• Tidak ada hasil yang ditemukan

8. BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI SHALAT,SHALAT TAHIYYATUL

N/A
N/A
Nadel Ratu

Academic year: 2024

Membagikan "8. BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI SHALAT,SHALAT TAHIYYATUL"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

33

MASJID DAN WAKTU-WAKTU YANG DILARANG SHALAT

A. Shalat

1. Pengertian Shalat dan Dasarnya

Shalat merupakan rukun Islam yang paling utama setelah kalimat syahadat. Shalat juga merupakan ibadah yang paling baik dan sempurna.

Shalat tersusun dari berbagai jenis ibadah, seperti zikir kepada Allah, membaca Al-Quran, berdiri menghadap Allah, ruku‟, sujud, berdoa, bertasbih dan takbir. Shalat bagaikan kepala bagi ibadah-ibadah lainnya dan merupakan ajaran para nabi.

Berbeda dengan ibadah-ibadah lain, shalat pertama kali diwajibkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW. di malam Isra‟ Mikraj. Hal ini menunjukkan keagungan serta ketinggian posisi dan kewajipannya di hadapan Allah. 45

Banyak sekali hadits yang menunjukkan keutamaan dan kewajipan shalat bagi setiap individu. Dalam Islam, kewajipan menunaikan shalat diketahui secara mendasar dan pasti (ma‟luumun bidh-dharuurah).

Barangsiapa mengingkarinya, maka ia telah keluar dari Islam (murtad).

Apabila ia bertaubat, maka taubatnya diterima. Sedangkan jika ia tidak bertaubat, maka hukumannya dibunuh berdasarkan ijma‟ para ulama. 46

45 Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari,Penerjemah : Abdul Hayyie al-Kattani,Ahmad Ikhwani dan Budiman Mushtofa, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), Cet. 1, h. 58

46 Ibid, h.58

(2)

Shalat menurut bahasa artinya doa47 atau doa untuk kebaikan.

Dikatakan, “shalla shalatan”; ibadah khusus yang sudah dijelaskan batasan waktu dan tata caranya dalam syariat Islam.48

Adapun menurut syara‟, shalat berarti semua perkataan dan perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam.49

Shalat yang diwajibkan dalam sehari semalam lima waktu sebagimana yang dapat dipahami dengan mudah dari ajaran agama Islam, dan barangsiapa yang mengingkarinya maka ia termasuk orang kafir.50 Dinamakan dengan shalat karena ia mencakup doa-doa. Orang yang sedang melakukan shalat, ucapannya tidak terlepas dari doa ibadah, doa pujian atau doa permohonan. Dan, seorang muslim wajib menunaikan shalat ketika masuk waktunya.51

Shalat hukumnya wajib berdasarkan Al-Quran, Sunnah dan ijma‟.

52Adapun dalil dari Al-Quran, antara lain:

Firman Allah SWT, QS. Al-Bayyinah (98):5

ٓ اَمَو

ْٓاوُذُب ۡعَيِلٓ الَِّإْٓا وُرِمُأ ٓ

َٓاللّٱ

ُٓهَلٓ َهي ِصِل ۡخُم ٓ

َٓهيِّذلٱ

ْٓاوُميِقُيَوَٓء اَفَىُح ٓ

َٓة ٰوَلاصلٱ

ْٓاوُت ۡؤُيَو ٓ

ٓ

ٓ َة ٰوَكازلٱ

ٓ ُهيِدَٓكِل َٰرَو ٓ

ِٓتَمِّيَقۡلٱ

ٓ ٥

ٓ

ٓ

47 Ali Ma‟shun, Zainal Abidin Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 792

48 M. Fadli Suhendra, Fiqh Ibadah Wanita, (Jakarta: Sinar Grafika,2011), Cet. 1, h.307

49 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Penerjemah : Abdul Hayyie al- Kattani,(Jakarta: Gema Insani, 2010),Jilid 1, h. 541

50 Syekh Muhammad Arsyad Al- Banjari, Kitab Sabilal Muhtadin 1, (Surabaya: PT Bina Ilmu,2005), Cet. 4, h. 305

51 Saleh Al-Fauzan, Op.cit, h. 59

52 M. Fadli Suhendra, Loc.cit

(3)

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supayaٓ menyembah Allahٓ dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

Firman Allah SWT, QS. Al-Hajj (22): 78

ْٓاوُميِقَأَف

َٓة ٰوَلاصلٱ

ْٓاوُتاَءَو ٓ

َٓة ٰوَكازلٱ

َٓو ٓ

ْٓاوُمِصَت ۡعٱ

ِٓٓب

ِٓاللّٲ

ٓ َم ۡعِىَفٓ ۡۖۡمُكٰىَل ۡوَمٓ َوُه ٓ ل ۡوَمۡلٱ

َٓم ۡعِوَو

ُٓري ِصاىلٱ

ٓ

٨٧

ٓ

ٓ

Artinya: “maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.”

Adapun dalil dari hadis:

a. Hadis dari Ibnu Umar dari Nabi SAW, beliau bersabda:

ِماَقِإَو ِهاللا ُلوُسَر اًدامَحُم انَأَو ُهاللا الَِإ َهَلِإ َلَ إنَأ ِةَداَهَش ٍسإمَج ىَلَع ُم َلَإسِإلْا َيِنُب ِةاَكازلا ِءاَتيِإَو ِة َلَاصلا َلَيِبَس ِهإيَلِإ َعاَطَتإسا ِنَم ِتإيَ بإلا ِّجَحَو َناَضَمَر ِمإوَصَو

“Islam itu didirikan di atas lima perkara; bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke tanah suci bagi yang mampu melakukan perjalanan" (HR. Muttafaq „alaih)53

Adapun dalil dari ijma‟ adalah realitas kesepakatan segenap umat Islam bahwa shalat itu hukumnya wajib sebanyak lima waktu sehari semalam.

2. Rukun-Rukun Shalat a. Niat

b. Takbirotul ihram (melafazkan kalimat Allahu Akbar) c. Berdiri bagi yang mampu

53 M. Fadli Suhendra, Op.Cit, h. 308

(4)

d. Membaca surat Al-Fatihah

e. Ruku‟ dengan thuma‟ninah (diam sejenak dengan minimal ucapan tasbih, yakni subhanallah)

f. I‟tidal disertai dengan thuma‟ninah g. Dua sujud dengan thuma‟ninah

h. Duduk di antara dua sujud dengan thuma‟ninah i. Duduk tasyahud akhir

j. Membaca doa tasyahud akhir

k. Membaca shalawat atas Nabi Muhammad saw dalam doa tasyahud akhir

l. Salam yang pertama dan niat keluar dari shalat m. Tertib 54

3. Syarat Sah Shalat

Ada delapan syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melaksanakan shalat agar shalatnya sah, sebagai berikut :

a. Islam

b. Tamyiz (berakal dan baligh) c. Menutup aurat.

d. Menghadap kiblat

e. Mengetahui masuknya waktu shalat

f. Suci dari hadas, baik hadas besar maupun hadas kecil g. Suci dari najis,baik badan, pakaian, maupun tempat shalat h. Mengetahui tata cara shalat55

54 Abbas Arfan, Fiqh Ibadah Praktis, (Malang: Uin-Maliki Press,2011), Cet. 1, h.62

(5)

4. Sejarah Shalat

Shalat pertama kali diwajibkan pada malam isra‟, lima tahun sebelum hijrah menurut pendapat yang masyhur di kalangan ahli sejarah sesuai dengan hadits Anas, “Shalat diwajibkan kepada Nabi SAW pada malam isra‟ sebanyak lima puluh waktu, kemudian berkurang sehingga menjadi lima waktu, lalu ada suara yang memanggil „Wahai Muhammad, tidak ada perubahan pada ucapan-Ku, bagimu lima waktu ini, tetapi ia sama dengan lima puluh waktu,” (HR. Ahmad dan An-Nasa‟i).

Shalat hukumnya fardhu ain atas seorang mukallaf (akil,baligh).

Anak-anak yang sudah berumur tujuh tahun harus sudah diperintahkan shalat, dan dipukul ringan jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur sepuluh tahun , dengan tangan dan tidak dengan kayu sesuai sabda Rasulullah SAW:

“Perintahkan anak-anak kalian mengerjakan shalat ketika berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mengerjakan ketika mereka berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur merekka.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Hakim)56

5. Hikmah Shalat

Shalat disyariatkan sebagai bentuk tanda syukur kepada Allah SWT, untuk menghilangkan dosa-dosa, ungkapan kepatuhan dan merendahkan diri di hadapan Allah, menggunakan anggota badan untuk berbakti kepada-Nya yang dengarnya bisa seseorang terbersih dari

55 Nawawi Abd. Djalil, Kupas Tuntas Salat Tata Cara dan Himahnya, Ttp., h. 56

56 M. Fadli Suhendra, Loc.cit

(6)

dosanya dan tersucinya dari kesalahan-kesalahannya dan terajarkan akan ketaatan dan ketundukan.

Allah SWT telah menentukan bahwa shalat merupakan syarat asasi dalam memperkokoh hidayah dan ketakwaan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Alif Laam Miiim. Kitab ini (Al-Quran) tidak ada keraguan di dalamnya, menjadi petunjuk bagi mereka yang bertakwa.

Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,”

(QS. Al Baqarah: 1-2)

Di samping itu, Allah SWT telah mengecualikan orang-orang yang senantiasa memelihara shalatnya dari kebiasaan manusia pada umumnya:

berkeluh kesah dan kurang bersyukur, disebutkan dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah dan kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalat.” (QS Al Ma‟arij: 19-22)57

6. Macam-macam Shalat

Shalat dilihat dari sisi kewajipannya dibagi menjadi tiga macam, yaitu: pertama shalat wajib, shalat yang wajib dilakukan oleh setiap muslim ada dua jenis, yaitu shalat setiap hari lima kali/waktu, shalat jumaat seminggu sekali dan shalat Sunnah yang dinadzarkan.

57 Fauzan Akbar Ibnu Muhammad Azri, Sholat Sesuai Tuntunan Nabi SAW, (Yogyakarta, Nuha Litera, 2011), Cet. 1, h. 33

(7)

Kedua, shalat Sunnah, yaitu shalat-shalat yang tidak diwajibkan namun dianjurkan sekali untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Adapun shalat-shlat Sunnah sangatlah banyak (selain dari tiga jenis shalat wajib di atas dalam mazhab Syafi‟i), yang antara lain adalah shalat Sunnah mutlak, shalat dua hari raya, shalat dua gerhana, shalat istisqa‟ (minta hujan), shalat tarawih, shalat witir, shalat hajat, shalat tahajjud, shalat dhuha, shalat tasbih, shalat tahiyat masjid, shalat setelah berwudhu, shalat rawatib (pengiring shalat fardhu) dan lain-lain.58

B. Shalat Sunnah

1. Pengertian Shalat Sunnah

Ketahuilah bahwa Allah di samping mensyariatkan shalat fardhu juga mensyariatkan kepada hamba-hambaNya untuk mendekatkan diri kepadaNya (taqarrub) dengan shalat Sunnah. Melakukan shalat Sunnah merupakan sarana terbaik untuk mendekatkan diri kepadaNya setelah jihad fi sabilillah dan mencari ilmu. Rasulullah selalu mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan shalat Sunnah, Beliau bersabda,

َأ اإوُمَلإعاَو اإوُصإحُت إنَلَو اإوُمإيِقَتإسا ُة َلَاصلا إمُكِلاَمإعَأ َرإ يَخ ان

“Istiqamahlah dalam beribadah dan kalian tidak akan mampu menghitung pahalanya. Dan, ketahuilah bahwa amal kalian yang terbaik adalah shalat.”

Di dalam shalat tersusun berbagai macam ibadah, seperti membaca Al-Quran, ruku‟, sujud, berdoa, merendahkan diri, menundukkan hati,

58 Abbas Arfan, Op.cit, h. 60

(8)

memohon, bertakbir, bertasbih dan membaca shalawat kepada Rasulullah.59

Shalat Sunnah adalah shalat yang dianjurkan untuk dikerjakan selain shalat fardhu. Apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa. Shalat Sunnah disebut juga nafal, tathawwu‟, mandub, mustahab, marghub fih, atau hasan.60

Nafal artinya tambahan; tathawwu‟ artinya kerelaan hati; mandub artinya disukai atau disenangi begitu pula mustahab dan marghub fih;

sedangkan hasan artinya baik. Jadi, shalat Sunnah adalah shalat tambahan yang dilakukan dengan kerelaan hati, penuh suka hati dan sangat dicintai oleh Allah SWT serta hukumnya adalah Sunnah.

2. Shalat Sunnah Tahiyyatul Masjid

a. Pengertian dan Dalil Shalat Sunnah Tahiyyatul Masjid

Shalat tahiyyatul masjid ialah shalat sunnah dua rakaat yang dikerjakan oleh jamaah yang baru masuk ke masjid sebagai tanda penghormatan, baik pada waktu malam maupun siang.61

Shalat Sunnah tahiyyatul masjid juga adalah shalat Sunnah yang dikerjakan apabila seseorang memasuki sebuah masjid baik itu masjid Jami‟ (masjid yang digunakan untuk shalat Jumaat) maupun

59 Saleh al-Fauzan, Op.cit,

60 Ahmad Nawawi Sadili, Panduan Praktis dan Lengkap Shalat Fardhu dan Sunnah, (Jakarta: Imprint Bumi Aksara, 2011), h. 226

61 Syaifurrahman El-Fati, Panduan Shalat Praktis & Lengkap, (Jakarta: Kawah Media, 2015), h. 162

(9)

masjid ghairu jami‟ (masjid yang tidak dilakukan shalat Jumaat yang biasanya disebut mushalla).62

َلَخَد اَذِإ : َمالَسَو ِهإيَلَع ُهاللا ىالَص ِهاللا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق ُهإنَع ُهاللا َيِضَر َةَداَتَ ق يِبَأ إنَع ِنإيَ تَعإكَر َىِّلَصُي ىاتَح إسِلإجَي َلََف َدِجإسَمإلا إمُكُدَحَأ

“Dari Abi Qatadah Radiallahu anhu berkata, telah bersabda Rasulullah SAW: “Apabila salah seorang di antara kalian masuk masjid maka janganlah dulu duduk sebelum shalat dua rakaat.63” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

b. Syarat, Rukun, dan Jumlah Rakaat Shalat Tahiyyatul Masjid

Mengenai syarat dan rukun shalat tahiyyatul masjid sama dengan syarat dan rukun shalat fardhu, karena kaifiat-nya sama, yang membedakan hanyalah pada hukum fardhu atau sunnahnya saja.

Adapun jumlah rakaatnya adalah dua rakaat. 64 c. Niat Shalat Sunnah Tahiyyatul Masjid

Niatnya adalah sebagai berikut:

ىَلاَعَ ت ِهالِل ًةانُس ِنإيَ تَعإكَر ِدِجإسَمإلا َةايِحَت إىِّلَصُأ

“Aku niat shalat Sunnah tahiyyat masjid dua rakaat karena Allah Ta‟ala”65

d. Waktu Shalat Sunnah Tahiyyatul Masjid

Adapun mengenai waktunya adalah ketika kita memasuki masjid dan mengambil tempat untuk shalat tanpa melakukan duduk di

62 Ibid, h. 246

63 Imam An-Nawawi, Op.cit, h.203

64 Ibid, h. 246

65 Ibid, h. 247

(10)

masjid terlebih dahulu. Apabila sudah duduk di masjid maka shalat Sunnah tahiyyat masjid habis waktunya (tidak disunnahkan lagi).66 e. Hikmah dan Fadhilah Shalat Sunnah Tahiyyatul Masjid

Di antara hikmahnya adalah sebagai penghormatan kepada masjid, karena masjid adalah tempat suci dan mulia sebagai rumah Allah di muka bumi ini. Nabi Muhammad SAW bersabda :

Dari Aisyah Ra. berkata : “Rasulullah SAW memerintahkan untuk membangun masjid-masjid di kampung-kampung dan dijaga kebersihan dan kesuciannya” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At- Tirmidzi)

Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda :

اَهُ قاَوإسَأ اَهُّرَشَو اَهُدِجاَسَم ِضإرَلأا ِعاَقِب ُرإ يَخ

“Sebaik-baik tempat di muka bumi ini adalah masjid dan seburuk- buruk tempat adalah pasar.” (HR. Ath-Thabrani dan Hakim)67

C. Waktu-Waktu yang Dilarang Shalat

1. Waktu-waktu Pelaksanaan Shalat Fardhu

Setiap shalat memiliki waktu tertentu di mana ia harus dilaksanakan. Allah SWT., QS. An-Nisa‟ (4): 103

ٓ انِإ

َٓة ٰوَلاصلٱ

ٓ

ٓىَلَعٓ ۡتَواَك

َٓهيِىِم ۡؤُمۡلٱ

ٓاٗتوُق ۡوامٓاٗبَٰتِك ٓ ٣٠١

ٓ

ٓ

66 Ibid, h. 247

67 Ibid, h. 248

(11)

Artinya: “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”

Artinya, shalat adalah kewajipan yang sangat jelas, sebuah kewajipan yang didasarkan kepada Al-Quran. Al-Quran telah menjelaskan waktu-waktu tersebut. 68

a. Waktu Zhuhur

Menurut ijma‟, permulaan waktu zhuhur adalah ketika matahari bergeser dari posisinya di tengah-tengah langit berdasarkan penglihatan mata. Sementara akhir waktu shalat zhuhur dipersengketakan, apakah ia turut bersamaan dengan masuknya awal waktu ashar atau tidak? Namun pendapat yang rajih (diunggulkan) menurut kami adalah waktu zhuhur berakhir seiring dengan masuknya awal waktu shalat ashar dengan rentang waktu yang kira-kira cukup untuk menjalankan shalat 4 rakaat. Hal ini didasarkan pada riwayat versi Ibnu Abbas bahwasanya pada hari pertama Nabi SAW shalat zhuhur bersama Jibril ketika matahari condong dan pada hari kedua beliau shalat zhuhur ketika bayangan sesuatu sama panjangnya dengan aslinya, dan ini adalah awal waktu shalat ashar. 69

Namun demikian, disunnahkan untuk mengakhirkan shalat zhuhur dari awal waktu ketika panas benar-benar menyengat agar

68 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Penerjemah: Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma, (Jakarta Timur: PT.Tinta Abadi Gemilang, 2013), Jilid 1,h. 152

69 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah, Penerjemah: Kamran As‟at Irsyady dan Ahsan Taqwim, (Jakarta: AMZAH,2013), h. 155

(12)

kekhusyuan tetap terjaga dan tidak terburu-buru. Berdasarkan sabda Nabi SAW:

مانَهَج ِحإيَ ف إنِم ِّرَحإلا َةادِش انِإَف ِة َلَاصلاِب اوُدِرإبَأَف ُّرَحإلا ادَتإشا اَذِإ

“Jika cuaca menjadi sangat panas, dinginkanlah dengan shalat.

Sesungguhnya cuaca yang sangat panas adalah gambaran neraka Jahanam”70

b. Waktu Ashar

Permulaanya adalah ketika ukuran bayangan sesuatu sama panjang dengan ukuran aslinya setelah tergelincirnya matahari.

Adapun akhir waktu ashar adalah tenggelamnya matahari berdasarkan hadits narasi Abu Hurairah Ra., bahwasanya Nabi SAW bersabda:

ِرإصَعإلا َكَرإدَأ إدَقَ ف ُسإماشلا َبُرإغَ ت إنَأ َلإبَ ق ِرإصَعإلا إنِم ًةَعإكَر َكَرإدَأ إنَم

“Barangsiapa menjumpai satu rakaat dari shalat ashar sebelum matahari tenggelam, maka ia telah mengerjakan shalat ashar.”71

Waktu ikhtiar dan waktu utama untuk melaksanakan shalat ashar hilang ketika matahari sudah berwarna kekuning-kuningan.

Adapun mengakhirkan shalat hingga matahari menjadi kekuning-

70 Sayyid Sabiq, Op.cit, h. 155

71 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Op.cit, h. 156

(13)

kuningan, mesti hal itu diperbolehkan, hal itu tetap makruh jika dilakukan tanpa alasan.72

Di dalam Syarh al-Muslim, Nawawi mengatakan, “Sahabat- sahabat kami berkata bahwa shalat ashar memiliki lima waktu: (1) waktu utama, (2) waktu ikhtiar, (3) waktu jawaz, (boleh) dan tidak makruh, (4) boleh tapi makruh, dan (5) waktu uzur.

Waktu utama adalah pada awal waktu; waktu ikhtiar terbentang ketika bayang-bayang menjadi sepanjang bentuk aslinya; waktu jawaz pada saat matahari belum berwarna kekuning-kuningan; waktu jawaz tapi makruh dimulai ketika sinar matahari berwarna kekuning- kuningan hingga matahari terbenam; dan waktu uzur adalah waktu shalat zhuhur (bagi mereka yang menjamak shalat zhuhur dan ashar, baik karena bepergian atau karena hujan. Di dalam lima waktu di atas, shalat ashar masih dilakukan secara ada‟(tepat waktu). Jika waktu ashar telah habis, ketika matahari terbenam, maka shalat ashar dilakukan dengan cara qadha.73

c. Waktu Maghrib

Waktu shalat maghrib dimulai sejak matahari terbenam dan malam datang hingga mega merah menghilang. Abdullah bin Amru Ra. Bercerita bahwa Rasulullah SAW bersabda,

قَفاشلا إطُقإسَي إمَل اَم ُسإماشلا إتَباَغ اَذِإ ِبِرإغَمإلا ِة َلََص ُتإقَو

72 Sayyiq Sabiq, Op.cit, h. 156

73 Ibid, h. 157

(14)

“Waktu shalat maghrib adalah ketika matahari terbenam, sebelum mega (merah) sirna.”

Abu Musa juga bercerita bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai waktu shalat. Lalu ia menyitir hadits di atas. Pada saat itu, waktu maghrib tiba dan beliau menyuruh orang itu shalat. Beliau melaksanakan shalat ketika matahari terbenam.

Keesokan harinya, Rasulullah SAW melaksanakan shalat masghrib ketika mega merah sudah mulai sirna. Lalu beliau bersabda:

نإيَذَه َنإيَ ب اَم ُتإقَوإلَا

“Waktu (shalat maghrib) di antara dua waktu tersebut”

Nawawi menyatakan di dalam Syarh al-Muslim, “Para peneliti di dalam mazhab kami berpendapat bahwa tidak masalah mengakhirkan shalat maghrib selama mega merah masih ada. Shalat maghrib juga bisa dilakukan kapan saja sepanjang waktu tersebut.

Tidak masalah juga menundanya dari awal waktu. Inilah pendapat yang sahih.”74

74 Ibid, h. 160

(15)

d. Waktu Isya

Waktu shalat isya dimulai dari hilangnya mega merah hingga pertengahan malam. Aisyah RA. berkata bahwa para sahabat melaksanakan shalat isya mulai dari hilangnya mega merah hingga sepertiga pertama dari malam.

Abu Hurairah Ra. bercerita bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“Andai aku tidak merepotkan umatku, niscaya aku perintahkan kepada mereka untuk mengakhirkan shalat isya hingga sepertiga malam atau pertengahan malam.” 75

e. Waktu Subuh

Waktu shalat subuh dimulai dari terbitnya fajar shadiq hingga terbitnya matahari.

Dianjurkan untuk menyegerakan shalat subuh, melaksanakannya di awal waktu. Abu Mas‟ud al-Anshari bercerita bahwa Rasulullah SAW pernah melaksanakan shalat subuh di penghujung malam, dan beliau juga pernah melaksanakannya ketika hari sudah agak pagi. Lalu beliau senantiasa melaksanakan shalat subuh pada penghujung malam, hingga beliau wafat. Beliau tidak lagi melaksanakannya saat hari sudah hampir pagi.

Aisyah Ra. berkata, “Perempuan-perempuan mukmin melaksanakan shalat subuh berjamaah bersama Rasulullah SAW,dan

75 Ibid, h. 161

(16)

mereka melepas perhiasan mereka, pulang ke rumah setelah shalat, tanpa ada seorang pun yang mengenali mereka karena gelap.”

Adapun hadits Rafi‟ bin Khadij yang bercerita bahwa Rasulullah SAW bersabda,

إمُكِروُجُِلأ ُمَظإعَأ ُهانِإَف ِحإبُّصلاِب اوُحِبإصَأ

“Laksanakanlah shalat subuh pagi-pagi benar karena hal itu akan lebih melipat gandakan pahala kalian.”76

2. Waktu-waktu yang Dilarang Shalat

Pada pembahasan tentang waktu-waktu shalat fardhu telah dijelaskan bahwa setiap shalat memiliki waktu khusus untuk pelaksanaannya, yang mana jika seseorang mengakhirkan shalatnya maka dia akan mendapatkan dosa apabila shalat itu dilakukan di waktu yang diharamkan, atau dia akan dianggap melakukan sesuatu yang makruh, apabila shalat itu dilakukan di waktu yang dimakruhkan. Namun demikian, tiga mazhab selain mazhab Hanafi berpendapat bahwa shalatnya itu tetap sah, selama tidak dilakukan sebelum masuk waktunya, sedangkan jika setelahnya mesti terlambat atau sangat jauh terlambat maka shalat itu tetap sah.77

a. Shalat Fardhu

Shalat fardhu dianggap tidak sah jika dilakukan pada salah satu dari tiga waktu berikut ini:

76 Ibid, h. 164

77 Abdurrahman Al-juzairi, Fikih Empat Mazhab Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2015), h. 659

(17)

Pertama, ketika terbitnya matahari hingga sudah naik sampai setinggi tombak. Apabila seseorang melakukan shalat subuhnya sesaat sebelum matahari terbit, lalu ternyata matahari itu terbit sebelum dia menyelesaikan shalatnya, maka shalatnya tidak sah. Terkecuali matahari itu terbit saat dia sudah duduk terakhir dan telah membaca tasyahud, maka sebagian ulama mazhab ini berpendapat shalatnya dianggap sah karena dia dianggap telah menyelesaikan shalatnya, namun sebagian lainnya berpendapat bahwa shalat itu tetap tidak sah, selama dia belum mengucapkan salam.

Kedua, ketika matahari tepat berada di atas kepala hingga tergelincir. Makna dari tergelincir ini telah kami sampaikan pada pembahasan mengenai waktu-waktu shalat.

Ketiga, ketika ufuk berwarna merah saat matahari hendak terbenam hingga dengan sempurna, kecuali untuk shalat ashar hari itu, maka shalatnya tetap sah meskipun hukumnya makruh tahrim.

Sujud tilawah juga masuk dalam hukum ini, namun dengan syarat kewajiban untuk melaksanakannya terjadi sebelum waktu-waktu tersebut, misalkan saja seseorang mendengar ayat sajadah sebelum terbitnya matahari, lalu dia bersujud saat matahari sedang terbit, maka hukum sujud tilawah ini sama seperti pelaksanaan shalat di waktu tersebut. Sedangkan jika dia mendengar ayat sajadah itu pada waktu- waktu terlarang dan langsung melaksanakannya, maka sujudnya dianggap sah, misalnya saja dia mendengar ada orang membaca ayat sajadah tepat pada saat matahari sedang terbit, lalu dia langsung

(18)

bersujud tilawah, maka sujudnya itu sah, meskipun lebih afdhal jika dia menunda sujudnya hingga waktu di mana pelaksanaan shalat diperbolehkan.

Shalat jenazah juga sama hukumnya seperti sujud tilawah, yang mana jika jenazah telah tiba sebelum waktu-waktu terlarang dan tidak langsung dishalatkan, maka melaksanakan shalat jenazah pada waktu- waktu tersebut tidak sah. Sedangkan jika jenazah itu telah tiba di waktu-waktu tersebut dan dishalatkan pada saat itu juga, maka shalatnya dianggap sah, bahkan dimakruhkan untuk menunda pelaksanaannya.78

b. Shalat Sunnah

Menurut mazhab Hanafi, melaksanakan shalat Sunnah di waktu-waktu berikut ini hukumnya makruh tahrim yaitu antara waktu menyinsingnya fajar hingga pelaksanaan shalat subuh, namun dikecualikan untuk shalat Sunnah fajar. Antara waktu setelah pelaksanaan shalat subuh hingga terbitnya matahari, tidak ada shalat Sunnah yang diperkenankan pada waktu tersebut termasuk Sunnah fajar jika tidak dilakukan sebelum shalat subuh. Antara waktu setelah pelaksanaan shalat ashar hingga terbenamnya matahari. Ketika khatib hendak menuju mimbarnya untuk berkhutbah, baik itu khutbah Juma‟at, id, nikah, gerhana matahari, ataupun istisqa. Ketika muadzin mengumandangkan iqamah untuk shalat fardhu, namun dikecualikan untuk shalat Sunnah fajar apabila merasa yakin tidak akan dapat

78 Ibid, h. 660

(19)

mengejar jamaah shalat subuh jika dia melaksanakan Sunnah fajarnya setelah iqamah. Sebelum dan setelah pelaksanaan shalat id. Waktu jeda antara shalat zhuhur dan shalat ashar yang dilakukan dengan cara jama taqdim (shalat musafir yang menggabungkan shalat zhuhur dan shalat ashar di waktu zhuhur, khususnya bagi para jamaah haji ketika berada di Arafah). Waktu jeda antara shalat maghrib dan shalat isya yang dilakukan dengan cara jama ta‟khir (shalat musafir yang menggabungkan shalat maghrib dan shalat isya yang dilakukan di waktu isya, khususnya bagi jamaah haji ketika berada di Muzdalifah).

Ketika waktu yang tersisa untuk shalat fardhu sudah sangat sempit.

Apabila shalat Sunnah dilakukan pada waktu-waktu tersebut, meskipun hukumnya makruh tahrim tetapi shalatnya tetap sah. Jika seseorang sedang melakukan shalat Sunnah lalu dia menyadari bahwa saat itu adalah waktu yang terlarang, maka diwajibkan baginya untuk menghentikan shalatnya dan melakukannya di waktu-waktu yang diperbolehkan.79

Menurut mazhab Hambali, tidak sah shalat Sunnah jika dilakukan pada salah satu dari ketiga waktu berikut ini. Pertama, antara waktu terbitnya matahari hingga naik setinggi tombak, kecuali untuk shalat Sunnah fajar. Shalat ini sah jika dilakukan sebelum shalat subuh, meskipun pada waktu tersebut, namun jika dilakukan setelah shalat subuh maka diharamkan dan shalatnya tidak sah. Kedua, antara

79 Ibid, h. 661

(20)

waktu shalat ashar hingga matahari tenggelam dengan sempurna, kecuali untuk shalat Sunnah sebelum zhuhur yang dilakukan saat shalat zhuhurnya dijama‟ ta‟khir dengan shalat ashar. Ketiga, antara waktu matahari tepat di atas kepala hingga tergelincir. Sedangkan semua waktu yang terlarang ini dikecualikan untuk shalat thawaf (yakni shalat dua rakaat setelah thawaf), karena shalat ini thawaf itu tetap sah jika dilakukan pada ketiga waktu tersebut, meski shalat thawaf itu termasuk shalat Sunnah. Begitu juga dengan pengulangan shalat wajib, dengan syarat dia sedang berada di dalam masjid ketika melihat jamaah mengerjakan shalat wajib yang sudah dia kerjakan, shalat ini boleh dilakukan meskipun pengulangan shalat itu masuk dalam shalat Sunnah. Begitu juga dengan shalat tahiyyatul masjid yang dilakukan ketika imam sedang berkhutbah, shalat ini tetap sah meski termasuk shalat Sunnah dan dilakukan tepat saat matahari berada di atas kepala. Apabila seseorang melakukan shalat Sunnah sebelum waktu-waktu terlarang itu tiba, namun dia masih melakukan shalat saat waktu terlarang itu datang, maka dia diharamkan untuk melanjutkannya, meskipun shalatnya tetap dianggap sah. Sedangkan untuk shalat jenazah, shalat ini diharamkan pada ketiga waktu tersebut dan tidak sah hukumnya jika dilaksanakan, terkecuali jika alasan yang diperkenankan, maka boleh untuk dilakukan pada waktu-waktu tersebut.80

80 Ibid, h. 662

(21)

Menurut mazhab Syafi’I, shalat Sunnah tanpa sebab yang dilakukan pada waktu-waktu berikut ini hukumnya makruh tahrim dan tidak sah shalatnya. Pertama, setelah pelaksanaan shalat subuh hingga matahari sudah naik. Kedua, antara waktu terbitnya matahari hingga naik setinggi tombak. Ketiga, setelah pelaksanaan shalat ashar, meskipun dilakukan pada waktu zhuhur karena dijama‟ taqdim.

Keempat, antara waktu matahari berwarna kekuningan hingga waktu terbenam. Kelima, antara waktu matahari tepat berada di atas kepala hingga waktu tergelincir. Adapun shalat-shalat Sunnah yang dilakukan berdasarkan sebab tertentu, seperti shalat tahiyyatul masjid, shalat setelah wudhu, dan shalat setelah thawaf, maka shalat itu tetap sah meski dilakukan pada waktu-waktu tersebut, karena adanya sebab, yaitu memasuki masjid, wudhu, dan thawaf. Begitu juga dengan shalat-shalat yang memiliki motif yang mengiringinya, misalnya shalat istisqa dan shalat kusuf. Kedua shalat ini tetap sah jika dilakukan pada waktu-waktu tersebut karena ada motif yang mengiringi pelaksanaannya, yaitu musim kering dan menghilangnya matahari.

Sedangkan untuk shalat-shalat yang memiliki sebab tertunda, seperti shalat istikharah dan shalat taubah, maka shalat-shalat tersebut tidak sah jika dilakukan pada waktu-waktu terlarang karena alasan dari shalat tersebut baru akan didapatkan setelah shalat dilaksanakan.81

81 Ibid, h. 662

(22)

Hukum tersebut juga dikecualikan untuk shalat-shalat Sunnah yang dilakukan di Makkah, karena shalat di sana tetap sah meskipun dilakukan pada waktu yang makruh. Tidak dimakruhkan tetapi berlawanan dengan perbuatan yang diutamakan. Tidak dimakruhkan tetapi berlawanan dengan perbuatan yang diutamakan. Dikecualikan pula shalat Sunnah yang dilakukan pada hari Juma‟at saat matahari tepat di atas kepala, karena shalat Sunnah tersebut tidak diharamkan, namun larangan ini kemudian berlaku saat khatib duduk di mimbarnya, kecuali untuk shalat tahiyyatul masjid saja, karena shalat ini tetap disunnahkan asalkan tidak lebih dari dua rakaat, apabila lebih dari itu maka shalatnya tidak sah. Namun hukum ini tidak berlaku untuk khutbah-khutbah lain selain Juma‟at. Dimakruhkan pula untuk melakukan shalat Sunnah ketika iqamah untuk shalat wajib sedang dikumandangkan, lebih-lebih pada pelaksanaan shalat Juma‟at jika shalat Sunnah itu membuatnya tertinggal dari jamaah hingga rakaat kedua, shalat Sunnah tersebut hukumnya diharamkan dan harus dihentikan saat itu juga. Terkecuali jika dia sudah memulai shalat tersebut sebelum iqamah dikumandangkan, maka dia harus menyelesaikan shalat Sunnah tersebut selama dia tidak khawatir akan tertinggal shalat Juma‟at hingga imam mengucapkan salam, namun jika dia merasa khawatir maka dianjurkan baginya untuk

(23)

menghentikan shalat sunnahnya selama dia yakin tidak akan dapat mengejar shalat berjamaah di tempat yang lain.82

Menurut mazhab Maliki, shalat-shalat Sunnah dan apa pun selain shalat fardhu lima waktu, seperti shalat jenazah, sujud tilawah, dan sujud sahwi, haram untuk dilakukan pada tujuh waktu, yaitu antara waktu terbitnya matahari hingga sempurna terbitnya; antara waktu tenggelamnya matahari hingga sempurna terbenamnya; ketika khutbah Juma‟at disampaikan (termasuk khutbah id menurut pendapat yang diunggulkan dalam mazhab ini); ketika khatib hendak menuju ke mimbarnya; ketika waktu ikhtiyari (bebas) atau waktu dharuri (darurat) sudah sangat sempit; ketika teringat ada shalat wajib yang harus diqadha, sesuai dengan sabda Nabi SAW,

َكِلَذ الَِإ اَهَل ٌةَراَفَك َلَ اَهَرَكَذ اَذِإ اَهِّلَصُيإلَ ف ًة َلََص َىِسَن إنَم

“Barangsiapa yang terlupa akan shalat wajibnya, maka hendaknya dia langsung melaksanakan shalat tersebut saat teringat kembali. Tidak ada kafarah untuk keterlambatan itu kecuali dengan melaksanakannya”

Terakhir, ketika iqamah untuk shalat wajib dikumandangkan, sesuai dengan sabda Nabi SAW, “Apabila iqamah untuk pelaksanaan shalat telah dilakukan, maka tidak ada shalat lain yang harus dikerjakan kecuali shalat wajib.”83

82 Ibid, h. 663

83 Ibid, h. 663

(24)

Adapun waktu-waktu yang dimakruhkan untuk shalat Sunnah dan selain shalat fardhu yaitu ada lima. Pertama, antara waktu setelah fajar menyingsing hingga sebelum terbitnya matahari. Namun ada beberapa pengecualian. Satu:shalat Sunnah fajar. Shalat ini tidak dimakruhkan apabila dilakukan sebelum pelaksanaan shalat subuh, sedangkan jika dilakukan setelahnya maka hukumnya sama, yaitu makruh. Dua: shalat wirid, yaitu shalat yang dibiasakan oleh seseorang untuk dilakukan pada malam hari. Jika shalat ini dilakukan setelah fajar menyingsing, maka tidak dimakruhkan, bahkan dianjurkan, namun dengan syarat: 1. dilakukan sebelum shalat fajar dan shalat subuh. Apabila shalat subuhnya telah dilaksanakan terlebih dahulu, maka waktu untuk shalat wirid telah berlalu dan tidak perlu dilakukan.

Lain halnya jika seseorang terlupa untuk melakukannya dan baru teringat ketika mengerjakan shalat Sunnah fajar, maka boleh dihentikan shalat fajarnya dan melakukan shalat wirid. Atau dia teringat setelah shalat fajar itu selesai dilaksanakan, maka dia boleh mengerjakan shalat wiridnya dan mengulang shalat fajarnya, karena shalat wirid itu belum berakhir waktunya kecuali setelah pelaksanaan shalat subuh. 2. Dilakukan sebelum fajar mulai terang. Apabila waktu fajar sudah mulai terang meski matahari belum terbit, maka shalat wiridnya dimakruhkan. 3. Biasa dilakukan. Apabila seseorang tidak biasa melakukannya, maka dimakruhkan untuk shalat Sunnah setelah fajar menyingsing. 4. Keterlambatannya dikarenakan tidur terlalu

(25)

malam. Apabila keterlambatan itu dikarenakan malas atau semacamnya maka makruh baginya untuk shalat wirid setelah fajar menyingsing. 5. Tidak merasa khawatir jika mengerjakannya saat itu maka dia tidak akan tertinggal untuk shalat subuh berjamaah,jika dikhawatirkan terlambat maka dimakruhkan baginya untuk shalat wirid setelah fajar menyingsing, bahkan diharamkan jika dia berada di dalam masjid dan melihat shalat subuh berjamaah telah dimulai bersama imam rawatib. Tiga: shalat dua rakaat sebelum witir dan shalat witir.

Apabila keduanya belum dilakukan hingga fajar menyingsing, maka boleh dilakukan pada saat tersebut asalkan belum melaksanakan shalat subuh, kecuali dengan melakukannya waktu yang tersisa tinggal sedikit lagi hingga shalat subuhnya dilaksanakan pada waktu yang sangat mendesak. Jika demikian keadaannya maka sebaiknya dia meninggalkan kedua shalat Sunnah tersebut dan langsung mengerjakan shalat subuhnya. Empat: shalat jenazah dan sujud tilawah, dengan syarat dilakukan sebelum waktu fajar mulai terang. Keduanya boleh dilakukan meskipun setelah pelaksanaan shalat subuh.84

Kedua, antara waktu terbitnya matahari hingga sudah naik setinggi tombak, tepatnya dua belas jengkal tangan normal.

Ketiga, antara selesai dilaksanakannya shalat ashar hingga matahari terbenam. Terkecuali untuk shalat jenazah dan sujud tilawah, namun itupun sebelum ufuk berwarna kuning, adapun setelah itu

84 Ibid, h. 664

(26)

hukumnya dimakruhkan, kecuali jika dikhawatirkan jasad dari jenazah itu akan berubah aromanya.

Keempat, antara waktu terbenamnya matahari hingga pelaksanaan shalat maghrib.

Kelima, antara waktu sebelum pelaksanaan shalat id hingga selesai.85

Larangan untuk shalat Sunnah pada waktu-waktu tersebut (baik larangan yang dimakruhkan ataupun diharamkan), hanya berlaku jika shalat itu dilakukan pada saat itu dengan niat dan maksud yang disengaja. Maka apabila seeorang memulai shalat sunnahnya pada waktu-waktu tersebut secara sengaja, termasuk shalat nazar ataupun qadha, maka shalatnya terlarang. Adapun jika tidak diniatkan secara sengaja, misalnya, seseprang melakukan shalat fardhu pada waktu terlarang (yakni terlarang untuk shalat sunnah), lalu baru pada rakaat pertama dia teringat bahwa shalat fardhu sebelumnya belum dia kerjakan juga, maka dianjurkan baginya untuk menyelesaikannya hingga dua rakaat dan dialihkan niatnya menjadi shalat Sunnah. Jika shalat sunnahnya seperti itu maka tidak dimakruhkan.

Apabila seseorang memulai shalatnya di waktu diharamkan, maka dia harus menghentikan shalatnya, kecuali jika dia masuk ke dalam masjid saat imam sedang berkhutbah lalu langsung mendirikan shalat Sunnah karena lupa atau tidak tahu, maka dia tidak perlu

85 Ibid, h. 665

(27)

menghentikannya. Begitu juga jika dia telah memulai shalat sunnahnya dan tiba saatnya khatib untuk menuju mimbar, maka dia tidak perlu menghentikan shlat tersebut, bahkan dianjurkan baginya untuk melanjutkan shalatnya, meskipun belum mencapai satu rakaat.

Sedangkan jika dia memulai shalat sunnahnya di waktu yang dimakruhkan, maka menghentikan shalatnya tidak menjadi keharusan, tetapi hanya dianjurkan saja.

Dia juga tidak perlu mengqadha shalat-shalat Sunnah yang dihentikannya, baik pada waktu-waktu yang diharamkan ataupun di waktu-waktu yang dimakruhkan.86

3. Dalil-dalil tentang Waku Dilarang Shalat

ىالَص ايِبانلا انَأ ُرَمُع ِدإنِع إمُهاَضإرَأَو , َنوُّيِضإرَم ٌلاَجِر يِدإنِع َدِهَش :َلاَق ٍساابَع ِنإبا ِنَع َقُرإشَت ىاتَح حإبُّصلا َدإعَ ب ِة َلَاصلا ِنَع ىَهَ ن َمالَسَو ِهإيَلَع هاللا ِرإصَعإلا َدإعَ بَو ُسإماشلا

ىاتَح

َبُرإغَ ت

“Dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Telah bersaksi di sisiku (memberitahu) orang-orang yang ridha dan yang paling ridha di antara mereka menurutku adalah Umar bahwa Nabi SAW melarang mengerjakan shalat setelah Subuh hingga matahari terbit, dan setelah Ashar hingga matahari terbenam.”87

ِجَرإعَإلأا إنَع َناابَح ِنإب ىَيإحَي ِنإب ِدامَحُم إنَع ٍكِلاَم ىَلَع ُتإأرَق َلاَق ىَيإحَي ُنإب ىَيإحَي اَنَ ثادَح اصلا ِنَع ىَهَ ن َمالَسَو ِهإيَلَع ُهاللا ىالَص ِهاللا َلوُسَر انَأ َةَرإ يَرُه يِبَأ إنَع ىاتَح ِرإصَعإلا َدإعَ ب ِة َلَ

ُسإماشلا َعُلإطَت ىاتَح ِحإبُّصلا َدإعَ ب ِة َلَاصلا ِنَعَو ُسإماشلا َبُرإغَ ت

“Yahya bin Yahya telah memberitahu kepada kami, ia berkata, saya membacakan kepada Malik dari Muhammad bin Yahya bin Habban, dari Al-A‟raj, dari Abi Hurairah, bahwasanya Rasullah SAW melarang shalat

86 Ibid, h. 665

87 Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Syarah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013), h.429

(28)

setelah ashar hingga terbenam matahari, dan shalat setelah Subuh hingga terbit matahari.”88

ِسإماشلا ُبِجاَح اَدَب اَذِإ َمالَسَو ِهإيَلَع ُهاللا ىالَص ِهاللا َلوُسَر َلاَق َلاَق َرَمُع ِنإبا إنَع َبيِغَت ىاتَح َة َلَاصلا اوُرِّخَأَف ِسإماشلا ُبِخَاح َباَغ اَذِإَو َزُرإ بَ ت ىاتَح َة َلَاصلا اوُرِّخَأَف

“Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, Jika ujung matahari sudah mulai terlihat, maka tundalah shalat hingga terbit dengan sempurna dan jika ujung matahari mulai lenyap, maka tundalah shalat hingga terbenam dengan sempurna.”89

4. Hukum Shalat Tahiyyatul Masjid di Waktu Terlarang

Mazhab Hanafi secara tegas berkata bahwa tidak boleh melaksanakan shalat pada waktu-waktu tersebut, baik itu shalat wajib maupun shalat Sunnah, qadha ataupun tidak. Tetapi mereka mengecualikan shalat jenazah jika harus dilaksanakan pada waktu itu atau sujuh tilawah.90 Apabila shalat Sunnah dilakukan pada waktu terlarang, meskipun hukumnya makruh tahrim tetapi shalatnya tetap sah. Jika seseorang sedang melakukan shalat Sunnah lalu dia menyadari bahwa saat itu adalah waktu yang terlarang, maka diwajibkan baginya untuk menghentikan shalatnya dan melakukannya di waktu-waktu yang diperolehkan.91

Sementara itu, mazhab Syafi‟I berkata bahwa melaksanakan shalat Sunnah yang tanpa sebab pada waktu-waktu ini adalah makruh.92 Adapun shalat-shalat Sunnah yang dilakukan berdasarkan sebab tertentu, seperti shalat tahiyyatul masjid, shalat setelah wudhu, dan shalat setelah thawaf,

88 Imam An-Nawawi, Op.cit, h. 531

89 Ibid, h. 535

90 Sayyiq Sabiq, Op.cit, h. 170

91 Abdurrahman Al-Juzairi, Loc.cit,

92 Sayyiq Sabiq, Loc.cit

(29)

maka shalat itu tetap sah meski dilakukan pada waktu-waktu tersebut karena adanya sebab yaitu memasuki masjid, wudhu, dan thawaf. 93

Setelah itu, mazhab Maliki berpendapat bahwa melaksanakan shalat Sunnah pada waktu terlarang tidaklah diperbolehkan, meskipun itu adalah shalat Sunnah yang memiliki sebab.94

Adapun pengikut Imam Ibnu Hanbal berpendapat bahwa tidak diperbolehkan melaksanakan shalat Sunnah secara mutlak dalam waktu- waktu ini. Baik itu ada sebabnya maupun tidak, baik itu dilakukan di Makkah atau tempat lainnya, baik itu hari Jumaat atau bukan. Kecuali shalat tahiyyatul masjid pada hari Jumaat; mereka memperbolehkan pelaksanaannya pada waktu istiwa‟ pada hari Jumaat, atau di tengah- tengah khotbah. 95

93 Abdurrahman Al-Juzairi, Loc.cit

94 Sayyid Sabiq, Loc.cit

95 Ibid, h. 170

Referensi

Dokumen terkait

Activity Based Costing menurut William Carter (2009:528) menyatakan bahwa; “ Activity Based Costing didefisinisikan sebagai suatu sistem perhitungan biaya dimana tempat

melawan hukum internasional yang dilakukan oleh suatu negara jika perilaku itu mencakup tindakan atau kelalaian yang dapat dihubungkan dengan negara itu menurut

Dalam kaitannya dengan konsep pemberdayaan masyarakat, menurut Payne dalam Isbandi mengemukakan bahwa suatu pemberdayaan (empowerment), pada intinya, ditujukan

Menurut hasil wawancara yang telah penulis lakukan pada salah satu tempat untuk mengajukan klaim jaminan produk atau garansi Laptop yaitu pada ACER Costumer Service Center

Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir semua di pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut, karena pada

Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.. Bahwa Nabi SAW mengutus Muadz bin Jabal R.A. Jika

Menurut Perpustakaan Nasional RI tahun 2005:4 perpustakaan adalah unit kerja yang memiliki sumber daya manusia sekurang- kurangnya seorang pustakawan, ruangan/

Sedangkan, Menurut Depsos RI (2004: 4), Panti Sosial Asuhan Anak adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan