ARGUMENTASI HUKUM TERKAIT UPAYA PENINJAUAN KEMBALI
A. Tafsir Sejarah dan Tujuan Peninjauan Kembali
Dalam suatu negara, terdapat tujuan untuk menciptakan ketertiban berdasarkan prinsip kepastian hukum. Kepastian hukum tidak dapat dipisahkan dari norma hukum yang tertulis yang menjadi panduan bagi masyarakat. Ini memberikan klarifikasi tentang apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan menurut hukum dalam setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat. Hakim menjadi aktor utama dalam penegakan hukum di pengadilan, dengan memberikan interpretasi terhadap hukum untuk menciptakan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan. Ketika memutuskan suatu perkara, hakim harus mempertimbangkan tiga aspek utama, yaitu kepastian hukum, manfaat, dan keadilan, sehingga dapat menghasilkan keputusan yang berkualitas.
Meskipun demikian, tidak ada putusan hakim yang bebas dari kesalahan atau kelalaian, bahkan tidak mustahil bahwa putusan itu bersifat memihak.Kebenaran dan keadilan yang sama seharusnya diberikan pada setiap putusan hakim, namun hal ini tidak luput dari kemungkinan terjadinya kesalahan atau kehilafan. Oleh karena itu, untuk mencegah atau memperbaiki segala kesalahan yang terjadi dalam suatu putusan hakim, diperlukan suatu upaya hukum yang tersedia bagi masyarakat.
Terdakwa/terpidana dan Jaksa/Penuntut Umum memiliki hak untuk menggunakan upaya hukum apabila ada pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang telah diberikan oleh pengadilan. Meskipun demikian, hak tersebut boleh saja tidak dipergunakan, namun jika hak tersebut diambil, maka pengadilan wajib untuk menerimanya.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), upaya hukum dibedakan menjadi dua macam, yakni upaya hukum biasa mulai dari Banding hingga Kasasi yang diatur dalam Bab XVII Pasal 233 sampai dengan Pasal 258 KUHAP, dan upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK) yang teratur dalam Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP. Selain itu, Kasasi demi kepentingan hukum juga diatur dalam Pasal 259 sampai dengan Pasal 262 KUHAP.
Dengan adanya upaya hukum ini, maka para pihak memiliki hak untuk mengajukan gugatan jika merasa putusan hakim yang telah diberikan tidak adil.
Lahirnya upaya hukum PK berawal dari kasus Sengkon dan Karta pada tahun 1977, dimana negara melakukan salah dalam menerapkan hukum dengan mempidana
orang yang tidak bersalah (miscarriage of justice), Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 1980 untuk mengoreksi kesalahan tersebut. Hal ini kemudian menjadi dasar lahirnya Bab XVIII Pasal 263 KUHAP sampai dengan Pasal 269 KUHAP yang mengatur tentang upaya hukum PK. Secara tegas Pasal 263 ayat (1) KUHAP menyatakan:
“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.” Ketentuan tersebut menurut Adami Chazawi, apabila lembaga peninjauan kembali ibarat suatu gedung, maka gedung itu didirikan di atas fondasi, yaitu ketentuan dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut. Jika fondasi gedung peninjauan kembali tersebut digali dan dibongkar, pastilah gedung peninjauan kembali tersebut runtuh tidak berguna lagi.1
PK (Peninjauan Kembali) merupakan upaya hukum luar biasa di luar putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Tujuan dari upaya hukum ini adalah untuk memberikan keadilan hukum, dan dapat diajukan baik oleh terdakwa ataupun pemohon dari kedua jenis perkara (pidana maupun perdata). Hak untuk mengajukan PK juga diberikan kepada para terpidana saat menjalani masa pidana di dalam pemasyarakatan.
PK diklasifikasikan sebagai upaya hukum luar biasa karena memiliki hak istimewa untuk membuka suatu keputusan hakim yang telah berlaku sebagai hukum tetap. Ini dilakukan untuk mematuhi kepastian hukum dan menarik kembali atau menolak putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, lembaga PK adalah metode hukum yang digunakan untuk membatalkan atau menolak keputusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.2 Permohonan terhadap upaya hukum luar biasa membutuhkan situasi khusus yang tidak lazim karena tidak sama dengan tindakan hukum pada umumnya. Permohonan terhadap upaya hukum luar biasa memiliki syarat tertentu, yaitu:3
1. Dapat diajukan dan ditujukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
1 Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, h. 1.
2 Ristu Darmawan, Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Bebas Dalam Perkara Pidana, Naskah Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 2012, h. 22.
3 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Peninjaun Kembali, Edisi Kedua, Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2000, h. 586.
2. Dapat ditujukan dan diajukan dalam keadaan tertentu, tidak dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Harus ada dan terdapat keadaan-keadaan tertentu sebagai syarat.
3. Dapat diajukan kepada Mahkamah Agung, dan diperiksa serta diputus oleh Mahkamah Agung sebagai instansi pertama dan terakhir.
Sedangkan syarat materiil untuk dapat mengajukan PK diatur dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP yaitu, Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
b. Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
B. Peninjauan Kembali dalam Aspek Keadilan
Konstitusi jelas menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, yang berarti bukan berbasis kekuasaan. Menurut Gustav Radbruch, implementasi hukum ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.
Namun, dalam prakteknya, implementasi ketiga faktor tersebut masih menimbulkan masalah, sehingga sulit untuk mencapai keseimbangan. Masalah antara kepastian hukum dan keadilan kembali muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Putusan No. 34/PUU-XI/2013 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945. Putusan MK menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP, yang mengatur tentang "Permintaan peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja", bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 menimbulkan pandangan yang berseberangan di masyarakat. Sementara sebagian orang berpendapat bahwa pemeriksaan ulang lebih dari sekali dapat melindungi hak warga masyarakat untuk memperoleh keadilan dan menemukan kebenaran materiil, orang lain menyatakan
bahwa ini merupakan pelanggaran terhadap aspek kepastian hukum. salah satu pokok pertimbangan MK dalam Putusan No. 34/ PUU-XI/2013, yaitu: “Bahwa upaya hukum luar biasa PK secara historis-filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Menurut Mahkamah, upaya hukum PK berbeda dengan banding atau kasasi sebagai upaya hukum biasa. Upaya hukum biasa harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum karena tanpa kepastian hukum, yaitu dengan menentukan limitasi waktu dalam pengajuan upaya hukum biasa, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang tentu akan melahirkan ketidakadilan dan proses hukum yang tidak selesai. Dengan demikian, ketentuan yang menjadi syarat dapat ditempuhnya upaya hukum biasa di samping terkait dengan kebenaran materiil yang hendak dicapai, juga terkait pada persyaratan formal yaitu terkait dengan tenggang waktu tertentu setelah diketahuinya suatu putusan hakim oleh para pihak secara formal pula. Adapun upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa PK hanya dapat diajukan satu kali, karena mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial baru ditemukan yang pada saat PK sebelumnya belum ditemukan. Adapun penilaian mengenai sesuatu itu novum atau bukan novum, merupakan kewenangan Mahkamah Agung yang memiliki kewenangan mengadili pada tingkat PK.”
Putusan MK di atas menurut penulis sesuai dengan tujuan masyarakat untuk memperoleh keadilan dalam penegakan hukum, sesuai dengan amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Dengan ketentuan tersebut, MK memperhatikan original intent yang terkandung dalam UUD 1945 sebagai dasar, serta memperhatikan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat sehingga putusan yang di berikan dapat menghormati hak-hak masyarakat dan mengakomodasi nilai-nilai keadilan. Selain itu, Putusan MK No. 23-PUU-V-2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung terhadap UUD 1945 telah menjelaskan implementasi prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan yaitu : “… Mahkamah berpendapat bahwa dalam membentukan suatu norma (legislasi) harus diperhatikan tiga aspek yaitu aspek keadilan (gerechtigkeit), aspek kepastian hukum (rechtszekerheit), aspek kemanfaatan (zweckmassigkeit). Ketiga aspek di atas tidak selalu sejalan. Oleh sebab itu, apa yang dianggap adil ada kalanya terpaksa dikalahkan oleh apa yang dirasakan pasti dan
berguna, atau sebaliknya. Hal itu bergantung pada besar kecilnya kepentingan yang dilindungi.”4
Menurut penulis, peninjauan kembali dapat menyediakan mekanisme yang dapat memungkinkan orang yang mengalami keadilan yang tidak adil untuk memperoleh pengakuan hak mereka. Peninjauan kembali juga dapat membantu menyelesaikan masalah yang mungkin timbul dari keputusan pengadilan yang salah atau tidak akurat. Dengan demikian, peninjauan kembali dapat membantu menciptakan keadilan yang adil dan dapat dipertanggungjawabkan bagi pelaku dan masyarakat. Peninjauan kembali juga dapat menyediakan mekanisme untuk mengevaluasi kembali keputusan pengadilan dan menentukan apakah mereka masih relevan dan tepat untuk kasus yang dihadapi. Selain itu, peninjauan kembali juga dapat membantu menyediakan cara untuk mengembalikan rasa keadilan bagi pelaku dan masyarakat. Dengan demikian, peninjauan kembali dapat menjadi cara yang efektif untuk memastikan keadilan bagi pelaku dan masyarakat.
Secara prinsip, Pengujian Kembali (PK) dilakukan berulang kali untuk memenuhi tujuan masyarakat akan penegakan hukum yang adil. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan informasi baru (novum) yang ditemukan setelah PK dimulai.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 34/PUU-XI/2013 meskipun menimbulkan pro dan kontra, tetap harus dilaksanakan karena bersifat final dan mengikat. Putusan ini merupakan putusan pertama dan terakhir, sehingga tidak ada lagi upaya hukum yang bisa ditempuh. Putusan juga bersifat memaksa, sehingga semua lembaga penyelenggara kekuasaan negara termasuk Mahkamah Agung (MA) terikat dan wajib melaksanakan putusan MK.
4 Putusan MK No. 23-PUU-V-2007 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung terhadap UUD 1945, h.46- 47.