Bukan Saya yang Menulis, Saya Hanya “Tukang Ketik”
Saya pertama kali menulis untuk publik saat kelas dua SD, di majalah sekolah, bernama Derap di SD- SMP PPSP IKIP Malang, yang diterbitkan dengan cetak stensil. Saat itu saya menulis puisi. Gembira hati ini ketika banyak orang mengapresiasi tulisan itu. Di lain waktu saya mulai menulis cerpen, masih di majalah yang sama. Ketika beranjak SMP, saya menjadi salah satu redaksi di majalah Derap.
Saat duduk di bangku SMA, saya ikut ekstra kurikuler jurnalistik majalah sekolah, bernama Bhawikarsu News di SMAN 3 Malang, dan sempat menjadi Wakil Pemimpin Redaksi di majalah yang terbit dua kali setahun tersebut. Saya menulis tentang berbagai kegiatan sekolah, dan “master piece”-nya pada saat itu adalah liputan dan penulisan profil alumni sekolah kami yang menjadi musisi terkenal di kota kami.
Saat itu saya menulis tanpa teori. Otodidak saja. Saya hanya belajar menulis dari membaca contoh- contoh tulisan dan contoh liputan di berbagai majalah dan surat kabar.
Belajar Menulis Jurnalistik
Semasa kuliah barulah saya belajar teori jurnalistik, saya bergabung dan ikut Diklat Jurnalistik di Kavling 10, UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Pers Kampus di Universitas Brawijaya. Setelah mengikuti Diklat, saya menjadi giat berlatih menulis, dan sering meminta para senior mengevaluasi tulisan saya.
Selain di pers kampus, saya juga bergabung di organisasi Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Brawijaya. Sehingga tulisan-tulisan awal saya setelah belajar jurnalistik, lebih banyak berbentuk kisah perjalanan dan kegiatan seputar dunia pencinta alam. Pencinta alam kami memiliki media bernama buletin Bravo. Tahun 1993 saya diberi amanah menjadi Pemimpin Redaksi di buletin ini.
Pada tahun yang sama, tulisan saya dimuat untuk pertama kalinya di koran, yaitu di harian Surya yang terbit di Jawa Timur. Saya menulis di kolom mahasiswa, tentang Hari Lingkungan Hidup Sedunia.
Untuk pertama kalinya saya mendapatkan honor dari menulis. Saya makin bersemangat. Selanjutnya beberapa kali tulisan saya dimuat di harian Jawa Pos dan Surya, semuanya bertema lingkungan hidup.
Mengikuti Passion
Tahun 1995 saya diminta oleh seorang senior di pencinta alam yang menjadi Redaktur Majalah Remaja Hai, untuk menjadi reporter koresponden wilayah Jawa Timur di majalahnya, saat itu Hai adalah salah satu majalah terpopuler di kalangan anak muda. Di majalah terbitan Gramedia Grup inilah saya menulis untuk pertama kalinya di media berskala nasional. Di majalah mingguan ini, saya melakukan liputan dan menulis tentang kegiatan olah raga alam bebas, lingkungan hidup, musik, gaya hidup, dan sesekali tentang otomotif.
Sebagai reporter koresponden, saya tidak digaji tetap, melainkan mendapat honor dari tiap tulisan dan tiap foto yang dimuat. Untuk ukuran saat itu, rata-rata tiap bulannya saya bisa mendapatkan honor dalam jumlah yang sangat bagus. Jauh di atas honor menulis di koran yang pernah memuat tulisan saya.
Masa itu saya masih menempuh studi di Fakultas Teknik, jurusan Teknik Mesin, di kemudian hari saya tersadar, bahwa minat saya sebetulnya bukan di bidang teknik mesin. Passion terbesar saya ternyata adalah menulis, travelling, berpetualang, kegiatan budaya, dan berinteraksi dengan masyarakat. Saya menyadari jika saya termasuk dalam kategori “Himasalju”, Himpunan Mahasiswa Salah Jurusan.
Beruntunglah, walaupun sempat nyaris di-DO karena kehabisan limit waktu masa studi, saya akhirnya dapat menyelesaikan studi S-1 dalam waktu 7 tahun, plus perpanjangan 3 bulan. Mungkin diluluskan lebih karena faktor belas kasihan, menghargai upaya saya yang sudah membuat skripsi sampai tuntas, dengan penulisan yang atmosfernya lebih dekat dengan bahasa jurnalistik daripada dengan bahasa ilmiah di dunia teknik. Dan sampai tulisan ini dibuat, ijazah kuliah itupun belum saya ambil. Hahaha...
Perubahan Paradigma Menulis
Saya beberapa kali mengalami perubahan motif dalam memandang dunia penulisan. Semula saya menulis lebih karena hobi dan ingin eksis melalui tulisan. Ketika mulai merasakan manisnya honor dari menulis, motif saya bergeser untuk mengejar honor yang banyak. Sampai kemudian terjadi sebuah peristiwa besar yang melahirkan kesadaran baru bagi saya.
Selain menekuni penulisan, semasa kuliah saya juga sangat aktif di kegiatan pencinta alam kampus. Pada tahun 1995, organisasi pencinta alam kami melaksanakan kegiatan ekspedisi pemanjatan tebing dan pendakian di Cartenz Pyramid, Jayawijaya, Irian Jaya (Papua), puncak tertinggi di negeri ini, dengan ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut.
Dalam pelaksanaannya, setelah tim berhasil mencapai puncak Cartenz Pyramid, pada saat turun terjadilah musibah. Di tebing vertikal tim terjebak dalam badai salju yang datang tiba-tiba. Herman Chaerul Rasyid dan Bonaventura Harly, dua sahabat saya, meninggal dunia dalam badai salju yang suhunya mencapai minus beberapa derajat. Jenazah mereka baru berhasil dievakuasi dengan helikopter dua hari kemudian, setelah badai salju reda.
Hebohlah berbagai pemberitaan di media massa. Selama beberapa hari liputan mengenai musibah tersebut menghiasi halaman satu berbagai media cetak lokal, regional, maupun nasional. Namun tulisan di media-media tersebut kebanyakan memuat informasi yang simpang siur.
Ada liputan media yang mempertanyakan tentang kelayakan perlengkapan standar yang digunakan tim, ada yang meragukan kesiapan fisik tim, bahkan ada media yang mencurigai apakah kejadian ini musibah atau unsur kesengajaan (pembunuhan). Yang menjadi perhatian utama saya saat itu adalah bagaimana sedihnya perasaan keluarga sahabat-sahabat kami yang meninggal. Selain merasa kehilangan, ketika membaca tulisan-tulisan di media tersebut, beban psikologisnya tentu makin berat.
Atas saran dan arahan senior kami, saya menulis pers rilis. Di situ saya ceritakan dengan detail
bagaimana persiapan tim selama dua tahun berlatih keras secara fisik dengan kurikulum pelatihan ketat dan diawasi ahli kesehatan, saya juga menulis tentang standar perlengkapan pendakian dan pemanjatan di gunung salju, kronologis musibah waktu demi waktu, dan biografi serta porto folio sahabat-sahabat kami dalam aktivitas olah raga alam bebas.
Saat itu saya menulis pers rilis dengan penjiwaan mendalam. Saya mencoba membayangkan bagaimana perasaan keluarga almarhum sahabat-sahabat kami ketika nanti membaca tulisan yang saya buat. Bahkan saya membayangkan, kira-kira apa yang dirasakan almarhum sahabat-sahabat kami jika mereka
membacanya. Saya menulis dari hati, dan berdoa agar tulisan yang saya buat bisa menjadi “pengobat”
rasa kehilangan, terutama bagi keluarga yang ditinggalkan.
Bersyukurlah, setelah saya sebarkan pers rilis dan foto-foto almarhum sahabat-sahabat kami ke berbagai media, selama beberapa hari selanjutnya liputan-liputan di media berubah haluan. Media-media memuat kembali pemberitaan tentang musibah tersebut, namun dengan perspektif berbeda, beracuan pada pers rilis yang saya tulis, sehingga liputannya menjadi tulisan-tulisan yang mengharukan, dengan data-data penunjang yang benar dan valid.
Beberapa media menuliskan liputan secara berseri. Bahkan salah satu media memuatnya di halaman satu, berupa tulisan feature berjudul “Mengenang Herman Chaerul Rasyid, orang Madura Pertama yang Berhasil Mencapai Puncak Cartenz Pyramid”, dengan terpampang foto kedua almarhum sahabat kami di Puncak Cartenz Pyramid, beberapa jam sebelum musibah terjadi.
Beberapa waktu kemudian organisasi kami menerbitkan buku In Memoriam Herman Chaerul Rasyid dan Bonaventura Harly, saya juga menjadi salah satu penulis di buku tersebut. Masih terbayang di ingatan bagaimana keharuan keluarga almarhum sahabat-sahabat kami, saat kami serahkan buku tersebut kepada masing-masing keluarga. Moment yang sangat menyentuh hati.
Rangkaian peristiwa terkait musibah, liputan media, penulisan pers rilis, dan penulisan buku ini menjadi sebuah pengalaman berharga bagi saya tentang bagaimana menulis dari hati. Dan saya banyak belajar tentang bagaimana meluruskan informasi dan “menggiring” perubahan opini di masyarakat melalui media, dengan penulisan pers rilis.
Ampuhnya Pers Rilis
Di lain kesempatan, saya menulis pers rilis untuk berbagai publikasi kegiatan organisasi kami. Pernah kami menyelenggarakan kegiatan peringatan Hari Bumi, berupa workshop membuat kertas daur ulang, kegiatannya bertempat di depan sekretariat organisasi kami, hanya bermodal air, tiga buah baskom, kain kassa, dan kertas bekas. Dengan narasi pers rilis yang kuat, akhirnya kegiatan sederhana ini diliput dan tayang di 9 koran, termasuk beberapa media nasional.
Sejak saat itu, sampai hari ini, sudah menjadi kebiasaan saya untuk selalu menulis pers rilis dalam kegiatan strategis apapun di mana saya terlibat. Saya menulis pers rilis dan menyiapkan foto-foto untuk
media. Dan upaya itu selalu membuahkan hasil. Tak terhitung sudah berapa banyak kegiatan saya yang dimuat di berbagai media selama 25 tahun terakhir ini, lantaran sepotong pers rilis dan beberapa foto.
Selepas lulus kuliah di tahun 1999, saya dan beberapa kawan mendirikan NGO (Non Government Organization) yang bergerak di bidang pendidikan lingkungan hidup. Setelah NGO kami bubar, saya bergabung dengan bisnis rumah makan milik seorang kawan, kemudian saya pernah mengelola hotel dan resort di kota Malang, serta mengembangkan lembaga pelatihan sumber daya manusia.
Sepuluh tahun terakhir, saya dan tim membangun bisnis pariwisata Tour Banyuwangi, serta
mengembangkan NGO bernama Perkumpulan HIDORA (Hiduplah Indonesia Raya) yang bergerak di bidang pendampingan masyarakat dan bertujuan untuk melestarikan lingkungan hidup serta konservasi budaya melalui program-program pengembangan community based tourism.
Berbagai aktivitas bisnis maupun kegiatan pergerakan yang kami lakukan, tak pernah “bercerai” dengan hobi menulis yang tetap saya jalankan, termasuk untuk aktivitas menulis pers rilis.
Menulis untuk Perubahan
Di dunia bisnis, saya banyak menulis untuk website dan sosial media bisnis pariwisata kami. Saya mempelajari bagaimana penulisan dengan kaidah SEO (Search Engine Optimization). Menulis dengan basis SEO menjadi alat marketing utama kami. Murah, meriah, sangat terukur, dan menghasilkan.
Sementara dalam dunia pergerakan, saya menulis paper dan laporan riset kajian, menulis buku-buku pendidikan lingkungan hidup untuk anak-anak, menulis untuk media, masuk dalam tim penulis buku kompilasi tulisan para pegiat budaya dan pemberdayaan masyarakat dalam Jaringan Kampung Nusantara, menulis modul pemberdayaan masyarakat bersama tim Universitas Indonesia dan
Kementerian Desa PDTT, serta terlibat dalam penulisan untuk publikasi program Sound of Borobudur yang digagas oleh Trie Utami, Dewa Budjana dan Purwatjaraka.
Beberapa kali kami membuat buletin desa. Saya tulis ide-ide yang ingin kami tularkan ke masyarakat, juga kutipan statement kepala desa, tokoh masyarakat, dan tokoh adat. Buletin sederhana beberapa lembar ini difotokopi dan dibagikan ke warga desa, ditaruh di warung kopi, dan dititipkan di masjid.
Tak disangka-sangka, sebagian warga desa yang semula kurang mendukung program kami, atau tadinya
"wait and see", akhirnya mereka “hijrah”, tergerak untuk mendukung program, bahkan sebagian menjadi orang-orang yang berada di garda depan program kami.
Bukan Saya yang Menulis
Setelah bertahun-tahun belajar sambil praktek menulis, beberapa tahun yang lalu saya sampai pada sebuah titik kesadaran, ketika saya melakukan refleksi ke dalam diri sendiri. Saya temukan bahwa sebetulnya bukanlah saya yang pandai dalam menulis.
Saya akhirnya menyadari, bahwa sebetulnya proses saya bisa menulis semuanya terjadi karena Tuhan mengijinkan saya untuk menemukan ide dan gagasan tulisan, serta menuntun saya untuk menemukan kata-kata untuk kemudian dirangkai dalam kalimat dan paragraf, yang selanjutnya terbingkai dalam sebuah tulisan utuh.
Saya berusaha "meluruskan" niat, motif, dan tujuan dalam menulis. Saya berupaya menge-nol-kan diri.
Sebelum menulis, saya mengawalinya dengan permohonan kepada Tuhan, yang intinya kira-kira "Ya Tuhan aku niatkan diriku untuk menjadi wayang-Mu, kuitikadkan Engkau yang menggerakkanku menulis. Mohon berilah aku kesanggupan dan keikhlasan untuk bisa menuliskan apa yang ingin Kau sampaikan. Ku-itikad-kan bahwa apa yang kutulis ini sebagai tulisan-Mu, bukan tulisanku".
Terus terang, kadang saya membayangkan dengan agak ekstrim, misalkan saya berada dalam posisi sebagai Tuhan, kira-kira Tuhan ingin saya menulis apa yaa...? Apa yang ingin Dia sampaikan melalui tulisan yang saya buat..? Entahlah ini benar atau salah. Kadang saya merasa sepertinya sih agak kebablasan. Tapi dengan berpikir ekstrim seperti itu, biasanya saya menemukan apa yang harus ditulis.
Itulah kemudian saya juga menyaksikan sendiri, bahwa lantaran apa yang saya tulis, akhirnya sedikit banyak bisa terjadi perubahan di masyarakat desa-desa dampingan kami. Tentu faktornya banyak, bukan melulu hanya karena tulisan saya, tapi tulisan menjadi salah satu faktor yang sangat berperanan penting.
Bagi saya hari ini, menulis adalah tools penting untuk pergerakan kami di masyarakat, juga tools bisnis kami, dan yang terutama menulis adalah media bagi saya untuk belajar menjadi “wayang” yang baik, meng-itikad-kan Tuhan berbicara melalui tulisan yang saya ketik. Saya berupaya keras meyakini bahwa saya hanyalah tukang ketik, dan Dia-lah sumber dari segala sumber ide dan gagasan di semesta ini.
Menjadi penulis terkenal bukanlah tujuan utama saya, tapi sesekali saya juga menikmati saat nama saya muncul tercantum sebagai penulis, seperti dalam tulisan ini. Namun saat menyadari hati ini mulai “sok”, detik selanjutnya dalam hati saya memohon ampun pada-Nya, saya paham bahwa tulisan ini pun tidak akan bisa menjadi seperti ini, apabila Dia tidak menuntun saya.
Demikianlah sedikit pengalaman “perjalanan” saya dalam dunia penulisan. Bila pembaca merasa tulisan ini bagus, berarti itu memang Tuhan-lah yang membuatnya terbaca bagus. Tapi bila pembaca menilai tulisan ini buruk atau biasa-biasa saja, berarti itu semata-mata memang karena saya yang kurang mahir menulis, dan belum ikhlas untuk menjadi wayang yang baik...
Semoga bisa bermanfaat dan menginspirasi....
Medan, 10 November 2021 (Hari Pahlawan), jam 12.49 WIB Bachtiar Djanan M.
Wakil Ketua Perkumpulan HIDORA (Hiduplah Indonesia Raya)
Profil Penulis:
Bachtiar Djanan Machmoed lahir di kota Malang, Jawa Timur, 23 Juni 1974. Menempuh pendidikan di TK-SD-SMP PPSP IKIP Malang, SMAN 3 Malang, dan mengenyam studi perguruan tinggi di Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Semenjak kecil menggemari berbagai kegiatan di alam bebas, menulis, dan bermusik.
Selain aktif di dunia penulisan, Bachtiar juga menekuni pemanfaatan teknologi informasi berbasis Search Engine Optimization, pelatihan pengembangan sumber daya manusia, kegiatan seni budaya, berbisnis pariwisata dengan usaha Tour Banyuwangi dan Backpacker Kawah Ijen Homestay & Dormitory, serta mengembangkan riset kajian dan pendampingan masyarakat dalam tema pembangunan
pariwisata berkelanjutan.
Saat ini penulis menjadi Wakil Ketua Perkumpulan HIDORA (Hiduplah Indonesia Raya), sebuah pergerakan yang melakukan kegiatan pemberdayaan dan pendampingan masyarakat berbasis
konservasi lingkungan hidup, pelestarian budaya, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat, melalui aktivitas community based tourism. Perkumpulan HIDORA ber-home base di Banyuwangi dan Medan, telah mendampingi desa-desa di beberapa kota dan kabupaten di provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.