1. Faktor Risiko sinusitis maxillaris kronis 1. Ciliary Impairment
Sistem mukosiliar berperan penting dalam pembersihan sinus dan mencegah terjadinya inflamasi kronis. Beberapa kasus secondary ciliary dyskinesia ditemukan pada kasus rinosinusitis kronik, meskipun sebagian besar bersifat reversibel, sedangkan pasien-pasien dengan sindroma Kartagener dan primary ciliary dyskinesia, rinosinusitis merupakan temuan umun dan biasanya pasien-pasien tersebut memiliki riwayat panjang infeksi saluran napas.
2. Alergi
Beberapa review article mengenai rinosinusitis kronik menunjukkan bahwa adanya riwayat atopi berpengaruh dalam perkembangan penyakit rinosinusitis. Ada sejumlah pendapat yang
dikemukakan bahwa pembengkakan pada mukosa hidung pada rinitis alergi yang berlokasi didekat ostium sinus dapat memperburuk ventilasi sinus dan bahkan menyebabkan obstruksi, yang akan menyebabkan retensi mukus dan infeksi.
3. Asma
CRSwNP seringkali dikaitkan dengan asma, meskipun hubungan keduanya belum dapat diketahui secara pasti. Studi radiografis dari pasien-pasien asma yang menunjukkan abnormalitas pada mukosa sinus memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Seluruh pasien dengan steroid-dependent asthma didapati memiliki abnormalitas sinus, dibanding dengan 88% pada penderita asma ringan dan sedang. Wheezing dan respiratory discomfort dijumpai pada 31% dan 42% dari pasien- pasien CRSwNP, dan asma dijumpai pada sekitar 26% dari pasien CRSwNP, dibanding dengan 8%
pada kelompok kontrol.
4. Sensitivitas Aspirin
Pada pasien dengan sensitivitas aspirin, sekitar 31% menderita CRSwNP dan diatas 96%
menunjukkan perubahan radiografis pada sinus paranasal mereka. Pasien-pasien dengan sensitivitas aspirin, asma, dan polip hidung biasanya non-atopik dan prevalensinya meningkat pada usia diatas 40 tahun.
5. Keadaan Immunocompromised
Dari seluruh kondisi yang berhubungan dengan gangguan system imun, imunodefisiensi
kongenital bermanifestasi pada usia dini. Namun, disfungsi system imun dapat terjadi pada usia lebih tua dan bermanifestasi sebagai rinosinusitis kronik. Pada sebuah review retrospektif dari pasien-pasien rinosinusitis refrakter, Chee dkk. menemukan insidensi yang tinggi dari disfungsi system imun. Dari 60 pasien yang melakukan tes limfosit-T in vitro, 55% menunjukkan proliferasi abnormal sebagai respon terhadap recall antigen. Penurunan titer IgM dan IgA juga ditemukan pada 5% dan 17%.
6. Kehamilan dan Status Endokrin
Pada masa kehamilan, kongesti nasal terjadi pada sekitar seperlima dari seluruh ibu hamil.
Disamping efek langsung dari hormone estrogen, progesteron dan placental growth faktor pada mukosa hidung, efek hormonal tidak langsung seperti perubahan vaskular juga ditemukan. Pada sebuah studi prospektif kecil, Sobol dkk. mendapatkan bahwa 61% dari ibu hamil mengalami kongesti nasal, meskipun hanya 3% yang menderita rinosinusitis.
7. Faktor Lokal
Beberapa kondisi anatomis seperti konka bulosa, deviasi septum hidung dan disposisi prosesus unsinatus juga merupakan faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik.
8. Faktor Lingkungan
Merokok, baik aktif maupun pasif dihubungkan dengan peningkatan prevalensi rinosinusitis kronik di Kanada. Sebuah studi yang dilakukan oleh GALLEN juga menunjukkan bahwa merokok memang berdampak terhadap insidensi rinosinusitis kronik di seluruh Eropa. Penghasilan minim
juga diasosiasikan dengan peningkatan kejadian CRSsNP. Koh dkk. menginvestigasi hubungan antara rinosinusitis kronik dengan pekerjaan dan menyimpulkan bahwa prevalensi rinosinusitis kronik meningkat pada pekerja-pekerja pabrik (terutama yang berhubungan dengan mesin), pekerja seni, pengrajin, pemahat dan juga pada pengangguran.
2. Apa hubungan gigi geraham pasien yang karies dengan keluhan pasien
Berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung.
Sinusitis tipe dentogen disebabkan oleh kelainan gigi serta yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar).1 Sesuai anatomi dan secara epidemiologi sinus yang paling sering terkena terkena, yaitu sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid
Lokasi sinus yang terbanyak ditemukan di sinus maksila, menandakan bahwa selain faktor rinogen atau tersumbatnya KOM, faktor dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis maksilaris kronis, di mana dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi premolar dan molar atas, sehingga jika terjadi infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal dengan mudah menyebar langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe.1
3. Bagaimana mekanisme terjadinya keluhan hidung berbau dan telinga berdengung pada pak agam?
4. Manifestasi Klinis sinusitis maxillaris kronis Faktor risiko sinusitis maxillaris kronis Manifestasi Klinis Rinosinusitis kronik didefinisikan sebagai suatu inflamasi pada rongga hidung dan sinus paranasal, yang ditandai dengan ditemukannya 2 atau lebih dari 4 gejala utama yang berlangsung selama lebih dari 12 minggu.
Gejala-gejala tersebut adalah : • Kongesti nasal • Nasal discharge • Rasa nyeri, penuh, atau tertekan pada wajah • Hiposmia atau anosmia (Bachert, Claus, dan Gevaert, 2013)
Selain gejala-gejala diagnostik diatas, ada juga beberapa gejala minor yang mungkin ditemukan, seperti rasa nyeri atau tertekan pada telinga, pusing, halitosis, nyeri gigi, iritasi pada faring, laring, atau trakea, disfonia, batuk, malaise, dan gangguan tidur
5. Diagnosa pemeriksaan fisik dan penunjang 1. Klinis
Rinosinusitis kronik, dengan atau tanpa polip nasi, didefinisikan sebagai proses peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan ditemukannya 2 atau lebih dari 4 gejala utama, dengan salah satu diantaranya
merupakan kongesti nasal ataupun nasal discharge (anterior/posterior nasal drip), yang berlangsung selama lebih dari 12 minggu (Fokkens et al. 2012).
2. Rinoskopi Anterior
Walapun kegunaannya sangat terbatas, rinoskopi anterior tetap merupakan langkah pertama dalam pemeriksaan pasien dengan rinosinusitis kronik. Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan hiperemia dan pembengkakan pada konka inferior, deformitas
struktural dari septum, dan sekresi purulen dari sinus yang ditemukan di meatus media (Bachert, Claus, dan Gevaert, 2013)
3. Nasoendoskopi
Pemeriksaan nasoendoskopik juga dapat membantu dalam mendiagnosa rinosinusitis
kronik sebagai pemeriksaan penunjang. Pada pemeriksaan nasoendoskopi pada pasien rinosinusitis kronik dapat ditemukan adanya polip, discharge mukopurulen, dan edema atau obstruksi mukosa. (Fokkens et al.2012)
4. Transiluminasi Sinus
Pemeriksaan transiluminasi sinus dilakukan di ruangan yang gelap. Sumber cahaya kemudian diletakkan didalam mulut pasien pada satu sisi palatum durum, maka cahaya akan dihantarkan ke sinus maksilaris yang nantinya akan tampak seperti bentuk bulan sabit dibawah area mata. Pada keadaan normal, terangnya cahaya pada kedua sisi normal. Untuk pemeriksaan sinus frontal, sumber cahay diletakkan di area sedikit dibawah alis, maka akan tampak cahaya diatas mata. Transiluminasi tidak dapat digunakan untuk memeriksa sinus etmoid dan sfenoid
5. Computed Tomography (CT) Scan
Pemeriksaan CT-scan merupakan pemeriksaan imaging yang paling utama untuk sinus paranasal dikarenakan kemampuannya menampilkan tulang dan jaringan lunak dengan jelas (Fokkens et al.2012). Pada CT-scan sinus paranasal dapat dijumpai obstruksi dari kompleks ostio-meatal, penebalan mukosa, atau opasifikasi dari sinus paranasal.
6. Diagnosis banding sinusitis maxillaris kronis 7. Komplikasi sinusitis maxillaris kronis
1. Pembentukan Mukokel
Mukokel adalah sebuah kantung berlapis epitel yang bisa membesar dan memenuhi sinus paranasal, yang mana berbeda dengan obstruksi sinus yang hanya disebabkan oleh mukus. Mukokel sangat jarang ditemukan, dan biasanya unilokular (92%) dan unilateral (90%). Patogenesisnya secara pasti belum diketahui, tetapi sering dihubungkan dengan obstruksi outflow sinus atau inflamasi kronis.
2. Otitis Media
Inflamasi yang disebabkan oleh alergi berkontribusi terhadap patogenesis dari otitis media karena terjadinya pembengkakan dam penyumbatan dari tuba eustachius yang akan menyebabkan disfungsi dan peradangan sekunder pada telinga tengah. Selain itu pengurangan ukuran dari lumen dari tuba eustachius yang meradang dapat menghambat aliran mucocilliary clearance.
3. Ekspansi dan Erosi Tulang
Kebalikan dari proses pengerasan tulang (sclerosis) yang disebabkan oleh osteitis adalah penipisan atau erosi tulang yang dapat terjadi pada kasus-kasus CRSwNP yang cukup parah. Keadaan ini berbeda dengan pembentukan mukokel murni dan biasanya mengenai tulang etmoid, dimana lamina papirasea biasanya menipis.
4. Metaplasia Tulang
Walaupun jarang, metaplasia tulang terkadang ditemukan pada saluran aerodigestif atas sebagai respon terhadap inflamasi kronis, baik disertai polip atau tidak, atau riwayat pembedahan
5. Optik Neuropati
Optik neuropati telah sering dikaitkan dengan rinosinusitis kronik, biasanya melibatkan area sfenoid atau etmoid posterior. Paling sering ditemukan pada kasuskasus
rinosinusitis fungal eosinofilik.
Komplikasi sinusitis menurun semenjak ditemukannya antibiotik Komplikasi
yang dapat ditimbulkan antara lain :
- Kelainan orbita : abses subperiosteal, selulitis orbita, hingga trombosis sinus kavernosus
- Kelainan intrakranial : meningitis, abses otak, trombosis sinus kavernosus
- Komplikasi sistemik : bakteremia, empiema, dan pneumonia - Kerusakan dinding sinus, jaringan orbita, dan sinus kavernosus
akibat invasi jamur
- Lainnya : osteomielitis dan pembentukan kista atau mukokel di dalam sinus
8. Tatalaksana sinusitis maxillaris kronis
Tatalaksana rinosinusitis kronik dapat berupa terapi medikamentosa maupun pembedahan. Adapun tujuan dari tatalaksana rinosinusitis kronik adalah untuk
mempercepat penyembuhan dan mencegah komplikasi. Prinsip pengobatannya adalahuntuk menghilangkan obstruksi pada KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus dapat berfungsi normal kembali (Soepardi, 2012). Tatalaksana rinosinusitis kronik memerlukan terapi yang lebih agresif, dengan beragai efek samping yang juga patut diperhitungkan. Jika rinosinusitis kronik dicurigai, sebaiknya CT-scan sinus paranasal dilakukan terlebih dahulu untuk
memastikan diagnosis sebelum dilakukan terapi lebih lanjut. Selain untuk mengkonfirmasi diagnosis dan keparahan infeksi, CT-scan juga dapat mengidentifikasi abnormalitas yang nantinya dapat menyebabkan kurangnya respon terhadap pemberian obat-obatan maupun terapi lainnya. Beberapa contohnya adalah deviasi septum, polip, dan beberapa kelainan lainnya. (O’Handley et al. 2015).
Perlu diketahui bahwa tidak ada satupun medikasi yang telah diindikasikan oleh Food and Drugs Association (FDA) sebagai terapi rinosinusitis kronik. Kendati demikian, beberapa pilihan medikasi telah terbukti efektif dalam meredakan dan mengurangi gejala rinosinusitis kronik. Cuci hidung dengan menggunakan larutan saline untuk mengurangi gejala cukup efektif dengan efek samping minimum. (O’Handley et al. 2015). Kortikosteroid topikal maupun sistemik dapat digunakan untuk memperbaiki drainase dengan cara mengurangi inflamasi mukosa, edema, dan produksi mukus.
Hampir semua kortikosteroid topikal/intranasal harus digunakan setiap hari untuk beberapa minggu untuk memberi efek yang signifikan. Kendatipun kortikosteroid oral dapat mengurangi gejala secara signifikan, efeknya mungkin tidak bertahan lama, dan efek sampingnya juga harus diperhitungkan. Pasien dengan riwayat alergi juga harus diterapi, tetapi perlu diingat bahwa pemberian antihistamin dapat menyebabkan kekeringan mukosa dan mukostasis (O’Handley et al. 2015).
Penggunaan antibiotik juga sangat lazim dalam pengobatan rinosinusitis kronik.
Beberapa studi melaporkan bahwa pemberian antibiotik efektif dalam mengobati pasien- pasien rinosinusitis kronik dewasa, namun tidak pada anakanak.
Dikarenakan hal inilah, antibiotik lebih banyak digunakan pada pasien dewasa (O’Handley et al. 2015). Pada kasus kegagalan terapi dengan pemberian obat-obatan atau intoleransi obat, maka tindakan operasi perlu diperhitungkan. Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) telah menjadi pilihan utama dalam intervensi bedah rinosinusitis kronik.
BSEF memiliki keunggulan karena tidak meninggalkan luka luar, dan yang paling penting dapat langsung mengakses area yang terpenting pada sinus, yaitu kompleks ostiomeatal.
Prosedur ini biasanya dilakukan dengan anestesi umum, tetapi juga bisa dilakukan dengan anestesi lokal. Angka kesuksesan tindakan ini mencapai lebih dari 90%. Meskipun begitu, beberapa pasien dapat mengalami relaps, terutama pada paien dengan polip hidung
(CRSwNP). Bedah revisi biasanya dianjurkan dalam kasus ini dan memiliki angka keberhasilan yang cukup tinggi.
9. Prognosis sinusitis maksilaris kronis
Prognosis sinusitis akut akibat infeksi virus biasanya baik. Hampir 98% kasus dapat sembuh sendiri. Sinusitis bakterial memiliki angka kekambuhan 5%.
Sinusitis akibat jamur memiliki prognosis yang buruk bila sudah ada keterlibatan intrakranial dan orbita atau menimbulkan erosi tulang.
Kasus sinusitis akut yang tidak ditangani segera secara adekuat dapat berubah menjadi sinusitis kronis. Sinusitis kronis mungkin agak sulit ditangani, namun bila penyebab yang melatarbelakangi mampu ditangani, tindakan pembedahan jarang diperlukan.
10. Pencegahan dan edukasi sinusitis maxillaris kronis
Edukasi pasien dan promosi kesehatan untuk mencegah sinusitis adalah dengan promosi perilaku hidup bersih dan sehat seperti mencuci tangan dan etika batuk yang baik untuk mencegah penularan infeksi virus, bakteri, jamur yang bisa menjadi faktor risiko terjadinya sinusitis.
Edukasi Pasien
Edukasi pasien mengenai tanda-tanda bahaya dimana pasien harus segera kembali ke dokter jika :
Gejala memberat setelah 10 hari
Pasien merasakan nyeri kepala berat yang tidak berkurang dengan konsumsi obat
Demam tinggi
Gangguan penglihatan
Pasien dengan sinusitis disarankan untuk berhenti merokok, menjaga kebersihan rumah sebisa mungkin terbebas dari debu, menghindari alergen, konsumsi makanan dengan gizi seimbang, minum air putih dan istirahat yang cukup, serta pengelolaan stres yang baik. [2,7,8]
Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan cara :
Promosi hand hygiene
Pemberian vaksinasi influenza ataupun vaksinasi 7-valent pneumococcal
Menghindari kontak dengan orang yang sedang batuk pilek
Hindari merokok atau paparan asap rokok
Mengenakan masker untuk menutupi hidung dan mulut saat berada di lingkungan dengan polusi udara yang tinggi atau saat berkendara
Sebisa mungkin menghindari alergen, bila memungkinkan bisa menggunakan air humidifier di rumah.
15-22 (buku ajar tht)