• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Pembuangan Limbah Pertambangan Besi terhadap Wilayah Pesisir dan Laut

N/A
N/A
anthy nurdianti

Academic year: 2024

Membagikan "Dampak Pembuangan Limbah Pertambangan Besi terhadap Wilayah Pesisir dan Laut"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

DAMPAK BUANGAN LIMBAH PERTAMBANGAN BESI/LATERIT BESI KE WILAYAH PESISIR DAN LAUT

DOSEN PENGAMPUH:

Dr. Azri Rasul, SKM., M.Si., MH

KELOMPOK 2

NURDIANTI K062231004

FELDI KUSUMARTA K062231009

SUARNI S K062232001

PROGRAM STUDI MAGISTER KESEHATAN LINGKUNGAN FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2024

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...ii DAFTAR GAMBAR...iii DAFTAR TABEL...iv BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...1 B. Rumusan Masalah...2 C. Prioritas Masalah...2 BAB II PEMBAHASAN

A. Teori Dampak Penambangan Besi/Laterit Besi...5 B. Pembuangan Limbah Besi...7 C. Kebijakan Perundang-Undangan tentang Limbah Pertambangan Besi...8 D. Dampak Limbah Pertambangan Besi Terhadap Masyarakat Wilayah Pesisir...9 E. Studi Kasus ...13 F. Kebijakan Pemerintah saat ini dalam Mengatasi Buangan Limbah Pertambangan Besi di Kawasan Pesisir...14 G. Solusi Dampak buangan Limbah Pertambangan Besi ke Wilayah Pesisir dan Laut terhadap Kesehatan Lingkungan Masyarakat Pesisir...15 BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...18 B. Saran...18 DAFTAR PUSTAKA...19

(3)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Proses penambangan dan timbulan limbah...6 Gambar 2. Jenis limbah pertambangan besi ...7

(4)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Chemical Composition of different source IOT...7

(5)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia memiliki luas wilayah laut atau perairan mencapai 70% dari total wilayahnya, dengan garis pesisir pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pesisir memiliki peran strategis karena menjadi area peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumber daya alam serta jasa-jasa lingkungan. Wilayah pesisir memiliki potensi pembangunan yang sangat tinggi karen terdapat sumber daya alam terbarukan dan yang tidak terbarukan (Lestari et al., 2023).

Bertahun-tahun pencemaran laut dianggap sebagai masalah sepele karena volume air laut yang besar, dan kemampuannya mengencerkan segala jenis zat asing sehingga hampir tak menimbulkan dampak sama sekali. Oleh karena itu laut dianggap sebagai tempat pembuangan limbah. Namun, pandangan tersebut mulai berangsur berubah. Hal itu disebabkan antara lain karena limbah yang dibuang ke laut semakin lama semakin banyak dan dalam konsentrasi tinggi, sehingga akibat pencemaran lingkungan pada skala lokal terjadi. Apabila pembuangan limbah ke laut secara terus menerus dilakukan, maka ditakutkan akan terjadi dampak global dari pencemaran laut. Menurut Undang-undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 1 ayat (14) menyebutkan : Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkanya makhluk hidup,zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan (Santosa, 2013).

Pencemaran air laut diatur secara hukum karena air laut merupakan milik umum yang penguasaannya dimandatkan kepada Pemerintah. Pencemaran air laut perlu dikendalikan karena akibat pencemaran air dapat mengurangi pemanfaatan air sebagai modal dasar dan faktor utama pembangunan, di samping itu air laut merupakan lahan nafkah para nelayan (Santosa, 2013). Salah satu sumber pencemaran air di daerah pesisir atau laut adalah limbah dari kegiatan pertambangan. Pertambangan sangat penting untuk produksi barang, jasa dan infrastruktur yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Namun,

(6)

kemungkinan bahaya limbah dan radioaktivitas yang dihasilkan oleh penambangan, pembuangan dan

(7)

tailing dianggap masalah yang serius dan dibutuhkan solusi yang dapat mengolah secara memadai limbah pertambangan dari timbunan tambang, tailing dan tambang yang terbengkalai (Agboola et al., 2020).

Pengoperasian industri pertambangan dipengaruhi oleh berbagai elemen makro-ekologis, seperti proses globalisasi dan perubahan yang terkait dengan teknologi, masyarakat, keuangan, politik, hukum, dan lingkungan. Pertumbuhan berkelanjutan dan gagasan yang sesuai dengan kebutuhan perlindungan lingkungan juga merupakan hambatan utama. Keselamatan pertambangan terus-menerus menarik perhatian para peneliti yang bekerja di bidang kebugaran dan keselamatan.

Lingkungan sekitar (fisik dan teknis), keadaan operator, dan faktor personel juga dianggap sebagai prasyarat terjadinya tindakan berbahaya. Limbah penambangan (kadang-kadang dikenal sebagai batuan sisa atau pasir) adalah material yang tersisa setelah ekspedisi geografis, penggalian, dan ekstraksi bijih. Sisa-sisa ini tidak lain hanyalah limbah pertambangan biasa, benda membatu yang tidak berguna, atau material tanah yang telah melalui berbagai tingkat pengolahan.

Rata-rata, setiap ton bijih besi yang dihasilkan menghasilkan 0,48 ton limbah dengan perbandingan 2:1. Perilaku tersebut terkait dengan produksi jutaan ton bijih dalam skala tahunan yang menyebabkan banyaknya limbah yang dibuang ke bendungan atau perairan (Machado De Oliveira et al., 2019). Di India sekitar 10 – 15 % bijih besi yang ditambang tidak dimanfaatkan dan dibuang sebagai limbah karena kurangnya teknologi yang hemat biaya dalam mengekstraksi bijih berkadar rendah (Nagaraj & Shreyasvi, 2017).

Jumlah limbah yang dihasilkan meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran tambang. Karena menghasilkan lebih banyak sampah dibandingkan tambang bawah tanah, maka tambang terbuka lebih banyak mengandung polutan.

Limbah pertambangan tidak hanya mencemari lingkungan, namun juga berdampak buruk bagi kehidupan. Dampak lingkungan yang terkait dengan pertambangan termasuk kerusakan vegetasi tutupan vegetasi, kontaminasi sumber daya air dan tanah, kepunahan keanekaragaman hayati, perubahan tata guna lahan, kerawanan pangan, polusi udara, dan konflik sosial (Agboola et al., 2020).

Pengolahan limbah pertambangan dilakukan oleh pemerintah setempat dan perusahaan tambang dengan mematuhi peraturan pemerintah. Pengolahan limbah

(8)

pertambangan meliputi pengolahan limbah cair dan padat dengan berbagai cara, seperti memasang instalasi pengolahan air limbah, mendaur ulang, menggunakan alat pengolahan limbah, dan memanfaatkan limbah sebagai bahan baku material konstruksi yang ramah lingkungan (Bahril et al., 2019).

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut:

1. Apa dampak dari buangan limbah pertambangan besi/laterit besi ke wilayah pesisir dan laut ke wilayah pesisir dan laut terhadap kesehatan lingkungan masyarakat pesisir?

2. Mengapa pembuangan limbah pertambangan besi/laterit besi ke wilayah pesisir dan laut berpengaruh terhadap kesehatan lingkungan masyarakat pesisir dan menjadi isu yang perlu ditangani?

3. Di wilayah pesisir mana saja pembuangan limbah pertambangan besi/laterit besi ke wilayah pesisir dan laut menjadi masalah serius terhadap kesehatan lingkungan masyarakat pesisir?

4. Kapan munculnya dampak serius akibat buangan limbah pertambangan besi/laterit besi ke wilayah pesisir dan laut terhadap kesehatan lingkungan masyarakat pesisir?

5. Siapa yang terpengaruh oleh dampak buangan limbah pertambangan besi/laterit besi ke wilayah pesisir dan laut?

6. Bagaimana solusi penanganan lingkungan terhadap dampak dari buangan limbah pertambangan besi/laterit besi ke wilayah pesisir dan laut terhadap kesehatan lingkungan masyarakat pesisir?

C. Prioritas Masalah

Masalah dampak buangan limbah pertambangan besi/laterit besi ke wilayah pesisir dan laut memiliki prioritas yang tinggi karena dapat memberikan dampak yang serius terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat pesisir. Beberapa dampak yang mungkin terjadi akibat limbah pertambangan besi/laterit besi adalah:

1. Pencemaran air: Limbah pertambangan besi/laterit besi dapat mengandung logam berat dan bahan kimia berbahaya yang dapat mencemari air laut. Hal ini

(9)

dapat mengancam keberlangsungan ekosistem laut dan keberagaman hayati di wilayah pesisir.

2. Kerusakan terumbu karang: Limbah pertambangan besi/laterit besi yang masuk ke perairan laut dapat merusak terumbu karang yang menjadi habitat bagi berbagai spesies laut. Hal ini dapat mengganggu ekosistem laut dan mengancam keberlangsungan hidup spesies yang tinggal di terumbu karang.

3. Pencemaran udara: Proses pertambangan besi/laterit besi juga dapat menghasilkan emisi gas dan partikel berbahaya yang dapat mencemari udara di sekitar wilayah pertambangan. Hal ini dapat berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat pesisir yang tinggal di sekitar wilayah pertambangan.

4. Kerusakan ekosistem laut: Limbah pertambangan besi/laterit besi yang mencemari perairan laut juga dapat merusak ekosistem pesisir seperti hutan mangrove dan padang lamun. Hal ini dapat mengganggu keberlangsungan hidup berbagai spesies yang tinggal di ekosistem pesisir.

5. Ancaman kesehatan masyarakat: Limbah pertambangan besi/laterit besi yang mencemari air dan udara dapat memberikan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat pesisir yang menggunakan sumber daya alam dari wilayah tersebut.

Paparan terhadap logam berat dan bahan kimia berbahaya dapat menyebabkan berbagai penyakit dan gangguan kesehatan.

(10)

BAB II PEMBAHASAN A. Teori Dampak Penambangan Besi/Laterit Besi

Penambangan didefinisikan sebagai proses pengambilan bahan mentah dari kerak bumi dan melibatkan seluruh siklus hidup, dimulai dengan inspeksi selama produksi dan diakhiri dengan rencana penggunaan lahan di masa depan.

Pengoperasian industri pertambangan dipengaruhi oleh berbagai elemen makro- ekologis, seperti proses globalisasi dan perubahan yang terkait dengan teknologi, masyarakat, keuangan, politik, hukum, dan lingkungan. Pertumbuhan berkelanjutan dan gagasan yang sesuai dengan kebutuhan perlindungan lingkungan juga merupakan hambatan utama. Keselamatan pertambangan terus-menerus menarik perhatian para peneliti yang bekerja di bidang kebugaran dan keselamatan.

Lingkungan sekitar (fisik dan teknis), keadaan operator, dan faktor personel juga dianggap sebagai prasyarat terjadinya tindakan berbahaya. Limbah pertambangan (kadang-kadang dikenal sebagai batuan sisa atau pasir) adalah material yang tersisa setelah ekspedisi geografis, penggalian, dan ekstraksi bijih. Sisa-sisa ini tidak lain hanyalah limbah pertambangan biasa, benda membatu yang tidak berguna, atau material tanah yang telah melalui berbagai tingkat pengolahan. Pada saat perbaikan, mungkin mengandung bahan tambahan yang bersifat kimia, anorganik, atau organik (Das et al., 2023).

Tambang bijih besi adalah lokasi atau wilayah dimana dilakukan kegiatan penambangan atau ekstraksi bijih besi dari tanah atau batuan yang mengandung mineral besi. Bijih besi adalah mineral yang mengandung kadar besi yang cukup tinggi dan digunakan sebagai bahan baku utama dalam produksi baja. Proses penambangan bijih besi biasanya dilakukan dengan teknik tambang terbuka atau tambang bawah tanah. Pada tambang terbuka, bijih besi diekstraksi dari permukaan tanah dengan cara menggali atau mengebor lapisan tanah atau batuan yang mengandung bijih besi (Das et al., 2023).

Meningkatnya aktivitas penambangan bijih besi telah menyebabkan timbulnya limbah dalam jumlah besar dengan berbagai jenis, terutama pada berbagai tahap ekstraksi dan produksinya. Pembuangan limbah yang tidak tepat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu limbah yang

(11)

dihasilkan selama proses benefisiasi bijih besi adalah limbah tailing limbah besi, yang juga disebut sebagai Iron Ore Tailings (IOT) yang ditandai dengan adanya konstituen yang cenderung menurunkan kualitas tanah dan air jika bersentuhan (HK

& Hossiney, 2022).

Setiap limbah industri yang dibuang ke permukaan tanah atau badan air dalam jumlah besar mempunyai potensi untuk mengubah keadaan asli lingkungan dan dengan demikian dapat dianggap berbahaya. Berbagai limbah dihasilkan selama aktivitas penambangan dalam proses ekstraksi, benefisiasi, dan pengolahan.

Tahap pertama, yaitu proses ekstraksi, meliputi pengeluaran bijih dari kerak bumi.

Caranya dengan cara peledakan yang akan mengakibatkan terbentuknya tanah, batuan, puing-puing yang disebut juga dengan limbah overburden. Limbah ini mungkin mengandung unsur beracun seperti logam berat, timbal, arsenik, merkuri yang dapat merusak dan merusak lingkungan sekitar. Tahap kedua membahas proses ekstraksi mineral. Pada proses ini banyak sekali jenis limbah yang dihasilkan seperti limbah IOT. Gambar 1 menunjukkan rincian berbagai proses yang terlibat dalam aktivitas penambangan (HK & Hossiney, 2022).

Gambar 1. Proses penambangan dan timbulan limbah

Selain itu, pembuangan IOT di lahan terbuka menciptakan lokasi pembuangan yang sangat besar. Material yang kandungan besinya di bawah 20 hingga 30% dibuang dan dibuang sebagai limbah. Limbah diklasifikasikan ke

(12)

dalam berbagai jenis pembuang, sesuai gambar 2. Pada gambar tersebut limbah asam dan alkali, limbah sianida, dan serpihan logam berat Asbes. Limbah padat pertambangan disebut limbah pertambangan. Pelarut terhidrogenasi, pelarut non- hidrogenasi, pestisida, bahan kimia organik, cat dan resin, serta limbah PCB (bifenil poliklorinasi) disebut “sampah berminyak” dan “sampah organik” (Das et al., 2023).

Gambar 2. Jenis limbah pertambangan besi

Tabel1 menunjukkan komposisi kimia IOT dari Australia, India Selatan, dan India Utara oleh berbagai peneliti. Seperti yang terlihat, jelas bahwa semua IOT memiliki komposisi kimia yang sama, namun persentase kandungannya berbeda- beda (HK & Hossiney, 2022).

Tabel 1. Chemical Composition of different source IOT B. Pembuangan Limbah Besi

(13)

Dalam hal pengelolaan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), setiap usaha terkait dengan limbah B3 diwajibkan untuk mendapatkan izin lingkungan dan/atau izin Pelindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) terlebih dahulu.

Limbah B3 harus dikelola dengan pendekatan prinsip kehati-hatian melalui penerapan instrumen perizinan, mulai dari penyimpanan, pengumpulan dan pengakutannya hingga pemanfaatan serta pengelolaan bahkan penimbunannya harus diatur dengan baik (Rohman et al., 2017).

Di beberapa wilayah, kurangnya fasilitas pengelolaan limbah dapat membuat pihak tambang besi kesulitan untuk memproses limbah mereka secara tepat. Akibatnya, mereka mungkin mencari cara alternatif untuk membuang limbah mereka. Seperti halnya dengan kejadian pencemaran di pesisir Teluk Staring Sulawesi Tenggara disebabkan oleh limbah yang mengalir ke pantai akibat adanya tambang besi, karena didukung oleh pembangunan infrastruktur dalam sektor pariwisata, sosial, ekonomi, serta aktivitas masyarakatnya juga berpengaruh terhadap lingkungan pantai (Bahril et al., 2019).

C. Kebijakan Perundang-Undangan tentang Limbah Pertambangan Besi

Di Indonesia, pengelolaan limbah tambang besi dan laterit besi diatur oleh beberapa kebijakan perundang-undangan yang berfokus pada perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Salah satu peraturan utama adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan mencakup berbagai aspek pengelolaan lingkungan, termasuk persetujuan lingkungan, pengelolaan kualitas air, udara, laut, serta pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan non- B3.

Peraturan Pemerintah (PP) No 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan kebijakan yang relevan dengan pengelolaan limbah industri besi dan baja di Indonesia. Berikut beberapa poin penting terkait dampak buangan limbah tambang besi/laterit besi setelah penerbitan PP No 22 tahun 2021:

1. Limbah Non-B3 Terdaftar: Dalam Lampiran XIV, pemerintah menetapkan beberapa jenis limbah industri besi dan baja yang semula masuk dalam kategori

(14)

Limbah B3 menjadi Limbah Non-B3 Terdaftar. Termasuk di antaranya adalah slag besi/baja (N101), mill scale (N103), debu Electric Arc Furnace/debu EAF (N104), dan precious ball atau PS ball (N105). Keputusan ini berpotensi meningkatkan daya saing industri baja nasional melalui penurunan biaya produksi dan manfaat tambahan pendapatan bagi industri baja.

2. Pemanfaatan Slag: Slag (atau terak) merupakan kumpulan oksida logam yang terbentuk di atas logam cair selama proses peleburan. Penelitian menunjukkan bahwa slag aman bagi lingkungan. Di berbagai negara maju seperti Jepang, Amerika, Uni Eropa, dan Korea Selatan, slag besi/baja telah dimanfaatkan untuk berbagai aplikasi, termasuk sebagai bahan baku semen, material konstruksi, bahan perbaikan tanah, dan material pengolahan air limbah. Di Indonesia sendiri, penggunaan slag besi/baja sebagai material konstruksi jalan sudah dapat dipergunakan seiring dengan terbitnya standar nasional (SNI) yang mengatur penggunaan slag.

3. Perlindungan Lingkungan: PP No 22 tahun 2021 juga mengatur mengenai perlindungan dan pengelolaan mutu air, udara, laut, serta pengendalian kerusakan lingkungan hidup. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan mengurangi dampak negatif dari limbah industri besi dan baja.

D. Dampak Limbah Pertambangan Besi Terhadap Masyarakat Wilayah Pesisir 1. Dampak kesehatan

Kegiatan pertambangan bijih besi dapat menyebabkan berbagai bentuk pencemaran lingkungan, termasuk pencemaran oleh logam berat. Beberapa logam berat yang sering ditemukan di lokasi tambang dan dapat mencemari lingkungan meliputi besi (Fe), mangan (Mn) dan seng (Zn) yang dapat masuk ke dalam air tanah dan air permukaan. Kadar logam berat yang tinggi dalam air dapat berbahaya bagi manusia, terutama jika dikonsumsi secara langsung atau melalui makanan yang diproduksi dengan menggunakan air yang terkontaminasi. Risiko kesehatan yang terkait termasuk gangguan sistem saraf, ginjal, dan reproduksi (Tinnong, 2023).

Tailing, yang dihasilkan dari proses pengolahan bijih besi dapat berpotensi mencemari lingkungan dan memiliki dampak negatif pada

(15)

kesehatan manusia. Tailing mengandung unsur-unsur berpotensi racun seperti arsen (As), merkuri (Hg), timbal (Pb), dan kadmium (Cd), yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan dengan akibat yang merugikan bagi kesehatan manusia. Pengaruh organik merkuri terhadap kesehatan manusia termasuk hambatan jalan darah ke otak dan gangguan metabolisma dari sistem syaraf. Sedangkan pengaruh racun logam-logam berat seperti timbal dan kadmium dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf, kardiovaskuler, dan ginjal (Herman, 2006).

2. Dampak lingkungan

Perubahan ekosistem seringkali bukan hanya disebabkan oleh aktivitas di laut, namun aktivitas di darat yang membawa dampak ke laut. Perlu diketahui, salah satu penyebab perubahan ekosistem wilayah pesisir adalah aktivitas perekonomian dan pertambangan yang tidak terkendali dan kesadaran pentingnya pelestarian sumberdaya alam wilayah pesisir yang masih rendah di kalangan lintas pelaku (Budhiawan dkk, 2020). Dampak buangan limbah pertambangan besi terhadap lingkungan dapat sangat merugikan.

Pertambangan besi mengahasilkan air limbah yang mengandung logam berat seperti besi (Fe) dan bahan berbahaya beracun (B3). Kadar tinggi dari logam berat ini dapat berbahaya bagi lingkungan di sekitar lokasi pertambangan, karena dapat mencemari air tanah, sungai dan laut. Pengelolaan limbah pertambangan besi yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang lebih luas (Tony dkk, 2021).

a. Polusi Air

Limbah pertambangan besi yang mencemari air di sekitar lokasi pertambangan dapat terbawa oleh aliran air dan mencemari perairan laut di sekitar kawasan pesisir. Pencemaran air laut dapat merusak ekosistem laut, mempengaruhi keberagaman hayati, dan berdampak pada kehidupan biota laut termasuk ikan dan organisme laut lainnya (Histiarini & Yakin, 2021).

Iron Ore Tailings (IOT) yang dibuang di lokasi akan meningkatkan sedimen di air, yang mengakibatkan peningkatan padatan yang terkontaminasi di badan air. Lebih lanjut, komposisi kimia IOT akan berkontribusi terhadap pencemaran air permukaan dan air tanah melalui

(16)

pencucian. Unsur dan mineral dalam bijih besi adalah arsenik, kromium, timbal, nikel yang menurunkan pH air dan meningkatkan sifat kelarutan air sehingga menyebabkan pergerakan bahan beracun di badan air, serta air tanah (Zhao et al., 2021).

Di beberapa tempat pembuangan sampah terlihat bahwa badan air dan sungai menjadi merah pada musim hujan dengan konsentrasi oksida besi yang tinggi . Hal ini juga terlihat di beberapa TPA, karena keterbatasan tempat, IOT ditumpuk di lereng curam sekitar 30 dengan⁰ ketinggian lebih dari 30 m, dan banyak TPA berada di bagian hulu lembah, sehingga pada saat hujan terjadi sedimen menetap di tanah subur mengubah sifat-sifatnya. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh IISc, Bangalore menyimpulkan bahwa penggundulan hutan telah meningkatkan aliran IOT ke dalam reservoir yang mempengaruhi pH air (de Freitas et al., 2018).

Limbah pertambangan besi yang mencemari perairan laut di kawasan pesisir dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang.

Pencemaran kimia dan logam berat dalam limbah dapat merusak terumbu karang, mengganggu pertumbuhan karang, dan merusak habitat bagi berbagai spesies laut (Ginting, 2023).

Pembuangan tailing bijih besi yang terkontaminasi logam berat secara tidak langsung menimbulkan risiko yang signifikan terhadap lingkungan sekitar. Kandungan logam berat dalam perairan secara alamiah berada dalam jumlah yang relatif sedikit, tetapi dengan adanya aktivitas pertambangan dapat menjadi faktor penyebab terjadinya peningkatan kandungan logam berat dan dapat menimbulkan pencemaran logam berat pada perairan sungai. Perairan sungai memiliki kapasitas terima yang terbatas terhadap bahan pencemar. Adanya peningkatan serta kontinuitas buangan air limbah industri pertambangan yang mengandung senyawa logam berat beracun, cepat atau lambat akan merusak ekosistem di sungai.

Hal ini disebabkan karena logam berat sukar mengalami pelapukan, baik secara fisika, kimia, maupun biologis (Sarathchandra et al., 2022).

b. Polusi udara

(17)

Sumber utama polusi udara di lokasi pertambangan disebabkan oleh debu yang dihasilkan oleh partikel Iron Ore Tailings (IOT) berukuran sangat kecil, yang bercampur dengan udara selama cuaca kering.

Meskipun perusahaan pertambangan mencoba mengumpulkan air di IOT kering untuk menghindari debu, namun hal ini tidak terlalu efektif dalam mengurangi polusi udara. Selain itu, pengendapan IOT yang terhembus udara juga mencemari permukaan air, tanah, dan air tanah. Pencemaran udara menjadi perhatian utama di area pertambangan karena jumlah zat tersuspensi melebihi batas yang ditentukan sehingga menyebabkan banyak gangguan lingkungan dan kesehatan (HK & Hossiney, 2022).

c. Pencemaran tanah

Dampak lingkungan terhadap tanah akibat Iron Ore Tailings (IOT) umumnya terkait dengan erosi dan cacat tanah. Erosi disebabkan oleh gangguan bumi dan hilangnya vegetasi akibat penambangan. Pada kondisi ini, curah hujan akan menyebabkan erosi pada tanah. Pencemaran tanah mungkin disebabkan oleh pembuangan air, rembesan, limpasan dari tumpukan IOT, lubang dan tambang langsung ke tanah. Selain itu, pengendapan bahan-bahan yang terbawa udara dari penampungan IOT yang kering juga akan menjadi penyebab pencemaran tanah. Alasan lain pencemaran tanah adalah tumpahan bahan bakar, reagen flotasi, larutan pembersih, dan bahan kimia yang digunakan di lokasi (HK & Hossiney, 2022).

d. Pencemaran pantai

Limbah pertambangan besi yang terbawa oleh aliran air laut dapat mencemari pantai di sekitar kawasan pesisir. Hal ini dapat mengganggu keberagaman hayati di pantai, merusak ekosistem pantai dan berdampak pada kegiatan ekonomi masyarakat pesisir yang bergantung pada sumber daya pantai (Sari dkk, 2020). Selain itu juga dapat berdampak pada kehilangan sumber daya hayati, seperti penurunan populasi ikan dan organisme laut lainnya akibat pencemaran air laut dan kerusakan habitat (Saputro dkk, 2024).

e. Risiko Bencana Lingkungan

(18)

Penumpukan limbah pertambangan besi di kawasan pesisir dapat meningkatkan risiko terjadinya bencana lingkungan seperti banjir lumpur atau kebocoran limbah yang dapat merusak lingkungan pesisir dan mengancam keberlangsungan masyarakat pesisir.

E. Studi Kasus

Jurnal “Pemantauan pH dan Total Padatan Tersuspensi pada Air Limbah Kegiatan Penambangan dan Pengolahan Bijih Besi di PT Adidaya Tangguh, Desa Tolong, Kecamatan Lede Kabupaten Pulau Taliabu, Provinsi Maluku Utara” (Nur &

Moralista, 2020).

PT Adidaya Tangguh merupakan perusahaan swasta yang bergerak di bidang industri pertambangan bijih besi dengan menerapkan sistem penambangan terbuka. Sistem ini berdampak terhadap bentang alam dan ekosistem pada permukaan bumi, salah satunya pencemaran air. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 21 Tahun 2009 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan Bijih Besi merupakan standar penaatan lingkungan yang ditetapkan pemerintah berkenaan dengan kegiatan pertambangan bijih besi yang memuat baku mutu air limbah yang diizinkan dari kegiatan pertambangan bijih besi. Potensi pencemaran air ini menjadikan pentingnya pemantauan pH dan total padatan tersuspensi (TSS) pada air limbah sehingga dapat diambil langkah-langkah yang diperlukan sebelum air limbah dialirkan ke sungai.

Pemantauan air limbah harian periode bulan April 2018 menunjukkan pH air limbah pada masing-masing titik pemantauan berkisar antara 5-6. Parameter TSS secara berurutan dari titik pemantauan pit, disposal, dan pabrik pengolahan berkisar antara 12–4.378 mg/L, 9–4.984 mg/L dan 7–257 mg/L. pH dan TSS pada air limbah di masing-masing titik pemantauan masih didapati melebihi baku mutu air limbah kegiatan pertambangan bijih besi sehingga memerlukan penanganan tertentu agar sesuai dengan baku mutu air limbah yg ditetapkan. Debit total material yang diperkirakan masuk ke area pit penambangan bijih besi adalah 3.346,578 m3/hari, terdiri dari air sebesar 3.316,418 m3/hari dan sedimen sebesar 30,16 m3/hari. Dengan demikian instalasi pengolahan air limbah yang direkomendasikan adalah pembuatan kolam pengendapan yaitu kolam sedimen (sediment pond)

(19)

dengan kapasitas penampungan 240 m3. Rincian dimensi kolam pengendapan adalah panjang 12 m, lebar 4 m dan kedalaman 5 m.

F. Kebijakan Pemerintah saat ini dalam Mengatasi Buangan Limbah Pertambangan Besi di Kawasan Pesisir

Pemerintah Indonesia telah menginplementasikan berbagai kebijakan untuk mengatasi buangan limbah besi dan menjaga kesehatan ekosistem pesisir. Beberapa kebijakan pemerintah saat ini dalam mengatasi buangan limbah besi di kawasan pesisir antara lain :

1. Peraturan dan Pengawasan yang Ketat

Pemerintah telah mengeluarkan peraturan yang ketat mengenai pengelolaan limbah tambang melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Peraturan ini mewajibkan perusahaan pertambangan untuk mengolah limbah mereka sebelum dibuang ke lingkungan, guna meminimalkan dampak negatif terhadap ekosistem pesisir (Maulana, 2020).

2. Penegakan Hukum

Penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan dilakukan dengan ketat.

Perusahaan yang tidak mematuhi peraturan pengelolaan limbah dapat dikenai sanksi berat, termasuk denda dan penghentian operasional. Ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua perusahaan pertambangan mengikuti standar lingkungan yang telah ditetapkan (Boseke, 2021).

3. Rehabilitasi Ekosistem Pesisir

Program rehabilitasi dan restorasi ekosistem pesisir yang rusak akibat limbah pertambangan besi terus dilakukan. Pemerintah bekerjasama dengan berbagai organisasi dan komunitas lokal untuk melakukan penanaman kembali mangrove dan rehabilitasi terumbu karang. Ini penting untuk memulihkan fungsi ekosistem yang terdegradasi (Handayani dkk, 2020).

4. Pengawasan Lingkungan dan Monitoring

Pemerintah juga meningkatkan upaya monitoring dan pengawasan lingkungan melalui teknologi dan pemantauan langsung. Sistem pengawasan ini memungkinkan deteksi dini terhadap pencemaran dan memberikan respons cepat untuk mengurangi dampak limbah tambang(Lambonan, 2020).

(20)

5. Pendekatan Ekonomi Biru

Pendekatan ekonomi biru diterapkan untuk memastikan keberlanjutan sumber daya laut. Ini melibatkan pengelolaan terintegrasi wilayah pesisir dan laut yang memperhatikan keseimbangan antara kegiatan ekonomi dan konservasi lingkungan. Pendekatan ini juga mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan dalam proses pertambangan (Airawati dkk, 2023).

6. Kolaborasi dengan Komunitas Lokal

Keterlibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan sangat ditekankan. Pemerintah menyediakan edukasi dan pelatihan bagi komunitas pesisir untuk meningkatkan kesadaran dan kapasitas mereka dalam memantau serta melaporkan aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan (Raihan, 2024).

G. Solusi Dampak buangan Limbah Pertambangan Besi ke Wilayah Pesisir dan Laut terhadap Kesehatan Lingkungan Masyarakat Pesisir

Pencemaran yang diakibatkan oleh logam berat yang terjadi di wilayah pesisir dan laut merupakan permasalahan yang harus dianggap serius diperlukan kerja keras di lingkup segala sektor bidang untuk mengatasi dan pengunaan metode yang tepat untuk mengatasi kejadian seperti ini. Logam berat ialah unsur yang secara alamiah berada di lingkungan akibat fenomena alam, kegiatan antropogenik ataupun kombinasi dari keduanya. Kenaikan kadar unsur ini di lingkungan yang berkontak dengan manusia perlu mendapat perhatian sebab unsur ini memiliki karakter unik diantaranya ; mampu untuk terakumulasi dalam organisme mengalami biomagnifikasi dalam jaring makanan dan bersifat toksik. Dampak buangan limbah pertambangan besi ke wilayah pesisir dan laut terhadap kesehatan lingkungan masyarakat pesisir sangatlah kompleks dan memerlukan solusi yang komprehensif. Berikut solusi yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak limbah pertambangan besi (Sasongko dkk, 2020).

1. Pengelolaan Limbah yang Berkelanjutan

Industri pertambangan besi harus melakukan pengelolaan limbah secara berkelanjutan dengan memprioritaskan pengurangan, pemisahan, dan pengolahan limbah sebelum dibuang ke lingkungan. Proses pengelolaan limbah harus mematuhi standar lingkungan yang telah ditetapkan.

(21)

2. Penerapan Teknologi Ramah Lingkungan

Mendorong industri pertambangan besi untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan dalam proses pertambangan dan pengelolaan limbah. Teknologi modern dapat membantu mengurangi emisi limbah berbahaya dan meningkatkan efisiensi pengelolaan limbah (Airawati dkk, 2023).

3. Reklamasi dan Restorasi Lingkungan

Melakukan reklamasi dan restorasi terhadap area pertambangan yang telah dieksploitasi untuk mengembalikan fungsi ekosistem asli dan meminimalkan dampak lingkungan. Penanaman vegetasi dan restorasi habitat laut juga dapat dilakukan untuk mendukung keberlanjutan lingkungan pesisir (Rizki &

Firmansyah, 2021).

4. Monitoring Lingkungan yang Intensif

Melakukan monitoring lingkungan secara intensif untuk memantau kualitas air laut, udara, dan tanah di sekitar wilayah pertambangan besi. Data monitoring yang akurat dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak limbah pertambangan besi dan mengambil tindakan preventif atau korektif yang diperlukan (Lambonan, 2020).

5. Penegakan Hukum yang Ketat

Pemerintah harus memberlakukan sanksi dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran pengelolaan limbah pertambangan besi. Hal ini bertujuan untuk mendorong industri pertambangan besi agar mematuhi regulasi lingkungan yang berlaku dan bertanggung jawab atas dampak lingkungan yang ditimbulkan (Boseke, 2021).

6. Pengembangan Kebijakan dan Regulasi Baru

Pemerintah terus memperbarui dan memperketat kebijakan terkait pengelolaan limbah pertambangan. Misalnya, revisi terhadap Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan kerangka hukum yang lebih kuat untuk mengatur dan mengawasi aktivitas pertambangan (Maulana, 2020).

7. Partisipasi Masyarakat

Melibatkan masyarakat pesisir dalam pengawasan dan pemantauan terhadap aktivitas pertambangan besi serta dampak lingkungannya. Peningkatan

(22)

kesadaran dan partisipasi masyarakat dapat membantu menjaga lingkungan dan kesehatan mereka sendiri (Raihan, 2024).

(23)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan makalah tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan pertambangan besi/laterit besi memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan pesisir dan laut serta kesehatan masyarakat. Limbah pertambangan tersebut dapat menyebabkan pencemaran air, udara, dan ekosistem laut, serta mengancam keberlangsungan hidup berbagai spesies dan kesehatan manusia.

B. Saran

Berdasarkan makalah tersebut saran yang dapat diberikan adalah:

1. Penguatan Pengawasan dan Penegakan Hukum: Perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap kegiatan pertambangan besi untuk memastikan bahwa limbah yang dihasilkan dielola dengan baik sesuai standar lingkungan yang telah ditetapkan. Penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan juga perlu ditingkatkan.

2. Pendidikan dan Kesadaran Lingkungan: Melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat pesisir tentang dampak negatif limbah pertambangan besi serta pentingnya menjaga lingkungan. Masyarakat perlu diberdayakan untuk menjadi agen perubahan dalam pengelolaan lingkungan.

3. Monitoring dan Evaluasi Berkelanjutan: Penting untuk melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap kegiatan pertambangan besi dan dampak lingkungannya. Data yang akurat akan membantu dalam pengambilan keputusan yang lebih baik untuk melindungi lingkungan dan kesehatan masyarakat.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Airawati, M. N., Fauzi, I., & Putranto, A. (2023). Potensi Penerapan Ekonomi Biru Dalam Mendukung Pariwisata Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Daerah Istimewa Yogyakarta. Buletin Ilmiah Marina Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 9(2), 133-149.

Agboola, O., Babatunde, D. E., Isaac Fayomi, O. S., Sadiku, E. R., Popoola, P., Moropeng, L., Yahaya, A., & Mamudu, O. A. (2020). A review on the impact of mining operation: Monitoring, assessment and management. Results in Engineering, 8(July), 100181. https://doi.org/10.1016/j.rineng.2020.100181

Bahril, B., Armid, A., Jabir, J., Takwir, A., & Rahim, A. (2019). Distribusi Spasial Logam Berat Besi (Fe) di Perairan Teluk Staring, Sulawesi Tenggara. Alchemy, 7(2), 30. https://doi.org/10.18860/al.v7i2.7192

Budhiawan, A., Susanti, A., & Hazizah, S. (2022). Analisis Dampak Pencemaran Lingkungan Terhadap Faktor Sosial dan Ekonomi pada Wilayah Pesisir di Desa Bagan Kuala Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai. Jurnal Pendidikan Tambusai, 6(1), 240-249.

Boseke, Y. C. (2021). Kajian hukum UU No. 32 tahun 2009 terhadap peran pemerintah dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan. Lex Administratum, 9(8).

Das, M. R., Satapathy, S., & Pothal, L. K. (2023). A study on waste management in iron

mining. Materials Today: Proceedings, 2214–7853.

https://doi.org/10.1016/j.matpr.2023.06.368. Ginting, J. (2023). Analisis Kerusakan Terumbu Karang Dan Upaya Pengelolaannya. Jurnal Kelautan dan Perikanan Terapan (JKPT), 1, 53-59.

de Freitas, S.M.A.C., Sousa, L.N., Diniz, P. et al. 2018). Steel slag and iron ore tailings to produce solid brick. Clean Techn Environ Policy 20, 1087–1095.

https://doi.org/10.1007/s10098-018-1513-7.

Histiarini, A. R., & Yakin, K. (2021). Kajian pengaruh aktivitas industri terhadap tingkat pencemaran air laut di Kota Sorong. Metode: Jurnal Teknik Industri, 7(1), 18-30.

Herman, D. Z. (2006). Tinjauan terhadap tailing mengandung unsur pencemar Arsen (As), Merkuri (Hg), Timbal (Pb), dan Kadmium (Cd) dari sisa pengolahan bijih

(25)

logam. Indonesian Journal on Geoscience, 1(1), 31–36.

https://doi.org/10.17014/ijog.1.1.31-36

HK, T., & Hossiney, N. (2022). A short review on environmental impacts and application of iron ore tailings in development of sustainable eco-friendly bricks.

Materials Today: Proceedings, 61, 327–331.

https://doi.org/10.1016/j.matpr.2021.09.522

Lambonan, J. E. (2020). Penanggulangan Pencemaran Lingkungan Laut Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 Tentang Kelautan. Lex Et Societatis, 8(2).

Lestari, D. W., Ruslan Umar, M., & Priosambodo, D. (2023). Bioma : Jurnal Biologi Makassar Analisis Kadar Nikel Dan Besi Pada Sedimen Perairan Pesisir Desa Fatufia, Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah Analysis of Nickel and Iron in Sediments Coastal Waters of Fatufia Village, Bahodopi Subdistr. Bioma : Jurnal Biologi Makassar, 9(1), 119–127.

https://journal.unhas.ac.id/index.php/bioma

Machado De Oliveira, C., Gesser Müller, T., Patricio Ferreira, L., Prado Cechinel, M.

A., Peterson, M., & Raupp-Pereira, F. (2019). Valorization of iron pyrite from coal mining in southern Brazil. Journal of Environmental Chemical Engineering, 7(1), 102931. https://doi.org/10.1016/j.jece.2019.102931

Maulana, A. (2020). Penegakan Hukum Lingkungan Pidana Terhadap Perusahaan yang melakukan dumping limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3). Lex Administratum, 8(5).

Nagaraj, H. B., & Shreyasvi, C. (2017). Compressed Stabilized Earth Blocks Using Iron Mine Spoil Waste - An Explorative Study. Procedia Engineering, 180, 1203–1212.

https://doi.org/10.1016/j.proeng.2017.04.281

Nur, M. M., & Moralista, E. (2020). Pemantauan pH dan Total Padatan Tersuspensi pada Air Limbah Kegiatan Penambangan dan Pengolahan Bijih Besi di PT Adidaya Tangguh , Desa Tolong , Kecamatan Lede Kabupaten Pulau Taliabu , Provinsi Maluku Utara. Prosiding Teknik Pertambangan, 6, 23–31.

http://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/30430/03Abstrak.pdf?

sequence=3&isAllowed=y

%0Ahttp://repository.unisba.ac.id/bitstream/handle/123456789/30430/07Bab3_Mu

(26)

sadad_MuhammadNur_10070112046_skr_2020.pdf?sequence=7&isAllowed=y Raihan, M. (2024). Partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan: Studi deskriptif

masyarakat Desa Pasirhalang Kecamatan Cisarua (Doctoral dissertation, UIN Sunan Gunung Djati).

Rizki, A. N., & Firmansyah, A. (2021). Kewajiban lingkungan atas reklamasi dan pasca tambang pada perusahaan sektor pertambangan di Indonesia. Ekombis Sains:

Jurnal Ekonomi, Keuangan Dan Bisnis, 6(1), 37-54.

Rohman, M., Widayanti, S., & Guntoro, D. (2017). Kajian Mengenai Peningkatan Kadar Fe Total pada Bijih Besi Laterit Menggunakan Magnetic Separator di PT Aikona Bima Amarta Kecamatan Bajuin , Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan. Prosiding Teknik Pertambangan Prodi Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Islam Bandung, 10, 544–551.

Sari, R. P., Sunarti, N. R., & Walid, A. (2020). Dampak Dampak Pencemaran Pantai Tapak Paderi Kota Bengkulu Akibat Sampah Terhadap Kelestarian Laut di Indonesia. TIN: Terapan Informatika Nusantara, 1(3), 109-112

Santosa, R. W. (2013). Dampak Pencemaran Lingkungan Laut Oleh Perusahaan Pertambangan Terhadap Nelayan Tradisional. Lex Administratum, I(2), 65–78.

https://r.search.yahoo.com/_ylt=AwrxhWrMtT9jcVsAVkf3RQx.;_ylu=Y29sbwM EcG9zAzEEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1665148493/RO=10/RU=https

%3A%2F%2Fwww.semanticscholar.org%2Fpaper%2FDAMPAK-

PENCEMARAN-LINGKUNGAN-LAUT-OLEH-PERUSAHAAN-Santosa.

%2F4711c497dba7dbaf54a8736

Sarathchandra, S. S., Rengel, Z., & Solaiman, Z. M. (2022). Remediation of heavy metal-contaminated iron ore tailings by applying compost and growing perennial ryegrass (Lolium perenne L.). Chemosphere, 288(P2), 132573.

https://doi.org/10.1016/j.chemosphere.2021.132573

Saputro, A. N., Sari, E. N., & Putri, F. A. R. (2024, March). Analisis Penyelesaian Limbah Tambang Nikel di Konawe Utara yang Mencemari Laut Sekitarnya.

In Prosiding SENASTITAN: Seminar Nasional Teknologi Industri Berkelanjutan (Vol. 4).

(27)

Sasongko, A. S., Cahyadi, F. D., Yonanto, L., Islam, R. S., & Destiyanti, N. F. (2020).

Kandungan Logam Berat Di Perairan Pulau Tunda Kabupaten Serang Banten. Manfish Journal, 1(2), 90-95.

Tinnong, E. T. (2023). ANALISIS KANDUNGAN FE, MN, DAN ZN PADA LOKASI BEKAS TAMBANG BIJIH BESI, BONE SULAWESI SELATAN. In Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

Tony, C. P., Ernawati, R., & Nursanto, E. (2021, August). Dampak Pencemaran Logam Berat Terhadap Kualitas Air dan Strategi Untuk Mengurangi Kandungan Logam Berat. In Prosiding Seminar Teknologi Kebumian dan Kelautan (SEMITAN) (Vol. 3, No. 1, pp. 215-220).

Zhao, J., Ni, K., Su, Y., & Shi, Y. (2021). An evaluation of iron ore tailings characteristics and iron ore tailings concrete properties. Construction and Building Materials, 286, 122968. https://doi.org/10.1016/j.conbuildmat.2021.122968

Referensi

Dokumen terkait

DAMPAK USAHA PERIKANAN LAUT TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH KECAMATAN PASONGSONGAN.

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Pertambangan Terhadap Fungsi Ekonomi Lingkungan dan Pendapatan Masyarakat (Studi Kasus Pertambangan Bijih Besi PT Juya Aceh Mining

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul ‘ Analisis Dampak Pembuangan Limbah Cair Industri Tahu terhadap Sifat Fisis Air Sungai Sumber

Ha : Terdapat bakteri Escherichia coli , Shigella sp., dan Salmonella sp., pada air sumur di wilayah pembuangan limbah tahu dan limbah hasil pengolahan ikan.. Ho

DAMPAK USAHA PERIKANAN LAUT TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH KECAMATAN PASONGSONGAN.

Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan

Perubahan iklim global telah dan akan memberikan dampak nyata pada kehidupan di wilayah pesisir dan laut. Dampak yang paling nyata sudah

Pembuangan limbah tailing di wilayah laut Desa Fatufia Kecamatan Bahodopi akan berdampak pencemaran terhadap Kawasan Konservasi laut sesuai dengan Nomor 52/Kepmen-Kp/2019