1.1 Latar Belakang
Perkawinan adalah suatu perjanjian yang suci, kuat, dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk rumah tangga yang kekal, santun menyantuni dan kasih mengasihi1. Sedangkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa2.
Adapun perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam atau (KHI) yaitu sebagai salah satu ibadah muamalah. Ketentuan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa “Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakn ibadah yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
Pengertian perkawinan yang disebutkan di atas berarti memberikan ketentuan bahwa perkawinan merupakan suatu perbuatan suci yang memerlukan aturan- aturan untuk mengaturnya, oleh karena itu pada tempat-Nyalah apabila Islam mengatur perkawinan amat teliti dan terperinci untuk membawa manusia hidup berkehormatan sesuai dengan kedudukannya yang amat mulia di tengah makhluk- makhluk Allah yang lain.
Salah satu hal yang menjadi permasalahan dalam perkawinan saat ini adalah jumlah para pihak yang akan melangsungkan perkawinan. Salah satu contoh yang dapat dilihat pada perkawinan yang kedua oleh seorang lelaki mengawini seorang
1 Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI Press), 1986, hlm 47.
2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Bandung : Citra Umbara, 2007), hlm 2.
1
perempuan lain ketika dia masih mempunyai istri, hal ini disebut dengan Poligami. Definisi poligami adalah “sebagai bentuk perkawinan di mana seorang laki-laki mempunyai beberapa istri dalam waktu yang sama”3. Perkawinan bentuk ini adalah bentuk perkawinan yang menikahi beberapa perempuan dalam waktu yang sama, yaitu seorang suami yang mempunya lebih dari satu istri. Perkawinan ini telah ada sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul dan sampai saat ini poligami masih terjadi di kalangan umat Islam.
Dengan demikian seseorang dapat dikatakan berpoligami bila jumlah istri yang dimilikinya pada saat yang bersamaan, bukan jumlah perkawinan yang pernah dilakukan. Jika ada seorang suami yang ditinggal mati oleh istrinya, kemudian ia menikah lagi maka hal ini tidak dapat dikatakan sebagai poligami, karena dia hanya menikahi satu orang istri pada waktu yang bersamaan. Sehingga apabila seseorang melakukan pernikahan sebanyak empat kali atau lebih, tetapi jumlah istri terakhir hanya satu orang maka hal yang demikian itu juga tidak dapat dikatakan poligami. Dikatakan poligami apabila seorang suami mempunyai lebih dari seorang istri secara bersamaan. 4 Dalam istilah Bahasa Indonesia, poligami dikenal juga dengan istilah “madu” yang digunakan untuk menunjuk kepada laki- laki yang memperistri perempuan lebih dari satu waktu. Istilah ini digunakan untuk menunjuk adanya pengumpulan atau pemaduan dua perempuan atau lebih dalam satu lembaga perkawinan.
Merujuk pada Pasal 1 ayat 1 dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974, perkawinan dapat dikatakan sah apabila adanya ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita, yang dapat dikatakan bahwa dalam pasal ini berasaskan monogami, yaitu “seorang pria” hanyalah untuk “seorang wanita”.
Meskipun dalam keadaan tertentu seorang pria diperbolehkan bahkan dianjurkan berpoligami, namun pasal ini lebih mengarahkan bahwa seorang laki-laki lebih baik menikahi seorang wanita saja. Bahkan dalam perspektif hukum perkawinan Islam lebih diutamakan menikahi seorang wanita saja agar terjauh dari perbuatan
3 Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari UU no. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. (Jakarta : Bumi Aksara), 1996, hlm 11.
4 Maknum, A. Rodli. Poligami dalam Tafsir Muhammad Syahrur. (Ponorogo : STAIN Ponorogo Press) 2009, Cet. Pertama, hlm 16.
dzalim. Maka dari itu penulis mengambil judul “Konsep Poligami Menurut Perspektif Perkawinan Islam UU No. 1 Tahun 1974” agar penulis mengetahui bagaimana konsep poligami menurut perspektif Hukum Perkawinan Islam dan perspektif Undang-Undang.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka dari itu identifikasi masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Pengertian Poligami.
b. Sejarah Singkat tentang Poligami.
c. Poligami dalam Islam dan di Indonesia menurut UU No. 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Lainnya.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Poligami
Dalam bahasa Arab, poligami disebut ta’did zaujah (bilangan pasangan). Kata
“poligami” terdiri atas kata poli, artinya banyak dan gami, artinya istri5. Poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu polos, polus, atau polys yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin. Jadi, poligami artinya adalah kawin banyak atau suami memiliki istri banyak atau pada saat bersamaan seorang laki- laki menikah dengan lebih dari satu istri.6 Poligami juga dapat diartikan perkawinan antara seorang dengan dua orang atau lebih (namun cenderung diartikan perkawinan satu orang suami dengan dua orang istri atau lebih).
Menurut istilah, Siti Musdah mulai merumuskan poligami adalah ikatan perkawinan dalam hal suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama. Laki-laki melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan melakukan poligami. Sedangkan menurut Nuruddin ‘itr masyarakat Barat (Eropa dan Amerika) memandang bahwa poligami merupakan sistem pernikahan yang akan membuat pertentangan dan perpecahan antara suami, istri, dan anak-anak.
Bahkan, poligami dinilai sebagai hal yang dapat mengakibatkan tumbuhnya perilaku buruk pada anak-anak.
Jadi, poligami adalah perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki (suami) yang mempunyai lebih dari seorang atau banyak istri dalam waktu yang sama.7 Istilah poligami secara khusus mengacu pada perkawinan seorang laki-laki dengan beberapa orang perempuan dengan batasan umum hanya dibolehkan menikahi empat wanita saja dalam tinjauan Islam.
2.2 Sejarah Singkat tentang Poligami
5 Bunyamin, H. Mahmudin. Hukum Perkawinan Islam. (Bandung : Pustaka Setia), 2017, hlm 99.
6 Ibid, hlm 99.
7 Hamdi. Buku Ajar Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Yogyakarta : Deepublish), 2018, hlm 65-66.
Hampir seluruh bangsa di dunia, sejak zaman dahulu masyarakat sudah tidak asing dengan poligami. Sebelum Islam, poligami sudah dikenal oleh orang-orang Hindu, bangsa Israil, Persia, Arab, Romawi, Babilonia, Tunisia, dan lain-lain.
Bangsa Yahudi membolehkan poligami. Nabi Musa a.s tidak melarang, bahkan tidak membatasi jumlah istri seorang laki-laki berpoligami. Ajaran Zoroaster melarang bangsa Persi berpoligami, tetapi membolehkan memelihara gundik sebab sebagai negara yang banyak berperang, bangsa Persi memerlukan banyak anak laki-laki. Akhirnya, praktik poligami terjadi juga di kalangan bangsa Persi.
Dengan demikian, tidak ada peraturan yang melarang poligami.
Bangsa Romawi juga mengenal poligami. Raja atau kaisar mereka pun berpoligami. Bangsa Yunani dan Negara Athena pun membolehkan poligami tanpa membatasi jumlah istri. Bangsa Arab sebelum Islam juga mengenal poligami, banyak sahabat Nabi yang beristri lebih dari empat orang. Setelah ayat Al-Qur’an membatasi jumlah istri dalam perkawinan poligami adalah empat orang di antara para istrinya yang banyak itu, untuk tetap menjadi istri dan yang lainnya dicerai8. Dr. August Forel dalam buku Het Sexueele Vraag Stuk, yang dikutip Nadimah Tanjung dalam bukunya Islam dan Perkawinan mengatakan bahwa poligami ini telah dijalankan oleh bangsa-bangsa sejak primitif, bahkan sampai sekarang. Bahkan bangsa Romawi yang menerapkan peraturan ketat kepada rakyatnya untuk tidak beristri lebih dari seorang, kaum raja dan bangsawan banyak yang memelihara gundik yang tidak terbatas jumlahnya.
Menurut sejarah, orang-orang besar dan ternama sering melakukan poligami seperti Raja Solomon yang mempunyai lebih dari satu istri dan banyak selir, demikian pula Raja Niger di Afrika.
Dengan demikian, poligami tidak harus dikaitkan dengan Islam karena agama-agama lain baik agama purba maupun agama-agama yang datang belakangan pun mengenal poligami. Prof. Wirjono Prodokoro dalam bukunya Hukum Perkawinan di Indonesia mengutip tulisan Dr. V. B. Korn dalam Het Adatrecht Va Bali mengatakan bahwa menurut buku Hukum Putra Sarana,
8 Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. (Yogyakarta : Gajah Mada University Press), 1987, hlm 34.
seorang laki-laki hanya dibolehkan beristri seorang dari kastanya dan orang masing-masing kasta di bawah kastanya sendiri.9 Tulisan Dr. V. B. Korn menyebutkan suatu bantahan bahwa poligami bukan diciptakan oleh Islam dan bukan hanya dikenal oleh Islam. Terbukti bahwa jauh sebelum Islam datang, perkawinan ini telah dilakukan oleh berbagai bangsa serta berbagai agama dan kepercayaan di seluruh dunia.
Kedatangan Islam hanya membatasi jumlah istri yang dapat dimiliki suami dalam berpoligami. Jadi, pada dasarnya syariat Islam dalam berpoligami adalah dalam upaya mengangkat derajat wanita, seperti yang diharapkan dalam hakikat perkawinan. Islam datang untuk mengatur poligami. Dalam Al-Qu’ran Surah An- Nisa ayat 3 membolehkan poligami dalam konteks ayat sebelumnya merupakan jalan keluar dari kewajiban berbuat adil yang mungkin tidak terlaksana terhadap anak-anak yatim.
2.3 Poligami dalam Islam dan di Indonesia 2.3.1 Poligami dalam Islam
Menurut Mahmud Syaltut, hukum poligami adalah mubah, selama tidak dikhawatirkan terjadinya penganiayaan terhadap istri. Pada dasarnya poligami adalah masalah keadilan dan tidak terjadinya penganiayaan terhadap istri. Islam membolehkan poligami sampai empat orang istri dengan syarat berlaku adil kepada mereka , yaitu adil dalam melayani istri, seperti nafkah, tempat tinggal, pakaian, dan hal-hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak dapat berbuat adil, maka cukup satu istri saja (monogami). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa ayat 3 :
َنّم مُكَل َباَََط اَم ۟اوُحِكنٱَف ٰىَم َٰتَيْلٱ ىِف ۟اوُط ِسْقُت للَأ ْمُتْفِخ ْنِإ َو
ْوَأ ًةَدََِح َٰوَف ۟اوُلِد ََْعَت للَأ ْمُتْفِخ ْنِإَََف ۖ َع َََٰبُر َو َثَٰلُث َو ٰىَنْثَم ِٓءاَسّنلٱ
۟اوُلوُعَت للَأ ٰٓىَنْدَأ َكِل َٰذ ۚ ْمُكُن َٰمْيَأ ْتَكَلَم اَم
9 Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. (Bandung : Pustaka Setia), 2000, hlm 120.
Artinya : “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak- hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat dzalim”.
Ayat tersebut turun (azbabun nuzulnya) berkaitan dengan sikap Ghillan (seorang suami yang ingin menikahi anak-anak yatim yang cantik dan kaya, yang berada di bawah perwaliannya, tanpa maskawin/mahar). Menurut kebiasaan yang berlaku pada masyarakat Arab jahiliah terdahulu, para wali anak yatim mencampuradukkan hartanya dengan harta anak yatim yang dipelihara. Jika anak perempuan itu cantik dan memiliki banyak harta, wali menikahinya tanpa mahar atau dengan mahar yang sedikit. Akan tetapi, jika anak tersebut tidak cantik, wali enggan menikahkannya dengan orang lain, agar harta anak yatim tidak jatuh ke tangan orang lain. Oleh sebab itu, ayat tersebut menyebutkan jika wali tersebut khawatir tidak berbuat adil kepada anak yatim, para wali itu dianjurkan untuk menikahi perempuan lain, boleh dua, tiga, atau empat. Dengan demikian, maksud dari ayat tersebut adalah larangan menikah lebih dari empat dengan tujuan menjaga agar harta anak yatim dipergunakan oleh wali mereka.
Al-Juzairi dalam Al-Fiqh ‘ala Madzahid Al-Arba’ah mengungkapkan tentang pokok poligami pada dasarnya terletak pada persoalan “adil”. Jika takut tidak dapat berbuat adil, cukup menikah dengan satu istri. Sebaliknya, jika mampu bersikap adil, dibolehkan beristri lebih dari satu. Oleh karena itu, syarat adil adalah wajib. Meskipun dalam hal tertentu, menegakkan adil dalam hal beristri lebih dari satu hukumnya mandub (sunnah).
Islam memandang poligami lebih banyak resiko/mudarat daripada manfaat karena manusia menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dalam kehidupan poligami.
Dengan demikian, poligami dapat menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dan istri-istri maupun konflik antara istri-istri
dan anaknya masing-masing. Oleh karena itu, hukum perkawinan dalam Islam adalah monogami karena akan memudahkan menetralisasi sifat atau watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh dalam kehidupan keluarga yang harmonis.
Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligami, orang akan mudah peka dan menimbulkan perasaan cemburu, iri hati/dengki, dan suka mengeluh sehingga dapat mengganggu ketenangan keluarga dan membahayakan keutuhan keluarga.
Maka dari itu poligami hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat, misalnya istri yang mandul. Dalam keadaan istri mandul dan suami tidak mandul berdasarkan keterangan medis, suami diizinkan berpoligami dengan syarat ia mampu memberi nafkah untuk semua keluarga dan harus bersikap adil dalam pemberian nafkah lahir dan waktu tinggalnya.
2.3.2 Poligami di Indonesia (UU No. 1 Tahun 1974)
Di Indonesia, masalah poligami diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 3, 4, dan 5 yang menentukan bahwa perkawinan berasas monogami, tetapi membuka kemungkinan atas izin pengadilan dengan alasan istri tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai istri, istri cacat atau mempunyai penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau istri mandul, dan dengan syarat mendapatkan izin dari istri/istri-istri terdahulu, mampu memberikan nafkah, dan dapat berlaku adil. Adapun Peraturan Pemerintah RI No. 9 Tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) aturannya dipisahkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.
10 Tahun 1983 tenang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS. Adapun sebagai hukum materiil bagi orang Islam, terdapat ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Seorang suami yang ingin berpoligami harus mendapat izin dari pengadilan.
Permintaan izin tersebut dalam bentuk pengajuan perkara yang bersifat kontentius/sengketa. Agar pengadilan dapat mengabulkan permohonan izin poligami, perkara tersebut harus memenuhi alasan-alasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1974, yakni :
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
2. Istri terdapat cacat yang tidak dapat disembuhkan;
3. Istri tidak dapat melahiran keturunan.
Alasan-alasan tersebut bersifat fakultatif dan bukan bersifat imperatif- kumulatif. Artinya salah satu dari hal itu dijadikan alasan permohonan poligami ke pengadilan dan permohonan dapat mendukung alasan permohonannya dengan bukti-bukti yang cukup maka permohonannya untuk beristri lebih dari seorang dapat dikabulkan oleh pengadilan.
Persyaratan lain yang harus dipenuhi oleh laki-laki yang mengajukan permohonan izin untuk berpoligami (beristri lebih dari satu orang) kepada pengadilan diatur dalam Pasal 5 :
1. Harus ada persetujuan dari istri;
2. Harus ada kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan istri dan anak-anak mereka;
3. Harus ada jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak mereka.
Persyaratan yang tercantum dalam Pasal 5 ini bersifat kumulatif, artinya Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah hanya dapat memberi izin poligami kepada seorang suami apabila semua persyaratan tersebut telah dipenuhi. Jika satu syarat tidak dipenuhi, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah harus menolak permohonan tersebut.
Dalam Buku II Pedoman Mahkamah Agung RI dijelaskan bahwa pada saat pengajuan permohonan izin poligami dari seorang suami harus pula diajukan permohonan penetapan harta bersama dengan istrinya terdahulu. Jika permohonan penetapan harta bersama itu tidak diajukan, ada dua hal yang dapat terjadi.
1. Istrinya terdahulu dapat mengajukan gugatan rekonvensi atas penetapan harta bersama.
2. Jika istrinya terdahulu tidak mengajukan rekonvensi, Pengadilan Agama harus menyatakan permohonan poligami tersebut tidak dapat diterima.
Maksud poligami menurut Undang-Undang diperbolehkan, tidak hanya kesanggupan berbuat adil, tetapi juga persetujuan dari istri terdahulu. Hal ini mengisyaratkan bahwa pelaksanaan poligami di Pengadilan Agama menganut prinsip “menutup pintu terbuka”. Yang artinya poligami itu tidak diizinkan dan hanya dalam hal atau keadaan tertentu poligami diizinkan. Pada dasarnya poligami hanya sebuah alternatif yang harus dibuktikan kebenarannya oleh suami yang mengajukan poligami di persidangan apabila istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, atau menderita cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau mandul. Apabila istri mandul, pembuktiannya diperlukan visum dari dokter spesialis/ahli kandungan. Permohonan poligami yang tidak memenuhi alasan dan syarat-syarat tersebut sangat beralasan jika perkaranya ditolak oleh hakim.
Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 menyebutkan, “Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan”. Adapun Kompilasi Hukum Islam Pasal 56 menyatakan :
1. Suami yang berhak beristeri lebih dari satu orang, harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.
3. Perkawinan yang dilakukan oleh istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seseorang apabila :
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
2. Istri terdapat cacat atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pengadilan Agama setelah memeriksa permohonan izin poligami, kemudian memeriksa :
1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi (Pasal 41a) ialah meliputi keadaan seperti (Pasal 57) KHI di atas.
2. Ada atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tulisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan pengadilan.
3. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan :
a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
b. Surat keterangan pajak penghasilan,
c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
Poligami di Indonesia yang diatur oleh berbagai peraturan menunjukkan bahwa syarat berpoligami tidak hanya dapat berlaku adil saja, tetapi dipenuhi juga dengan syarat-syarat yang ketat dan dapat dibuktikan serta wajib mendapatkan persetujuan dari istri/istri-istri terdahulu secara lisan maupun tulisan. Dalam hal ini pun Allah SWT sudah berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 129 :
َلَف ۖ ْمُت ََْصَرَح ْوَََل َو ِٓءا َََسّنلٱ َنْيَب ۟اوُلِدََْعَت نَأ ۟ا ٓوُعي ِطَت ََْسَت نَل َو
۟اوََُقلتَت َو ۟اوُحِل ََْصُت نِإ َو ۚ ِةَََقللَعُمْلٱَك اَهوُرَذَََتَف ِلْيَمْلٱ للُك ۟اوُليِمَت اًميِح لر ا ًروُفَغ َناَك َ للٱ لنِإَف
Artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri- istri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Pada ayat ini dijelaskan bahwa manusia sekalipun tidak akan dapat berlaku adil kepada istri-istrinya meskipun ingin sekali berlaku adil secara merata. Maka dalam Surah An-Nisa ayat 3 jika dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah satu wanita saja karena dapat menjauhkan seseorang dari perbuatan dzalim.
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
Poligami adalah salah satu jenis perkawinan yang dilakukan oleh seorang suami yang menikahi lebih dari seorang wanita yang sudah dilakukan oleh sebagian besar masyarakat di berbagai belahan dunia sudah sekian lama bahkan sebelum kedatangan agama Islam. Pada zaman dahulu seorang laki-laki bebas memiliki banyak istri dan selir dan tidak ada yang membatasi jumlah istri yang boleh dimiliki tersebut. Maka dari itu, Islam hadir dengan membawa peraturan bahwa seorang laki-laki hanya diperbolehkan untuk memiliki istri tidak lebih dari empat. Selain itu laki-laki yang hendak melakukan poligami harus berlaku adil kepada istri-istrinya, seperti yang sudah terkandung dalam Surah An-Nisa ayat 3.
Di Indonesia, peraturan poligami pun ditambah dengan adanya syarat-syarat dan persetujuan dari istri/istri-istri terdahulu baik secara lisan dan tulisan serta harus menyertakan bukti bahwa laki-laki tersebut mampu untuk menafkahi istri-istri dan anaknya. Jika seluruh syarat tidak terpenuhi, maka permohonan poligami pun tidak akan dikabulkan.
Meskipun poligami diperbolehkan dalam keadaan tertentu, poligami diisyaratkan sebagai pintu darurat yang hanya dibuka ketika dalam keadaan darurat saja. Pasal 1 ayat 1 dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berasaskan
monogami karena seorang suami hanyalah untuk seorang istri. Bahkan poligami dinilai tidak membawa manfaat dan dapat memicu konflik dalam keluarga.
3.2 Saran
Persyaratan untuk seseorang yang hendak melakukan poligami sudah diatur sedemikian rupa oleh Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang. Selain banyaknya persyaratan yang wajib dipenuhi dan ketat, dalam melakukan poligami seorang suami harus mendapatkan persetujuan dari istri/istri-istri terdahulu baik secara lisan maupun tulisan dan harus dibuktikan di pengadilan. Dengan hal ini diharapkan seseorang dapat mengurungkan niatnya untuk poligami dan merasa cukup dengan memiliki satu orang istri saja seperti yang tercantum dalam Surah An-Nisa ayat 129.