• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kebosanan kerja

N/A
N/A
Muhammad Pringgo Prayetno

Academic year: 2023

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kebosanan kerja"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebosanan kerja 1. Pengertian Kebosanan Kerja

Pengertian dari kata kebosanan menurut Gray (2001), yakni suatu keletihan psikologis yang memiliki ciri-ciri antara lain hilangnya minat terhadap pekerjaan, menurunnya semangat kerja, adanya ketidakpuasan di dalam bekerja, dan keinginan untuk mencapai tujuan menjadi berkurang.

Anoraga (1998) mendefinisikan kebosanan kerja sebagai kelelahan psikologis yang secara umum merupakan ungkapan dari perasaan yang tidak mengenakan yang diiringi oleh perasaan resah dan lelah yang menguras minat dan tenaga.

Penyebab utama dari terjadinya kebosanan kerja adalah karena individu tidak dapat berkonsentasi. Kebosanan di dalam pekerjaan yang secara luas diakui sebagai efek samping yang tidak diinginkan dikarenakan kebosanan dalam mengerjakan pekerjaan yang berulang-ulang. Dalam pengerjaannya yang berulang-ulang dapat menimbulkan kebosanan dan hilangnya konsentrasi dalam pekerjaan tersebut. Kebosanan yang terjadi dalam waktu singkat tidak akan memberikan pengaruh namun kemungkinan buruk yang terjadinya adalah bila berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini dapat menyebabkan stres bagi pegawai yang mengakibatkan dampak pada kinerja yang akan menurun (Leksono, 2014)

(2)

Individu yang mengalami kebosanan kerja akan merasakan konflik antara keterpaksaan untuk mengerjakan pekerjaan yang menjemukan dan keinginan untuk berpindah pada aktivitas atau kegiatan yang lebih menarik.

Beberapa dampak yang akan terjadi karena kebosanan kerja adalah para pegawai akan seringkali berbicara dengan rekan sekerjanya untuk mengurangi kebosanan di dalam bekerja, padahal hal tersebut tentu saja akan menghambat pelaksanaan pekerjaan yang sedang dilakukan. Menurut Anoraga (1998), seorang pekerja yang merasa sangat bosan atau jenuh dengan pekerjaannya akan mengakibatkan munculnya suatu ketegangan dan menjadi cepat marah.

Schultz dan Schultz (1994) mendefinisikan bahwa kebosanan kerja adalah reaksi dari aktivitas kerja yang bersifat repetitif dan tidak menarik bagi individu yang menjalankan pekerjaan yang bersifat repetitif, maka individu tersebut melakukan gerakan yang sama secara berulang-ulang. Lebih lanjut Schultz dan Schultz (1994) menjelaskan bahwa kebosanan kerja dapat mengakibatkan penurunan semangat kerja. Pendapat yang dikemukakan oleh Papu (2002) tidak jauh berbeda dengan Schultz dan Schultz tersebut di atas yang menegaskan bahwa kebosanan kerja akan mengakibatkan stres dan depresi apabila tidak segera ditanggulangi.

Nitisemito (1996) mengemukakan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara kebosanan kerja dengan kelelahan kerja. Hal tersebut berarti bahwa kebosanan kerja dapat menyebabkan kelelahan kerja, sebaliknya kelelahan kerja juga dapat menyebabkan kebosanan kerja.

(3)

Berdasarkan pengertian di atas maka peneliti menyimpulkan bahwa kebosanan kerja merupakan reaksi kompleks dari pelaksanaan kerja yang bersifat monoton, berulang-ulang dan dirasa tidak menarik lagi sehingga timbul perasaan resah, lelah dan kehilangan minat terhadap aktivitas yang dulu disukai.

1. Aspek Kebosanan Kerja

Reijseger dkk (Anas, 2017) mengadaptasi alat ukur kebosanan kerja dengan mengacu pada skala kebosanan yang bersifat umum (general boredom), yang telah ada sebelumnya yaitu Boredom Proneness Scale dan Job Boredom Scale merujuk pada lima perasaan, pemikiran dan (non) perilaku umum yang terjadi ketika individu merasakan kebosanan kerja, yaitu :

(1). Persepsi terhadap perjalanan waktu (2). Perasaan bosan

(3). Perasaan gelisah dan tidak tau ingin melakukan apa (4). Terlibat dalam tugas-fikiran yang tidak terkait, dan

(5). Kecenderungan untuk melakukan tugas yang tidak berhubungan.

Penelitian ini mengacu pada hasil indikator kebosanan kerja yang dikemukakan oleh Reijseger dkk (2013).

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebosanan Kerja

Pardede (2009) mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya kebosanan kerja adalah bekerja dalam pekerjaan yang monoton dan kurangnya motivasi terhadap pegawai.

(4)

Menurut Fisher (1993), ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebosanan kerja, yakni sebagai berikut :

a. Efek utama tugas terhadap kebosanan

Kajian mengenai desain kerja memberikan pemahaman baru terkait karakteristik tugas yang mengikat atensi pegawai. Tugas-tugas dengan karakteristik yang tinggi dalam variasi ketrampilan, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi, dan umpan balik memiliki peluang lebih kecil untuk menyebabkan kebosanan. Tugas yang bersifat administratif dalam proses organisasi disebut sebagai jenis tugas yang paling sering dikaitkan dengan kebosanan kerja (Johnsen, 2016).

Tugas-tugas dengan karakteristik yang tinggi dalam variasi ketrampilan, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi, dan umpan balik memiliki peluang lebih kecil untuk menyebabkan kebosanan. Tugas yang bersifat administratif dalam proses organisasi disebut sebagai jenis tugas yang paling sering dikaitkan dengan kebosanan kerja (Johnsen, 2016).

Ada tiga kategori tugas yang seringkali dapat menyebabkan kebosanan kerja, yaitu quantitative underload, qualitative underload, dan qualitativ overload. Pada beberapa individu menyatakan bosan ketika individu tidak mengerjakan sesuatu dalam suatu periode sibuk dimana individu terbiasa dengan aktivitas yang padat. Di sisi lain, individu juga dapat merasakan bosan terhadap tugas yang sederhana, repetitif, memiliki tuntutan mental yang rendah, tidak menantang, tidak menggunakan ketrampilan yang dimiliki individu, atau membutuhkan pemantauan untuk peristiwa yang jarang. Tugas yang memiliki beban yang berlebihan secara kualitatif juga

(5)

dapat menyebabkan kebosanan. Tingkat kesulitan tantangan, baik terlalu sulit maupun terlalu mudah, dibutuhkan di dalam sebuah tugas untuk mengikat dan menopang atensi.

b. Efek utama lingkungan kerja terhadap kebosanan

Intensitas kebosanan baik tinggi maupun rendahnya dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dua aspek lingkungan kerja yang dapat mempengaruhi kebosanan kerja mencakup individu lain dan pengaruh organisasi.

1) Pengaruh orang lain

Kebosanan dan sifat yang membosanankan di tempat kerja berdasarkan kajian dari literatur terdahulu berasumsi bahwa kehadiran individu lain akan meningkatkan stimulasi dan menurunkan kebosanan. Di sisi lain terdapat kajian yang menunjukkan bahwa kehadiran individu lain dapat meningkatkan physiological arousal, dan seringkali menyebabkan keuntungan kecil dalam kecepatan kinerja individu dalam tugas yang sederhana. Beberapa individu merasakan bosan di tempat kerja akibat rekan kerja yang tidak menarik, tidak bersahabat, dan tidak komunikatif.

2) Pengaruh organisasi

Aturan-aturan organisasi yang melarang aktivitas berbincang, menentukan prosedur kerja yang kaku, atau istirahat yang terbatas dapat berkontribusi terhadap kebosanan kerja secara langsung dengan mengurangi jumlah dan variasi yang tersedia di lingkungan kerja. Secara tidak langsung, tekanan dan kontrol organisasi dapat

(6)

mempengaruhi penilaian situasi sebagai situasi yang membosankan dengan memproduksi reaksi psikologi. Pada dasarnya setiap pekerjaan memaksakan batasan tertentu pada kebebasan pemangku jabatan untuk memilih aktivitas, lokasi , dan perilaku. Hal tersebut membuat individu terbatas dalam melakukan aktivitas yang menyebabkan pekerjaan terlihat kurang menarik, lebih sulit untuk memusatkan perhatian/atensi, dan akhirnya lebih membosankan.

c. Efek utama diri individu terhadap kebosanan

Pendekatan ini mempertimbangkan beberapa perbedaan individu yang dapat memiliki efek utama dalam pengalaman kebosanan yang mencakup aspek kapasitas, kepribadian, dan kesehatan mental.

d. Kesesuaian diri dan situasi dengan kebosanan.

Individu memiliki kecenderungan untuk mengubah minat dan kebutuhan yang dimiliki, di sisi lain situasi yang tidak sesuai dengan minat dan dan kebutuhan individu akan menimbulkan kebosanan yang lebih tinggi dibandingkan jika minat dan kebutuhan tersebut dipenuhi.

Situasi dapat menjadi kompleks dan memberikan stimulus secara objektif, namun tidak menjadi menarik atau bermakna pada individu tertentu di waktu tertentu.

Sedangkan menurut Mael dan Jex (2015) faktor-faktor yang mempengaruhi kebosanan kerja melalui tiga pendekatan, yaitu : Pendekatan tradisional, pendekatan kontemporer dan pendekatan integratif.

Penjabarannya adalah sebagai berikut:

(7)

a. Pendekatan tradisional

Kebosanan kerja dalam sudut pandang tradisional menegaskan bahwa penyebab utama kebosanan adalah tingginya tingkat repetitif dan monoton suatu tugas yang membuat tujuan menjadi kabur sehingga mengarahkan individu kepada kebosanan yang berkelanjutan.

Berdasarkan sudut pandang ini, cara utama dalam mengurangi kebosanan adalah melalui intervensi yang didesain untuk mengubah konten pekerjaan seperti pemerkayaan tugas, perluasan tugas, dan peningkatan partisipasi dalam pembuatan keputusan. Kebosanan dapat menjadi satu hal yang tak terhindarkan dan dapat diimbangi dengan memperbolehkan pegawai menggunakan berbagai macam pengalihan yang bersifat menghibur. Hal tersebut dapat mencakup mendengarkan musik (Rahayu, 2013; Riyadi, 2002) atau menambahkan stimulus visual di tempat kerja seperti poster dinding dan pewarnaan tempat kerja yang lebih variatif. Namun bagaimanapun, kelonggaran yang diberikan ini dapat mengalihkan pegawai dan menghambat produktivitas pegawai.

Sudut pandang tradisional tidak berasumsi bahwa pegawai membawa pandangan bosan dari dunia luar ke tempat kerja, namun lebih menitikberatkan sudut pandang pegawai sebagai korban dari sistem kerja yang ada.

Pendekatan tradisional juga menekankan bahwa konten pekerjaan akan menentukan tingkat kebosanan pada pegawai. Sebagai contoh, Mael dan Jex (2015) menjabarkan analisis dari beberapa hasil penelitian terkait perbandingan pekerjaan sektor pelayanan dengan pabrikan

(8)

(operasional manufaktur). Tugas operasional manufaktur dicirikan dengan tingkat repetitif tugas yang tinggi yang diasosiasikan dengan kebosanan di tempat kerja. Di sisi lain, walaupun memiliki stresor unik tersendiri, pegawai yang bekerja pada sektor pelayanan secara umum mengalami aktivitas yang lebih variatif, menggunakan keterampilan yang lebih luas, memiliki keterikatan interpersonal yang lebih kolaboratif di pekerjaan dengan rekan kerja/klien, dan memiliki kesempatan yang lebih besar dalam membuat perbedaan yang bermakna.

b. Pendekatan kontemporer.

Pendekatan kontemporer menekankan bahwa kebosanan juga dapat dipengaruhi faktor lain selain dari karakteristik pekerjaan itu sendiri. Berdasarkan pendekatan ini, kebosanan kerja dapat disebabkan tiga faktor, yaitu (1) penggunaan teknologi informasi, (2) harapan pegawai terhadap pekerjaan, dan (3) perbedaan individu. Kebutuhan individu terhadap teknologi informasi kian tinggi dan menjadikan individu semakin sulit terpisah dengan gadget. pegawai yang sering menggunakan teknologi informasi rentan terkena kebosanan akibat terbatasnya akses yang dimiliki di tempat kerja. Selain hal tersebut, salah satu penyebab kebosanan adalah harapan yang tidak realistis bahwa seluruh pengalaman kerja dapat dan seharusnya menjadi menarik.

Mikulas (Mael & Jex, 2015) menyebutkan bahwa kepasifan, yakni duduk di balik meja dan berharap dihibur oleh dunia dan hal lain, merupakan penyebab utama kebosanan.

(9)

Pendekatan kontemporer menegaskan bahwa walaupun pekerjaan telah diubah untuk mengurangi kebosanan, masih terdapat kemungkinan bahwa harapan pegawai terkait kualitas dan kebermaknaan kerja melebihi perubahan aktual tersebut. Faktor terakhir penyebab kebosanan menurut pendekatan kontemporer adalah adanya kecenderungan terhadap kebosanan (boredom proneness). Ada kecenderungan terhadap kebosanan yang bersifat eksternal dan internal. Individu dengan kecenderungan bosan yang eksternal cenderung menganggap lingkungan memiliki stimulus yang rendah, sedangkan individu dengan kecenderungan bosan internal memiliki ketidakmampuan menyibukkan diri sendiri ataupun menciptakan lingkungan yang menarik dan menyenangkan.

c. Pendekatan integratif

Sebelumnya telah dibahas pendekatan tradisional dan pendekatan kontemporer, namun dalam kajian lebih lanjut disimpulkan bahwa kunci untuk memahami dan menurunkan kebosanan adalah dengan menciptakan model kebosanan kerja yang mencakup karakter lingkungan kerja dan karakter pegawai. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mercer-Lynn, Bar, dan Eastwood (2014) yang menjelaskan bahwa kebosanan dipengaruhi oleh faktor individu termasuk usia (Sohail, Ahmad, Tanveer, & Tariq, 2012) maupun faktor situasi. Dalam model ini terdapat lima pernyataan penting yang perlu dipahami, yaitu (1) Karakteristik dari tugas pegawai, lingkungan sosial tempat kerja, dan lingkungan fisik di tempat kerja memiliki dampak langsung terhadap

(10)

pengalaman kebosanan kerja, (2) pegawai yang memiliki kecenderungan kebosanan yang tinggi dan ekspektasi yang tinggi terhadap konten pekerjaan yang dimiliki akan cenderung mengalami kebosanan kerja pada tingkat yang lebih tinggi, (3) pegawai yang menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dalam penggunaan teknologi informasi cenderung lebih mudah mengalami kebosanan kerja jika dibandingkan dengan pegawai yang memiliki tingkat yang lebih rendah dalam penggunaan teknologi informasi, (4) Hubungan antara karakteristik lingkungan kerja dimoderatori oleh karakteristik pribadi, misalnya dampak karakteristik kerja terhadap kebosanan akan lebih kuat pada individu yang memiliki kecenderungan bosan dan ekspektasi yang tinggi, dan (5) Hubungan antara karakteristik lingkungan kerja akan dimoderatori oleh penggunaan teknologi informasi, misalnya dampak karakteristik pekerjaan akan lebih kuat pada individu yang merupakan pengguna berat teknologi informasi.

2. Pelatihan Kebermaknaan Kerja 1. Pengertian Kebermaknaan Kerja (Meaning of work)

Kebermaknaan kerja atau “meaning” merupakan suatu nilai yang dianut seorang individu yang tercermin lewat pilihan perilaku tertentu, dimana orang tersebut berpandangan bahwa perilaku tersebut in urge, freedom to choose merupakan hal yang baik dan berharga, dimana dalam human motivation model, disebutkan bahwa “meaning” merupakan sumber penting dalam memotivasi seorang manusia, selain urge, freedom to choose, challenge dan insentive (Riyono, 2012).

(11)

May, Gilson & Harter (2004) menyebutkan, bahwa kebermaknaan kerja merupakan suatu nilai dari tujuan pekerjaan itu sendiri, dimana tiap individu memiliki standar idealnya masing-masing. Definisi berikutnya dikatakan oleh Rosso, Dekas dan Wrzesnieski (2010), dimana kebermaknaan kerja adalah pengalaman positif yang dialami seorang individu, dimana suatu pekerjaan dinilai memberikan makna yang besar dan sangat positif bagi individu tersebut. Di dalam tulisannya dijelaskan juga, bahwa kebermaknaan kerja berpengaruh terhadap stres kerja.

Miller (2008) berpendapat, bahwa kebermaknaan kerja yaitu terkait dengan kemampuan untuk mencari nafkah yang didasari aspek psikologis, spiritual, dan sosial individu sesuai dengan tujuan individu itu sendiri, dimana jika seseorang menganggap pekerjaannya merupakan suatu pengalaman yang bermakna, maka secara intrinsik akan memotivasi, dan bermanfaat.

Miller (2008) juga menjelaskan, bahwa pekerjaan menjadi cara untuk mengekspresikan tujuan dalam hidup seorang individu.

Chalofsky (2003) menambahkan, bahwa makna bekerja merupakan suatu kontribusi yang signifikan, guna mempertemukan tujuan seseorang dalam hidupnya. Kebermaknaan kerja sangat penting dimiliki seorang pegawai untuk mendukung pelaksanaan kerja dengan semangat dan pandangan yang menjadi dasar spiritualitas seseorang dalam bekerja. Dalam hal ini, suatu pekerjaan akan disebut bermakna karena adanya kesesuaian tugas dengan motivasi diri seorang pegawai, tujuan dan penilaian penghargaan.

(12)

Kebermaknaan kerja ini juga menurut Fairlie (2010), menekankan suatu kondisi yang dapat menciptakan “healthy work” pada pegawai, sehingga dapat mencegah stres, burnout, juga depresi. Kebermaknaan kerja dapat membuat seseorang memiliki kesehatan yang lebih baik, sehingga dapat mengurangi ketidakhadiran pegawai.

Harrison (2008) menjelaskan dalam penelitiannya, bahwa orientasi seseorang untuk bekerja sebenarnya bermacam-macam, dimana bekerja dipandang sebagai pekerjaan, bekerja sebagai sebuah karir, dan bekerja sebagai sebuah panggilan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebermaknaan kerja sendiri memiliki beberapa definisi yang bersifat subjektif pada masing-masing individu, yang menyangkut aktifitas fisik maupun mental. Di satu sisi, pekerjaan dikatakan bermakna bila menghasilkan sesuatu yang sigifikan dalam hal materi ataupun terkait pengembangan bakat seorang individu. Namun yang lebih difokuskan dalam penelitian ini, yaitu terkait kebermaknaan kerja yang timbul dikarenakan seorang individu menganggap pekerjaan tersebut “mulia” dan sarat akan nilai dan bermanfaat bagi dirinya serta orang banyak.

2. Aspek –aspek kebermaknaan kerja

Menurut Riyono (2012), esensi dari kebermaknaan sebenarnya ialah adanya kepercayaan bahwa selalu ada kebaikan dari setiap usaha yang dilakukan, sehingga suatu tantangan akan selalu dihadapi karena adanya keyakinan yang besar pada diri seorang individu. Kebermaknaan itu sendiri

(13)

disebutkan akan terjadi bila dalam suatu perilaku terdapat hal sebagai berikut : Enjoyment, self-efficacy, self-actualization, contribution, dan valence.

Steger (2012a) menjelaskan, bahwa terdapat tiga aspek dari kebermaknaan kerja. Adapun penjelasan ketiga aspek tersebut adalah sebagai berikut :

a. Positive meaning in work

Kebermaknaan kerja sering dianggap sebagai pengalaman yang subyektif, dimana mengandung arti bahwa yang dilakukan memiliki suatu makna bagi individu itu sendiri. Aspek ini menekankan bahwa seseorang menilai pekerjaan mereka penting dan berarti.

b. Meaning making through work

Aspek ini menangkap kontes kebermaknaan yang lebih luas terhadap pekerjaan, dimana pekerjaan membantu seseorang untuk berkembang menjadi manusia yang lebih baik.

c. Greater good motivation

Aspek ini lebih menekankan bahwa suatu pekerjaan dianggap bermakna jika benar-benar memiliki “arti” sehingga memiliki banyak manfaat pada orang lain dan lingkungan.

Selain penjelasan di atas, terdapat teori lain yang menjelaskan kebermaknaan kerja. Menurut teori kantian yang dipaparkan dalam tulisan Bowie (1998), disebutkan bahwa terdapat enam hal yang menjadi karakteristik kebermaknaan kerja, yaitu : 1) Pekerja dapat menjalankan otonomi dan kemerdekaan; 2) Adanya “kebebasan” pada pegawai; 3)

(14)

Pekerja membuat orang dapat mengembangkan diri; 4) upah yang cukup untuk kesejahteraan fisik; 5) Membangun moral pegawai; 6) Pekerjaan yang bermakna membuat seorang pegawai mendapatkan kebahagiaan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, aspek dalam kebermaknaan kerja sebenarnya beragam. Namun dalam penelitian ini, kebermaknaan kerja yang difokuskan pada kebermaknaan kerja yang dipaparkan oleh Steger et al., (2012a) yang menyebutkan bahwa terdapat tiga aspek kebermaknaan kerja yaitu positive meaning in work, meaning making through work, dan greater good motivation.

3. Pelatihan Kebermaknaan Kerja

Menurut Notoatmodjo (2009), pelatihan (training) merupakan bagian dari suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan atau ketrampilan khusus seseorang atau kelompok orang.

Menurut Cumming & Worley (2009), pelatihan merupakan salah satu model intervensi yang dapat digunakan dalam peningkatan efektivitas khususnya pada aspek human resource.

Penelitian ini berupaya menggunakan konsep kebermaknaan kerja yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Steger dkk (2012a) untuk mengurangi kebosanan kerja. Dengan demikian pelatihan kebermaknaan kerja adalah kegiatan yang mendorong individu untuk memperbaiki kemampuan kerja seseorang dalam memahami pengetahuan praktis dan

(15)

penerapannya guna meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, kecakapan, serta sikap seseorang yang diperlukan organisasi dalam mencapai tujuan.

3. Pelatihan Kebermaknaan Kerja dan Kebosanan Kerja Kebosanan kerja merupakan permasalahan yang dapat menghambat tercapainya tujuan organisasi. Kebosanan kerja ialah sebuah sumber frustasi fundamental bagi para pegawai (Bardwick, 1988). Frustasi fundamental yakni ketika kondisi dalam pekerjaan yang tidak seimbang antara harapan dengan kenyataan yang dialami. Gray (2001) mendefinisikan kebosanan kerja sebagai kelelahan psikologis atau reaksi psikologis. Reaksi psikologis ini dapat bersifat positif maupun negatif yang biasa muncul dari ketidaknyamanan kerja dan tugas rutin pegawai. Kebosanan kerja ditimbulkan oleh pekerjaan yang berulang- ulang dan senada sehingga mengakibatkan minat pegawai dan energi bekerja menurun.

Tidak semua individu dapat bertahan dengan jenis pekerjaan yang berulang atau pada pekerjaan yang sama. Pegawai dapat menjadi cepat lelah dalam bekerja, sehingga akan berakibat pegawai tersebut melakukan kesalahan, lamban dalam bekerja dan cenderung bercakap-cakap dalam bekerja.

Kebosanan dalam bekerja merupakan manifestasi dari stres kerja yang menyebabkan produktivitas menurun dan ketidakpuasan kerja (Prihatini, 2008).

Metode tradisional menghadapi kebosanan kerja dengan berfokus pada peningkatan stimulasi dan pilihan di lingkungan kerja (Martin dkk., 2006). Di sisi lain, kebosanan kerja yang ditinjau dari pendekatan kontemporer menjelaskan bahwa kebosanan kerja dipengaruhi harapan pegawai dan perbedaan individu

(16)

(Mael & Jex, 2015). Meskipun pekerjaan telah diubah sebagai upaya mengurangi kebosanan, namun ternyata masih terdapat kemungkinan bahwa harapan pegawai terkait kualitas dan makna pekerjaan melebihi perubahan aktual yang telah dilakukan. Oleh karena itu, strategi yang lebih efektif dalam menghadapi kebosanan kerja adalah lebih berfokus pada penyebab internal kebosanan kerja (Martin dkk., 2006). Cara pegawai merespon stimulus kebosanan kerja merupakan penentu kebosanan yang dialami akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pekerjaan atau tidak.

Kajian terdahulu yang menegaskan hubungan kebermaknaan kerja dengan kebosanan kerja (Fahlman, 2009; Gemmil & Oakley, 1992; Johnsen, 2016) merupakan acuan bagi penelitian ini untuk mencoba menurunkan tingkat kebosanan kerja dengan meningkatkan kebermaknaan kerja pegawai melalui metode pelatihan. Chalofsky (2010) menjelaskan bahwa kebermaknaan kerja merupakan cara individu untuk menunjukkan makna dan tujuan hidup individu melalui aktivitas kerja, yang merupakan aktivitas yang mendominasi waktu produktif individu. Lebih lanjut dijelaskan bahwa bekerja merupakan jalan utama yang memberikan identitas dan alasan untuk bermanfaat sebagai manusia bagi individu. Gemmil dan Oakley (1992) menjelaskan bahwa sikap individu yang menunjukkan ekspresi senyum namun bosan seringkali menjadi cerminan dari tidak adanya diskusi terkait kebosanan sebagai masalah individu yang tidak ingin diakui baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.

Kebosanan dapat terjadi ketika pegawai tidak mampu mengidentifikasi, menemukan, mengenali, menerima, dan menciptakan makna pada kehidupan bekerja dan eksistensi pegawai. Hal penting dalam merencanakan program untuk

(17)

mencegah dan mengatasi kebosanan adalah menentukan hal yang menarik atau bermakna dari pekerjaan bagi individu.

Kebermaknaan kerja pada pegawai diasumsikan dapat ditingkatkan melalui metode pelatihan dengan mengacu pada dimensi kebermaknaan kerja yang dikemukakan oleh Steger dkk yang dikutip dari hasil penelitian sebelumnya (Anas, 2017). Pelatihan kebermaknaan kerja membantu pegawai untuk mampu menilai pekerjaan yang ditekuni sebagai suatu hal yang bermakna. Aktivitas bekerja yang dilakukan individu tidak lagi berorientasi pada pekerjaan sebagai cara mendapatkan materi atau sebagai jalan untuk mendapatkan prestasi dan status, melainkan lebih berorientasi pada „panggilan‟ (calling). Individu dengan orientasi „panggilan‟ memandang pekerjaan yang dimiliki sebagai motivasi intrinsik. Bagi individu yang bekerja dengan berorientasi „panggilan‟, bekerja adalah penyedia makna individu dan bagian utama dari identitas individu. Kerja yang berorietasi pada „panggilan‟ memiliki hubungan yang paling kuat dengan tingkat kebermaknaan individu yang diikuti orientasi karir dan orientasi pekerjaan (Martela, 2010). Beberapa penelitian dengan tema kebermaknaan kerja juga menunjukkan kontribusi makna terhadap aspek-aspek kebosanan, seperti adanya korelasi antara makna dan keterikatan kerja (Fairlie, 2011; Goldenhuys dkk., 2014; Hoole & Bonnema, 2015; Lips-Wiersma & Wright, 2012; May dkk., 2004;

Steger dkk., 2012b; Stringer & Boverie, 2007 dalam Anas 2017).

Pelatihan kebermaknaan juga membantu individu memaknai hidup melalui aktivitas bekerja. Individu yang memiliki tingkat kebermaknaan kerja yang tinggi mampu lebih memahami diri sendiri dan dunia sekitarnya serta mampu melakukan pengembangan diri. Selain itu, pelatihan kebermaknaan kerja juga

(18)

membantu individu untuk mampu mengimplementasikan pemaknaan yang diperoleh dari bekerja ke aspek kehidupan yang lebih luas. Individu terdorong untuk menjadikan proses yang dilalui dalam bekerja sebagai stimulus menciptakan hal positif pada aspek kehidupan yang lain. Melalui pelatihan kebermaknaan kerja diharapkan pegawai mampu untuk lebih memaknai pekerjaan yang dilakukan dan membuat ikatan antara pegawai dan pekerjaan lebih erat sehingga dapat mengurangi tingkat kebosanan kerja yang terjadi.

Pelatihan kebermaknaan kerja menjadi salah satu alternatif bagi organisasi sebagai upaya menurunkan tingkat kebosanan kerja pegawai. Steger (2012a) mengemukakan bahwa kebermaknaan kerja dapat terbentuk dengan adanya pemaknaan yang positif terhadap pekerjaan (positive meaning), kemampuan menciptakan makna melalui pekerjaan (meaning making through work), dan dorongan untuk melakukan hal-hal positif (greater good motivation). pegawai yang memiliki sudut pandang yang positif terhadap pekerjaan yang dimiliki akan cenderung memandang pekerjaan sebagai suatu hal yang sangat berharga dan memberikan makna bagi kehidupan pegawai. Ketika pegawai mampu memandang kehidupan bekerja sebagai suatu bagian yang tidak bisa terlepas dari kehidupan secara umum maka pegawai akan lebih memaknai aktivitas kerja yang dilakukan. Pegawai akan berpandangan bahwa aktivitas yang dilakukan di tempat kerja tidak hanya berpengaruh pada kehidupan kerja pegawai, namun juga berpengaruh pada aspek kehidupan pegawai yang lainnya seperti aspek kehidupan pribadi, sosial, keluarga, dan religi. Selain itu, pegawai dengan motivasi tinggi untuk melakukan hal positif di berbagai aspek kehidupan yang dimiliki cenderung dapat lebih memusatkan atensi yang dimiliki pada aktivitas

(19)

yang mampu mendukung terwujudnya dorongan tersebut. Dengan demikian, pegawai yang mampu memaksimalkan pemaknaan terhadap pekerjaan akan berpeluang lebih besar untuk terhindar dari kebosanan kerja.

Pelatihan kebermaknaan kerja ini didasari oleh hasil penelitian Anas (2017), dimana hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kebermaknaan kerja dapat menurunkan kebosanan kerja.

Pelatihan ini memberi kesadaran pada seseorang untuk mengetahui potensi yang dimilikinya dan menyuntikkan semangat bagi pegawai yang bersangkutan agar dapat bekerja semaksimal mungkin guna mencapai produktifitas kerja yang maksimal, bertahan dengan rutinitas pekerjaan dan tingkat kebosanan menjadi berkurang, sehingga dapat memberikan pelayanan terbaik, berkualitas dan dapat membantu mencapai tujuan lembaga pendidikan menjadi lebih optimal.

4. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah pelatihan kebermaknaan kerja dapat menurunkan tingkat kebosanan kerja pada pegawai di Fakultas Kedokteran Universitas X.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tenaga kerja yang mengalami tekana darah tinggi akan menyebabkan kerja jantung menjadi lebih kuat sehingga jantung membesar. Selanjutnya terjadi sesak napas

Pada tenaga kerja yang mengalami tekanan darah tinggi akan menyebabkan kerja jantung menjadi lebih kuat sehingga jantung membesar. Pada saat jantung tidak mampu mendorong

Komponen yang ketiga yaitu, komponen konatif yang merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki oleh seseorang dan berisi kecenderungan

4) Kepribadian, yaitu kepribadian seseorang atau karakter yang dimiliki seseorang pegawai. 5) Motivasi kerja, merupakan suatu dorongan bagi seseorang untuk melakukan

Tabel 4.35 Pelaksanaan Penyelesaian Pekerjaan oleh Pegawai Dinas Tenaga Kerja Kota Bandung Sesuai antara Hasil Kerja dengan Tujuan Organisasi

Berdasarkan pemaparan proses kerja di atas dapat disimpulkan bahwa jenis pekerjaan yang memiliki risiko untuk mengalami kelelahan pada semua jenis pekerjaannya,

Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari karena tugas atau pekerjaan yang terlalu sedikit mengakibatkan kurangnya perhatian pada pekerjaan sehingga secara potensial

Jadi dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi komitmen pegawai terhadap pekerjaan terdiri dari ciri pribadi, ciri pekerjaan, pengalaman kerja, factor