BAB II Tinjauan Pustaka A. Perilaku Asertif
1. Pengertian Perilaku Asertif
Perilaku asertif menurut Alberti dan Emmons (2017) adalah perilaku yang memungkinkan seseorang untuk bertindak sesuai dengan keinginan, mempertahankan diri tanpa cemas, mengekspresikan perasaan secara jujur dan nyaman maupun menggunakan hak-hak pribadi tanpa melanggar hak orang lain. Asertif juga diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diingikan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pribadi dan pihak lain. Lebih lanjut Alberti dan Emmons menjelaskan bahwa Ekspresi diri yang tegas (asertif) adalah tindakan langsung, tegas, positif, dan gigih yang dimaksudkan untuk mempromosikan kesetaraan dalam hubungan antar pribadi. Asertif memungkinkan individu untuk bertindak dalam kepentingan dirinya, membela diri tanpa cemas, menggunakan hak pribadi tanpa melanggar hak orang lain dan untuk mengekspresikan kebutuhan dan perasaan individu yang meliputi (kasih sayang, cinta, persahabatan, kekecewaan, kemarahan, penyesalan, kesedihan dan berbagai macam emosi) dengan jujur dan nyaman Alberti dan Emmons (2017).
Selanjutnya, Safrudin, Mulyati, dan Lubis (2018) menyebutkan asertivitas adalah suatu kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan orang lain, namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain. Dalam bersikap asertif, seseorang dituntut untuk jujur terhadap dirinya dan jujur dalam mengekspresikan perasaan, pendapat, dan kebutuhan secara proporsional, tanpa ada maksud untuk memanipulasi, memanfaatkan ataupun merugikan pihak lainnya.
Menurut Lioyd (dalam Novalia dan Dayaskini, 2013) perilaku asertif adalah perilaku bersifat aktif, langsung, dan jujur. Perilaku ini mampu mengkomunikasikan kesan respek kepada diri sendiri dan orang lain sehingga dapat memandang keinginan, kebutuhan, dan hak kita sama dengan
keinginan, kebutuhan dan hak orang lain atau bisa di artikan juga sebagai gaya wajar yang tidak lebih dari sikap langsung, jujur, dan peuh dengan respek saat berinteraksi dengan orang lain.
Sukaji (dalam purwoastuti dan walyani, 2015) mengungkapkan perilaku asertif yaitu perilaku seeorang dalam hubungan antar pribadi yang menyangkut ekspresi, emosi yang tepat, jujur dan relative terus terang dan tanpa perasaan cemas terhadap orang lain.
Dari beberapa definisi para tokoh diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif merupakan kemampuan seseorang dalam mengungkapkan pendapat secara jujur dan terbuka tanpa ada rasa cemas, akan tetapi dengan tetap menghargai pihak lain, serta dapat bersikap tegas dalam menolak permintaan yang merugikan bagi dirinya maupun bagi orang lain.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Asertif
Alberti dan Emmons (dalam Gandadari, 2015) menyebukan beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan perilaku asertif, yaitu:
a. Jenis kelamin
Jenis kelamin lebih dipengaruhi oleh stereotip masyarakat yang menganggap bahwa watak anak perempuan lebih pasif, manis, dan pasrah. Pada umumnya laki-laki cenderung lebih asertif dari pada perempuan. Hal ini terjadi karena sejak kecil anak laki-laki ada tuntutan dari masyarakat, yaitu dibiasakan untuk tegas dan kompetitif.
b. Usia
Usia merupakan salah satu faktor yang turut menentukan munculnya perilaku asertif. Pada saat anak lahir perilaku asertif belum terbentuk, namun pada masa remaja dan dewasa perilaku asertif berkembang.
c. Harga Diri
Orang yang memiliki keyakinan diri yang tinggi memiliki kekhawatiran sosial yang rendah, sehingga mampu mengungkapkan pendapat dan perasaan tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri.
d. Kebudayaan
Kebudayaan mempunyai peran yang besar dalam bentuk perilaku asertif.
Hal ini berhubungan dengan norma-norma yang ada, seperti halnya budaya barat yang menjunjung tinggi asas kebebasan menyatakan pendapat. Hal yang sangat kontras terjadi pada budaya timur yang juga menjunjung tinggi kebebasan berpendapat namun tidak sepenuhnya melupakan asas kesopanan dalam bergaul.
e. Tipe kepribadian
Dalam situasi yang sama, tidak semua individu akan memberikan respon yang sama terhadap suatu stimulus. Hal ini dipengaruhi oleh tipe kepribadian seseorang. Tipe kepribadian tertentu akan membuat tingkahlaku seseorang berbeda dengan individu dengan tipe kepribadian lain.
f. Kematangan Emosi
Individu yang matang emosinya dapat memiliki kepercayaan diri dan berani tampil dengan keyakinan diri. Ia berani menyatakan keberadaannya, berani menyuarakan pandangan yang tidak populer, bersedia berkorban demi kebenaran, tegas serta mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan tidak pasti dan tertekan.
g. Keluarga
Perilaku asertif dipengaruhi oleh keluarga, terutama pola asuh orang tua atau kontrol ketat dari orang tua. Dalam perkembangan pola asuh, dikenal tiga macam pola asuh, yaitu otoriter, demokratis, dan permisif.
h. Kemampuan komunikasi
Individu yang memiliki kemampuan komunikasi dalam kategori baik akan mampu memahami apa yang dimaksud orang lain melalui kata.Dengan kemampuan tersebut, ia akan dapat mengekspresikan perilaku asertif dengan bebas dan langsung.
Berdasarkan beberapa faktor di atas, disimpulkan bahwa perilaku asertif dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari dalam individu atau yang dimiliki individu (internal) dan faktor yang berasal dari luar individu (eksternal). Faktor internal tersebut terdiri dari jenis kelamin, usia, harga diri, tipe kepribadian, kematangan emosi, dan kemampuan
komunikasi. Sementara, faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku asertif seseorang diantaranya kebudayaan, status ekonomi dan sosial, situasi tertentu lingkungan sekitar, pola asuh dari keluarga.
3. Aspek-aspek yang Mempengaruhi Perilaku Asertif
Berikut ini terdapat beberapa aspek perilaku asertif menurut Alberti dan Emmons (2017) yaitu:
a. Bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri
Mengacu pada kemampuan untuk membuat keputusan sendiri tentang karier, hubungan, gaya hidup, berinisiatif memulai percakapan, mengorganisir kegiatan, menetapkan tujuan, percaya diri, meminta bantuan orang lain, dan untuk beradaptasi secara sosial.
b. Mampu mempertahankan diri
Termasuk perilaku seperti mengatakan tidak, menetapkan batas waktu dan energi, menanggapi kritik, amarah, atau mempertahankan pendapat.
c. Mampu menyatakan pendapat
Berkaitan dengan kemampuan dalam menyampaikan ide, pemikiran, dan saran.
d. Tidak mengabaikan hak-hak orang lain
Berarti mencapai ekspresi pribadi tanpa kritik yang tidak adil terhadap orang lain, tanpa perilaku menyakiti orang lain, tanpa menyebut nama, tanpa intimidasi, tanpa manipulasi, dan tanpa mengendalikan orang lain.
e. Mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman
Berarti mampu untuk tidak setuju, menunjukkan kemarahan, menunjukkan kasih sayang atau persahabatan, mengakui ketakutan dan kecemasan, menyatakan persetujuan, dukungan, secara sopan tanpa adanya perasaan kecemasan yang mengganggu.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan aspek perilaku asertif menurut Alberti dan Emmons (2017), yaitu: Bertindak sesuai dengan keinginannya sendiri, Mampu mempertahankan diri, Mampu menyatakan
pendapat, Tidak mengabaikan hak-hak orang lain serta Mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman.
B. Kematangan Emosi
1. Pengertian Kematangan Emosi
Murray (dalam Susanto, 2018) mengatakan kematangan emosi adalah suatu kondisi mencapai perkembangan pada diri individu di mana individu mampu mengarahkan dan mengendalikan emosi yang kuat agar dapat diterima oleh diri sendiri dan orang lain.
Sejalan dengan itu, Menurut Chaplin (dalam Kartono, 2014) kematangan emosi atau emotional maturity adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai tingkat kedewasaan dari perkembangan emosional karena itu individu yang bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang pantas bagi anak-anak. Maka dari itu remaja dituntut untuk mampu meninggalkan sifat kekanak-kanakannya dan mulai belajar berperilaku secara matang.
Young (dalam Kusumawanta, 2009) dalam bukunya Emotion in Man and Animal memberi pengertian bahwa kematangan emosi adalah kemampuan seseorang dalam mengontrol dan mengendalikan emosinya.
Emosi yang telah matang akan selalu belajar menerima kritik, dan memiliki saluran sosial bagi energi emosinya.
Rakumar dan Malkappagol (2018) dalam bukunya menyebutkan bahwa kematangan emosional didefinisikan sebagai seberapa baik seseorang mampu merespons situasi, mengendalikan emosi dan berperilaku dewasa ketika berhadapan dengan orang lain. Mampu melakukan percakapan yang rasional dengan kepentinganya meski ia tidak bersetuju dengan orang lain, serta tidak menularkan emosi negatif, seperti melemparkan barang-barang atau mengeluarkan kata-kata kasar. Hal tersebut merupakan contoh yang menunjukkan kematangan emosional pada diri seseorang.
Berdasarkan definisi beberapa tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa kematangan emosi adalah suatu kemampuan individu untuk mengendalikan
emosinya secara tepat agar dapat diterima oleh diri sendiri dan orang lain di dalam situasi sosial dan berperilaku dewasa ketika berhadapan dengan orang lain.
2. Aspek-aspek yang Mempengaruhi Kematangan Emosi
Menurut Murray 1997 (dalam dalam Susanto, 2018) aspek aspek yang terkandung dalam kematangan emosi remaja antara lain:
a. Pemberian dan Penerimaan Cinta
Individu yang matang secara emosi mampu mengekspresikan cintanya sebagaimana remaja dapat menerima cinta dariorang-orang yang mencintainya. Misalnya remaja mampu mengekspresikan cinta atau kasih sayang dari orang-orang disekitarnya. Individu memiliki ketertarikan untuk saling memberi dan menerima, memperhatikan kebutuhan-kebutuhan orang lain, dan memberikan apa yang dapat diberikan oleh remaja. Rasa aman membuatnya mau menerima pemberian dan menerima bantuan orang lain. Indikator-indikator pemberian dan penerimaan cinta meliputi mengembangkan sikap empati, mencintai diri, menghargai orang lain, dan menjalin persahabatan.
b. Pengendalian Emosi
Kematangan emosi seseorang dapat diketahui melalui bagaimana remaja menghadapi masalah. Individu yang matang secara emosi akan menghadapi masalah-masalah yang ada, karena remaja mengetahui satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah adalah dengan menghadapi masalah itu. Individu belajar dari pengalaman dan memandang hidup sebagai suatu proses belajar. Aspek pengendalian emosi terdiri dari beberapa indikator antara lain mengekspresikan perasaan, mengandalkan keinginan, mengelola perasaan diri, dan mengontrol diri.
c. Toleransi Terhadap Frustasi
Ketika hal yang diinginkan tidak berjalan sesuai keinginan, individu yang matang secara emosi mempertimbangkan untuk menggunakan
cara atau pendekatan lain. Apabila tidak didapatkan juga, remaja mengalihkan perhatiannya dan mencari target lain. Individu memiliki kemampuan dalam menangani konflik secara konstruktif. Ketika menghadapi konflik, individu yang matang secara emosi menggunakan amarahnya sebagai sumber energi untuk meningkatkan usahanya dalam mencari solusi. Indikator-indikator aspek toleransi terhadap frustasi mencakup menerima kelemahan diri, meningkatkan integritas diri, merespons frustasi secara positif, dan menerima kenyataan.
d. Kemampuan Mengatasi Ketegangan
Pemahaman yang baik akan kehidupan menjadikan individu yang matang secara emosi yakin akan kemampuannya untuk memperoleh apa yang ia inginkan, sehingga dapat mengatasi ketegangan. Aspek kemampuan mengatasi ketegangan meliputi empat indikator, antara lain mengembangkan sikap optimis, keterbukaan diri, menoleransi kecemasan, dan kemandirian diri.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat aspek kematangan emosi remaja menurut Murray, yaitu: pemberian dan penerimaan cinta, pengendalian emosi, toleransi terhadap frustrasi, dan kemampuan mengatasi ketegangan
C. Harga Diri
1. Pengertian Harga Diri
Coopersmith (dalam Mora dan Hasnida, 2014) harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dalam kebiasaan memandang dirinya terutama mengenai sikap menerima dan menolak, juga indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan dan keberhargaan.
Sedangkan Baron dan Byrne (Sarwono, 2010) mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi yang dilakukan oleh individu terhadap dirinya sendiri, dan umumnya terkait dengan pandangan tentang diri sendiri. Evaluasi tersebut mencerminkan sikap penerimaan dan penolakan terhadap diri sendiri, serta mencerminkan sejauh mana individu percaya pada kemampuan, pentingnya, keberhasilan, dan nilai dirinya.
Menurut Rosenberg (dalam Wilis dkk, 2015) harga diri merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri, mencakup aspek positif dan negatif. Aspek yang paling penting dalam harga diri adalah pandangan positif tentang nilai diri, yang berlaku di berbagai situasi. Harga diri dipengaruhi oleh perbandingan nilai diri dengan standar yang ada. Jadi, tingkat harga diri seseorang ditentukan oleh sejauh mana nilai dirinya saat ini sesuai dengan standar yang dimilikinya.
Menurut Mary (2010) Harga diri merupakan evaluasi sifat, dapat berubah secara situasional sementara dan sering digabungkan untuk menjadi bahan evaluasi atas keseluruhan diri secara global. Sedangkan menurut Cadduci.,et al, (2020) harga diri adalah keseluruhan nilai yang dimiliki individu dalam bentuk evaluasi atas perasaan dirinya dan juga emosional yang dimilikinya.
Berdasarkan definisi beberapa tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa harga diri adalah evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara keseluruhan, mencakup aspek positif dan negatif yang berlaku di berbagai situasi. Serta berkaitan dengan keberhasilan dan kemampuan yang mencerminkan sikap penerimaan dan penolakan terhadap diri sendiri.
2. Aspek-aspek yang Mempengaruhi Harga Diri
Coopersmith (dalam Mora dan Hasnida, 2009) mengemukakan 4 aspek yang terdapat dalam harga diri yaitu :
a. Kekuatan (Power), ini mempengaruhi dan mengontrol diri sendiri dan orang lain, kekuatan ini pada situasi tertentu diperlihatkan dengan adanya penghargaan, penghormatan dari orang lain.
b. Keberartian (Significance), adanya penerimaan dan krisis kasih sayang dari orang lain. penerimaan dan perhatian biasanya ditunjukkan dengan adanya penerimaan dari lingkungan, ketenaran dan dukungan dari keluarga serta masyarakat. Semakin banyak kasih sayang yang diterima maka individu semakin berarti.
c. Kebajikan (Virtue) ditandai dengan adanya kepatuhan moraldan etika biasanya diadopsi dari nilai-nilai yang ditanamkan pada orang tua.
Permasalahan pada dasarnya berkisar oleh persoalan benar dan salah.
Kebajikan juga tidak terlepas dari segala macam pembicaraan mengenai peraturan norma dalam masyarakat.
d. Kemampuan (Competence), menunjukkan pada generalisasi dan perasaan mampu, kompetensi diri merupakan penilaian individu pada pengalamannya secara keseluruhan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat empat aspek harga diri remaja menurut Coopersmith, yaitu: kekuasaasan (power), keberartian (significance), kebajikan (virtue), dan kemampuan (competence).
D. Kerangka Berpikir
Kematangan emosi merupakan suatu kemampuan individu untuk mengendalikan emosinya secara tepat agar dapat diterima oleh diri sendiri dan orang lain di dalam situasi sosial dan berperilaku dewasa ketika berhadapan dengan orang lain, Dengan kata lain individu ini tidak mudah meledak dan kekanak-kanakan. Individu yang matang secara emosinya dapat mengendalikan emosinya ke arah yang positif. Dengan kematangan emosi yang baik, siswa akan lebih mudah untuk menyampaikan pendapat yang dirasa belum sesuai secara lebih sopan, menghormati pendapat orang lain dan membuat keputusan, hal tersebut dapat membantu siswa dalam menunjukkan keberanian untuk menyampaikan pikiran dengan orang lain yang dilakukan dengan bersikap secara asertif.
Penelitian dari Nisak (2017) menyebutkan bahwa perilaku asertif pada remaja dapat dikatakan tinggi apabila seorang remaja mempunyai kemampuan untuk mengekspresikan emosi, mempertahankan tujuan, dan membangun hubungan interpersonal yang saling menguntungkan. Untuk dapat mencapai skor perilaku asertif yang tinggi tersebut dibutuhkan pembentukan kematangan emosi yang baik dalam diri remaja.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh M. Syahril (2020) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kematangan emosi dengan asertivitas. Dimana semakin
tinggi kematangan emosi maka semakin tinggi asertivitas siswa. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah kematangan emosi maka akan semakin rendah asertivitas siswa.
Selain kematangan emosi, perilaku asertif yang ditunjukan oleh siswa dapat mencerminkan harga diri yang dimiliki oleh individu tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pudyastuti (2016) dimana menunjukkan adanya hubungan positif signifikan antara harga diri dengan perilaku asertif.
Dijelaskan bahwa harga diri merupakan sebuah penilaian terhadap diri sendiri secara universal baik penilaian ke arah positif maupun penilaian ke arah negatif, sehingga penilaian diri tersebut akan mempengaruhi bagaimana individu berperilaku dalam kehidupannya. Individu yang memiliki harga diri tinggi akan lebih bisa bersikap asertif dalam kehidupannya yang mana individu tersebut akan mampu mengutarakan keinginannya, pendapatnya, perasaannya secara jujur serta mampu menghargai orang lain. Dengan demikian maka harga diri termasuk faktor penentu perilaku asertif pada siswa.
Maka berdasarkan penjabaran teori dan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa jika kematangan emosi seorang individu tinggi maka akan memperoleh perilaku asertif yang tinggi, dan apabila individu memiliki harga diri yang tinggi maka akan memperoleh perilaku aserif yang tinggi.
Begitu juga berlaku sebaliknya.
Gambar 2.1
Hubungan antara kematangan emosi dan harga diri dengan perilaku asertif
E. Hipotesis
Kematangan Emosi (X1)
Perilaku Asertif (x3) Harga Diri
(X2)
Berdasarkan uraian kerangka berpikir diatas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:
Ha1: Adanya hubungan antara kematangan emosi dan perilaku asertif siswa kelas X di SMA Kartini 1 Jakarta Pusat
Ha2: Adanya hubungan antara harga diri dan perilaku asertif siswa kelas X di SMA Kartini 1 Jakarta Pusat
Ha3: Adanya hubungan antara kematangan emosi dan harga diri dengan perilaku asertif Siswa kelas X di SMA Kartini 1 Jakarta Pusat.