ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN DIFTERI
Disusn Oleh Kelompok 4:
1. Desy Abidin (4050301440122055) 2. Muzna Samad (4050301440122073) 3. Mutia Salasabillah (4050301440122072) 4. Indah Virgiah (4050301440122065) 5. Husmalyatthy A. Djae (4050301440122063) 6. Sukma Ayu Saleh (4050301440122095) 7. Putri Abas (4050301440122082) 8. Farasani (4050301440122059)
PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN KEMENKSES POLTEKKES TERNATE
TAHUN AJARAN 2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa , yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Tugas ini berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak Difteri” kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Ternate, 29 maret 2024
Kelompok 4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...2
DAFTAR ISI...3
BAB I PENDAHULUAN...5
A. Latar Belakang...5
B. Tujuan...5
C. Tujuan Khusus...5
BAB II LANDASAN TEORI...6
A. Landasan Medis...6
1. Pengertian...6
2. Etiologi...6
3. Manifetasi Klinis...8
4. Patofisiologi...9
5. Komplikasi...10
6. penatalaksana...10
B. Konsep Asuhan Keperawatan...11
1. Pengakajian...11
2. Diagnose Keperawatan...12
3. Intervensi Keperawatan...13
4. Implementasi Keperawatan...15
5. Evaluasi Keperawatan...15
BAB III KASUS...16
A. Kasus...16
1. Pengakajian...16
2. Diagnosa Keperawatan...18
3. Intervensi Keperawatan...18
4. Evaluasi Keperawatan...19
BAB IV PEMBAHASAN...20
1. Pengkajian...20
2. Diagnosa Keperawatan...20
3. Imlementasi Keperawtan...20
4. Intervensi Keperawatan...21
5. Evaluasi Keperawatan...21
BAB V PENUTUP...22
A. Kesimpulan...22
B. Saran...22
DAFTAR PUSTAKA...23
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Difteri adalah penyakit yang menjadi fenomena negatif. Sebuah penyakit oleh toksik akut dan sangat menular yang disebabkan corynebacterium diphteriae. Tanda yang umumnya ditemukan adalah sakit tenggorokan dan suara serak, nyeri saat menelan, pembengkakan (kelenjar getah bening membesar) di leher, dan terbentuknya sebuah membran tebal abu-abu menutupi tenggorokan dan amandel, sulit bernapas atau napas cepat, demam, dan menggigil.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10%
kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama darı abad ke-20, diften merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak-anak muda Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah secepatnya dilakukan tindakan penanggulangan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian pada semua kasus difteri. Penting diperhatikan bahwa pencegahan lebih baik dari pada mengobati, jadi kita harus selalu waspada dengan kemungkinan terjadinya penularan.
B. Tujuan
Mengetahui konsep Difteri dan Keperawatan Difteri pada anak C. Tujuan Khusus
Agar mampu memahami mengetahui tentang 1. Definisi difteri
2. Etiologi
3. Tanda dan Gejala 4. Patofisiologi
5. Penatalaksanaan Medis
6. Komplikasi 7. Pencegahan
8. Asuhan Keperawatan Difteri
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Landasan Medis 1. Pengertian
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik (racun) Corynebacterium diphterine. (Iwansain.2008).
Difiern adalah infeksi saluran pemafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif (Jauhari,nurudin.
2008).
Difieri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun Corynebacterium diphteriae. (Fundi, Hasan. 2008).
Jadi kesimpulannya difleri adalah penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kunan Corynebacterium diphteriae.
2. Etiologi
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri ini berkembang biak pada atau disekitar selaput lender mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan Pewarnaan sediaan langsung dapat dialkuskan dengan biru metilen atau biru toluidin.
Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesti.
Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan anak, sifat bakteri Corynebacterium diphteriae:
a) Gram positif b) Acrob c) Polimorf d) Tidak bergerak e) Tidak berspora
Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60° C selama 10 menit, tahan beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering. Terdapat tiga jenis bas yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermodius atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil Difteria mempunyai sifat:
1. Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabu- 1 abuan yang meliputi daerah yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan kuman.
2. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam discrap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung ginjal dan jaringan saraf.
Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi penyakit ini menjadi 3 tingkat yaitu:
a. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
c. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Menurut bagian ilmu kesehatan anak FKUI, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien:
1. Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran.
Penyebaran pseudomembran dapat mencapai faring dan laring.
2. Difteri faring dan tonsil (Difteri Fausial).
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai (75%). Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional leher tampak seperti leher sapi (bull's neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring.
3. Difteri laring dan trakea
Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada bull's neck, Haring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama.
4. Difteri kutaneus dan vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sarinwan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri Juka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah konjungtiva dan umbilikus.
5. Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra.
Pada telinga berupa otitiseksterna dengan sekret purulen dan berbau.
3. Manifetasi Klinis a) Gejala umum
Demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga pasien tampak lemah.
b) gejala local
Nyeri menelan, bengkak pada leher karena pembengkakan pada area regional, sesak nafas, serak, samapi dengan stridor jika penyakit sudah stadium lanjut.
Gejala akibat eksotoksin tergantung bagian yang terkena massalah mengenai otot jantung terjadi miokarditas dan bila mengenali saraf menyebabkan kelumpuhan.
4. Patofisiologi
Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas terutama bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu dapat juga pada vulva. kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.
Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar kefaring, tonsil, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian pasien difteria pada umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan nafas akibat pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal nafas akibat terjadinya bronkopneumonia.
Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi dapat juga melalui perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi oleh kuman difteria.Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita.
Penyakit Difteria dapat berat atau ringan bergantung dari virulensi, banyaknya basıl, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam keadaan berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea. Pasien difteria selalu dirawat dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi seperti mioarditis atau sumbatan jalan nafas (Ngastiyah, 1997).
Menurut Iwansain, 2008 dalam http://www.iwansain.wordpress.com secara sederhana pathofisiologi difteri yaitu:
1. Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva, kulit, mata.
2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.
Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.
3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.
5. Komplikasi
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ lainnya:
a. Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung
b. Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak terkoordinasi dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu)
c. Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan d. Kerusakan ginjal (nefritis).
6. penatalaksana
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik.
Pengobatan spesifik untuk difteri:
1. ADS (Antidifieri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit dan mata.
a. TEST ADS
ADS 0,05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC. Diberikan 0,05 CC intracutan Tunggu 15 menit indurasi dengan garis tengah 1 cm(-)
b. CARA PEMBERIAN
Test Positif BESREDKA
Test Negatif secara DRIP/IV c. Drip/IV
200 CC cairan D5% 0,225 salin. Ditambah ADS sesuai kebutuhan.
Diberikan selama 4 sampai 6 jam observasi gejala cardinal.
2. Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
3. Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat membahayakan. dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin 4 mg dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari.
B. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengakajian
1. Biodata a) Umur
Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun
b) Suku bangsa
Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin c) Tempat tinggal
Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukunan yang rapat- rapat, higine dan Sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
2. Keluhan Utama
Sesak napas disertai dengan nyeri menelan 3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami sesak napas disertai dengan nyeri menelan demam lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia.
4. Riwayat Kesehatan Dahulu.
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia\
2) Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam 3) Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur.
4) Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi kumng disebabkan oleh anoreksia
7. Pemeriksaan fisik B1: Breating
Adanya pembengkakan kelenjer limfe (Bull's neck), timbul peradangan pada laring trakea, suara serak, stridor, sesak napas
B2: Blood
Adanya degenerasi fatty infiltrate dan nekrosis pada jantung menimbulkan miokarditis dengan tanda irama derap, bunyi jantung melemah atau meredup, kadang-kadang ditemukan tanda-tanda payah jantung
B3: Brain
Gangguan system motorik menyebabkan paralise.
B4: Bladder Tidak ada kelainan.
B5: Bowel
Nyeri tenggorokan, sakit saat menelan, anoreksia, tampak kurus, BB cenderung menurun, pucat.
Bo: Bone Bedrest
2. Diagnose Keperawatan
1. Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret dan edema kelenjer limfe, laring dan trakea.
2. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada tonsil dan faring.
3. Hipertermi berhubungan dengan proses masuknya kuman dalam tubuh.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
3. Intervensi Keperawatan N
o D x
Tujuan Intervensi Rasional
1. I Setelah dilakukan tindakan
keperawatan tentang oxygen theraphy diharapkan pola nafas pasien kembali normal. Kriteria hasil :
a. Frekuensi pernafasan dalam batas normal.
b. Tidak ada suara nafas tambahan.
1. Observasi tanda – tanda vital.
Berikan posisi yang
nyaman/semi fowler.
2. Anjurkn pasien agar tidak terlalu banyak bergerak.
3. Kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian O2 lembab atau inhalasi, bila perlu dilakukan trachcostomi.
1. Untuk mengetahui keadaan umum pasien terutama pada
pernapasannya.
2. Peninggian kepala mempermudah gravitasi atau mempermudah pertukaran O2 dan CO2 agar tidak bertambah.
3. Membantu kekentalansecret sehingga
mempermudah pengeluarannya.
2. II Setelah dilakukan tindakan
keperawatan klien mengalami
pengurangan nyeri dengan kriteria hasil : a. Klien tampak
rileks.
b. Nyeri
berkurang/hilang .
1. Kaji status nyeri (lokasi, frekuensi,
dursdi, an
intensitas neri).
2. Berikan posisi yang nyamansemi fowler
3. Ajarkan tekhnik relaksasi, seperti
napas dalam,
visualisasi, dan bimbingan
imajinasi.
4. Kolaborasi dengan
dokter dalam
pembarian analdesik.
1. Memberikan data
dasr untuk
mrnrntukan dan mengevaluasiinterv ensi yang diberikan.
2. Menurunkan
stimulus terhadap renjatan nyeri.
3. Meningkatkan relaksasiyang dapat menurunkan rasa nyeri klien.
4. Sebagai profilaksis unuk
menghilangkan/
mengurangi rasa dan spasme otot.
3. III Setelah dilakukan tindakan
keperawatan
diharapkan suhu
tubuh klien
diharapkan normal dengan kriteria hasil : 1) Suhu tubuh normal (36,5 C- 37,5 C)
2) Akral hangat
1. Kaji suhu tubuh klien
2. Berikan kompres
hangat pada
daerah dahi, axila, lipatan paha.
3. Anjurkan minum yang anyak sesuai toleransi klien 4. Kolaorasi dengan
dokter dalam pemberian terapi (antipiretik).
1. Untuk
mengidentifikasi pola demam klien 2. Vasodilatasi
pembuluh darah akan melepaskan panas tubuh.
3. Peningkatan suhu tubuh meningkat sehingga perlu dimbangi dengan asupan cairan yang bnyak.
4. Obat antipiretik, membantu klien menurunkan suhu tubuh.
4 IV Setelah dilakukan tindakan
keperawatan
diharapkan nutrisi klien terpenuhi dengan kriteria hasil : 1) Nafsu makan klien membaik.
2) Porsi makanan yang
dihidangkan habis
3) Klien tidak mengalami mual, muntah.
1. Kaji pola makn klien
2. Anjurkan
kebersihan oral sebelum makan 3. Anjurkan makan
dalam porsi kecil diseertai dengan makanan
lunak/lembek 4. Berikan makan
sesuai dengan selera
5. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antiemetic
1. Menganalisis penyebab
ketidakadekuatan nutrisi
2. Mulut yang bersih dpat
meningkatkan /merangsang nafsu makan klien
3. Mananan dalam porsi kecil mudah dikonsusmsi oleh klien dan mencegah terjadinya
anoreksia 4. Meningkatkan
intake makanan 5. Menghilangkan
mual,muntah dan meningkatkan nafsu makan 4. Implementasi Keperawatan
Tindakan atau aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh perawat untuk mengimplementasikan intervensi keperawatan (rencana keperawatan). Implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan yang merupakan tindakan keperawatan khusus yang digunakan untuk melaksanakan intervensi. Implementasi merupakan tahap ke empat dalam proses keperawatan dalam melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana yang sudah dibuat (Sari, 2016). Implementasi keperawatan merupakan salah satu bagian dari lima proses keperawatan yang
dilakukan dalam bentuk tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai hasil dari tujuan yang diperkirakan dalam suatu asuhan keperawatan (Bruno, 2019).
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan untuk mengetahui sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai. Evaluasi ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil akhir yang teramati dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat dalam rencana keperawatan.
BAB III KASUS A. Kasus
Metode yang digunakan dalam studi kasus ini adalah metode deskriptif dengan pemaparan kasus dan menggunakan pendekatan proses keperawatan dengan memfokuskan pada salah satu masalah penting dalam kasus yang dipilih yaitu asuhan keperawatan anak dengan diagnosa difteri laring yang dilakukan pada satu responden.
1. Pengakajian
Klien bernama An. R, umur 4 tahun, jenis kelamin laki – laki. Untuk penanggungjawab klien bernama Ny. M, umur 45 tahun, hubungan dengan klien adalah ibu kandung. Setelah dilakukan pengkajian didapatkan data umum sebagai berikut :
1) Keluhan utama Ibu klien mengatakan anakanya mengeluh sesak napas sejak sehari yang lalu.
2) Riwayat penyakit sekarang Klien datang ke RS dengan sesak napas yang terjadi sejak sehari yang lalu disertai dengan demam yang tidak terlalu tinggi sudah 2 hari, rewel, dan tidak mau makan.
3) Riwayat penyakit dahulu An. R pernah dirawat di RS 2 tahun yang lalu dengan demam berdarah. Klien tidak mempunyai penyakit keturunan.
Kemudian setelah dilakukan pemeriksaan fisik pada klien didapatkan hasil : 1) Keadaan umum : Klien terlihat lemah
2) Tingkat kesadaran : Compos mentis
3) Tanda – tanda vital : Nadi =90, kali/menit, Suhu = 38,4 OC, dan RR = 28 kali/menit 4) Kepala : Rambut bersih, kulit kepala bersih
5) Mata : Konjungtiva merah muda, sklera putih, mata sembab 6) Hidung: Lubang hidung kotor, tidak ada polip
7) Mulut : Membran mukosa lembab, mulut kotor, lidah putih, terdapat membran putih pada langit – langit di dekat faring.
8) Leher : Tidak terdapat pembesaran tiroid.
9) Telinga : Bersih
10) Kulit : Turgor kulit kembali dalam 2 detik
11) Paru – paru : Hasil inspeksi dada simetris, palpasi vocal fremitus tidak terkaji, perkusi sonor, auskultasi bunyi vesikuler dan tidak terdapat bunyi otot bantu pernapasan
12) Jantung :Hasil inspeksi ictus cordis tidak terlihat, palpasi ictus cordis teraba, perkusi pekak, auskultasi bunyi S1 dan S2 reguler dan tidak terdapat bunyi tambahan.
13) Abdomen : Hail inspeksi perut datar dan tidak ada benjolan, auskultasi bising usus 12 kali/menit, perkusi timpani, dan dipalpasi tidak ada massa
14) Ekstremitas : Tangan dan kaki bisa digerakkan, tidak terdapat edema pada ekstremitas, tangan kiri terpasang infuse. Hasil pengkajian pola fungsional :
a. Pola persepsi terhadap kesehatan : Ibu klien mengatakan setiap anaknya sakit selalu diperiksakan oleh keluarganya
b. Pola aktivitas dan latihan : sebelum sakit aktivitas anak seperti mandi, makan, toileting sebagian di bantu orang tua. Anak aktif dalam bermain dengan temannya. Dan saat sakit aktivitas anak dibantu oleh keluarga dengan skala ketergantungan 2.
c. Pola istirahat dan tidur : sebelum sakit: anak selalu tidur nyenyak malam hari ± 9 – 10 jam, anak terbiasa tidur siang. Dan saat dirawat di RS anak tidak bisa tidur dan selalu terbangun karena sesak nafas.
d. Pola nutrisi : Ibu klien mengatakan BB sebelum sakit adalah 17 kg setelah anak sakit BB klien turun kg menjadi 15 kg. Turgor kulit kembali dalam 2 detik, mukosa bibir lembab, anak tampak lemas. Diit selama di RS anak mendapatkan nasi, tetapi anak hanya makan 3 potong biscuit.
e. Pola eliminasi : Ibu klien mengatakan sebelum sakit anak BAK 4 – 5 kali/hari, warna kuning jernih kemudian BAB 1 kali/hari konsistensi lembek dan berwarna kuning kehijauan. Sedangkan saat klien sakit BAK 1 kali/hari dan belum BAB sama sekali.
f. Pola konsep diri: Ibu klien mengatakan sebelum sakit anak ceria dan sering bermain dengan temannya namun saat anak sakit anak rewel.
g. Pola kognitif dan perceptual : tidak ada gangguan dalam pembicararaan, penglihatan, pendengaran dan status mental.
h. Pola peran dan hubungan : anak selalu mendapat dukungan dari keluarga.
i. Pola koping dan toleransi stress : ketika anak kesakitan selalu menangis.
j. Pola seksualitas : anak berjenis kelamin laki – laki.
k. Pola nilai dan kepercayaan : anak beragam islam.
Setelah dilakukan pengkajian didapatkan pula analisa data sebagai berikut : Ds : Ibu klien mengatakan anaknya mengeluh sesak napas sejak satu hari yang lalu.
DO : Tampak lemah, RR = 28 kali/menit, S = 38,4 OC, N = 90 kali/ menit.
2. Diagnosa Keperawatan
Rumusan prioritas diagnosa untuk An. R adalah ketidakefektifan pola napas.
3. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan untuk mengatasi masalah keperawatan ketidakefektifan pola napas pada An. R adalah :
a. Monitor pola napas yang meliputi irama pernapasan, penggunaan otot-otot bantu napas, suara napas, dan frekuensi napas.
b. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara nafas tambahan c. Atur posisi tidur pasien
d. Berikan terapi oksigen Implementasi Keperawatan Tindakan keperawatan yang dilakukan pada An. R selama 3 hari perawatan berturut – turut di rumah sakit yaitu :
Hari ke – 1
Memonitor pola napas klien yang meliputi irama pernapasan, penggunaan otot-otot bantu napas, suara napas, dan frekuensi napas kemudian mengauskultasi suara paru klien untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi jalan napas. Irama napas klien regular, napas cepat dan dalam, tidak ada suara bantu otot pernapasan, RR=28 kali/menit, dan tidak ada suara napas tambahan. Untuk mengurangi sesak napas pada klien, diberikan terapi O2 dengan nassal canul 3 liter/ menit, ibu klien mengatakan anaknya mengeluh sesak napas.
Hari ke - 2
Dilakukan tindakan keperawatan pengaturan posisi semi fowler pada klien untuk meningkatkan pengisian pada segmen paru sehingga ventilasi maksimal. An. R bersedia dilakukan pengaturan posisi, klien tampak lebih tenang. Kolaborasi pemberian terapi O2 dengan nassal canul 3 liter/ menit pada klien, ibu klien mengatakan sesak napas pada anaknya sedikit berkurang, RR = 27 kali/menit.
Hari ke – 3
Mempertahankan posisi tidur pasien. Klien terbaring diatas tempat tidur dengan posisi semifowler dan klien tampak nyaman. Mempertahankan pemberian terapi O2 dengan nassal canul 3 liter/ menit, ibu klien mengatakan anaknya masih mengeluh sesak napas.
4. Evaluasi Keperawatan
S = Ibu klien mengatakan anak masih sesak napas.
O = Anak masih terpasang O2 , RR : 26 kali/menit, posisi anak semifowler, auskultasi napas tidak terdapat bunyi napas tambahan, anak terlihat tidak rewel A = Masalah keperawatan ketidakefektifan pola napas belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi 1,2,3,4 1. Monitor pola napas yang meliputi irama pernapasan, penggunaan otot-otot bantu napas, suara napas, dan frekuensi napas. 2. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara nafas tambahan 3. Atur posisi tidur pasien 4. Berikan terapi oksigen
BAB IV PEMBAHASAN
1. Pengkajian
Pembahasan mengenai pengkajian yang dilakukan pada keluarga An. R didapatkan data bahwa An. R mengeluh sesak nafas sejak satu hari yang lalu. RR = 28 kali/menit, S = 38,4 OC, N = 90 kali/ menit. Menurut Anik Maryunani (2010) Difteri adalah radang tenggorokan yang sangat berbahaya karena menimbulkan tenggorokan tersumbat. Difteri laring biasanya sering disertai dengan gejala sumbatan jalan nafas.
Perumusan Masalah
Berdasarkan data fokus dalam pengkajian maka masalah keperawatan berdasarkan NANDA 2015 – 2017 pada An. R adalah ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan gangguan neuromuscular.
Alasan ketidakefektifan pola napas menjadi prioritas diagnosa karena apabila terjadi penyumbatan jalan napas maka otomatis penderita difteri akan mengalami kesulitan dalam bernafas sehingga jika tidak segera ditangani bisa mengakibatkan penderita gagal mendapatkan suplai oksigen yang mengakibatkan kematian pada sel – sel tubuh terutama otak, jantung, paru, serta organ vital.
Perencanaan Keperawatan
Untuk mengatasi masalah keperawatan ketidakefektifan pola napas maka disusunlah beberapa rencana keperawatan antara lain monitor pola napas, auskultasi suara nafas, atur posisi tidur pasien, dan kolaborasi pemberian oksigen.
2. Diagnosa Keperawatan
Rumusan prioritas diagnosa untuk An. R adalah ketidakefektifan pola napas.
3. Imlementasi Keperawtan
Masalah keperawatan dengan ketidakefektifan pola napas pada An. R belum teratasi namun pasien telah mendapat tindakan terapi yaitu diatur posisi tidurnya untuk memaksimalkan ventilasi dan pemberian oksigen sebanyak 3 liter/menit.
4. Intervensi Keperawatan
Untuk mengatasi masalah keperawatan ketidakefektifan pola napas maka disusunlah beberapa rencana keperawatan antara lain monitor pola napas, auskultasi suara nafas, atur posisi tidur pasien, dan kolaborasi pemberian oksigen.
5. Evaluasi Keperawatan
Telah dilakukan evaluasi pada keluarga klien dan klien dengan hasil : S = Ibu klien mengatakan anak masih sesak napas.
O = Anak masih terpasang O2 , RR : 26 kali/menit, posisi anak semifowler, auskultasi napas tidak terdapat bunyi napas tambahan, anak terlihat tidak rewel A = Masalah keperawatan ketidakefektifan pola napas belum teratasi
P = Lanjutkan intervensi 1,2,3,4
a) Monitor pola napas yang meliputi irama pernapasan, penggunaan otot-otot bantu napas, suara napas, dan frekuensi napas.
b) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara nafas tambahan c) Atur posisi tidur pasien
d) Berikan terapi oksigen
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Simpulan dari hasil asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada An. R menunjukkan bahwa mampu menjawab tujuan yaitu mendeskripsikan hasil pengkajian, merumuskan diagnosa keperawatan, tindakan keperawatan, melaksanakan tindakan keperawatan, dan mengevaluasi hasil dari tindakan keperawatan. Hasil dari pengkajian menunjukan An. R mengeluh sesak nafas. Masalah keperawatan ada An. R muncul dengan masalah keperawatan ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan gangguan neuromuscular. Rencana asuhan keperawatan pada An. R difokuskan pada terapi pemberian oksigen dan pengaturan
B. Saran
Berdasarkan asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada An. R dan kesimpulan yang telah disusun seperti diatas, maka penulis memberikan saransaran sebagai berikut :
1. Bagi Perawat Sebagai perawat harus memberikan pelayanan yang baik kepada pasien, melakukan semua implementasi sesuai dengan apa yang sudah direncanakan dan berkolaborasi dengan tim medis yang lain.
2. Bagi Pembaca Pembaca disarankan banyak mencari informasi tentang penyakit yang dialami, harus menjaga pola hidup sehat dengan makan makanan sehat sesuai kebutuhan, melakukan olah raga yang teratur, selalu memeriksakan keadaan kesehatan ke pusat pelayanan kesehatan terdekat seperti puskesmas yang teratur untuk mengetahui status kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin I, Prasasti C. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kasus Difteri Anak Di Puskesmas Bangkalan Tahun 2016. Jurnal Berkalam Epidemologi 2017;26-36.
Bulechek,Gloria.dkk.2013.Nursing Outcome Classification.Edisi 5: Elsevier.
Hartoyo, E. (2018). Difteri pada Anak. Sari Pediatri, 19(5), 301–306.
Herdman, T.Heather. Nanda International Inc.diagnosis keperawatan : definisi & klasifikasi 2015-2017. Edisi 10. Jakarta : EGC.
Morhead, Sue.dkk.2013.Nursing Interventions Classification.Edisi 6 : Elsevier.
Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak Dalam Kebidanan. Jakarta: CV. Info Trans Media.
Rahman, F. S., Hargono, A., & Susilastuti, F. (2016). Penyelidikan Epidemiologi KLB Difteri di Kecamatan Geneng dan Karang Jati Kabupaten Ngawi Tahun 2015. Jurnal Wiyata,
3, 199–213.
Saifudin, N., Wahyuni, C. U., & Martini, S. (2017). Faktor Risiko Kejadian Difteri Di Kabupaten Blitar Tahun 2015. Jurnal Wiyata Penelitian Sains Dan Kesehatan, 3(1),61–66.
Dr. Rusepno Hasan, dkk. 2005.Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid II. Hal 568-72. Jakarta: Cetakan kesebelas.
Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com. I Mei 2010, 16.00 WIB.
Merdjani, A., dkk. 2003, Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Staf pengajar ilmu keperawatan anak. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: FKUI.