• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II kajian konseptual

N/A
N/A
Arfian Guswindra

Academic year: 2025

Membagikan "BAB II kajian konseptual"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian yang peneliti lakukan, diantaranya sebagai berikut:

1. Keterampilan Sosial Anak di Panti Sosial Asuhan Anak Kuncup Harapan Muhammadiyah Sukajadi Kota Bandung, Adila Listya Oktiviani, 2023, Poltekesos Bandung

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, mengkaji, menganalisis, dan memperoleh gambaran secara empiris mengenai keterampilan sosial anak di Panti Sosial Asuhan Anak Kuncup Harapan Muhammadiyah Sukajadi, Kota Bandung. Aspek dalam penelitian ini terdiri atas hubungan dengan teman sebaya, manajemen diri, kemampuan akademis, kepatuhan, dan kemampuan asertif.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode deskriptif.

Sampel dalam penelitian adalah penerima manfaat di Panti Sosial Asuhan Anak Kuncup Harapan Muhammadiyah Sukajadi, Kota Bandung sebanyak 40 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan sosial anak di Panti Sosial Asuhan Anak Kuncup Harapan Muhammadiyah Sukajadi, Kota Bandung termasuk dalam kategori “Cukup baik”.

(2)

2. Pembentukan Keterampilan Sosial di Rumah Pemberdayaan Aulia Qolbu Cilegon oleh Rizki Setiawan, Eti Komalasari, 2020, IJSED

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan keterampilan sosial yang didapatkan di Rumah Pemberdayaan Aulia Qolbu. Metode penelitian yang digunakan yaitu kualitatif deskriptif yang mendeskripsikan sesuai fakta di lapangan. Penelitian berlokasi di Rumah Pemberdayaan Yayasan Aulia Qolbu Kota Cilegon, Banten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan teori kapital sosial: jaringan sosial terbentuk dengan adanya kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Yayasan, nilai dan norma berkaitan erat dengan proses keagamaan, kepercayaan lahir lantaran adanya rasa saling memiliki dan menghargai. Konklusi temuan penelitian ialah bahwa keterampilan sosial berkembang ketika anak mampu beradaptasi di lingkungan sosial yang baru.

3. Pola Asuh Pengurus Panti Asuhan Dalam Mengembangkan Keterampilan Sosial Anak Rohmatin oleh Syifa Rohmatin, 2019, UPI

Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan pola asuh yang diterapkan pengurus panti asuhan dalam mengembangakan keterampilan sosial anak, mengetahui bagaimana pola asuh yang diterapkan, faktor penghambat, dan upaya yang dilakukan pengurus panti asuhan dalam mengembangkan keterampilan sosial anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pola

(3)

asuh demokratis, implementasi pola asuh yang diterapkan adalah adaptation, goal attainment yang dilakukan melalui penanaman nilai sosial.

Dibawah ini disajikan tabel perbandingan dengan penelitian yang akan dilakukan, sebagai berikut:

Tabel 2.1 Perbedaan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian yang Akan Dilakukan No Nama

Peneliti

Judul Metode Penelitian

Hasil Perbedaan Penelitian 1. Adila

Listya Oktiviani

Keterampilan Sosial Anak di Panti Sosial Asuhan Anak Kuncup Harapan Muhammadiyah Sukajadi Kota Bandung

Kuantitatif Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan sosial anak di Panti Sosial Asuhan Anak Kuncup Harapan Muhammadiyah Sukajadi Kota Bandung termasuk dalam kategori “Cukup baik”.

Perbedaannya yaitu pada aspek dan rumusan masalah yang digunakan dan lokasi

penelitian.

Penelitian terdahulu ini menggunakan aspek dan rumusan masalah yang meliputi hubungan dengan teman sebaya

manajemen diri, kemampuan akademis, kepatuhan, kemampuan asertif.

Sedangkan penelitian yang dilakukan menggunakan aspek-aspek komunikasi, interaksi sosial, bekerja sama, dan motivasi.

2. Rizki Setiawan, Eti

Pembentukan Keterampilan Sosial di Rumah

Kualitatif Hasil penelitian menunjukan bahwa berdasarkan teori

Perbedaan yang pertama yaitu pada metode

(4)

No Nama Peneliti

Judul Metode Penelitian

Hasil Perbedaan Penelitian Komalasa

ri

Pemberdayaan Aulia Qolbu Cilegon

capital social: (1) jaringan sosial terbentuk dengan adanya kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh yayasan (2) nilai dan norma berkaitan erat dengan proses keagamaan (3) kepercayaan lahir lantaran adanya rasa saling memiliki dan menghargai.

penelitian.

Peneliti akan menggunakan metode kuantitatif.

Penelitan terdahulu juga hanya

mendasarkan pada perspektif panti asuhan, sehingga

konklusi temuan penelitiannya yaitu

keterampilan sosial berkembang ketika anak mampu beradaptasi di lingkungan baru. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan peneliti adalah dari perspektif anak.

3. Syifa Rohmatin

Pola Asuh Pengurus Panti Asuhan dalam Mengembangkan Keterampilan Sosial Anak

Kualitatif Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pola asuh yang digunakan yaitu pola asuh demokratis. (2) pola asuh diterapkan melalui proses adaptation, goal attainment dalam bentuk

penanaman nilai sosial; integrasi melalui

komunikasi dan koordinasi antar pihak; latency

Perbedaannya yaitu pada metode penelitian yakni peneliti akan menggunakan metode kuantitatif.

Perbedaan lainnya adalah pada fokus penelitian.

Penelitian

Rohmatin melihat upaya pengasuh dalam

mengembangkan keterampilan, sedangkan penelitian yang dilakukan berfokus

(5)

No Nama Peneliti

Judul Metode Penelitian

Hasil Perbedaan Penelitian dengan cara

evaluasi. (3) Pengurus dan pengasuh melakukan koordinasi, pendekatan personal dengan anak, pemberian nasihat, hukuman, teguran, dan motivasi;

melakukan koordinasi dengan pihak sekolah, dan melakukan evalusi rutin

pada pengukuran keterampilan sosial.

Tabel 2.1 menjelaskan mengenai perbandingan antara penelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti. Peneliti membandingkan penelitian yang dilakukan oleh Adila Listya Oktiviani, Rizki Setiawan dan Eti Komalasari, serta Syifa Rohmatin yang kemudian disimpulkan bahwa penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti memiliki perbedaan dan novelty dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

2.2 Tinjauan Konseptual yang Relevan dengan Penelitian

Pembahasan pada bagian ini menggambarkan tentang konsep-konsep yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. Tinjauan konseptual yang relevan dengan penelitian diantaranya yaitu pembahasan mengenai Keterampilan Sosial, Anak, Sistem Pengasuhan Anak di Indonesia, dan Pekerjaan Sosial dengan Anak.

Pembahasan mengenai tinjauan konseptual yang relevan dengan penelitian dijelaskan sebagai berikut:

(6)

2.2.1 Tinjauan Tentang Keterampilan Sosial 2.2.1.1 Pengertian Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial menurut Neil Fligstein dan McAdam dalam Andi Rahman Alamsyah (2022) yaitu kemampuan untuk mendorong kerjasama, dan membantu menciptakan makna bersama dan identitas kolektif. Dalam konsep keterampilan sosial, setiap individu memiliki kemampuan untuk menawarkan sesuatu kerangka tindakan yang dapat menjadi alasan bagi individu-individu lainnya untuk berkolaborasi.

Neil Fligstein dalam Yoga (2009:47-49) juga menyatakan bahwa aspek- aspek keterampilan sosial yaitu komunikasi efektif, interaksi sosial, bekerja sama, dan motivasi. Keterampilan sosial bertujuan untuk memunculkan rasa bertanggung jawab individu terutama dengan sesama, sehingga pada akhirnya akan terjalin hubungan yang serasi dengan lingkungannya.

Dengan mengacu pada Mead dan Giddens, Neil Fligstein dan McAdam (dalam Andi Rahman Alamsyah, 2022) menyatakan bahwa setiap individu memiliki keterampilan sosial untuk bertahan hidup, namun level dan konteksnya berbeda-beda. Berdasarkan levelnya terdapat individu yang memiliki keterampilan sosial yang baik dan individu yang memiliki keterampilan sosial yang kurang baik. Secara singkat individu yang memiliki keterampilan sosial yang baik adalah individu yang mendorong pihak-pihak lainnya untuk bekerja sama demi tujuan kolektif, sementara individu yang memiliki keterampilan sosial yang kurang baik diartikan sebaliknya.

(7)

Pendapat lainnya juga disampaikan oleh Rosenbergh dalam Perdani (2014:130) menerangkan bahwa keterampilan sosial adalah kemampuan berkomunikasi, bekerja sama, berbagi, berpartisipasi, dan beradaptasi (bentuk simpati, empati, motivasi, mampu memecahkan masalah serta disiplin sesuai peraturan dan norma yang berlaku).

Dari tinjauan konseptual yang sudah dijelaskan tersebut peneliti menggunakan landasan konseptual menurut Neil Fligstein dan McAdam dalam Andi Rahman Alamsyah (2022) bahwa keterampilan sosial adalah kemampuan yang dimiliki setiap individu untuk berkomunikasi, berinteraksi, bekerjasama dengan individu lainnya dan lingkungannya untuk mencapai tujuan kolektif.

2.2.1.2 Aspek-Aspek Keterampilan Sosial

Aspek-aspek keterampilan sosial menurut Neil Fligstein (dalam Imasti Inggit, dkk: 2019) mengatakan bahwa:

1. Komunikasi efektif

Komunikasi atau linguistik berupa kecakapan individu dalam berinteraksi dengan individu-individu lainnya. Komunikasi efektif berarti saling bertukar informasi, ide, perasaan dan sikap antara dua orang atau lebih yang hasilnya sesuai harapan dan dapat menghasilkan perubahan sikap pada orang yang terlibat komunikasi. Hal-hal yang diperlukan dalam komunikasi supaya menjadi efektif yaitu kejelasan, ketepatan, konteks, dan alur.

a) Kejelasan maksudnya komunikator harus menyampaikan pesannya secara jelas sehingga dapat diterima dengan baik oleh lawan bicara. Kejelasan ini

(8)

meliputi kejelasan bahasa, kejelasan istilah dan kejelasan nada dan intonasi.

b) Ketepatan berarti bahasa dan informasi yang disampaikan harus betul- betul akurat atau tepat. Bahasa yang digunakan harus sesuai dengan apa yang sesungguhnya ingin disampaikan.

c) Konteks merujuk pada latar belakang atau lingkungan dimana komunikasi terjadi. Konteks dapat memengaruhi bagaimana pesan dipahami dan diterima.

d) Alur dalam komunikasi yaitu pengirim mempunyai suatu ide atau gagasan, pengirim mengubah ide menjadi suatu pesan, pengirim menyampaikan pesan, penerima menerima pesan, penerima menafsirkan pesan, penerima memberi tanggapan atau mengirim respon.

2. Interaksi sosial

Ketika berinteraksi, individu berusaha menciptakan perasaan positif terhadap dirinya dengan terlibat dalam menghasilkan makna di antara yang lain.

Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis antara individu dengan individu lain atau dengan kelompok atau antar kelompok. Hubungan ini tercipta karena pada dasarnya manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain.

Syarat terjadinya interaksi sosial yaitu adanya kontak sosial (hubungan tiap pihak yang saling berinteraksi, berbicara, tatap muka, maupun bersalaman) dan adanya aktivitas bersama.

(9)

3. Bekerja sama

Orang-orang yang lebih terampil secara sosial dibandingkan orang lain; yaitu mempunyai kemampuan untuk membuat orang lain mau bekerja sama.

Kejasama adalah suatu usaha antara individu atau kelompok sosial untuk mencapai tujuan bersama. Adapun komponen-komponen dalam kerjasama yaitu tujuan, tugas, tanggung jawab, saling percaya dan mendukung.

a) Tujuan merupakan penjabaran visi misi dan merupakan hasil yang akan dicapai atau dihasilkan.

b) Tugas merupakan suatu hal yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan, bisa jadi tugas adalah pekerjaan yang menjadi tanggung jawab seseorang atau organisasi untuk diselesaikan.

c) Tanggung jawab atau koordinasi bertujuan agar mengurangi kesenjangan dn tumpang tindihnya tugas dalam tim. Setiap anggota perlu menyepakati tugas-tugas yang ditentukan. Dengan demikian, setiap anggota memiliki sub-tujuan yang cukup jelas.

d) Saling percaya dan mendukung merupakan hal yang sangat penting dalam kerjasama. Perilaku kooperatif membantu anggota kelompok mengenali bagaimana mencapai tujuan dan memahami bahwa merkea bekerja untuk kepentingan bersama.

4. Motivasi.

Dorongan yang seseorang miliki untuk memberikan rangsangan sehingga dapat melakukan tindakan maupun sesuatu yang mendasari atau alasan individu dalam berperilaku. Adanya kebutuhan yang harus terpenuhi

(10)

membuat setiap individu memiliki motivasi untuk memnuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan-kebutuhan tersebut yaitu:

a) Kebutuhan dasar atau fisiologis merupakan kebutuhan tubuh setiap individu baik kebutuhan biologis maupun fisik. Kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan manusia akan oksigen, aor, makanan, suhu tubuh yang normal, tidur, dan lain semacamnya.

b) Kebutuhan akan rasa aman meliputi rasa aman secara fisik maupun emosional. Kebutuhan akan rasa aman dapat dicontohkan seperti kebutuhan akan rasa aman dari bahaya yang mengancam, kebutuhan perlindungan dari indak kriminalitas, kebutuhan rasa aman dari bahaya bencana alam, dan lain sebagainya.

c) Kebutuhan akan kasih sayang meliputi kebutuhan untuk menjalin pertemanan dengan individu lain, membentuk keluarga, bersosialisasi dengan suatu kelompok, beradaptasi dengan lingkungan sekitar, serta berada dalam lingkungan masyarakat.

d) Kebutuhan mendapatkan penghargaan berarti adanya penilaian positif dari orang lain. Pengahrgaan tidak hanya berupa piala ataupun hadiah, dapat berupa gelar, status, apresiasi, pujian ataupun diniali baik oleh orang lain.

Selain penghargaan dari orang lain terdapat juga pengahrgaan dari diri sendiri seperti adanya kepecayaan pada diri sendiri, meraih prestasi, menjadi pribadi yang mandiri, memiliki kemampuan, serta kompetensi yang mumpuni.

(11)

e) Kebutuhan aktualisasi diri merupakan wujud untuk mencerminkan harapan serta keinginan individu terhadap dirinya sendiri. Aktualisasi diri adalah kemampuan seseorang untuk menjadi versi terbaik dari dirinya.

2.2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial

Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan sosial menurut Bathia (dalam Wijanarko dan Setiawati, 2016:43), sebagai berikut:

1. Kelompok sosial, yaitu wadah untuk melakukan perkembangan keterampilan pada diri, seperti kerja sama, tukar pikiran, dan sebagainya.

2. Peniruan tingkah laku, yaitu perilaku peniruan supaya dapat memunculkan pengetahuan yang baru bagi individu tersebut dengan cara emperhatikan perilaku tersebut secara langsung dan menimbulkan rasa ketertarikan untuk melakukannya.

3. Partisipasi dalam kelompok sosial, yaitu individu yang tergabung pada sebuah kelompok maka akan berpengaruh terhadap keterampilan sosial individu tersebut. Hal ini disebabkan karena setiap individu yang menjadi anggota kelompok tersebut memiliki perilaku yang berbeda-beda sehingga akan saling mempengaruhi perilaku individu lain untuk menerapkannya juga.

2.2.1.4 Tujuan dan Fungsi Keterampilan Sosial

Tujuan dari keterampilan sosial yaitu untuk menumbuhkan nilai kasih sayang pada individu dan memunculkan tanggung jawab individu terutama dalam hal bertingkah laku akan agar terjalin hubungan yang serasi dengan lingkungannya. Adapun fungsi dari keterampilan sosial yaitu sebagai wadah guna menjalin hubungan yang baik dengan lingkungan masyarakat di sekitarnya,

(12)

seperti melakukan interaksi, memiliki keinginan untuk memberikan bantuan kepada orang lain, minat untuk berperan pada suatu kelompok dan mempunyai kepedulian terhadap lingkungan sekitar (Susanto, 2016).

Fungsi keterampilan sosial sebagai sarana menjalin interaksi yang baik dengan lingkungan sosial ini dapat diterapkan pada saat tolong-menolong dengan sesama, mengambil keputusan, meningkatkan kepedulian serta dapat berpartisipasi baik dalam kelompok maupun di lingkungan sekitarnya.

2.2.2 Tinjauan Tentang Anak, Hak-Hak Anak dan Kebutuhan Anak 2.2.2.1 Pengertian Anak

Pandangan global, hak asasi manusia serta regulasi terkait perlindungan anak di Indonesia mendefinisikan anak berdasarkan usia. Konvensi Hak-hak Anak (1989) menyatakan bahwa anak berarti setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak, ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyebutkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. Sedangkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1, menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Undang-undang yang terakhir ini menghapus frasa belum menikah yang tertulis pada Undang-undang sebelumnya.

(13)

Pekerjaan sosial sebagai satu profesi yang mengembangkan kekhususan terkait anak, melihat anak sebagai sebuah identitas diri seseorang sejak masih dalam kandungan hingga masuk sebelum masa remaja awal ((Mizrahi, Terry and Larry E Davis. 2008. Encyclopedia of Social Work 20th Edition. NASW Press:

Now York). Pekerjaan sosial melihat bahwa anak merupakan bagian dari kesatuan yang lebih besar darinya yakni lingkungan sosialnya, sehingga pekerjaan sosial dalam menilai anak bukan hanya seorang individu yang memiliki ketegori batasan usia melainkan pekerjaan sosial juga melihat anak dari lingkungan sosial yang tentunya berpengaruh pada perkembangan anak tersebut. Teori psikodinamika mengatakan bahwa perilaku anak merupakan pengekspresian dari pengalaman- pengalaman yang mereka dapat dari orang lain. Erick Ericsosn (1902-1994) mengemukakan bahwa perkembangan seseorang dipengaruhi oleh pengalaman- pengalaman sosial.

Mempertimbangkan hal tersebut, untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang terkait dengan anak maka seorang pekerja sosial harus memperhatikan berbagai aspek salah satunya lingkungan keluarga, sekolah, teman bermain, dan masyarakat dimana anak tersebut tinggal. Menurut Mizrahi, Terry dan Larry E Davis (2008), ada beberapa indikator yang harus dicapai ketika seorang pekerja sosial melakukan prakteknya bersama anak dan keluarga yaitu:

a. Wellbeing atau kesejahteraan diri anak, artinya terpenuhi segala kebutuhan fisik, psikis, dan sosial dari anak tersebut.

b. Security, artinya tingkat keamanan bagi anak ketika ia berada dalam lingkungan sosialnya.

(14)

c. Permanency, untuk membentuk perkembangan anak yang baik, anak harus dalam pengasuhan bersifat menetap oleh orang tuanya/orang tua asuh dan dalam jangka waktu yang lama.

Pekerja sosial menangani secara ekstensif anak-anak dan keluarga, dan dengan kebijakan yang mempengaruhi anak-anak, untuk membantu anak-anak dan keluarga mengatasi masalah keluarga, gangguan terhadap anak, kemiskinan, tunawisma dan rumah dan masalah lainnya yang mengganggu kehidupan anak dan keluarga. Para pekerja sosial juga memberikan perawatan kesehatan yang ada saat bekerja untuk memastikan bahwa anak-anak mendapatkan perawatan medis.

Selain itu, sekolah merupakan bidang praktek untuk pekerja sosial menangani anak-anak. Isu-isu praktek etika dan keadilan sosial bagi anak-anak yang kompleks. (Mizrahi, Terry and Larry E Davis. 2008. Encyclopedia of Social Work 20th Edition. NASW Press: Now York).

2.2.2.2 Hak-Hak Anak

Anak memiliki hak asasi manusia yang sama, melekat dan tidak terpisahkan dari semua anggota manusia. Hak-hak anak merupakan alat untuk melindungi anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya.

Menurut Undang- Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT, setiap anak dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:

a. Diskriminasi

b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun sosial c. Penelantaran

(15)

d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan e. Ketidakadilan

f. Perlakuan salah lainnya.

Landasan hukum yang digunakan dalam melaksanakan pemenuhan hak- hak anak bertumpu pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak Anak yang disahkan tahun 1990 kemudian diserap ke dalam Undang-Undang no 23 tahun 2002. Terdapat empat prinsip utama yang terkandung dalam berbagai regulasi tersebut sebagai berikut:

1. Prinsip non diskriminasi.

Prinsip ini memastikan bahwa semua hak yang diakui dan terkandung dalam Konvensi Hak Anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 2 Konvensi Hak Anak, yaitu:

Negara-negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang diterapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal-usul kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah”. (Ayat 1).

“Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang perlu untuk menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari orang tua anak, walinya yang sah atau anggota keluarga”. (Ayat 2).

(16)

2. Prinsip yang terbaik bagi anak (best interest of the child).

Semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga- lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau badan legislative harus berlandaskan pada kepentingan yang terbaik bagi anak (Pasal 3 ayat 1).

3. Prinsip atas hak hidup, kelangsungan dan perkembangan (the rights to life, survival and development).

Negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan (Pasal 6 ayat 1). Disebutkan juga bahwa negara-negara peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6 ayat 2).

4. Prinsip penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child).

Pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 12 ayat 1 Konvensi Hak Anak, yaitu: Negara-negara peserta akan menjamin agar anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri akan memperoleh hak untuk menyatakan pandangan-pandangannya secara bebas dalam semua hal yang mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak.

Menurut UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, hak-hak dasar anak-anak yang perlu mendapatkan perlindungan secara memadai adalah sebagai berikut:

(17)

1. Hak untuk hidup

Setiap anak berhak mendapatkan kehidupan yang layak dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar mereka termasuk makanan, tempat tinggal dan perawatan kesehatan.

2. Hak untuk berkembang;

Setiap anak berhak tumbuh kembang secara wajar tanpa halangan. Mereka berhak untuk mengetahui identitasnya, mendapatkan pendidikan, bermain, beristirahat, bebas mengemukakan pendapat, memilih agama, mempertahankan keyakinan dan semua hak yang memungkinkan mereka berkembang secara maksimal sesuai potensinya.

3. Hak untuk mendapat perlindungan

Setiap anak berhak untuk dapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah.

4. Hak untuk berperan serta

Setiap anak berhak untuk berperan serta aktif dalam masyarakat termasuk kebebasan untuk berekspresi, kebebasan untuk berinteraksi dengan orang lain dan menjadi anggota suatu perkumpulan.

5. Hak untuk memperoleh Pendidikan

Setiap anak berhak memperoleh pendidikan minimal tingkat dasar. Bagi anak yang terlahir dari keluarga yang tidak mampu dan tinggal di daerah terpencil, pemerintah berkewajiban untuk bertanggung jawab untuk membiayai pendidikan mereka.

(18)

2.2.2.3 Kebutuhan Anak

Menurut Wijaya (2011), kebutuhan dasar anak agar dapat bertumbuh kembang dengan optimal yaitu sebagai berikut:

1. Kebutuhan Fisik-Biologis (Asuh)

Kebutuhan asuh agar anak mendapat pertumbuhan yang baik maka anak harus mendapatkan kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan, seperti: nutrisi dan gizi seimbang, imunisasi, kebersihan diri dan lingkungan, pakaian, fasilitas kesehatan, bermain, olahraga, serta istirahat.

2. Kebutuhan Kasih Sayang-Emosi (Asih)

Tahun pertama kehidupan anak (bahkan sejak anak berada dalam kandungan), anak mutlak membutuhkan ikatan yang kuat dengan ibunya agar terjamin tumbuh kembang fisik, mental, dan psikososial anak dengan cara: (a) menciptakan perasaan aman dan nyaman sehingga anak merasa mendapat perlidungan; (b) memberikan perhatian terhadap pendapat, keinginan, dan minatnya; (c) dalam mengajarkan anak akan sesuatu bukan dengan cara dipaksa, melainkan diberikan contoh; (d) berikan bantuin, dorongan, ataupun motivasi agar anak merasa dihargai; (e) mendidiknya dengan rasa bahagia dan kasih sayang, bukan dengan cara memberikan ancaman maupun hukuman.

3. Kebutuhan Stimulus (Asah)

Anak perlu diberikan stimulus sejak dini agar dapat mengembangkan kemampuan kognitif, sensorik, motoric, bicara, emosi-sosial, kreativitas, moral, spiritual, kemandirian, dan kepemimpinan

(19)

2.2.2.4 Tugas Perkembangan Anak

Mengutip buku Ellya Susilowati yang berjudul Praktik Pekerja Sosial dengan Anak (2020), Eriks Erikson memandang bahwa perkembangan anak akan dipengaruhi oleh lingkungannya. Erikson menyampaikan jika setiap tahap perkembangan pada anak dapat menyebabkan terjadinya krisis psikososial. Proses anak dalam menangani krisis yang terjadi maka dapat mempengaruhi kepribadiannya. Tahapan perkembangan anak menurut Erikson yaitu:

1. Tahap Oral-Sensory (Infancy, 0-1 tahun)

Tahap ini akan muncul konflik yang disebabkan karena adanya trust dan mistrut. Hal ini membutuhkan peran lingkungan agar terjadi perkembangan kepercayaan. Saat kondisi ini dapat terjadi maka dapat mengembangkan kepercayaan anak terhadap lingkungan sosialnya, yakin, dan menimbulkan kehangatan sikap pada anak terhadap lingkungannya.

2. Tahap muscular-anak (early childhood, 1-3 tahun)

Tahap ini akan menimbulkan terjadinya konflik yang disebabkan antara rasa optimis dan pesimis serta malu terhadap kemampuan yang dimiliki anak.

Permasalahan ini dapat dihadapi dengan adanya pemberian dukungan emosional yang diberikan oleh orang-orang terdekatnya. Pemberian dukungan yang gagal akan menyebabkan anak cenderung merasa ragu terhadap kemampuannya., tetapi jika permasalahan tersebut dapat ditangani maka anak akan merasa yakin terhadap kemampuannya dan akan meningkatan kepercayaan dirinya.

(20)

3. Tahap locomotor-genital (play age, 3-6 tahun)

Tahap ini akan menimbulkan permasalahan yang disebabkan karena inisiatif dan perasaan serba salah. Konflik tersebut dapat diattasi dengan pemberian dukungan emosional serta pendidikan agar anak mampu diarahkan dalam memikirkan tujuan hidup atau cita-citanya. Apabila konflik tersebut dapat ditangani oleh anak dengan baik maka dapat menciptakan kenyamanan anak dalam memahami perkataan hatinya, harga diri, serta cita-cita yang ingin dicapainya.

4. Tahap latency (6-12 tahun)

Tahap ini akan dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman yang baru dialami oleh anak. Anak-anak akan belajar agar mampu mendapatkan kesenangan dan kepuasan dalam menjalankan tugas terutama tugas akademik. Anak yang mampu menyelesaikan dengan baik akan membantu anak dalam mencari solusi terhadap permasalahan yang terjadi pada hidupnya dan akan timbul rasa bangga terhadap prestasi yang dicapai. Keterampilan ego tersebut akan menciptakan kompetensi.

Bagi anak yang tidak bisa memecahkan masalah dan tertinggal dengan pencapaian teman-temannya maka akan timbul rasa rendah diri atau inferior.

5. Tahap adolescence (12-19 tahun)

Tahap ini merupakan tahap perkembangan yang terakhir pada masa anak- anak menuju masa remaja (adolescence). Masa remaja dapat dikenali dengan adanya tanda-tanda berupa permasalahan individu untuk memutuskan peran dan konsep diri. Konflik ini dapat timbul lantaran adanya keinginan untuk mengikuti peran orang dewasa namun orang-orang dilingkungannya masih memperlakukan

(21)

individu tersebut seperti anak-anak. Keinginan untuk mencohtoh peran orang- orang dewasa tersebut jika tidak diawasi oleh orang tua dan kurangnya pendidikan maka dapat menjerumuskan remaja tersebut pada berbagai konflik.

Masa remaja disebut juga masa krisis yang menyebkan individu berusaha menemukan identitas dirinya. Beberapa remaja akan menunjukkan kemampuannya kepada orang lain, hal ini dapat menimbulkan masalah jika individu tersebut tidak dapat mengendalikan dirinya yang akan berimbas pada terjerumusnya remaja terhadap permasalahan yang dapat merugikan diri sendiri atau orang lain. Orang tua dapat berperan dalam memberikan pendidikan terkait norma susila, norma agama, serta norma-norma dalam bergaul sehingga seorang remaja mampu bertingkah laku sesuai dengan norma yang ada di masyarakat.

Perkembangan remaja juga dapat dipengaruhi oleh lingkungannya baik pengaruh positif maupun negatif, maka peran orang tua dalam membimbing dan mengarahkan remaja sangat dibutuhkan agar mereka tidak menyebabkan konflik lainnya.

2.2.3 Pengertian, Fungsi Pekerjaan Sosial dengan Anak dan Peran Pekerja Sosial

2.2.3.1 Pengertian Pekerjaan Sosial dengan Anak

Zastrow (dalam Adi Fahrudin, 2012:60), menyebutkan Pekerjaan Sosial merupakan, “Professional activities to help individuals, groups or communities to enhance or improve their ability to function socially and to create the conditions that allow their communities achieve goals). Dalam lingkup global International

(22)

Federation of Social Work (IFSW) dalam Conference Social Work Global Agenda 2020 -2030 menyatakan bahwa:

Pekerjaan sosial adalah profesi berbasis praktik dan disiplin akademis yang mempromosikan perubahan dan pengembangan sosial, kohesi sosial, dan pemberdayaan dan pembebasan orang. Prinsip-prinsip keadilan sosial, hak asasi manusia, tanggung jawab kolektif, dan penghormatan terhadap perbedaan merupakan hal yang sentral dalam pekerjaan sosial. Praktik Pekerjaan Sosial. Didukung oleh teori pekerjaan sosial, ilmu sosial, humaniora dan pengetahuan asli, pekerjaan sosial melibatkan orang dan struktur untuk mengatasi tantangan kehidupan dan meningkatkan kesejahteraan.

Pada konteks Indonesia, pengertian pekerjaan sosial diatur dalam Undang- Undang 14 Tahun 2019 Tentang Pekerjaan Sosial yang menegaskan bahwa Praktik Pekerjaan sosial merupakan pelaksanaan profesi pertolongan yang telah direncanakan dan berkelanjutan agar tidak menimbulkan disfungsi sosial, serta adanya perbaikan dan peningkatan pada keberfungsian sosial seluruh pihak baik perseorangan, keluarga, kelompok, maupun Masyarakat.

Berdasarkan definisi pekerjaan sosial tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pekerjaan sosial yaitu suatu profesi pertolongan profesional yang membantu individu, kelompok, maupun masyarakat bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan keberfungsian sosial mereka.

Sejalan dengan pengertian pekerjaan sosial secara umum, pekerjaan sosial anak sebagai kekhususan dari pekerjaan sosial menyasar anak dalam lingkungan sosialnya Ashman, Kirst & Karen dalam Ellya Susilowati, 2020). Frost dan Patron (dalam Ellya Susilowati, 2020:3) menyatakan bahwa Praktik pekerjaan sosial dengan anak mempunyai kaitan dengan Konvensi Hak Anak (KHA). KHA fokus

(23)

terhadap pemenuhan hak anak seperti hak identitas, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial anak, pengasuhan dan perlindungan anak.

Terdapat tantangan, pengetahuan, dam keterampilan khusus pada bidang pekerjaan sosial dengan anak (O’Loughlin et. al, 2008; Steve Rogowski, 2012).

Dalam bidang ini pekerja sosial harus menghadapi tantangan berupa kesiapan untuk bekerja dengan berbagai macam karakter kelompok anak dan keluarga mereka, dari bayi hingga remaja, dengan pengasuh termasuk orang tua tunggal maupun keluarga lengkap dan pengasuh alternatif. Pekerja sosial juga harus mampu menghadapi tantangan lainnya saat bekerja di bidang kesejahteraan anak, yaitu terdapat tuntutan agar dapat menjalin kerja sama dengan kelompok profesional lainnya, seperti psikolog, aparat penegak hukum, petugas medis, pendidik, tokoh masyarakat, tokoh agama maupun dengan organisasi sosial dimana tempat anak tinggal.

Pekerja sosial juga harus memiliki pengetahuan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan anak seperti perkembangan anak, kelekatan, dan resiliensi anak (IFSW, 2001; NASW, 2013; Unwin. P & Hogg Rachel, 2012). Tujuannya yaitu supaya pekerja sosial mempunyai ilmu pengetahuan dan pemahaman agar bisa bekerja secara efektif ketika akan menjalankan proses asesmen, intervensi, maupun diskusi Bersama profesi lain saat melakukan manajemen kasus pada anak (Unwin. P & Hogg Rachel, 2012).

Selain tantangan dan pengetahuan, pekerjaan sosial anak juga harus memiliki keterampilan khusus agar dapat menanamkan prinsip-prinsip konveksi hak anak. Ada beberapa keterampilan khusus yang pekerja sosial butuhkan selain

(24)

pelatihan dasar, diantaranya yaitu: (a) Pengalaman dan pengetahuan terkait perkembangan anak; (b) Keterampilan interpersonal supaya bisa menjalin komunikasi bersama anak-anak. Pekerja sosial harus mampu menjadi pendengar oleh anak-anak dan dapat menegakkan hak partisipasi anak. Interaksi dengan anak dapat dilakukan melalui bermain Bersama, menggambar, dan melakukan percakapan dengan anak. Pekerja sosial harus memeriksa terlebih dahulu dalam menilai anak dan tidak boleh menafsirkan sendiri hanya melalui pandangan mereka dalam melihat perilaku maupun Tindakan anak; (c) Wewenang khusus dapat diberikan kepada pekerja sosial dalam menangani anak-anak dan remaja terutama mengenai anak yang mengalami perlakuan tidak menyenangkan yang dilakukan oleh keluarganya. Hal tersebut menjadi salah satu wewenang khusus bagi pekerja sosial apabila harus mengambil tindakan pemindahan pengasuhan dari keluarga inti menjadi pengasuhan alternatif yang diputuskan berdasarkan persetujuan dari pengadilan maupun proses hukum. Wewenang ini harus dilakukan dengan dilandasi oleh kepentingan terbaik pada anak; serta (d) Anak memiliki hak agar dapat mengekspresikan pendapat dan pandangan mereka saat mempertimbangkan anak pada pengasuhan alternatif.

2.2.3.2 Fungsi Pekerjaan Sosial dengan Anak

Pada Peraturan Menteri Sosial no 30 Tahun 2011 menjelaskan terdapat 3 fungsi pekerjaan sosial dalam menangani permasalahan anak, diantaranya yaitu:

1. Fungsi penanganan masalah yaitu pekerja sosial membantu dalam penanganan masalah yang dialami anak dan keluarganya. Hal ini diberikan

(25)

secara langsung terhadap anak dan keluarganya maupun ikut serta dalam perkembangan lembaga kesejahteraan sosial anak.

2. Fungsi pengelolaan sumber yaitu peran pekerjaan sosial untuk melakukan manajemen kasus dan bekerja sama bersama sistem sumber dalam memperkuat pengasuhan oleh keluarga.

3. Fungsi edukasi yaitu pekerja sosial menjelaskan informasi yang akurat kepada keluarga dan masyarakat terkait pengasuhan keluarga dan memberikan peningkatan kapasitas pada keluarga mengenai pengasuhan.

2.2.3.3 Peran Pekerja Sosial dengan Anak

Menurut Luhpuri, et al (2000) terdapat beberapa peran pekerja sosial di panti sosial anak dan remaja, diantaranya yaitu:

1. Fasilitator

Pekerja sosial berperan dalam membantu klien untuk mencapai tujuannya yaitu melalui penyediaan layanan dan fasilitas yang dibutuhkan guna membantu klien untuk mencari solusi terhadap permasalahan yang dialami, pemenuhan kebutuhan, serta menggali dan meningkatkan potensi klien. Lembaga yang berwenang dapat memberikan fasilitas sesuai yang dibutuhkan anak. Pekerja sosial bertanggung jawab agar kebutuhan anak terpenuhi dengan cara memberikan saran kepada lembaga terkait kebutuhan anak-anak yang belum terpenuhi, membantu anak dalam mengakses pendidikan akademik, serta meningkatkan pengetahuan agama mereka.

(26)

2. Mediator

Pekerja sosial berperan sebagai mediator melalui pelayanan mediasi saat anak-anak atau klien yang sedang ditangani mendapat permasalahan dengan pihak lain, baik di luar maupun di dalam lingkungan panti asuhan. Pekerja sosial dalam hal ini berperan sebagai mediator agar dapat membantu dalam penyelesaian konflik melalui cara yang damai serta menumbuhkan pemahaman bersama terhadap pihak-pihak yang saling berselisih.

3. Liaison

Pekerja sosial yang berperan sebagai liaison harus menyampaikan informasi yang sesuai kepada pihak keluarga terkait kondisi anak dan lembaga pelayanan.

Tujuan dari peran ini yaitu supaya keluarga bisa memutuskan secara tepat terkait kepentingan yang terbaik bagi anak. Pekerja sosial harus menyampaikan informasi kepada keluarga secara jelas dan objektif terkait perilaku anak yang melanggar peraturan serta dampak yang ditimbulkan baik bagi anak maupun bagi lembaga. Anak yang membuat kesalahan fatal dan menimbulkan kerugian yang signifikan bagi lembaga dapat dipulangkan ke rumah asalnya. Pada permasalahan tersebut pekerja sosial yang berperan sebagai liaison dapat mengkomunikasikan terhadap pihak keluarga secara jelas dan efektif agar tidak menciptakan konflik baru atau kebingungan dari keluarga. Selain itu pekerja sosial juga harus memberikan pelayanan berupa bimbingan dan dukungan kepada pihak keluarga agar dapat mengatasi situasi tersebut dan memastikan keluarga mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan terbaik anak, serta pemberian pemahaman kepada keluarga agar mereka dapat memberikan dukungan kepada anak di masa

(27)

yang akan datang. Pekerja sosial juga bertangung jawab terhadap kehidupan anak agar mereka mendapatkan lingkungan yang aman dan mendukung baik di dalam maupun di luar lingkungan panti asuhan, serta memastikan agar prinsip-prinsip keadilan dan hak anak terpenuhi.

4. Konselor

Pekerja sosial dalam menjadi konselor dapat memberikan layanan dan bantuin konsultasi kepada anak yang memerlukan tempat untuk berbagi dan bercerita terkait permasalahan yang mereka alami. Pekerja sosial juga dapat memberikan masukan dan Solusi alternatif yang terbaik bagi anak dalam menyelesaikan masalahnya.

5. broker

Pekerja sosial dalam menjalankan perannya sebagai broker bertugas untuk membantu anak dalam menyelesaikan masalah yang mereka alami dengan cara menghubungkan anak terhadap sistem sumber atau lembaga-lembaga terkait yang dapat membantu anak untuk menyelesaikan permasalahannya. Salah satu contohnya yaitu ketika pekerja sosial menghubungkan pihak panti dengan instansi yang berwenang, seperti hubungan dengan puskesmas dan rumah sakit, sekolah, maupun lembaga perlindungan hukum.

2.2.4 Tinjauan Tentang Kontinum Pengasuhan Anak di Indonesia 2.2.4.1 Pengasuhan oleh Orang Tua/Keluarga

Menurut Brooks (dalam Efanke dkk, 2017) pengasuhan yaitu serangkaian aksi dan interaksi yang orang tua lakukan guna memberikan dorongan dan dukungan pada perkembangan anak. Proses pengasuhan tidak hanya dilakukan

(28)

sebagai hubungan satu arah antara orang tua yang mempengaruhi anak, tetapi pengasuhan juga termasuk pada proses interaksi orang tua dan anak yang saling mempengaruhi satu sama lain (efanke dkk, 2017). Ki Hajar Dewantara (dalam Mukni’ah, 2020), mengartikan pengasuhan berasal dari kata “Asuh” yang memiliki arti yaitu pembimbing, pemimpin, serta pengelola, sehingga pengasuh adalah orang yang bertugas membimbing, memimpin, serta mengelola.

Pengasuhan anak menurut Peraturan Pemerintah No 44 Tahun 2017, yaitu sebuah upaya yang dilakukan gar dapat terpenuhinya kebutuhan akan kasih sayang, kelekatan, kesejahteraan, serta keselamatan yang menetap dan berkelanjutan demi kepentingan yang terbaik untuk kehidupan Anak.

Setiap anak memiliki hak agar diasuh oleh orang tuanya, kecuali jika memiliki alasan dan/atau aturan hukum yang memperlihatkan jika pemisahan perlu dilakukan demi kepentingan yang terbaik untuk anak dan menjadi pertimbangan paling terakhir (Pasal 14 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak).

Peraturan Menteri Sosial No 30 Tahun 2011, menegaskan keajiban dan tanggung jawab orangtua untuk: (1) Memberikan pengasuhan, pemeliharaan, Pendidikan, dan perlindungan kepada anak; (2) Memberikan pertumbuhan dan perkembangan anak yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; (3) Melakukan pencegahan agar tidak terjadi perwakinan pada usia anak. Jika orang tua tidak ada, atau tidak jelas keberadaannya, atau karena adanya sebab yang menyebabkan tidak dapa melakukan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab tersebut dapat digantikan oleh keluarganya agar

(29)

dilakukan sesuai dengan ketetapan peraturan perundang-undangan (Pasal 26 Undang-Undang No 23 Tahun 2002)

Peran orang tua dalam memberikan pengasuhan bagi anak yaitu dengan memberikan kebutuhan makanan yang bergizi bagi anak, menanamkan nilai-nilai moral dan agama pada kehidupan, membangun menciptakan kelekatan emosional sebagai dasar keterampilan sosial, memberikan kebutuhan kasih sayang dan rasa aman, mengajarkan perilaku agar saling menyayangi, menghargai, kerja sama, dan bertanggung jawab, serta mendidik anak supaya dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi dan cara mengambil keputusan (Sukiman, 2018).

UU Perlindungan Anak telah mengatur bahwa selain oleh orang tua, pengasuhan anak dapat dilakukan oleh keluarga sedarah menurut yaitu pengasuhan oleh keluarga sedarah dengan garis lurus ke atas maupun ke bawah hingga derajat ketiga, serta keluarga sedarah pada garis menyimpang. Pengasuhan dan pendidikan di keluarga merupakan yang pertama dan utama bagi anak. Anak dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik jika pengasuhan oleh keluarga sesuai dengan tahap perkembangan dan usia anak, serta dapat dilakukan prinsip pengasuhan yang positif (Sukiman, 2018).

2.2.4.2 Pengasuhan Alternatif

Pengasuhan alternatif yaitu pengasuhan kepada anak yang dilakukan oleh pihak selain keluarga inti atau keluarga besar yaitu oleh keluarga pengganti maupun berbasis kelembagaan, yang disebabkan karena keluarga inti tidak mampu dalam memberikan pengasuhan yang terbaik untuk anak. Pengasuhan ini bisa dilakukan oleh orang tua asuh, wali, adopsi, maupun oleh lembaga

(30)

kesejahteraan sosial anak sebagai alternatif terakhir. (Permensos No 30 Tahun 2011 Tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak)

Pengasuhan alternatif dilakukan apabila anak berada dalam beberapa situasi, seperti: (1) Keluarga yang tidak memberikan pengasuhan yang baik maupun lepas dari tanggung jawabnya kepada anak; (2) Anak yang tidak mempunyai keluarga atau keberadaan keluarga dan kerabatnya tidak jelas atau tidak ada yang mengetahui; (3) Anak yang ditelantarkan, mendapat perlakuan salah, menjadi korban kekerasan, eksploitasi, sehingga agar mendapatkan keselamatan dan Kesejahteraan mereka memberikan pengasuhan yang tidak sesuai atau bahkan bertentangan dengan kepentingan terbaik anak; serta (4) Anak yang terpisah dari keluarganya akibat bencana, baik berupa konflik sosial atau bencana alam (Peraturan Menteri Sosial No 30 Tahun 2011 Tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak).

Pengasuhan alternatif terbagi menjadi dua yaitu pengasuhan berbasis keluarga pengganti dan pengasuhan melalui kelembagaan yang dijelaskan sebagai berikut:

A. Pengasuhan Alternatif berbasis keluarga pengganti

Menurut Peraturan Menteri Sosial No 30 Tahun 2011 Tentang tandar Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak, pemerintah mengidentifikasikan pengasuhan alternatif berbasis keluarga melalui orang tua asuh, perwalian, dan adopsi. Pengasuhan alternatif berbasis keluarga melalui orang tua asuh (fostering) yaitu pengasuhan yang bersifat sementara.

(31)

Apabila orang tua, keluarga besar, maupun kerabat anak telah diasesmen dan hasilnya dapat memberikan pengasuhan kembali kepada anak atau jika anak sudah mendapat solusi pengasuhan yang lebih permanen maka anak tidak lagi berada pada orang tua asuhnya.

Orang tua asuh yaitu suami istri maupun orang tua tunggal selain keluarga yang mendapatkan kewenangan untuk dapat memberikan pengasuhan kepada anak yang sifatnya sementara. Sedangkan anak asuh yaitu anak yang diasuh oleh orang tua asuh atau lembaga untuk mendapatkan bimbingan, perawatan, pemantauan kesehatan, pemeliharaan, dan pendidikan, yang disebabkan karena orang tuanya tidak memberikan jaminan pengasuhan anak secara baik dan wajar (PP No 44 Tahun 2017). Pengasuhan anak yang dilakukan oleh orang tua asuh harus sudah diberikan izin oleh dinas sosial kota/kabupaten setempat berdasarkan usulan oleh lembaga pengasuhan anak.

Pengasuhan alternatif berbasis keluarga melalui perwalian (guardianship) yaitu pengasuhan yang bersifat sementara dengan cara hak asuh anak dipindahkan secara legal kepada orang yang ditunjuk oleh pengadilan sesuai dengan UU No 23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak.

Pengasuhan alternatif berbasis keluarga melalui adopsi atau pengangkatan yaitu pengasuhan yang bersifat permanen. Hal ini artinya keluarga angkat telah mendapat hak asuh secara legal dan tetap. Pengasuhan ini telah diatur pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

(32)

Persyaratan yang harus dimiliki agar dapat menjadi orang tua asuh menurut Peraturan Pemerintan No 44 Tahun 2017 yaitu: (a) Warga negara Indonesia yang memiliki domisili menetap di Indonesia; (b) Memiliki usia minimal 30 (tiga puluh) tahun dan maksimal 55 (lima puluh lima) tahun; (c) Dapat membutikan keterangan sehar fisik dan mentalnya melalui pemeriksaan rumah sakit milik pemerintah pusat atau daerah; (d) Surat keterangan caatatan kepolisian; (e) Menganut agama yang sama dengan agama anak; (f) memiliki kemampuan untuk mengasuh anak dengan baik memalui seleksi dan verifikasi orang tua asuh serta dinyatakan lulus; (g) bersedia menjadi orang tua asuh yang dibuktikan melalui surat pernyataan yang bermaterai; serta (h) Membuat pernyataan tertulis bahwa tidak pernah dan tidak akan melakukan tindak kekerasan, penelantaran, perlakuan yang salah, dan eksploitasi kepada anak maupun memberikan hukuman fisik tanpa alasan apapun meskipun untuk menegakkan kedisiplinan anak yang harus dinyatakan pada surat pernyataan bermaterai dan diketahui oleh RT dan RW atau saksi lain yang ada di lingkungan tempat tinggalnya.

B. Pengasuhan Alternatif Melalui Lembaga

Menurut Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 30 Tahun 2011 Tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak, Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak merupakan lembaga-lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau masyarakat dalam menyelenggarakan pengasuhan anak. Menurut Adi Fahrudin (2012), Lembaga Kesejahteraan Sosial adalah organisasi sosial atau perkumpulan sosial yang

(33)

diselenggarakan oleh lembaga kesejahteraan sosial dimana lembaga tersebut yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, baik dalam bentuk yang tidak berbadan hukum maupun yang berbadan hukum.

Setiap lembaga kesejahteraan sosial yang mewadahi atau menerima anak- anak baik anak terlantar, yatim, yatim piatu dan lain sebagainya dikenal dengan panti asuhan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia, maka semua lembaga kesejahteraan sosial yang menerima dan melakukan pengasuhan terhadap anak dinamakan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). Aturan ini lengkap mengatur tentang prinsip-prinsip pengasuhan alternatif untuk anak, standar pelayanan-pelayanan pengasuhan dan standar dalam pengasuhan, demi menyejahterakan anak.

Kriteria menjadi anak asuh menurut Permensos No 30 Tahun 2011 diantaranya yaitu:

a. Anak yang tidak mendapatkan pengasuhan yang memadai dari keluarga sehingga tidak mendapatkan dukungan yang sesuai, diabaikan, maupun keluarga yang lepas tanggung jawab terhadap anaknya.

b. Keluarga maupun kerabat dari anak tidak diketahui keberadaannya.

c. Anak yang keselamatan dan kesejahteraan dirinya terancam yang disebabkan karena menjadi korban kekerasan, mendapat perlakuan yang salah, ditelantarkan, atau dieksploitasi sehingga keluarga memberikan pengasuhan yang tidak sesuai maupun bertentangan dengan Kebutuhan anak.

d. Anak yang mengalami keterpisahan dari keluarganya baik disebabkan oleh konflik sosial atau bencana alam.

(34)

1. Prinsip-Prinsip Pelayanan Anak di Lembaga

Compton and Galaway (dalam Shintia, 2018) mengemukakan prinsip pekerja sosial dalam memberikan pelayanan kepada anak panti asuhan sebagai berikut:

a. Menjunjung tinggi harkat dan martabat anak

Setiap manusia memiliki harkat dan martabat. Memberikan pelayanan kepada anak harus menjunjung tinggi harkat dan martabat anak. Pekerja sosial harus dapat menjaga pandangan anak dari pihak luar atau masyarakat sehingga masyarakat tidak memandang rendah dan lemah terhadap anak. Anak berhak menentukan pilihan bagi dirinya sendiri. Pekerja sosial harus dapat memahami bahwa klien adalah orang yang mengalami masalah tanpa harus menyudutkan atau menghakimi klien. Anak harus dihargai agar merasa harkat dan martabatnya tidak diabaikan.

b. Memperlakukan secara adil melaksanakan hak asasi anak

Hak asasi manusia merupakan suatu hak yang melekat pada diri manusia yang sangat mendasar dan mutlak diperlukan agar manusia berkembang sesuai bakat dan cita-cita. Anak merupakan salah satu pihak yang rentan mengalami pelanggaran hak asasi sehingga perlunya memberikan hak anak, perlakuan adil kepada anak dan segala yang menyangkut anak harus dipertimbangkan yang utama untuk menjamin kelangsungan hidup serta perkembangannya, dan memperhatikan pendapat atau perasaan anak dalam pengambilan keputusan.

(35)

c. Pemaknaan diri

Pekerja sosial dapat mengupayakannya dengan melakukan komunikasi dengan anak. Kegiatan komunikasi tersebut berupaya untuk memberikan motivasi-motivasi kepada anak-anak panti yang secara umum hampir kehilangan semangat dan tujuan hidup atas masalah yang dialaminya. Motivasi akan membantu klien membuka pemikiran yang baru agar mereka tidak merasa kecil hati menjadi anak panti dan tetap memiliki semangat dalam melanjutkan kehidupannya.

d. Suasana kekeluargaan

Pekerja sosial dapat menciptakan suasana kehidupan dalam panti yang bersifat kekeluargaan. Panti asuhan merupakan lembaga yang membantu perkembangan anak-anak yang tidak memiliki keluarga atau tidak tinggal bersama keluarga sehingga perlu terciptanya hubungan antara anak-anak panti dengan ibu pengasuh dan pekerja sosial yang harmonis layaknya keluarga. Pekerja sosial harus menjadi orang yang dipercaya oleh anak-anak agar anak merasa aman, disayangi, dicintai, dan diperhatikan.

e. Pelayanan tambahan

Bervariatifnya masalah sosial yang dialami anak panti tentu memerlukan pelayanan tambahan dari profesi lain. Dalam hal ini setiap panti asuhan mendapatkan beberapa pelayanan sesuai dengan kebutuhan akan penanganan masalah anak. Pekerja sosial memiliki keterbatasan dalam penanganan anak ini membutuhkan teori, pendekatan bahkan peran dari pada disiplin profesi lainnya seperti psikolog, tenaga kesehatan, dan sebagainya.

(36)

Prinsip pekerja sosial dengan anak menjadi salah satu dasar bagaimana pekerja sosial memberikan pelayanan kepada anak, dengan memperhatikan prinsip pekerjaan sosial dengan anak yang meliputi menjunjung tinggi harkat dan martabat anak, memperlakukan secara adil hak asasi anak, pemaknaan diri anak, suasana kekeluargaan, dan pelayanan tambahan dengan disiplin profesi lain akan memberikan layanan yang komprehensif terhadap anak.

2. Standar Nasional Pengasuhan Anak (SNPA)

Standar nasional pengasuhan anak untuk lembaga kesejahteraan sosial anak diatur pada Peraturan Menteri Sosial No 30/ HUK/ 2011. SNPA adalah instrumen penting yang mengatur kebijakan terkait pengasuhan alternatif bagi anak. Peraturan ini perlu di buat supaya prosedur dan tata cara pengasuhan yang dilakukan oleh lembaga kesejahteraan sosial anak sesuai dengan kerangka kerja nasional pada pengasuhan alternatif bagi anak dan lembaga-lembaga tersebut dapat saling bekerja sama dengan tepat.

Standar pengasuhan untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak ini bertujuan agar hak-hak anak dapat dipenuhi dengan mendapat mengasuhan di keluarganya; terdapat pedoman atau panduan bagi lembaga kesejahteraan sosial anak untuk melakukan perannya menjadi alternatif terkahir pada pengasuhan anak; memberikan pelayanan secara langsung dalam memberikan dukungan terhadap keluarga yang memiliki tantangan terkait pengasuhan anak; memberikan dukungan terhadap pengasuhan alternatif berbasis keluarga melalui keluarga/

orang tua asuh, perwalian, maupun adopsi; dan memberikan fasilitas kepada instansi yang berwenang agar dapat mengembangkan sistem pengelolaan lembaga

(37)

kesejahteraan sosial anak yang disesuaikan dengan kebutuhan anak dan keluarganya, baik dalam mengambil keputusan mengenai pengasuhan, izin mendirikan lembaga kesejahteraan sosial anak, serta melakukan monitoring dan evaluasi hasil kinerja lembaga kesejahteraan sosial anak.

Menurut Peraturan Menteri Sosial No 30/ HUK/ 2011, Standar tentang Peran Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak dalam Pelayanan Bagi Anak, yaitu sebagai berikut:

a. Peran lembaga kesejahteraan sosial anak yaitu memberikan dukungan pada pengasuhan anak oleh keluarga dan melayani anak yang memerlukan pengasuhan alternatif. Lembaga kesejahteraan sosial anak menjadi pilihan terakhir dalam pemberian pengasuhan alternatif.

b. Lembaga kesejahteraan sosial anak memberikan pencegahan supaya anak tidak terpisah dari keluarganya maupun ditempatkan di lembaga kesejahteraan sosial anak. Lembaga kesejahteraan sosial anak juga dapat memberikan fasilitas bantuan baik materil maupun non materil kepada anak serta memberikan akses dan rujukan pada lembaga yang memfasilitasi layanan kepada keluarga rentan.

c. Lembaga kesejahteraan sosial anak menjadi pihak yang menerima rujukan untuk anak yang memerlukan pengasuhan alternatif tetapi tidak aktif dalam melaksanakan rekrutmen anak-anak pada kelompok yang tidak memerlukan pengasuhan alternatif.

d. Lembaga kesejahteraan sosial anak harus membuat asesmen secara keseluruhan pada tiap anak yang dirujuk ke lembaga kesejahteraan sosial

(38)

anak agar dapat mengetahui isu-isu yang dialami anak dan kondisi keluarga serta menganalisis solusinya. Asesmen ini diterapkan oleh pekerja sosial yang menyokong penerapan tugas di lembaga kesejahteraan sosial anak bekerja sama dengan dinas sosial maupun instansi yang memberikan layanan di bidang sosial.

e. Lembaga kesejahteraan sosial anak dapat menerapkan asesmen untuk mengetahui terkait hambatan yang terjadi di keluarga jika isu utamanya yaitu mengenai pengasuhan, namun jika permasalahannya mengenai kurang atau tidak ada keinginan dan kemampuan untuk pengasuhan maka dapat diberikan layanan berbasis keluarga sehingga kapasitas dan keberfungsian keluarga dalam pengasuhan dapat meningkat. Lembaga kesejahteraan sosial anak dapat mengidentifikasi keluarga besar yang dapat melakukan pengasuhan anak dengan baik apabila anak tidak memungkingkan jika harus dikembalikan kepada keluarga intinya, namun jika keluarga besar juga tidak memungkinkan maka LKSA dapat bekerja sama dengan dinas sosial atau instansi sosial untuk mencari pengasuhan alternatif berbasis keluarga pengganti melalui orang tua atau keluarga asuh, perwakilan, maupun adopsi. Lembaga kesejahteraan sosial bandung dapat menjadi pengasuhan alternatif terakhir apabila pngasuhan altrnatif berbasis keluarga tidak dapat diterapkan.

f. Lembaga kesejahteraan sosial anak dapat memberikan rujukan kepada lembaga yang mempunyai kewenangan agar dilakukan intervensi perlidungan jika terdapat anak yang mengalami permasalahan terkait perlindugan khusus seperti penelantaran maupun kekerasan atau eksploitasi. Penempatan anak d

(39)

LKSA pada kasus seperti ini hanya bersifat sementara atas persetujuan instansi terkait yang bertujuan untuk memberikan keamanan dan kesejahteraan diri anak selama penanganan isu dan pencarian Solusi jangka Panjang.

g. Keluarga yang tidak mampu memberikan pengasuhan akibat ketidakmampuan ekonomi maka lembaga kesejahteraan sosial anak dapat memberikan layanan berupa dukungan baik finansial maupun pemberdayaan keluarga secara ekonomi dan membantu keluarga agar dapat mendapat akses terhadap program bantuan sosial yang diadakan pemerintah.

h. Keluarga yang ingin menempatkan anak di lembaga kesjahteraan sosial anak dngan alasan tidak mampu memberikan kebutuhan pendidikan hal ini tidak dapat dibenarkan, jika terdapat kasus seperti ini maka lembaga kesejahteraan sosial anak dapat memberikan layanan berupa bantuan akses terhadap pendidikan seperti transportasi dan perlengkapan sekolah.

2.3 Kerangka Berpikir

Keterampilan sosial anak dapat diukur melalui 4 (empat) aspek yaitu komunikasi efektif, interaksi, bekerja sama, dan motivasi. Aspek tersebut dapat digunakan untuk melihat apakah keterampilan sosial anak yang berada di lembaga kesejahteraan sosial anak termasuk dalam kategori sangat baik, baik, sedang, tidak baik, dan sangat tidak baik.

(40)

Susunan kerangka berpikir tersebut yaitu sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Gambar 2.1 merupakan kerangka berpikir yang peneliti susun pada penelitian ini yaitu berawal dari sistem pengasuhan anak yang paling utama yaitu orang tua atau keluarga inti, jika keluarga inti tidak memungkinkan/ tidak mampu memberikan pengasuhan maka selanjutnya akan dilakukan oleh keluarga besar.

Jika keluarga besar juga tidak dapat memberikan pengasuhan maka pemerintah beserta instan terkait akan membantu memberikan pengasuhan berbasis keluarga pengganti melalui orang tua asuh/ perwalian/ maupun adopsi. Kemudian jika keluarga pengganti juga tidak dapat dilakukan maka alternatif terakhir yaitu pengasuhan oleh lembaga kesejahteraan sosial anak baik bersifat sementara atau

(41)

selamanya akan disesuaikan dengan hasil asesmen permasalahan yang dialami anak.

Pemahaman terhadap sistem pengasuhan merupakan hal yang sangat sangat penting dan akan berguna bagi peneliti dalam menganalisis hasil penelitian.

Seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya, anak sejatinya diasuh oleh orang tua atau keluarga. Meskipun orang tua dan keluarga juga tidak dapat sepenuhnya memberikan jaminan akan berkembangnya keterampilan sosial anak yang optimal namun opsi pengasuhan di lembaga tetap merupakan alternatif terakhir. Namun karena berbagai alasan, saat anak terpaksa diasuh di lembaga maka kemungkinan hal tersebut akan berdampak pada pengembangan ketarampilan sosialnya. Peneliti memang tidak akan meneliti tentang pengaruh pengasuhan di panti terhadap keterampilan sosial anak, namun latar belakang pengasuhan di lembaga sekurang- kurangnya akan menjadi bagian yang diungkapkan peneliti dalam penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengatur kualitas pelayanan panti asuhan, Kementrian Sosial bekerja sama dengan Save the Children , telah menyusun Standar Pengasuhan Nasional Pengasuhan untuk

“Panti asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak telantar dengan

1) Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak harus bekerjasama dengan Instansi/Dinas Sosial untuk mencari keluarga pengganti yang bisa memberikan pengasuhan melalui sistem

“Kesejahteraan sosial adalah sistem yang terorganisir dari usaha-usaha dan lembaga-lembaga sosial yang ditujukan untuk membantu individu maupun kelompok dalam mencapai standar

Tujuan pembangunan kesejahteraan sosial adalah tercapainya kondisi kesejahteraan sosial yang adil dan merata serta berjalannya suatu sistem kesejahteraan sosial yang

Meninjau beberapa penelitian sebelumnya, tujuan pengasuhan di panti asuhan untuk memberikan kesejahteraan yang sulit didapatkan anak di keluarga asal (Kementerian Sosial RI,

Sedangkan, Menurut Depsos RI (2004: 4), Panti Sosial Asuhan Anak adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan

Hambatan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak dalam pelaksanaan pengasuhan anak adalah pemenuhan kewajiban di LKSA Kota Pekalongan, hambatan berupa minimnya ketersediaan anggaran, anak