12 BAB IV
PEMBAHASAN 4.1 Perkembangan PDRB
Tahun 2000-2010 perhitungan PDRB terdiri dari sembilan sektor ekonomi, diantaranya terdiri dari: sektor pertanian (1), sektor pertambangan dan penggalian (2), sektor industri pengolahan (3), sektor listrik, gas, dan air bersih (4), sektor bangunan (5), sektor perdagangan, hotel, dan restoran (6), sektor pengangkutan dan komunikasi (7), sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (8), dan sektor jasa-jasa (9).
BPS mengimplementasikan SNS (Sistem Neraca Nasional) 2008 dengan kerangka SUT (supply and use tables) untuk merubah tahun dasar dalam penyusunan PDB (Waisapy, 2014). Perhitungan PDB sebelumnya menggunakan tahun dasar 2000 dengan total 9 lapangan usaha. Dengan dirubahnya tahun dasar menjadi tahun 2010 perhitungan PDB juga berubah dari sebelumnya hanya 9 lapangan usaha menjadi 17 lapangan usaha.
17 sektor lapangan usaha tersebut, yaitu: sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (A); sektor pertambangan dan penggalian (B); sektor industri pengolahan (C); sektor pengadaan listrik dan gas (D); sektor pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang (E); sektor kontruksi (F); sektor perdagangan besar dan eceran;
reparasi mobil dan sepeda motor (G); sektor transportasi dan pergudangan (H); sektor penyediaan akomodasi dan makan minum (I); sektor informasi dan komunikasi (J);
sektor jasa keuangan dan asuransi (K); sektor real estate (L); sektor jasa perusahaan (M,N); jasa administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib (O);
sektor jasa pendidikan (P); sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (Q); dan sektor jasa lainnya (R,S,T,U).
17 sektor tersebut dikelompokkan menjadi 9 sektor lapangan usaha. 9 sektor tersebut yaitu: sektor A (1); sektor B (2); sektor C (3); sektor D dan E (4); sektor F (5);
13 sektor G (6); sektor H, I, dan J (7); sektor K, L, dan M,N (8); sektor O, P, Q, dan R,S,T,U (9).
Data dari PDRB Jawa Tengah dan PDB Indonesia kemudian disamakan tahun dasarnya menjadi tahun dasar 2010. Untuk PDRB Jawa Tengah yang menggunakan tahun dasar 2000 dikalikan dengan nilai k sebesar 3,332877 (didapat dari pembagian PDRB tahun 2010 tahun dasar 2010 dibagi dengan PDRB tahun 2010 tahun dasar 2000). Untuk PDB Indonesia dengan tahun dasar 2000 juga dikalikan dengan nilai k sebesar 2.87069359543225.
4.2 Analisis Shift Share Klasik
Tabel 1. Hasil Analisis Shift Share Klasik Provinsi Jawa Tengah Tahun 2000-2019
Lapangan Usaha Industry Mix Share Differential Shift Shift Share Eij*(rin-rn) Eij*(rij-rin) Dij
1 -38624842.84 -61591703.68 -100216546.5
2 -3422115.422 15568504.9 12146389.48
3 -66687728.05 100396904.5 33709176.44
4 6674999.65 -12324322.3 -5649322.647
5 41227968.73 17026201.44 58254170.16
6 -33549301.06 -44619015.8 -78168316.86
7 80745097.54 -5954992.568 74790104.97
8 4021721.108 8161728.352 12183449.46
9 5204190.185 -1145664.483 4058525.702
Total -4410010.157 15517640.35 11107630.19 Sumber: Badan Pusat Statistik (2015, 2017, 2018, 2020 dan 2020), data diolah
Total shift berdasarkan tabel tersebut bernilai positif (Rp 11.107.630,19 juta), menunjukkan bahwa perekonomian daerah lebih baik dari nasional dan juga
14 merupakan indikasi keseluruhan sektor ekonomi tergolong sektor yang progresif. Hasil dari pergeseran bersih (IMS + DS) menunjukkan sektor yang maju dalam perekonomian Jawa Tengah adalah sektor 2 (pertambangan dan penggalian), 3 (industri pengolahan), 5 (bangunan), 7 (pengangkutan dan komunikasi), 8 (keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan), dan 9 (jasa-jasa). Sektor-sektor tersebut termasuk sektor maju dikarenakan memiliki nilai pergeseran bersih yang positif. Sektor 1 (pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan), 4 (listrik, gas, dan air bersih), dan 6 (perdagangan, hotel dan restoran) termasuk golongan sektor lambat karena memiliki nilai pergeseran bersih negatif.
Hasil total IMS bernilai negatif (-4.410.010,157) berarti secara keseluruhan pertumbuhan sektor ekonomi di Jawa Tengah lebih lambat dari pertumbuhan sektor ekonomi nasional. Sektor 4, sektor 5, sektor 7, sektor 8, dan sektor 9 memiliki nilai IMS positif. Sektor 4, sektor 5, sektor 7, sektor 8, dan sektor 9 di Jawa Tengah memiliki pertumbuhan lebih cepat dan akan berspesialisasi pada pertumbuhan dari sektor yang sama secara nasional (Abidin, 2015; Darma, 2017). Nilai IMS maksimum ditempati oleh sektor 7 sebesar Rp 80.745.097,54 juta. Nilai IMS minimum ditempati oleh sektor 3 (-66.687.728,05)
Hasil dari total DS adalah sebesar Rp 15.517.640,35 dengan nilai positif yang berarti memiliki keunggulan komparatif. Sektor 1, sektor 4, sektor 6, sektor 7, dan sektor 9 memiliki nilai DS negatif. Nilai DS negatif memiliki arti bahwa sektor tersebut belum memiliki keunggulan komparatif (Abidin, 2015).
15 4.3 Analisis Shift Share Arcelus
Tabel 2. Hasil Analisis Shift Share Arcelus Provinsi Jawa Tengah Tahun 2000- 2019
Lapangan Usaha
Regional Growth Effect
Industry Mix Share
Rij Mij
1 -134756162.5 73164458.81 2 -5675822.778 21244327.68 3 -184090244.8 284487149.3 4 -4476725.52 -7847596.776 5 -27145437.79 44171639.23 6 -134452159.5 89833143.74 7 -26728738.38 20773745.82 8 -22390196.47 30551924.83 9 -51946814.82 50801150.34 Total -591662302.6 607179943
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015, 2017, 2018, 2020 dan 2020), data diolah Total perhitungan shift share Arcelus sebesar Rp 15.517.640,35 juta. Hasil dari total pengaruh pertumbuhan wilayah provinsi Jawa Tengah sebesar -591.662.302,6 (Rij<0) yang berarti keterkaitan antar sektor di wilayah Jawa Tengah lemah (Abidin, 2015). Nilai dari Rij negatif dikarenakan laju pertumbuhan regional (1,019478) lebih lambat dari laju pertumbuhan tingkat nasional (2,566141). Hal tersebut mengindikasikan perubahan di suatu sektor akan memiliki pengaruh rendah terhadap sektor lainnya. Dengan kata lain permintaan terhadap output sektor-sektor tersebut lemah.
Nilai dari bauran industri sektor listrik, gas dan air bersih (4) bernilai negatif, artinya sektor listrik, gas dan air bersih belum memberikan pengaruh yang signifikan
16 dalam pertambahan output wilayah dan akan memiliki potensi untuk menjadi kontributor dalam pertumbuhan wilayah jika disertai dengan penerapan teknologi, sarana, dan prasarana yang memadai agar tingkat efisiensi tercapai. 8 sektor lainnya memiliki nilai Mij positif yang berarti sektor-sektor tersebut mampu memberikan pengaruh yang signifikan (kontribusi positif) dalam pertumbuhan output wilayah dan memiliki potensi untuk menjadi kontributor pertumbuhan wilayah apabila disertai dengan penerapan sarana prasarana serta teknologi yang memadai.
4.4 Analisis Shift Share E-M
Tabel 3. Hasil Analisis Shift Share E-M Provinsi Jawa Tengah Tahun 2000-2019
LU
National Share
Industry Mix Share
Differential Shift
Allocation
Effect Shift Share
Eij*rn Eij*(rij-rn) E'ij*(rij-rin) (Eij-E'ij) *
(rij-rin) a + b + c + d
a b c d
1 136361977.5 -100216546.5 -87160674.32 25568970.63 -25446272.67 2 5743458.434 12146389.48 91515567.98 -75947063.07 33458352.82 3 186283947 33709176.44 286085361.4 -185688456.9 320390027.9 4 4530072.195 -5649322.647 -7555445.393 -4768876.903 -13443572.75 5 27468915.04 58254170.16 100241842.7 -83215641.26 102749286.6 6 136054351.9 -78168316.86 -74350203.73 29731187.92 13267019.28 7 27047250.05 74790104.97 -41070272.01 35115279.44 95882362.45 8 22657008.12 12183449.46 27817691.8 -19655963.45 43002185.94 9 52565836.43 4058525.702 -3078469.762 1932805.279 55478697.65 Sum 598712816.7 11107630.19 292445398.7 -276927758.3 625338087.3
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015, 2017, 2018, 2020 dan 2020), data diolah Toal shift hasil dari analisis shift share E-M di Jawa Tengah adalah Rp 625.338.087,3 juta. Total shift tertinggi disumbangkan oleh sektor 3. Total shift terendah
17 disumbangkan oleh sektor 1. Total shift bernilai positif menunjukkan bahwa perekonomian daerah lebih baik dari nasional (Ropingi, 2012).
Hasil dari analisis shift share Estaban Marquillas berdasarkan efek lokasi pada tabel 3 terlihat bahwa sektor perekonomian di Provinsi Jawa Tengah memiliki alokasi PDRB yang kurang baik untuk setiap sektor ekonomi yang ada. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai total efek lokasi yang bernilai negatif, yang berarti pendistribusian PDRB kurang baik dan tidak sesuai dengan kelebihan masing-masing sektor tersebut (Ropingi, 2012).
Dilihat dari distribusi per sektor ekonomi didapat sektor pengangkutan dan komunikasi (7) mendapatkan keuntungan yang paling besar, yaitu sebesar Rp 35.115.279,44 juta. Disusul oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran (6) sebesar Rp 29.731.187,92 juta, sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan (1) sebesar Rp 25.568.970,63 juta, sektor jasa-jasa (9) sebesar Rp 1.932.805,279 juta. Sektor- sektor tersebut merupakan sektor ekonomi yang memiliki nilai efek alokasi positif, yang berarti memiliki potensi sebagai penyumbang pendapatan daerah di Jawa Tengah.
Dengan kata lain ke empat sektor tersebut (sektor 7, 6, 1, dan 9) memiliki keunggulan kompetitif.
Tabel 4. Pembagian Kuadran Hasil Analisis Shift Share E-M Provinsi Jawa Tengah Tahun 2000-2019
Kuadran Aij>0 ; (Eij-E’ij)>0 Aij<0 ; (Eij-E’ij)<0 (rij-rin)<0 1: sektor 4 2: sektor 1, 6, 7, 9 (rij-rin)>0 4: - 3: sektor 2, 3, 5, 8
Sumber: Badan Pusat Statistik (2015, 2017, 2018, 2020 dan 2020), data diolah Hasil dari tabel 4 tersebut tidak ada sektor yang memiliki keunggulan kompetitif dan berspesialisasi di Jawa Tengah (kuadran 4). Kuadran 1 diisi oleh sektor 4, artinya sektor 4 di Jawa Tengah tidak memiliki keunggulan kompetitif namun berspesialisasi. Kuadran 2 diisi oleh sektor 1, sektor 6, sektor 7, dan sektor 9, artinya
18 sektor-sektor tersebut tidak memiliki keunggulan kompetitif dan tidak berspesialisasi di Jawa Tengah. Kuadran 3 diisi oleh sektor 2, sektor 3, sektor 5, dan sektor 8. Sektor 2, sektor 3, sektor 5, dan sektor 8 memiliki alokasi yang kurang menguntungkan sebab Jawa Tengah belum menspesialisasikan sektor-sektor tersebut karena belum berkembang secara meluas namun memiliki keunggulan kompetitif.
4.5 Diskusi Temuan Penelitian
Penelitian tentang struktur ekonomi di Jawa Tengah telah dilakukan oleh beberapa orang dengan mengunakan alat analisis yang berbeda-beda. Penelitian Chadhiq et al. (2010) tahun 2002-2006 menggunakan alat analisis LQ dan SS Klasik dengan hasil penelitian tingkat ketimpangan pendapatan masih tinggi serta wilayah pembangunan utamanya adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Penelitian dari Hasani (2010)pada tahun 2003-2008 menggunakan alat analisis SS Klasik dengan hasil penelitian struktur telah bergeser dari pertanian ke industri serta penyerapan tenaga kerja terbesar terjadi pada sektor industri.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumya adalah pada penelitian ini peneliti penggunakan 3 alat analisis, yaitu shift share Klasik, Arcelus dan E-M.
Periode waktu pada penelitian ini pun memiliki rentang yang lebar yaitu selama 20 tahun, tahun 2000-2019. Hasil dari penelitian dengan analisis shift share Klasik, Arcelus, dan E-M muncul sektor yang sama yaitu sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa.