Bila kau berada diwaktu sore, jangan menunggu datangnya diwaktu pagi hari, dan bila kau berada diwaktu pagi jangan menunggu datangnya waktu sore hari, Ambillah dari waktu sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu.” (Riwayat Bukhari).

Berdasarkan rangkaian sanad diatas, dapat diartikan bahwa hadist tersebut dari Ibnu Umar. Kemudian hadist tersebut disampaikan kepada penulis hadist yaitu Imam Bukhari.

Matan dalam hadist diatas adalah “Bila kau berada diwaktu sore, jangan menunggu datangnya diwaktu pagi hari, dan bila kau berada diwaktu pagi jangan menunggu datangnya waktu sore hari, Ambillah dari waktu sehatmu persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu”.

b. Hadits Maqhtu, ialah Hadits yang diriwayatkan dari Tabi’in, berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya. Contoh: seperti perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang Tabi’in: “Termasuk Sunnah, ialah mengerjakan sembahyang 12 rakaat setelah sembahyang idul fitri, dan 6 rakaat sembahyang idul Adha.”

Berdasarkan rangkaian sanad diatas, dapat diartikan bahwa hadist tersebut dari Sufyan Ats-Tsaury, seorang Tabi’in.

Matan dalam hadist diatas adalah “Termasuk Sunnah, ialah mengerjakan sembahyang 12 rakaat setelah sembahyang idul fitri, dan 6 rakaat sembahyang idul Adha”.

Yang termasuk hadits dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama yaitu:

a. Hadits Maudhu

Hadits yang disanadkan dari Rasululah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, melakukan dan menetapkan.

(5)

Artinya: “Barangsiapa berpuasa di waktu pagi pada hari ‘Idul Fithri, dia bagaikan puasa sepanjang waktu”

Hadits ini dianggap maudhu’ sebab menyalahi aqidah Islam dimana seharusnya pada hari idul fithri sangat diharamkan untuk berpuasa. Gadits ini diriwayatkan dari Ibnu al- Bailami yang dikenal telah membuat hadits maudhu’ kurang lebih sebanyak 200 hadits.

b. Hadits Munkar Ialah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur.

Referensi

Dokumen terkait

Ketika menyampaikan hadits, para perawi menggunakan lafadz-lafadz sesuai dengan keadaan ia mengambil hadits tersebut, bila ia mendengar langsung dari mulut syaikh atau syaikh

Apabila langkah-langkah diatas tidak mungkin ditempuh atau belum memberikan kepastian tentang keshahihan sesuatu hadits, maka hendaknya digunakan norma-norma umum seleksi,

Atau sebuah hadits yang terdapat pada sanadnya seorang perawi yang bersendirian, yang keadaan tersebut tidak.. memungkinkan untuk

Imam Syafi‟i, hadits ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, asal memenuhi kriteria sebagai berikut ; Pertama, (ini yang paling penting) hadits harus bersambung

Munqathi’ adalah isim fa’il dari al-inqitha’ berarti lawannya bersambung (putus). 9 Secara istilah hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih,

1) Sanadnya bersambung kepada imam yang ma‟shum tanpa terputus. 2) Para periwayatnya dari kelompok imamiah dalam semua tingkatan. 3) Para periwayatnya juga harus adil dan

Hadis yang bersambung sanadnya, dinukil oleh perawi yang adil dan dlabit, dari perowi yang adil dan dhabit sehingga sampai pada Nabi SAW lewat sahabat atau lainnya,

2 Hadits Hasan Hadits hasan menurut Syi’ah adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dari periwayat adil, sifat keadilannya sesuai dalam semua atau sebagian