• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I OVERVIEW ANLS

N/A
N/A
catherine uli

Academic year: 2024

Membagikan " BAB I OVERVIEW ANLS"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I OVERVIEW ANLS

Dr. Mursyid Bustami, Sp.S(K), KIC

Latar belakang

Seiring dengan kemajuan dalam pembangunan khususnya yang berkaitan dengan kesehatan maka terjadi pula pergeseran pola penyakit. Dahulu penyakit infeksi merupakan keadaan yang menjadi stau masalah besar di bjdang kesehatan, pada saat sekarang penyakit degeneratif merupakan masalah utama.

Di bidang neurologi terjadi juga hal yang sama walaupun masalah infeksi susunan saraf pusat akhir-akhir ini mengalami peningkatan jumlah kasus (dengan banyaknya penyandang HIV).

Sebagaimana di negara berkembang lainnya stroke merupakan penyebab kematian utama ke 3 setelah kasus trauma dan jantung serta penyebab kecaactan utama. Bahkan dari data Depkes (Riskesdas) menunjukkan bahwa stroke merupakan penyebab kematian utama di rumah-rumah sakit di Indonesia. Selain itu kejadian trauma kepala dan trauma medula spinalis dengan segala akibatnya memperlihatkan kecenderungan peningkatan, hal ini sejalan dengan semnakin tingginya tingkat kecelakaan lalu lintas.

Otak yang hanya dengan berat 2% dari berat badan merupakan organ tubuh yang terpenting dengan tingkat metabolisme yang sangat tinggi. Metabolisme otak dangat tergantung pada ketersediaan oksigen dan glukosa, dan otak tidak mempunyai kemampuan untuk menyimpan cadangan oksigen da glukosa tersebut. Sehingga sewaktu terjadi gangguan terhadap suplai maka dalam waktu yang sangat singkat akan terjadi kerusakan dalam arti kata periode emas kerusakan saraf sangatlah singkat. Sampai saat ini masih dipercaya bahwa kemampuan regenerasi jaringan saraf sangat minimal dan apabila terjadi gangguan. Gangguan pada otak bila tidak segera diatasi dengan baik akan berakibat terjadinya kerusakan permanen yang berakhir dengan kematian atau kecacatan. Hal ini dapat diatasi dengan upaya penanganan yang cepat dan segera. Sebagai contoh pada pasien trauma otak berat tingkat kematian akan meningkat melebihi 3 kali lipat dan tingkat kecacatan yang berat akan meningkat melebihi dari 10 kali lipat pada keadaan saturasi oksigen <60% dibanding >90%. Untuk itu tentunya

(2)

diperlukan ketepatan penanganan khususnya penanganan emergensi dan penegakkan diagnosis yang tepat, atau paling tidak melakukan upaya-upaya yang dapat menghambat kematian sel-sel saraf.

Suatu kenyataan yang sering terjadi, di ruangan gawat darurat bila kedatangan pasien dengan kasus neurologi terutama yang berat, maka yang ada di fikiran dokter adalah rasa pesimistis terhadap prognosis. Pendidikan kedokteran telah membekali seorang dokter dengan ilmu yang cukup, namun kadangkala pada sebagian dokter masih ada kecanggungan dalam aplikasi terhadap pasien secara langsung. Pada hal pada saat itu dokter yang menghadapi pasien harus segera bertindak dan semakin cepat kita lakukan sesuatu tindakan yang tepat maka semakin besar kemungkinan pasien tertolong dan tentunya semakin turun tingkat kematian dan kecacatan.

Tujuan

Tujuan umum ANLS

Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan penatalaksanaan medis terhadap pasien dengan kasus neuroemergensi.

Tujuan khusus ANLS

Setelah selesai mengikuti program ini diharapkan para peserta (dokter) mempunyai kemampuan untuk :

1. Memahami konsep kegawatdaruratan primer dalam tatalaksana pasien neurologi.

2. Menguasai tatalaksana yang diprioritaskan pada kondisi emergensi pasien neurologi.

3. Mengetahui strategi awal selama jam-jam pertama pelayanan pasien akut neuro- emergensi.

4. Mengetahui dan mampu melakukan tindakan terhadap pasien dengan kasus neurologi yang memerlukan tindakan segera.

5. Merencanakan, memutuskan dan melakukan rujukan ke fasilitas yang lebih memadai.

(3)

Konsep penting dalam ANLS

1. Keadaan yang sangat mengancam nyawa dan mengancam terhadap kecacatan neurologi merupakan prioritas utama.

2. Pada kasus emergensi kegagalan dalam menegakkan diagnosis

definitif jangan sampai menghalangi penanganan awal.

3. Pada kasus emergensi keinginan untuk memperoleh riwayat penyakit yang rinci jangan sampai menunda tindakan emergensi terhadap pasien dengan gangguan neurologi akut.

Ruang lingkup ANLS

Semua keadaan atau kondisi manifestasi klinis neurologi yang mengancam terjadinya kecacatan atau kematian bila tidak segera diobati/ diatasi. Manifestasi klinis tersebut dapat berupa :

 Gangguan kesadaran dan pendekatannya.

 Kejang dan status epileptikus

 Peningkatan TIK

 Kedaruratan stroke

 Kedaruratan trauma kapitis

 Kedaruratan neuro infeksi

 Nyeri akut.

 Vertigo dan sakit kepala emergensi.

 Kegawatan neuromuskular.

 Neruoimaging pada kedaruratan neurologi.

Metode kursus

Dilakukan dengan kuliah dan diskusi tatap muka dan dilanjutkan dengan skill station berupa pembahasan kasus.

Sasaran

Dokter umum yang berkecimpung di bidang emergensi terutama kedaruratan neurologi.

(4)

Assesment Neurologi Objektif

• Tinjauan prinsip-prinsip injuri serebral primer dan sekunder dan mekanisme terjadinya injuri sel-sel saraf tersebut.

• Penerapan konsep umum dalam manajemen injuri serebral.

• Penatalaksanaan umum injuri otak.

Latar belakang

Jaringan otak merupakan jaringan dengan tingkat metabolisme tinggi, meskipun pada area dengan densitas kapiler yang rendah. Otak dengan berat hanya 2% dari berat badan membutuhkan sekitar 15% dari seluruh kardiak out put, 20% dari oksigen yang beredar serta 25% glukosa digunakan untuk metabolisme otak. Fungsi metabolisme sel otak sangat tergantung pada ketersediaan secara terus menerus oksigen dan glukosa sebagai sumber energi.

Otak tidak dapat menyimpan cadangan oksigen dan glukosa sehingga kekurangan oksigen akan terjadi metabolisme anaerob, sedangkan bila kekurangan glukosa akan terjadi kegagalan metabolisme serebral.

Pada stroke akut, trauma kepala, kejang, infeksi SSP, hipoksik-iskemik akan terjadi gangguan metabolisme otak berupa ketidakseimbangan antara suplai & kebutuhan (demand).

Injuri primer dan injuri sekunder.

Injuri serebral dapat terjadi secara primer yaitu injuri yang terjadi kejadian (insult), pada injuri primer ini pada umumnya hanya sedikit saja yang masih bisa diperbuat. Beberapa mekanisme injuri primer ini adalah trauma kepala dan medulla spinalis, iskemia baik umum seperti pada gagal jantung atau regional seperti pada stroke, inflamasi (meningitis, ensefalitis), kompressi (tumor otak, perdarahan epidural, subdural) dan metabolisme seperti hipoglikemia.

Sedangkan injuri sekunder merupakan injuri yang terjadi sebagai akibat lanjut dari proses injuri primer. Injuri sekunder meliputi hipoperfusi baik global seperti syok, gagal jantung maupun regional pada perdarahan subarachnoid; hipoksia seperti gagal nafas, anemia;

(5)

perubahan elektrolit seperti hipo-hiper-natremia atau perubahan asam basa sepeti asidosis berat. Selain itu injuri otak sekunder dapat terjadi akibat injuri reperfusi dengan dilepasnya asam radikal bebas.

Aliran darah otak

Agar otak dapat berfungsi dengan baik diperlukan aliran darah otak yang optimal, dalam keadaan normal 50 ml/100 gr jaringan otak/menit. Otak akan mengalami kerusakan permanen apabila ADO turun sampai dengan dibawah 10 mmHg. Pada keadaan normal aliran darah otak (ADO) yang optimal ini diperlihara oleh tekanan perfusi ke otak (CPP) dengan rentang 40 – 140 mmHg. Hal ini dapat terjadi oleh karena adanya sistem autoregulasi serebral. Namun pada kadaan patologi serebral, akan terjadi kegagalan mekanisme autoregulasi sehingga ADO semata-mata tergantung dari CPP. Pada umumnya pada kondisi ini dibutuhkan CPP >

70mmHg. CPP merupakan selisih dari tekanan arteri rata-rata (MAP) dengan tekanan intracranial (TIK). Untuk menjaga ADO yang normal diperlukan keadaan MAP yang optimal dan TIK yang rendah. Dengan demikian focus untuk menjaga agar metabolisme otak tetap berjalan dengan baik diperlukan segala upaya untuk menjamin perfusi serebral yang optimal dan menjaga tidak terjadi peninggian tekanan intrakranial.

Selain itu yang penting juga dijaga adalah deliveri oksigen kejaringan khususnya jaringan otak.

Deliveri oksigen tergantung dari kemampuan jantung (output kardiak) dan kandungan oksigen dalam arteri yang ditentukan oleh kadar hemoglobin dan saturasi oksigen (kemampuan paru).

Prinsip dalam menjaga keseimbangan metabolism otak adalah menjaga balans oksigen yaitu keseimbangan pemakaian (demand) dan suplai (delivery). Dalam kondisi patologi hendaknya diusahakan menekan pemakaian oksigen yang tidak normal dan menjaga suplai tetap baik.

Beberapa upaya dalam menekan pemakaian oksigen di otak yang tidak normal antara lain mengatasi kejang, menjaga tidak terjadi hipertermia, mengatasi nyeri, cemas dan agitasi, mengatasi menggigil dan jangan lakukan stimulasi yang berlebihan seperti penyedotan lendir pernafasan berlebihan.

(6)

Upaya dalam rangka menjaga suplai oksigen tetap optimal dapat dilakukan antara lain menjaga transport oksigen sistemik, mejaga tekanan darah optimal, mencegah hiperventilasi rutin, mengupayakan cairan tubuh dalam kondisi euvolemia.

Assessment

Dalam menghadapi kasus neuro-emergensi yang pertama harus diketahui apakah pasien dalam keadaan injuri primer atau sekunder. Untuk itu diperlukan pemeriksaan neurologi yang tepat dan seperlunya dalam rangka mengambil keputusan yang tepat. Pemeriksaan tingkat kesadaran, saraf kranialis dan pemeriksaan motrik serta sensorik yang diperlukan daalm kondisi emergensi santalah diperlukan. Adakalanya diperlukan pemeriksaan penunjang yang sesuai seperti pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan CT Scan pada stroke, trauma kepala atau lesi desak ruang, punksi lumbal untuk analisa cairan serebrospinal dalam kasus infeksi susunan saraf pusat. Pada kasus-kasus tertentu mungkin memerlukan konsultasi ke bedah saraf segera seperti pada kasus perdarahan epidural atau subdural dengan derajat tertentu, fraktur terbuka atau impressi tulang cranium, hidrosefalus akut, perdarahan serebelum atau adanya kebocoran cairan serebrospinal.

Setelah dilakukan pemeriksaan dan tindakan awal, maka selanjutnya diperlukan pemantauan dan pemeriksaan neurologi lengkap yang mengarah ke terapi definitif.

Kesimpulan

Injuri susunan saraf pusat meliputi injuri primer dan injuri sekunder. Dengan penanganan yang tepat dan segera akan mencegah terjadinya kerusakan otak yang lebih berat. Upaya utama dalam penanganan injuri serebral ini adalah menjaga agar tidak terjadi hipoksia dan hipotensi.

Selain dari itu juga penting mengontrol konsumsi oksigen serebral dan mengoptimalkan deliveri oksigen ke jaringan khususnya serebral dan medulla spinalis.

(7)

BAB II

Anatomi dan Fisiologi Susunan Saraf Pusat Dr. Salim Harris SpS, (K)

Pendahuluan

Dalam melakukan diagnosa penyakit susunan saraf diperlukan penetapan topis kelainan yang ada. Penentuan topis didasarkan atas temuan-temuan baik secara anamnesis maupun dalam pemeriksaan fisik. Dengan mengetahui fungsi anatomi dan susunan saraf akan memudahkan dalam diagnosis dan dapat melakukan satu anjuran dalam menentukan pola pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan selanjutnya. Pengetahuan topografis ini di samping untuk menentukan diagnosis juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis kasus yang bersangkutan. Kemampuan menentukan letak topis suatu penyakit saraf harus didasarkan pengetahuan tentang neuroanatomi dan neurofisiologi yang tepat. Susunan saraf terdiri dari 3 bangun utama yaitu susunan saraf pusat, perifer dan otonom. Ketiga susunan saraf ini saling terkaitan satu dengan yang lain nya.

Adanya gangguan pada susunan saraf pusat akan memberikan gejala dan tanda-tanda yang berbeda dengan susunan saraf perifer, demikian pula dengan susunan saraf otonom akan tetapi keberadaan gangguan susunan saraf dengan topis yang berbeda dapat memberikan manifestasi klinik yang hampir bersamaan. Ada kalanya satu penyakit akan bermanifestasi lebih dari satu topis anatomi yang berbeda, sehingga memberikan manifestasi klinik yang berbeda-beda dari satu jenis penyakit. Ada kalanya seorang penderita penyakit membawa lebih dari satu penyakit yang topisnya berbeda sehingga ditemukan manifestasi klinis pada waktu yang bersamaan yang berbeda pula atau memberikan gambaran manifestasi klinis yang tercampur. Oleh karena nya diperlukan pengetahuan yang cukup mendalam dari anatomi susunan saraf dan fungsinya dalam melakukan diagnose suatu penyakit susunan saraf.

Seperti kita ketahui lesi susunan saraf pusat akan memberikan peningkatan reflex, peningkatan tonus, sedangkan lesi susunan saraf perifer akan memberikan tonus yang menurun dan reflex yang menurun. Kedua hal ini dapat kita temukan pada satu jenis penyakit secara bersamaan misalnya pada motor neuron disease. Demikian juga halnya seorang penderita polineuropati diabetika yang disertai dengan penyakit stroke maka akan ditemukan manifestasi kelainan yang bersifat ganda hal ini tidak akan mengganggu kita dalam menegakkan diagnose apabila pengetahuan mengenai neuroanatomi dan neurofisiologi.

(8)

Keberadaan susunan saraf dalam mengantarkan impuls membutuhkan neurotransmitter sebagai mediasi yang memberikan titik awal untuk penyebaran impuls tersebut. Diketahui neurotransmitter mempunyai peran yang berbeda-beda dalam susunan saraf ada kalanya neurotransmitter untuk satu sistim berbeda pada sistim yang sama pada tempat yang berbeda.

Sebagai contoh neurotransmitter untuk simpatis adalah norepineprin, tetapi untuk produksi keringat diperlukan saraf simpatis memerlukan neurotransmitter asetilkolin, dengan demikian keberadaan neurotransmitter mempunyai peran yang sangat penting untuk dapat diketahui dengan jelas sehingga gangguan manifestasi klinis yang ditimbulkan dapat diketahui seakurat mungkin.

Susunan saraf pusat dalam mendapatkan konstribusi nutrisi dan energi akan melalui suatu sistim yaitu sawar darah otak atau (blood brain barier), sawar darah otak merupakan suatu sistim susunan yang menjembatani antara bagian sel saraf dan strukturnya dengan pembuluh darah melalui sel-sel saraf penunjang seperti sel-sel glia.

Lesi yang terjadi pada susunan saraf hanya mempunyai dua sifat yaitu lesi irritatif yang merupakan lesi yang bersifat menstimulasi sel saraf untuk melakukan stimulasi kerja berlebih sehingga dalam klinis akan didapatkan respon persepsi dari motorik, sensorik maupun otonom yang meningkat. Sedangkan lesi yang kedua yaitu lesi paralitik yang memberikan respon kehilangan fungsi baik pada susunan yang bersifat sensorik, motorik maupun otonom.

Untuk mendapatkan sedikit tambahan pengetahuan mengenai neuroanatomi tersebut selanjutnya akan dijelaskan mengenai neuroanatomi susunan saraf pusat.

Anatomi Susunan Saraf Pusat

Susunan saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang.

Otak

Otak terdiri dari otak besar atau disebut cerebrum, otak kecil atau cerebellum, diencepahalon dan batang otak atau brainstem.

Cerebrum atau Otak besar.

Cerebrum Atau otak besar terdapat dua buah yang kita kenal sebagai dua hemisfer yaitu otak kiri dan otak kanan. Keduanya dihubungkan oleh sebuah commisura yaitu corpus calosum.

Masing masing otak besar terdiri dari susunan yang disebut kortek serebri , jaringan masa putih atau white matter dan ganglia basalis.

(9)

Kedua otak ini dalam menjalankan fungsinya mempunyai domain yang berbeda, di mana otak kiri mempunyai peranan fungsi kognitif yang dominan di samping fungsi-fungsi lain.

Sedangkan otak kanan lebih berperan dalam fungsi seni (Art) disamping fungsi fungsi lainnya.

Adanya korpus kalosum yang menjembatani kedua hemisphere otak yaitu otak kanan dan otak kiri dalam setiap informasi yang dimiliki selalu mendapatkan kontrol balik penuh baik dari otak kanan maupun otak kiri.

Permukaan luar otak besar terdapat lekukan-lekukan ke dalam yang disebut sulkus dan apabila sulkus ini lebih dalam disebut fissura. Tujuan dari adanya sulkus atau fissura ialah untuk memperluas permukaan otak yang berada pada rongga yang relative kecil. Di antara dua sulkus terdapat sebuah tonjolan yang disebut girus. Girus mempunyai nama-nama spesifik yang berhubungan dengan fungsi daerah otak setempat seperti girus presentralis, girus post sentralis dan sebagainya. Permukaan otak berwarna abu-abu sehingga disebut subtansia grisea, warna abu-abu ini disebabkan karena permukaan otak tersebut mengandung badan sel saraf seluruhnya dan selanjutnya permukaan luar otak ini disebut sebagai cortex, sedangkan bagian dibawahnya berwarna putih dan disebut sebagai subtansia alba dikarenakan mengandung serabut-serabut saraf yang bermielin. Di dalam bangunan berwarna putih yang disebut sebagai subtansia alba ini akan ditemukan kelompok-kelompok atau pulau-pulau yang mempunyai komponen sel neuron dan disebut sebagai ganglia basalis.

Otak besar berdasarkan luas wilayahnya dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang disebut dengan lobus antara lain :

1. Lobus frontal 2. Lobus parietal 3. Lobus oksipital 4. Lobus temporal 5. Insula

6. Rhine-Encephalon

Masing-masing lobus tersebut akan dipisahkan oleh celah yang disebut sebagai sulkus atau fissura sebagai contoh pemisah antara lobus frontalis dan lobus parietalis disebut sulkus centralis. Pemisah lobus parietalis dengan lobus oksipitalis disebut sulkus paritooksipitalis.

Sedangkan pemisah antara lobus temporal dengan lobus yang lain disebut sulkus lateralis .

(10)

Lobus frontalis

Lobus frontalis merupakan daerah otak yang terbesar yang terletak di muka dari belakang orbita sampai dengan pertengahan kepala yaitu sulkus sentralis. Bagian ini mempunyai peran penting sebagai pusat dari :

1. Perintah gerak 2. Pusat pergerakan 3. Pusat bicara (broka) 4. Pusat emosi

5. Pusat berfikir

6. Pusat pengatur gerak mata 7. Pusat perilaku

8. Pusat inisiatif

9. Pusat reaksi terhadap jatuh

10. Pusat untuk mengatur kondisi tubuh 11. Dan pusat-pusat lainnya

(11)

Lobus Parietalis

Dibatasi bagian depan oleh sulkus sentralis dan dibagian belakang dibatasi oleh sulkus paritooksipitalis dan bagian samping dibatasi oleh sulkus lateralis. Bagian otak ini yang paling menonjol adalah daerah yang paling muka yang dikenal dengan girus post sentralis yang mempunyai fungsi sebagai pusat analisator dari sensasi somato sensorik yang meliputi untuk perasaan nyeri, suhu, perasaan taktil atau menilai objek. Sebagian kecil yang bersebelah dengan lobus temporalis juga berfungsi dalam proses bicara (speech)

Lobus Temporalis

Merupakan bagian otak yang terdapat pada lateral bawah yang mempunyai peran dalam sebagai pusat pendengaran dan berperan dalam mengerti kata atau pembicaraan (speech), memahami suara, memahami irama musik, memahami tinggi rendahnya nada, mengerti nama, mengetahui posisi kiri-kanan, dan sebagainya.

Dengan adanya sulkus temporalis superior dan inferior maka lobus temporalis dari bagian samping terbagi menjadi tiga, yaitu : gyrus temporalis superior, gyrus temporalis media, dan gyrus temporalis inferior. Sedangkan pada bagian bawah dalam akan terdapat gyrus parahipocampus yang dipisahkan oleh sulkus collateral dengan gyrus occipito-temporal media, sedangkan gyrus occipito-temporal media oleh sulkus occipito-temporal dipisahkan dengan gyrus occipito-temporal lateral. Bagian ujung depan dari gyrus parahypocampus terdapat pemisah yang disebut sulkus rhinal, sulkus ini memisahkan gyrus parahypocampus dengan ujung lobus temporal yang disebut uncus. Sedangkan bagian belakang dari gyrus parahypocampus disebut gyrus lingual.

(12)

Lobus oksipitalis

Lobus oksipitalis adalah bagian otak yang paling belakang, di anterior (bagian media) dipisahkan dengan lobus parietalis oleh sulkus paritoaksipitalis sedangkan dibagian samping atau lateral dipisahkan dari lobus temporalis oleh preoksipital incisures (lekukan halus). Lobus oksipital peranan utamanya adalah sebagai pusat penerimaan dan analisa penglihatan dikenal sebagai kortek calcarina dan pengenalan penglihatan serta warna. Dikenalsebagai area 17 sebagai pusat penglihatan primer dan area 18, 19 sebagai pusat penglihatan sekunder dan tersier dengan peran utama sebagai pusat memori penglihatan. Pada stimulasi elektrik di area 18,19 akan menimbulkan aura penglihatan dalam bentuk kilatan cahaya, warna dan garis, sedangkan kerusakan daerah ini akan menimbulkan gangguan berupa kemunduran kemampuan pengenal obyek, bentuk dan ukuran benda (optical agnosia, alexia)

(13)

Insula

Insula atau Reil island adalah bagian otak yang sepenuhnya tertutup oleh lobus frontalis, parietalis dan operculum temporalis, terletak tepat dibawah lekukan sulcus centralis, fissura lateralis dan tepat di lateral claustrum. Insula peranannya tak banyak diketahui, tetapi terdapat hubungan dengan sirkuit pengecapan. Stimulasi elektrik pada insula menimbulkan hallusinasi penciuman dan pengecapan.

(14)

Rhineencephalon (bulbus olfactorius)

Merupakan tonjolan dari telencephalon atau otak yang berperan dalam penciuman. Terdapat sel-sel bipolar pada mukosa hidung bagian atas yang merupakan neuron pertama dalam sistim penciuman kemudian terjadi sinaps dengan sel sel mitral dan tuftel yang berada pada bulbus olfactorius yang juga menjadi neuron kedua dalam proses penciuman, selanjutnya axan dari sel sel ini akan membentuk traktus olfaktorius, selanjutnya tractus terpecah dua menjadi medial olfactory striae dan lateral olfactory striae, selanjutnya lateral olfaktori striae akan ke pusat penciuman Brodmann’s area 28,enthorinal region pada gyrus temopralis media, sedangkan medial olfaktori striae akan menuju thalamus dan berhubungan dengan hypothalamus sebagai bagian dari system limbic.

(15)

Kommisura (Commisura)

Merupakan bangunan axon saraf yang terdapat dalam masa putih atau substansia alba dari jaringan otak, bangunan in terbentuk sedemikian rupa sehingga berfungsi sebagai penghubung neuron. Bangunan yang terdiri dari masa axon ini dapat dibedakan sesuai dengan funsi penghubungnya menjadi 3 bagian yaitu:

1. Kommisura transversal.

2. Kommisura Assosiasi.

3. Kommisura proyeksi.

(16)

Kommisuran transversal adalah kumpulan serabut /axon saraf yang menghubungkan satu hemisphere dengan hemisphere lainnya contoh:

1. Corpus Calosum.

2. Commissura Anterior.

3. Commissura Hyppocampal .

Sedangkan kommisura assosiasi adalah kumpulan atau axon sarap yang menghubungkan satu bangunan dengan bangunan lainnya dalam satu hemisphere contoh:

1. Serabut intracortical.

2. Serabut subcortical.

3. Serabut assosiasi panjang.(FLS, FLI, uncinate Fasc, Arcuate Fasc, Cingulum) FLS ( Fasiculus logitudinalis superior). Menghubungkan lobus frontal dengan lobus occipital.

FLI ( Fasiculus longitudinalis inferior). Menghubungkan lobus occipital dengan lobus temporal Fasiculus Uncinate. Menghubungkan lobus frontalis dengan lobus temporalis anterior .

Fasiculus Arcuate: Menghubungkan lobus frontalis dengan cortex occipitotemporalis.

Cingulum. Yang mengitari cortex gyrus cingulate

Kommisura proyeksi adalah kumpulan atau serabut saraf/axon yang menghubungkan satu bagunan dengan bangunan lainnya yang bersifat tinggi dan rendah (bawah keatas atau sebaliknya) contoh:

1. Serabut corticipetal atau serabut affere 2. Serabut corticifugal atau serabut efferent.

(17)

Ganglia Basalis

Adalah masa abu-abu yang berada pada bagian dalam hemisphere cerebri ( masa putih). Terdiri dari

1. Nucleus Caudatus.

2. Nucleus Lentiformis/Lenticularis (Putamen+ Globus palidus ) 3. Amygdala

Peter Duus menbagi Ganglia Basalis:

1. N.Caudatus.

2. Putamen.

3. Claustrum.

4. N.Amygdala.

Sedangkan Globus Pallidus masuk dalam diencephalon (subthalamus).

(18)

Semua bagian ganglia basalis masuk dalam Sistim extrapiramidalis kecuali claustrum.

Secara topokgrapis terlihat bahwa Putamen dipisahkan dari claustrum oleh capsula externa.

Nucleus caudatus merupakan masa kelabu yang memajang dari bagian cranial tepat disisi lateral ventricle lateralis dan berbentuk seperti buah peer memanjang kebelakang sebagai ekor dan berahir setinggi amygdala. Nucleus caudatus terlihat melingkari putamen dan melakukan hubungan /commissura dengan putamen.

Nucleus lentiformis terletak diantara insula, nucleus caudatus, dan thalamus.

Nucleus lentiformis oleh Lamina medullaris externa dibagi menjadi 2 bagian yaitu:

1. Putamen.

2. Globus Pallidus.

Nucleus Lentiformis (Putamen, Globus pallidus) , N.caudatus, Subtansia nigra, dan Thalamus saling berhubungan dengan serabut/commissura assosiasi.

Nucleus Lentiformis, Terdiri dari 2 komponen nuclei yang berbeda dalam phylogenis,struktur maupun fungsinya.

1. Putamen berasal dari matrix disekitar ventricle lateralis ( seperti asal Nucleus caudatum) dan merupakan neocortex.

2. Globus Pallidus atau Pallidum. Merupakan bagian diencephalon, berasal dari matrix disekitar ventrikle III yang berhubungan dengan nucleus subthalamicus (Richter, 1965) Striatum, terdiri dari dua bagian yaitu Neostriatum dan paleostratum.

Neostriatum terdiri dari nucleus caudatus dan putamen, sedangkan paleostriatum adalah globus pallidus atau disebut pallidum.

(19)

(20)

William F Ganong dalam bukunya review of medical physiology membagi basal ganglia dalam 5 bagian masing masing, Nukleus kaudatus, Putamen, Globus pallidus, subthalamic nucleus ( body of Luys ) dan subtansia Nigra.

Kepustakaan :

1. Review of Medical Physiology, William F. Gannong, 22 edition, 2005.

2. Stroke, A Practical Guide to Management, Second edition, CP. Warlow, et. Al, 2001.

3. Topical Diagnosis in Neurology, Mathias Baehr, MD. Et all., 4th complete revised edition.

4. Topical Diagnosis in Neurology, Peter Duus, June 1989.

(21)

BAB III

PEMERIKSAAN NEUROEMERGENSI Dr. Eka Musridharta, Sp.S, KIC Tujuan

1. Memahami pentingnya pemeriksaan neurologi 2. Memahami sistematika pemeriksaan neurologi

3. Mampu melakukan pemeriksaan neurologi pada kasus-kasus emergensi Latar Belakang

Pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kedokteran telah banyak memberikan sumbangsih bagi tenaga medis dalam menegakkan diagnosis dan memberikan terapi.

Pemeriksaan penunjang canggih juga semakin akrab dengan para dokter. Meskipun demikian, pemeriksaan penunjang generasi terbaru sekalipun tetap tidak dapat menggantikan posisi pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan neurologis. kursus ANLS seperti halnya kursus- kursus yang lain (ATLS / ACLS), evaluasi dan pengobatan emergensi pada pasien neurologi yang akut, riwayat penyakit sebelumnya secara rinci untuk sementara tidak perlu diketahui.

Pemeriksaan neurologis akan memberikan informasi yang tidak dapat diberikan oleh pemeriksaan penunjang. Meskipun kedudukannya demikian penting ternyata pemeriksaan neurologis seringkali dikesampingkan oleh para dokter terutama pada keadaan emergensi.

Tampaknya banyak dokter yang beranggapan bahwa pemeriksaan neurologis hanyalah menghabiskan waktu, tidak relevan dengan kondisi emergensi dan sulit dilakukan.

Sistematika pemeriksaan neurologis

Sebelum melakukan pemeriksaan neurologis ada 3 hal penting yang perlu diingat dan dilakukan yaitu: anamnesis, anamnesis dan anamnesis.

Dalam situasi emergensi terkadang anamnesis tidak dapat dilakukan dengan panjang lebar.

Lakukan anamnesis singkat sambil menilai kesadaran dan tanda vital pasien. Setelah kondisi pasien stabil dan aman anamnesis dapat dilanjutkan kembali.

(22)

Dengan anamnesis informasi berikut harus didapat:

 Onset keluhan/gejala klinis (kapan keluhan/gejala ini pertama kali muncul?)

 Progresifitas dari keluhan tersebut (apakah keluhan ini bertambah berat, menetap atau membaik?)

 Keluhan tambahan lainnya (adakah keluhan atau gejala lainnya yang menyertai keluhan utama?)

 Riwayat penyakit sebelumnya (apakah pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya atau pernahkah menderita sakit lainnya?)

Untuk mendiagnosa banding digunakan singkatan ”VITAMINS” :

V : Vascular Onset biasanya tiba-tiba atau mendadak

I : Infectious Tanda-tanda infeksi: demam, flu like syndrome

T : Traumatic Riwayat trauma sebelumnya

A : Autoimmune Riwayat remisi-eksaserbasi, gejala penyakit autominun lain mis SLE

M : Metabolic/Toxic Paparan zat toxic, gigitan hewan, penyakit metabolik

I : Idiophatic/ Iatrogenic Riwayat menjalani prosedur medis, keluhan sudah berulang kali

N : Neoplastic Penurunan berat badan, kelemahan, riwayat tumor di organ lain

S : Seizure, pSychiatric, Structural

Riwayat kejang, perubahan perilaku, kelainan organ/anatomis sebelumnya

Pada pasien dengan kegawatdaruratan neurologi prinsip ”ABC” dan D dijalankan, pada keadaan kegawatdaruratan hampir semua pasien dengan kondisi berat akan cenderung memburuk bila tidak segera diatasi dengan cepat dan tepat. sehingga pada keadaan kegawatdaruratan neurologi tidak perlu dilakukan pemeriksaan neurologi menyeluruh.

Pada Pemeriksaan Neuroemergensi yang paling penting adalah:

1. Tingkat kesadaran.

2. Pupil dan gerakan bola mata.

3. Tanda rangsang meningeal.

4. Fungsi saraf-saraf kranial.

5. Fungsi motorik dan reflek

Pemeriksaan kegawatdaruratan neurologi dilakukan bersamaan, segera atau setelah dilakukan tindakan ABC, yang bertujuan untuk mencari ada atau tidaknya defisit neurologis fokal,

(23)

mencari tanda-tanda meningitis dan menilai tingkat kesadaran dan fungsi neurologis.

Ad.1.Tingkat Kesadaran diperankan oleh 2 aspek penting:

a. Arousal suatu fungsi primitif yang diatur oleh batang otak dan medial talamus.

b. Awarenes untuk dapat berfungsi dengan baik memerlukan korteks serebri dan sebagian besar nukleus di subkorteks yang intak.

Langkah pertama yang harus dilakukan untuk memeriksa kesadaran adalah menentukan derajat kesadaran. Derajat kesadaran dinilai secara kualitatif dan kuantitatif. Jika derajat kesadaran terganggu maka atensi, konsentrasi dan fungsi kognitif lainnya dapat dipastikan juga akan terpengaruh.

Derajat kesadaran kualitatif :

- Delirium, suatu tingkat kesadaran di mana terjadi peningkatan yang abnormal dari aktivitas psikomotor dan siklus tidur-bangun yang terganggu. Pada keadaan ini pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi, berteriak, aktivitas motoriknya meningkat, meronta-ronta.

- Somnolen. Keadaan mengantuk. Kesadaran akan pulih penuh bila dirangsang. Disebut juga letargi atau obtundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.

- Stupor: respon terhadap lingkungan hilang sebagian. Pasien sulit dibangunkan, responnya lambat, tidak adekuat, mengabaikan lingkungannya dan segera kembali ke kondisi stupornya.

- Koma: suatu tingkat kesadaran di mana pasien tidak dapat dibuat terjaga dengan stimulus biasa. Pasien tidak responsif terhadap lingkungannya dan dirinya sendiri.

Tidak ada gerakan volunter dan siklus tidur-bangun.

Derajat kesadaran lebih mudah dideskripsikan menggunakan suatu skala Kuantitatif yaitu Skala Koma Glasgow (SKG)

(24)

Eye (E)

Membuka mata spontan

Membuka mata dengan stimulus verbal Membuka mata dengan rangsang nyeri Tidak membuka mata

4 3 2 1 Respon motorik (M)

Dapat mengikuti perintah

Dapat melokalisasi rangsang nyeri

Tidak dapat melokalisasi rangsang nyeri, fleksi menjauhi rangsang nyeri Dekortikasi

Deserebrasi

Tidak ada respon motorik

6 5 4 3 2 1 Respon verbal (V)

Orientasi tempat, waktu dan orang baik. Konversasi seperti biasa.

Disorientasi, confuse, tetapi masih dapat berbicara dalam bentuk kalimat.

Kata-kata yang tidak berarti Hanya merintih atau mengerang Tidak ada respon verbal

5 4 3 2 1 SKG tertinggi 15 dan terendah 3. Pasien dengan derajat kompos mentis memiliki nilai SKG 15 sedangkan pasien dengan koma SKG 3.

Langkah kedua setelah menentukan derajat kesadaran adalah menilai atensi. Tentunya pada pasien dengan penurunan derjat kesadaran atensi akan terganggu. Pasien dengan atensi yang normal akan melihat ke arah pemeriksa dan menjawab pertanyaan dengan cepat. Pada gangguan atensi biasanya fiksasi visual terganggu, respon verbal lambat.

Langkah ketiga adalah menilai konsentrasi. Pasien diminta untuk menghitung mundur dari 20 ke 1 dan menyebutkan nama bulan dengan urutan terbalik. Pada gangguan konsentrasi respon lambat, ada yang terlewatkan atau terbalik.

Ad.2. Pupil

Komponen utama pemeriksaan pupil adalah

 Ukuran, bentuk dan simetri pupil

 Reaktivitas pupil terhadap cahaya

(25)

 Refleks cahaya langsung dan tidak langsung

 Refleks akomodasi

Dalam menentukan etiologi kesadaran menurun, pemeriksaan pupil dapat memberikan petunjuk sebagai berikut :

 Refleks pupil yang normal dan ukurannya simetrik : keadaan ini seringkali dijumpai pada koma metabolik. Pada intoksikasi opiat dapat dijumpai pupil yang miosis.

 Ukuran pupil yang tidak sama (anisokor) : pada pasien dengan kesadaran menurun terdapatnya tanda ini memberikan dugaan kuat telah terjadi herniasi otak. Beberapa keadaan perkecualian dapat dijumpai, misalnya pada pasien cedera kepala dengan trauma langsung pada mata dapat menimbulkan pupil yang anisokor tanpa herniasi otak.

 Pupil midriasis bilateral dan tidak menunjukkan refleks cahaya : keadaan ini seringkali dijumpai pada tahap akhir herniasi otak. Perkecualian yang dapat dijumpai adalah pasien intoksikasi amfetamin atau atropin.

 Pupil pin-point bilateral : keadaan ini seringkali dijumpai pada perdarahan di pons.

Keracunan opiat dapat memperlihatkan gambaran pupil seperti ini, namun pada keracunan opiat refleks tendon akan menurun, sebaliknya pada perdarahan di pons dapat dijumpai peningkatan refleks tendon dan adanya tanda refleks babinski.

Ad.3. Tanda rangsang meningeal

Kaku kuduk (nuchal rgidity) meupakan gejala yang paling sering dijumpai pada iritasi meningens. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara sebagai berikut, tangan pemeriksa diletakkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring. Tangan lainnya diletakkan di dada pasien untuk mencegah badan terangkat. Kemudian leher difleksikan hingga dagu menyentuh dada. Pemeriksa merasakan tahanan yang timbul saat melakukan gerakan fleksi pasif ini. Bila terdapat kaku kuduk maka dagu tidak dapat menyentuh dada dan akan dapat dirasakan tahanan saat melakukan fleksi leher. Kekakuan yang timbul dapat bervarisi dari hanya tahanan ringan hingga berat di mana kepala tidak dapat ditekuk bahkan hingga terkedik ke belakang. Selain kaku kuduk terdapat beberapa tanda rangsang meningeal lainnya seperti kernig, lasegue dan brudzinsky I dan II.

(26)

Pada meningitis tanda rangsang meningeal yang paling sering ditemukan adalah kaku kuduk. Lasegue dipergunakan untuk memeriksa iritasi radiks.

Pada pasien dengan HNP lumboskaral misalnya, laseguenya tidak dapat melebihi sudut 70° dan timbul nyeri saat tungkai diangkat.

Ad.4. Saraf kranialis

Berdasarkan lokasi/ topis :

Midbrain : bagian yang paling pendek dari batang otak terletak antara hemisfer serebri dan pons, bagian atas midbrain disebut tectum, keluar nerve kranialis 3, dan 4.

Pons : bagian dari batang otak (brain stem) dimana keluar nerve kranialis 5, 6, 7, dan 8.

Medula oblongata : bagian brain stem yang menghubungkan otak dgn medula spinalis, dari tempat ini, keluar nerve kranialis 9, 10, 11, dan 12.

Ad.5. Motorik

Pemeriksaan motorik sebenarnya sudah harus dimulai sejak pasien datang. Beberapa aspek motorik dapat dilihat dari penampilan pasien. Pemeriksaan motorik yang harus dilakukan meliputi kekuatan motorik, refleks fisiologis, refleks patologis, pemeriksaan trofi dan tonus otot.

Kekuatan motorik

Berkurangnya kekuatan otot disebut paresis, sedangkan hilangnya kontraksi otot disebut plegi.

Sebelum menilai kekuatan otot pastikan terlebih dahulu regio otot yang akan diperiksa tidak ada pembengkakan, nyeri, fraktur dsb yang dapat mempengaruhi kekuatan motorik. Kekuatan motorik dinyatakan dalam suatu skala, yang sering digunakan adalah The Medical Research Council Scale of Muscle Strength. Sejatinya kekuatan motorik diperiksa pada setiap otot atau sekelompok otot.

Untuk memudahkan kita perlu memperhatikan riwayat penyakit pasien. Pasien dengan kecurigaan lesi intrakranial seperti stroke, tumor maupun meningitis pada umumnya kelemahan ototnya akan memiliki pola hemiparesis atau hemiplegi.

Sedangkan pada kelainan di medula spinalis berupa tetraparesis/plegi ataupun paraparesis/plegi. Pada GBS kelemahan yang timbul umumnya asending, dimulai dari otot

(27)

distal lalu menjalar ke proksimal. Sedangkan pada miastenia gravis kelemahan berfluktuasi.

Setelah diprovokasi dengan aktivitas biasanya kelemahan akan semakin jelas dan setelah beristirahat kelemahan akan membaik Kelemahan akibat kelainan otot (miogen) akan menimbulkan kelemahan yang tidak terdistribusi berdasarkan segmen dermatom dan umumnya proksimal lebih lemah dibandingkan dengan distal. Gower sign adalah salah satu tanda yang tampak pada kelainan miogen. Neuropati yang berat juga dapat mengakibatkan kelemahan otot.

Tonus dan Trofi Otot

Perhatikan besar dan bentuk otot. Hipotrofi/atrofi lebih terlihat pada kelainan lower motor neuron. Sedangkan pada kelainan upper motor neuron atrofi yang terjadi berupa disuse atrofi dan umumnya baru tampak setelah jangka waktu tertentu. Atrofi biasanya lebih jelas terlihat pada otot-otot tangan seperti tenar, hipotenar dan otot-otot interosei. Sedangkan pada tungkai bawah pada tibialis anterior. Selain dengan inspeksi pemeriksaan trofi otot juga memerlukan palpasi.

Beberapa cara dapat dilakukan untuk memeriksa tonus otot. Abduksikan bahu, lalu fleksikan lengan bawah pada siku. Pada otot hipotonia, fleksibilitas otot akan meningkat sehingga lengan dapat ditekuk sampai sudut yang ekstrim. Sedangkan otot hipertonus kurang fleksibel. Tehnik lain adalah dengan menilai gerakan pendulus pada tungkai (pendulousness of the legs). Pasien diminta duduk di tepi tempat tidur dengan tungkai tergantung. Kemudian dorong kedua tungkai dengan kekuatan yang sama. Perhatikan ayunan tungkai yang timbul. Pada tonus yang normal ayunan tungkai semakin lama semakin lambat dan akan berhenti setelah 6-7 ayunan. Ayunan tungkai ini akan berkurang pada hipertonus dan bertambah pada hipotonus. Rigiditas dan spastisitas adalah bentuk hipertonus. Rigiditas dapat berupa lead-pipe rigidity dapat pula berupa cogwheel rigidity. Pada lead-pipe rigidity dengan gerakan pasif lengan bawah, tahanan akan dirasakan sejak awal gerakan hingga akhir gerakan. Sedangkan cogwheel rigidity akan terasa seolah lengan yang digerakkan pasif tersebut seperti tersangkut pada roda gigi. Untuk mendapatkan rigiditas gerakan pasif dilakukan perlahan-lahan.

The Medical Research Council Scale of Muscle Strength

0 = tidak ada kontraksi

1 = ada kontraksi tetapi tidak ada gerakan pada persendian yang seharusnya digerakkan oleh otot tersebut

(28)

Cogwheel rigidity paling sering ditemukan pada pasien parkinson. Rigiditas dijumpai pada kelainan di basal ganglia. Spastisitas terjadi pada lesi yang melibatkan traktus kortikospinal.

Berbeda dengan rigiditas yang umumnya mengenai semua otot dengan derajat yang sama, derajat spastisitas umumnya berbeda antar otot.

Pemeriksaan motorik pada pasien dengan penurunan kesadaran

Memeriksan motorik pasien dengan penurunan kesadaran tidaklah mudah. Amati posisi tubuh dan gerakan; apakah pasien baring tidak bergerak atau tubuh ada gerakan jika ada gerak tubuh;

apakah gerakan keempat angota gerak serasi? apakah pasien posisi baringnya simetris? apakah ada gerakan abnormal? hemiparesis atau hemiplegi dapat diperiksa dengan cara berikut. Bila kedua lengan diangkat kemudian dilepaskan maka sisi yang paresis akan jatuh lebih cepat.

Sedangkan sisi normal jatuh lebih lambat. Sedangkan pada ekstremitas bawah, dilakukan fleksi pasif pada sendi panggul dan lutut dengan tumit pada tempat tidur kemudian dilepaskan.

Sisi paresis akan jatuh lebih cepat ke posisi ekstensi dengan rotasi eksternal panggul.

Sedangkan sisi yang sehat tetap pada posisi tersebut beberapa saat baru kemudian jatuh.

Bila derajat penurunan kesadaran tidak terlalu dalam respon terhadap stimulus dapat memperlihatkan kemampuan motorik pasien. Dengan rangsang nyeri pasien biasanya akan menyeringai dan dapat dinilai kesimetrisan wajahnya untuk menilai ada tidaknya paresis nervus kranialis.

Pemeriksaan Refleks

Pemeriksaan refleks memiliki nilai yang penting karena dibandingkan dengan pemeriksaan lain pemeriksaan refleks tidak terlalu bergantung pada kooperasi pasien. Karenanya dianggap refleks lebih obyektif dari pemeriksaan lain.

Refleks terbagi menjadi refleks dalam (regang otot), refleks superfisial dan refleks patologis.Refleks dalam (regang otot) dibangkitkan dengan memberikan stimulus regangan pada tendon otot dengan mengetukkan palu refleks. Untuk dapat membangkitkan refleks ini diperlukan alat dan tehnik yang tepat.

Respon refleks dinyatakan dalam angka. 0= tidak ada refleks (arefleksia), 1+= ada refleks tetapi lemah, 2+= normal, 3+= meningkat tetapi belum dianggap patologis (tidak disertai tanda

(29)

patologis lainnya), 4+= meningkat, patologis kadang-kadang disertai klonus. Refleks dinyatakan meningkat bila zona refleksnya meluas.

Refleks dalam yang lazim dilakukan pada pemeriksaan rutin adalah refleks bisep, trisep, brakioradialis, patela dan akiles.

Refleks patologis, disebut demikian karena respon ini tidak dijumpai pada individu normal.

Refleks patologis pada ekstremitas bawah lebih konstan, lebih mudah dibangkitkan, lebih dipercaya dan lebih relevan dengan klinis dibandingkan dengan refleks patologis pada ekstremitas atas. Refleks patologis yang terpenting adalah tanda Babinski. Pada individu normal stimulasi pada kulit plantar akan menghasilkan respon plantar fleksi jari-jari kaki. Lesi pada jaras kortikospinal akan mengakibatkan respon ini berubah menjadi dorso fleksi jari-jari kaki terutama ibu jari disertai dengan mekarnya jari-jari lainnya. Pemeriksaan klinis neuroemergensi ini akan menuntun para dokter untuk mengetahui apakah sistim saraf bekerja dengan baik atau tidak dan menentukan lokasi lesi.

Daftar Pustaka

1. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of neurology 6th ed. New York : Mc Graw-Hill 1997

2. Bickerstaff ER, Spillane JA. Neurological examination in clinical practice 5thed.

Bombay : Delhi Oxford 1989

(30)

2. Bannister’s R clinical neurology. 7threv ed. Kota : Oxford, 1992

3. Brumback RA. Neurology clinics. Behavior Neurology. Kota : Philadelphia Vol.11, Sauders 1993

4. Haerer AF. The neurologic examniation. Reved. Philadelphia : 1992 5. Devinsy O. Behavior neurology. St Louis : Mosby Yearbook, 1992

6. Fuller G. Neurological examination made easy. Edin urgh : Churchill Livingstione 1993

7. Harrison MJG. Neurological skills. Kota : PG Asian Singapore economy edition 1990 8. Heilman KM, Valenstein E. Clinical neuropsychology. 3rd ed. New York : Oxford 1993 9. Hijdra A, Koudstaal PJ, Ross RAC, eds. Neurologie Wetenschappelike uitgevery.

Utrecht : Bunge, 1994

10. Lindsay KW, Bone I, Neurology and neurosurgery. Illustrated 2nd ed. Kota : Edinburgh ELBS, 1991

11. Munro J. Edwards C. Macleod’s clinical examination. 8th ed. Kota : Edinburgh ELBS 1992

12. Rolak LA Neurology secrets. Singapore Info access & distribution, 1993

13. Strub RL, Black FW. The mental status examination in neurology. 3rd ed Philadelphia FA Davis, 1993

14. Talley NJT, Connor SO. Clinical examination a guide to physical diagnosis, Singapore : PG, 1988

15. Tan CK, Wong WC. Handbook of neuroanatomy. Singapore : PG, 1990

Toghill PJ. Examination patients an introduction to clinical medicine. London, ELBS 1991

BAB IV

GANGGUAN KESADARAN Dr. Abdulbar Hamid, Sp.S(K)

(31)

Pendahuluan

Mengetahui riwayat penyakit pasien dengan penurunan kesadaran sangatlah penting.

Pemeriksaan tanda vital dapat memberikan banyak informasi dalam mencari penyebab penurunan kesadaran. Bila ditemukan tekanan darah yang sangat tinggi, perlu dipikirkan suatu hipertensi ensefalopati dan juga stroke perdarahan. Sedangkan tekanan darah yang rendah dapat diakibatkan oleh terganggunya perfusi ke sistim saraf pusat yang diakibatkan oleh proses sistemik. Pasien dengan riwayat sakit kepala dan demam sebelum penurunan kesadaran mengarahkan kita pada suatu infeksi intrakranial. Sedangkan riwayat sakit kepala dan defisit neurologik fokal seperti hemiparesis atau paresis N. kranialis yang terjadi tiba-tiba lebih mendukung suatu diagnosis stroke. Cedera kepala harus disingkirikan pada setiap kasus dengan penurunan kesadaran. Anamnesis tentang riwayat trauma kepala sebelumnya sangat diperlukan. Perhatikan juga jejas-jejas di seluruh tubuh pasien. Trauma cervical harus selalu dipertimbangkan. Leher sebaiknya tidak dimanipulasi dan gunakan collar neck sampai fraktur cervical dapat disingkirkan.

Definisi :

• Kesadaran adalah keadaan sadar terhadap diri sendiri dan lingkungan.

• Koma adalah suatu keadaan tidak sadar total terhadap diri sendiri dan lingkungan meskipun distimulasi dengan kuat.

• Diantara keadaan sadar dan koma terdapat berbagai variasi keadaan/status gangguan kesadaran.

• Secara klinis derajat kesadaran dapat ditentukan dengan pemeriksaan bedside.

Anatomi kesadaran

Keadaan sadar ditentukan oleh 2 komponen yaitu formasio retikularis dan hemisfer serebral.

Formasio retikularis terletak di rostral midpons, midbrain (mesencephalon) dan thalamus ke korteks serebri. Ini dinamakan ascending reticular activating system (ARAS).

Content (isi kesadaran) ditentukan oleh korteks serebri.

(32)

Gambar. ARAS (Ascending Reticular Activating System) Etiologi Gangguan kesadaran

1. Proses difus dan multifokal.

Metabolik : hipo atau hiperglicemia, hepatic failure, renal failure,toxin induced infectious, concussion etc.

2. Lesi Supratentorial:

Haemorrhage : extradural(epidural),subdural, intracerebral.

Infarction : embolic, thrombotic.

Tumours : primary, secondary, abscess.

3. Lesi Infratentorial.

Haemorrhage : cerebellar, pontine.

Infarction : brainstem.

Tumours : cerebellum.

Abscess : cerebellum.

Diagnosis Gangguan kesadaran:

 Cari riwayat penyakit sistemik & riwayat pengobatan

(33)

 Kondisi neurologi sebelumnya

 Seputar onset (?trauma, ?obat-obatan, ?toksin

 Koma Non-trauma

 Tidak ada fokal atau tanda lateralisasi

 meningismus / bukan meningismus

 Fokal atau tanda lateralisasi Dengan meningismus

 SAH

 Meningitis

 Ensefalitis Tanpa meningismus

 Kondisi anoksik iskemik

 Gg metabolik

 Intoksikasi

 Infeksi Sistemik

 Hipo/hipertermia

 Epilepsi

 Behavioural Toksin atau obat-obatan:

 Sedatif , Narkotika , Alkohol

 Racun

 Obat-obat psikotropik

 Karbon monoksida (CO)

 Overdosis (disengaja & kecelakaan)

 Status withdrawal Pemeriksaan Penunjang :

 Glukose, Test fungsi hati, ginjal, analisa gas darah, hematologi dan koagulasi

 EKG, Ro foto thoraks, CT scan (+/- kontras)

(34)
(35)

Tehnik pemeriksaan kesadaran dengan rangsang nyeri

Gamb. Lokasi pemeriksaan rangsang nyeri

Gamb. Lokasi pemeriksaan rangsang nyeri

(36)

Diagnosis banding koma

Penyakit Sifat dan ciri penyakit Penegakan diagnosis

Stroke Onset cepat (Acute)

Defisit Neurologis

diagnosis klinis koma dan ditandai oleh kerusakan otak yang berat pada distribusi fokal

Radiologi : infark atau perdarahan

Anoxia Diikuti koma

anoksia episode

Myoclonus dan atau kejang sering terlihat

Tanda Multifocal sign dengan ketidak sesuaian topis untuk anoxia

Riwayat henti janting

Atau sebab lain dari anoksia

Gejala klinis koma dengan atau tanpa myoclonus

Keracunan koma dengan hilangnya reflek

batang otak tanpa tanda fokal

Riwayat substance ingestion

Gambaran klinik tidak spesifik Suspicion is key

Drug screen is critical Gangguan (disorder) Dapat dibedakan pada gejala klinis Penegakan diagnosis

Trauma Kepala koma setelah trauma kepala dengan atau tanpa gejala fokal

Fluktuasi status mental

Tanda trauma yg berlebihan

Tanda Klinis

Riwayat trauma kepala

radiologi : normal, contusion, edema, perdarahan

Gangguan Metabolik Gangguan metabolik jarang sebagai penyebab koma,lebih sering disebabkan encephalopathy

Koma dengan batang otak intak

Dapat terjadi kejang

Hasil Lab abnormal : elektrolit, dll

Pencitraan dan hasil LAB ± menunjukkan penyebab lain- pikirkan penyebab lainnya Sindrom Locked in pada

infark batang otak

Pasien immobile dan penampakan seperti koma

Pasien gerak mata vertical masih ada dan dapat dilakukan dengan kondisi ini.

Dapat berkomunikasi dengan pergerakan mata

Infark batang otak dapat terlihat di MRI/ CTscan

Pseudocoma Tampilan klinis koma dengan fungsi otak masih ada

Pasien dapat tidak mengetahui bahwa dirinya dalam keadaan pseudocoma Tidak ada respon intestional

Pada pemeriksaan :

Dengan diangkat melewati kepala dan dilepas/ dijatuhkan kea rah wajah, pada keadaan pseudocoma lengan jatuh ke arah wajah

Normal EEG Persistence vegetative state Keadaan tidak sadar dengan respon

refleks masih ada

Berbeda dengan koma oleh karena masih ada kemampuan berespon

Tampilan pasien seperti sadar/ tidur, tapi pada pemeriksaan pasien tidak dapat kontak dengan lingkungan, perintah dan situasi

Pemeriksaan klinis

Temuan respon batang otak thd rangsangan masih ada

Pencitraan dan Lab menunjukkan penyebab tidak responsif

Gamb. Lesi otak dan pola nafas

(37)

Gambaran pola nafas berdasarkan pada berbagai area di otak

• Pernafasan Cheyne stokes

– Pada pola pernafasan ini terdapat periode hiperpnoe diselingi periode apnoe sekitar 10-20 detik.

– Disfungsi dari hemisphere kiri dan kanan (level diencephalic ).

– Mungkin pola pernafasan ini ditemukan pada saat selama pasien tidur , dimana pada saat tersebut terjadi reaksi / proses inhibisi yang luas pada hemisphere oleh karena tidur itu sendiri mencetuskan dan memperberat mekanisme proses penekanan pada otak.

• Kerusakan pada kedua sisi proensephalon, bisa juga disebabkan proses gangguan metabolic seperti uremia, gangguan fungsi hati berat, atau infark bilateral atau lesi karena adanya massa pada proenchepalon dengan perubahan anatomi/ pergeseran pada diencephalon, pernafasan seperti ini perlu pernanganan segera.

• Mekanisme : relative hingga tidak abnormal terhadap respon pada ssp yg sensitive CO2

(38)

• Setelah konsentrasi CO2 turun hingga level terendah hingga sampai terjadi stimulasi pusat pernafasan, fase apneu akan terus terjadi hingga CO2 terakumulasi dan proses pernafasan berjalan kembali

• Hiperventilasi pada Central neurogenic

– Muncul dan terdapat pada disfungsi batang otak atau pons bagian atas.

– Pernafasan cepat antara 40-50x/mnt – PO2 meningkat lebih dari 70-80 mmHg.

– Jika level PO2 dibawah normal à hipoxemia

– Penyakit jantung, paru, dan problem metabolik dapat juga menyebabkan hiperventilasi.

• Pernafasan Apneustic

Lokasi di lesi bagian bawah pontine, didapat fase inspirasi yang memanjang dan berhenti pada saat inspirasi maksimal/penuh.

• Pernafasan Cluster

Hanya signifikan pada kerusakan bagian bawah pontine, karakteristik kelainan ini hampir sama dengan pernafasan mendekati proses apnoe

• Pernafasan Ataxic

Kerusakan terjadi pada bagian bawah pontine atau masalah pada pusat pernafasan di medullar Polanya adalah chaotic dan haphazard dengan ketidakteraturan pada henti nafas à adanya petunjuk menghembuskan nafas dan akhirnya pernafasan dada.

Daftar Pustaka

(39)

1. Duus P : Topical Diagnosis in Neurology : anatomy, physiology, signs, symptoms, 3rd edition, Stuttgart, New York, Thieme, 1983

2. Lindsay. K.W., Bone I., and Callander. R : Neurology and Neurosurgery Illustrated, Churchill Livingstone, 1st edition, Edinburg, London, 1988

3. Chusid JP : Correlative Neuroanatomy and Functional Neurology, 17th edition, Maruzen Asia, 1979

4. Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT : Neurotrauma, Mc Graw Hill, 1996

Greenberg MS : Handbook of Neurosurgery, 5th edition, Thieme, 2001

(40)

BAB V

MANAJEMEN PENINGGIAN TEKANAN INTRAKRANIAL Dr. Lyna Surtidewi, Sp.S(K)

Pendahuluan

Otak merupakan jaringan tubuh yang mempunyai tingkat metabolisme tinggi, hanya dengan berat kurang lebih 2% dari berat badan memerlukan 15% kardiak output, menyita 20% oksigen yang beredar di tubuh, serta membutuhkan 25% dari seluruh glukosa dalam tubuh. Pada keadaan emergensi dan kritis akan terjadi peningkatan kebutuhan akan bahan-bahan metabolisme tersebut. Dengan demikian apabila suplai dari bahan-bahan untuk metabolisme otak terganggu tentunya akan menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan otak yang dapat berakibat kematian dan kerusakan permanen (kecacatan).

Dua hal yang berperan dalam menjaga metabolisme otak berjalan normal adalah kecukupan oksigen dan kecukupan sumber energi yaitu glukosa. Oleh karena otak tidak dapat menyimpan cadangan energi maka metabolisme otak tergantung pada aliran darah yang optimal (CBF).

Dalam keadaan emergensi dan kritis akan terjadi kegagalan sistem autoregulasi pembuluh darah serebral. Karena aliran darah ke otak (CBF) adalah hasil pembagian tekanan perfusi ke otak (CPP) dengan tahanan pembuluh darah serebral (CVR), maka pada kegagalan sistem autoregulasi CBF sangat tergantung pada CPP.

Pada keadaan normal CBF adalah 50 cc/100 gr jaringan otak/menit. Pada keadaan sehat (mekanisme autoregulasi utuh), CBF 50 cc/100 gr jaringan otak/menit tersebut dapat dipenuhi dengan rentang CPP antara 40 – 140 mmHg. Kerusakan jaringan otak irreversibel akan terjadi apabila CBF < 18 cc/100 gr jaringan otak/menit. Pada keadaan emergensi neurologi seperti infeksi akan terjadi peninggian tekanan intrakranial (TIK) akibat edema otak. Oleh karena CPP merupakan selisih antara MAP dengan TIK maka adalah sangat penting menjaga tekanan darah optimal dan mengendalikan (menurunkan) TIK. Pada makalah ini akan difokuskan dalam mengendalikan (manajemen) peninggian TIK.

(41)

Gejala peninggian TIK

- Sakit kepala, akibat kompresi saraf kranialis, arteri dan vena, biasanya memburuk pada pagi hari dan diperberat oleh aktivitas.

- Muntah yang tidak didahului mual dan mungkin projektil - Perubahan tingkat kesadaran

- Paling sensitif dan indikator penting, tahap awal mungkin tidak spesifik seperti gelisah, iritabilitas, letargi.

- Perubahan tanda-tanda vital. Cushing’s triad: peninggian tekanan darah sistolik, bradikardi (muncul belakangan), pola nafas iregular (late sign); peningkatan suhu; ocular signs seperti pelebaran pupil akibat tekanan pada N III dan refleks pupil melambat dan anisokor.

- Penurunan fungsi motorik: hemiparesis atau hemiplegia; dekortikasi – gangguan pada traktus motorik; deserebrasi – kerusakan berat pada mesensefalon dan batang otak

Manajemen peninggian TIK.

Tatalaksana umum.

Beberapa hal yang berperan besar dalam menjaga agar TIK tidak meninggi antara lain:

- Mengatur posisi kepala lebih tinggi 15 – 300, dengan tujuan memperbaiki venous return.

- Mengusahakan tekanan darah yang optimal.

Tekanan darah yang sangat tinggi dapat menyebabkan edema serebral, sebaliknya tekanan darah terlalu rendah akan mengakibatkan iskemia otak dan akhirnya juga akan menyebabkan edema dan peninggian TIK.

- Mengatasi kejang.

- Menghilangkan rasa cemas.

- Mengatasi rasa nyeri.

- Menjaga suhu tubuh normal < 37,50 C.

Kejang, gelisah, nyeri dan demam akan menyebabkan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan akan substrat metabolism. Di satu sisi terjadi peningkatan metabolisme serebral, dipihak lain suplai oksigen dan glukosa berkurang, sehingga akan terjadi

(42)

kerusakan jaringan otak dan edema. Hal ini pada akhirnya akan mengakibatkan peninggian TIK.

- Koreksi kelainan metabolik dan elektrolit.

Hiponatremia akan menyebabkan penurunan osmolalitas plasma sehingga akan terjadi edema sitotoksik, sedangkan hipernatremia akan menyebabkan lisisnya sel-sel neuron.

- Atasi hipoksia.

Kekurangan oksigen akan menyebabkan terjadinya metabolisme anarob, sehingga akan terjadi metabolisme tidak lengkap yang akan menghasilkan asam laktat sebagai sisa metabolisme. Peninggian asam laktat di otak akan menyebabkan terjadinya asidosis laktat, selanjutnya akan terjadi edema otak dan peninggian TIK.

- Hindari beberapa hal yang menyebabkan peninggian tekanan abdominal seperti batuk, mengedan dan penyedotan lendir pernafasan berlebihan.

Tatalaksana Khusus Mengurangi efek masa.

Pada kasus tertentu seperti hematoma epidural, subdural, maupun perdarahan intraserebral spontan maupun traumatika serta tumor maupun abses tentunya akan menyebabkan peninggian TIK dengan segala konsekuensinya. Sebagian dari keadaan tersebut memerlukan tindakan pembedahan untuk mengurangi efek masa,

Mengurangi volume Cairan Serebrospinal (CSS).

Mengurangi CSS biasanya dilakukan apabila didapatkan hidrosefalus yang menjadi penyebaba peninggian TIK seperti halnya pada infeksi kriptokokkus. Ada 3 cara yang dapat dilakukan dalam hal ini yaitu: memasang kateter intraventrikel, lumbal punksi atau memasang kateter lumbal. Pemilihan metode yang dipakai tergantung dari penyebab hidrosefalus atau ada/tidaknya masa intrakranial.

Pengaliran CSS dengan kateter lumbal dapat dikerjakan apabila diyakini pada pemeriksaan imaging tidak didapatkan massa intrakranial atau hidrosefalus obstruktif. Biasanya dipakai kateter silastik 16 G pada intradural daerah lumbal. Dengan kateter ini disamping dapat mengeluarkan CSS, dapat juga dipakai untuk mengukur TIK. Keuntungan lain adalah teknik yang tidak terlalu sulit dan perawatan dapat dilakukan di luar ICU.

(43)

Mengurangi volume darah intravaskular.

Hiperventilasi akan menyebabkan alkalosis respiratori akut, dan perubahan pH sekitar pembuluh darah ini akan menyebabkan vasokonstriksi dan tentunya akan mengurangi CBV sehingga akan menurunkan TIK.

Efek hiperventilasi akan terjadi sangat cepat dalam beberapa menit. Tindakan hiperventilasi merupakan tindakan yang paling efektif dalam menangani krisis peninggian TIK namun akan menyebabkan iskemik serebral. Sehingga hal ini hanya dilakukan dalam keadaan emergensi saja dan dalam jangka pendek.

Hemodilusi dan anemia mempunyai efek menguntungkan terhadap CBF dan deliveri oksigenasi serebral. Hematokrit sekitar 30% (visikositas darah yang rendah) akan lebih berefek terhadap diameter vaskuler dibanding terhadap kapasitas oksigen (CaO), sehingga akan terjadi vasokonstriksi dan akan mengurangi CBV dan TIK. Namun bila hematokrit turun dibawah 30% akan berakibat menurunnya kapasitas oksigen. Hal ini akan mengakibatkan vasodilatasi sehingga TIK akan meninggi. Dengan demikian strategi yang sangat penting dalam menjaga TIK adalah mencegah hematokrit jangan sampai turun sampai dibawah 30%.

Manitol atau cairan osmotik lain juga mempunyai efek vasokonstriksi pembuluh darah piamater dan arteri basilar, sehingga akan mengurangi CBF.

Pemakaian barbiturat atau obat anestesi akan menekan metabolisme otak, dan menurunkan Cerebral Metabolism Rate of Oxygen (CMRO2). Penurunan CMRO2 akan menurunkan CBF, dan akhirnya mengurangi CBV dan TIK. Pemberian barbiturat sendiri telah terbukti akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah serebral.

Mengurangi edema dan volume cairan interstisial.

Manitol akan mengurangi cairan otak dengan cepat, dan manitol akan diekskresikan melewati ginjal dengan cepat pula. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah efek diuresis dari manitol sehingga dapat berakibat dehidrasi. Kekurangan cairan intravaskular tentunya akan menyebabkan penurunan tekanan darah, dan akan terjadi vasodilatasi sebagai mekanisme autoregulasi dan akibat lanjutnya adalah kenaikan CBV dan TIK. Pemberian manitol jangan

(44)

melebihi 3 hari dan hindari drip kontinyu. Tidak ada hubungan besarnya dosis dengan efek yang diharapkan. Selain dari manitol, dapat juga dipakai cairan salin hipertonis.

Glukokortikoid seperti deksametason dapat digunakan untuk menangani edema serebri vasogenik. Obat ini efektif dalam menanggulangi edema yang menyertai tumor, meningitis dan lesi otak lain. Dosis awal yang biasa digunakan adalah 10 mg Dexamethason i.v diikuti 4 mg tiap 6 jam.

Kesimpulan

Peninggian TIK merupakan keadaan emergensi yang mengancam nyawa sehingga harus segera ditangani. Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam penatalaksaan peninggian TIK yaitu tindakan umum (mengusahakan keadaan fisologis) dan tindakan khusus seperti evakuasi massa termasuk hematoma, mengurangi CSS (drainase CSS), menurunkan volume darah intravaskular (“hiperventilasi”, hemodilusi, hipotermia, terapi barbiturat) dan mengurangi cairan interstisial/edema dengan cairan hipertonis serta pemakaian glukokortikoid.

(45)

Daftar Pustaka

1. Ropper A.(ed). Neurological and Neurosurgical Critical Care, 3rd ed. New York, Raven Press, 1993:11-52.

2. Marino PL. The ICU Book, Philadelphia, Lea and Febiger, 1991: 190-201.

3. Goldschlager NF, Hemodynamic monitoring. In Critical Care Medicine, Luce JM and Pierson DJ (eds), Philadelphia, WB Saunders, 1988: 104 -114.

4. Dunn LT. Raised intracranial pressure. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2002;73:23-27.

5. Williams MA. Intracranial Pressure Monitoring and Management for Neurologists.

AAN, 1998.

6. Strand T. Evaluation of Long-term Outcome and Safety after Hemodilution therapy in Acute Ischemic Stroke. Stroke, 1992; 23: 657 – 662.

7. The Hemodilution in Stroke Study Group. Hypervolemic Hemodilution Treatment of Acute Stroke: Results of Randomized Multicenter Trial Using Pentastarch. Stroke,1989; 20:

317 – 323.

8. Hacke W, Stingele R, Steiner T, et al. Critical Care of Acute Ischemic Stroke. Intensive Care Med,1995;21:856 – 62.

9. Schwab S, Schwarz, Sprange M, et al. Moderate hypothermia in the Treatment of Patients with Severe Middle Cerebral Artery Infarction. Stroke, 1998; 29:2461 – 2466.

10. Manno E.M.. When to use hyperventilation, mannitol, or cortisosteroid to reduce increased intracranial pressure from cerberal edema. In Though call in acute neurology (Rabinstein AA, ed). Elsevier, Philadhelpia, 2004: 107-119.

(46)

BAB VI

STATUS EPILEPTICUS Dr. Fitri Octaviana, Sp.S

Status Epileptikus (SE) adalah suatu kegawatdaruratan medis mayor yang sering dijumpai pada komunitas, mengenai antara 120.000 - 200.000 orang per tahun di Amerika Serikat. Rata-rata frekuensi dari SE refrakter berbeda-beda dari kira-kira 10% sampai dengan 40%. Kegagalan dalam mendiagnosa dan mengobati SE secara akurat dan efektif menghasilkan morbiditas dan mortalitas yang nyata.

Definisi

SE merupakan aktivitas bangkitan terus menerus yang berlangsung selama 30 menit atau lebih ATAU aktivitas bangkitan hilang timbul yang berlangsung selama 30 menit atau lebih dan selama waktu tersebut tidak terdapat pemulihan kesadaran.

Loweinstein dan kawan – kawan memberikan definisi “operasional” yang bertujuan menentukan waktu pada saat pasien - pasien sebaiknya dapat diterapi seolah - olah mereka berada dalam status epileptikus yang sedang berlangsung, termasuk di antaranya bangkitan yang berlangsung kurang dari 5 menit.

(47)

Klasifikasi dan Diagnosa

Beberapa tipe dari bangkitan epilepsi telah dapat dideskripsikan. SE dapat diklasifikasikan dengan adanya kejang motorik (status epileptikus konvulsivus) atau dari lena/absans (status epileptikus non konvulsivus). Kemudian SE dapat dibagi lagi menjadi SE yang melibatkan seluruh tubuh (SE Umum) atau hanya melibatkan sebagian tubuh (SE Parsial).

Terkait dengan hal tersebut, SE dapat dibagi menjadi konvulsivus umum (SE tonik klonik), non konvulsivus umum (contoh : lena/absans), konvulsivus parsial (kejang motorik parsial simpel) atau non konvulsivus parsial (kejang parsial komplek).

Tabel 2. Klasifikasi status epileptikus

Konvulsi Non konvulsi

Umum Tonik klonik (grand mal) Absans/Lena Tonik

Mioklonik

Parsial Bangkitan parsial motorik Bangkitan parsial kompleks

SE dapat di diagnosis melalui observasi. Bangkitan ditandai dengan hilangnya kesadaran, aktivitas tonik-klonik otot, mulut berbusa, lidah tergigit, mata yang menatap keatas, dan inkontinensia urin. Diagnosis dari SE biasanya jelas, dengan diagnosis banding berupa distonia umum dan pseudo- status epilepsi. Pseudo-status epilepsi terdiri dari bangkitan yang bersifat psikogenik.

SE non konvulsi lebih sulit didiagnosis. Gambaran klinik berupa penurunan kesadaran, agitasi, afasia, confusion amnesia, nistagmus. Diagnosis hanya dapat di konfirmasi dengan pasti melalui pemeriksaan EEG4. Pada sebuah studi disebutkan 8% pasien-pasien dengan koma menunjukkan SE non konvulsi5. Gambar 2 menunjukkan gambaran EEG pada pasien SE non konvulsi dengan gambaran klinis berupa amnesia.

Gambar 2. EEG wanita umur 20 tahun dengan amnesia

(48)

International League Against Epilepsy (ILAE) merekomendasikan klasifikasi Status Epilepsi pada anak (tabel 2).3

Tabel 2. Klasifikasi Status Epileptikus Rekomendasi ILAE Berdasarkan Etiologi (1993)

Akut Simtomatik Status Epileptikus pada anak yang sebelumnya normal secara neurologis, dalam seminggu disertai etiologi penyerta termasuk infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP), kejang demam yang memanjang, ensefalopati, trauma kepala, penyakit serebrovaskular, dan kelain

Gambar

Tabel 2. Klasifikasi Status Epileptikus Rekomendasi ILAE Berdasarkan Etiologi (1993)
Gambar 3. Perubahan Neurofisiologis pada Status Epileptikus.
Gambar 1. Jaras transmisi nyeri dan lokasi modulasinya
Gambar 2. WHO stepladder

Referensi

Dokumen terkait

  Keywords:

Stroke iskemik secara klinis adalah defisit neurologis fokal yang timbul akut dan berlangsung lebih lama dari 24 jam dan tidak disebabkan oleh perdarahan.Stroke iskemik

Stroke juga bermakna sindrome klinis yang awal timbulnya mendadak, cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung

Stroke juga bermakna sindrome klinis yang awal timbulnya mendadak, cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung

Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan menimbulkan gejala dan tanda

12 Sementara itu, studi European Cooperative Acute Stroke Study (ECASS) III, sICH adalah perdarahan yang terlihat dari CT scan atau MRI, terkait gambaran klinis defisit

Stroke atau serangan otak adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif, cepat, berupa defisit neurologis fokal dan atau global, yang berlangsung 24 jam

Dengan demikian penegakan diagnosis klinis, sitohistologi, stadium penyakit ,status tampilan umum dan diagnosis kelainan genomik spesifik harus diusahakan untuk