• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO BANDUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO BANDUNG"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO BANDUNG

Laporan Kasus : Sindroma Schwartz-Matsuo sebagai Penyebab Glaukoma Sekunder

Penyaji : Grace Setiawan

Pembimbing : Dr. dr. Andika Prahasta SpM(K), MKes

Telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing

Dr. dr. Andika Prahasta SpM (K), MKes

Kamis, 1 Juli 2021 Pukul 13.00 WIB

(2)

Schwartz-Matsuo Syndrome as a Rare Cause of Secondary Glaucoma

Abstract

Introduction: Schwartz-Matsuo syndrome is characterized by rhegmatogenous retinal detachment, elevated intraocular pressure (IOP), and aqueous cells in anterior chamber. Retinal detachment is generally accompanied by a decrease in IOP due to increased aqueous outflow through the retinal pigment epithelial tear.

In Schwartz-Matsuo syndrome, however, the IOP is increased. This increase in IOP is caused by blockage of the outer segments of the retinal photoreceptor cells in the trabecular meshwork. IOP typically normalizes following retinal detachment repair.

Purpose: To report the diagnosis and management of secondary glaucoma caused by Schwartz-Matsuo syndrome.

Case Report: A 46 years old male came to Glaucoma Unit Cicendo National Eye Hospital with bilateral vision loss as the chief complaint. He denied any other symptoms such as pain, photophobia, headache, nausea, and vomiting. The patient had a history of uncorrected-high myopia since 30 years ago and had lost his right eye vision since 20 years ago. Twenty six years prior, he experienced blunt injury in his left eye. His visual acuity was no light perception for the right eye and 1/300 for the left eye. The IOP of both eyes were 48 and 28, respectively. Posterior segment examination showed retinal detachment in all quadrants in both eyes. The patient underwent retinal repair surgery for his left eye by Vitreoretina Unit. The IOP of the left eye went back to normal right after surgery.

Conclusion: Schwartz-Matsuo syndrome is an important cause of secondary glaucoma. Thorough history taking, ocular examination, and ocular imaging are needed to establish an accurate diagnosis and treatment.

Keyword: Schwartz-Matsuo syndrome, rhegmatogenous retinal detachment, secondary glaucoma

I. Pendahuluan

Sindroma Schwartz-Matsuo, dikenal juga dengan glaukoma segmen luar fotoreseptor, merupakan sebuah kondisi yang ditandai dengan ablasio retina regmatogen yang diikuti oleh peningkatan tekanan intraokular (TIO) dan adanya sel akuos pada bilik mata depan. Sindroma ini pertama kali ditemukan oleh Schwartz pada tahun 1973, dimana Schwartz menemukan adanya peningkatan TIO pada 11 pasien dengan ablasio retina regmatogen dengan kondisi sudut bilik mata depan terbuka. Matsuo dkk. pada tahun 1986 menemukan keterlibatan segmen luar

(3)

sel fotoreseptor retina pada pemeriksaan elektron mikroskopis cairan akuos humor.1,2,3

Sejak diperkenalkan oleh Schwartz dan Matsuo, sindroma ini telah dilaporkan sebanyak delapan kali di berbagai literatur. Faktor risiko sindroma Schwartz- Matsuo adalah miopia tinggi dan riwayat trauma pada mata, dimana kedua kondisi ini dapat meningkatkan risiko ablasio retina. Ablasio retina umumnya disertai dengan penurunan TIO akibat peningkatan aliran keluar akuos humor melalui sobekan epitel pigmen retina, namun pada sindroma Schwartz-Matsuo TIO mengalami peningkatan. Peningkatan TIO ini disebabkan oleh penyumbatan segmen luar sel fotoreseptor retina pada anyaman trabekular.1,2,4

II. Laporan Kasus

Pasien Tn. YE usia 46 tahun datang ke poli Glaukoma pada tanggal 28 Mei 2021.

Pasien dirujuk dari rumah sakit di Ambon kecurigaan glaukoma ODS. Pasien mengeluhkan pandangan mata kanan gelap dan mata kiri kabur sejak 20 tahun yang lalu. Pandangan gelap dirasakan terjadi secara mendadak dan tidak disertai rasa nyeri. Keluhan lain seperti mata merah, berair, keluar kotoran, pusing, mual, dan muntah disangkal oleh pasien. Pasien mengaku penglihatan mata kanan dan kiri mulai buram sejak pasien duduk di bangku SMP. Pasien sempat memeriksakan diri ke optik setempat dan dikatakan kedua mata memiliki ukuran minus yang terlalu tinggi sehingga tidak dapat dikoreksi oleh ukuran kacamata yang tersedia saat itu.

Pasien tidak memeriksakan diri lebih lanjut karena tidak ada dokter mata di daerah tempat tinggal pasien sehingga pasien tidak menggunakan kacamata. Pasien memiliki riwayat terpukul pada mata kiri pada saat berkelahi dengan temannya pada tahun 1995, lalu 3 tahun kemudian mata kiri menjadi semakin buram. Riwayat alergi, darah tinggi, kencing manis, dan alergi disangkal oleh pasien. Terdapat riwayat miopia di keluarga pasien (ayah dan ibu) sedangkan riwayat glaukoma di keluarga disangkal oleh pasien.

Hasil pemeriksaan visus mata kanan adalah no light perception (NLP) dan mata kiri 1/300. Pada segmen anterior mata kanan didapatkan injeksi silier pada konjungtiva, sudut bilik mata depan van Herrick grade III dengan flare/sel +1/+1,

(4)

pupil bulat dilatasi, dan lensa agak keruh. Pada pemeriksaan gonioskopi didapatkan schwalbe line di semua kuadran. Pemeriksaan segmen posterior mata kanan menunjukkan adanya papil pucat membayang dan ablasio retina di seluruh kuadran.

Gambar 2.1 Segmen Anterior Mata Kanan dan Kiri tanggal 15 Juni 2021 Dikutip dari : PMN RS Mata Cicendo

Gambar 2.2 Hasil Pemeriksaan Gonioskopi Mata Kanan dan Kiri 15 Juni 2021 Dikutip dari : PMN RS Mata Cicendo

Pada segmen anterior mata kiri didapatkan injeksi silier pada konjungtiva, sudut bilik mata depan van Herrick grade III dengan flare/sel +1/+1, pupil bulat mid- dilatasi, sinekia posterior, dan lensa agak keruh dengan iris pigmen (+). Pada pemeriksaan gonioskopi didapatkan schwalbe line di semua kuadran. Hasil pemeriksaan segmen posterior mata kiri menunjukkan gambaran papil pucat

(5)

menbayang, ablasio retina di seluruh kuadran, dan proliferatif vitreoretinopati grade C. Hasil pemeriksaan TIO dengan tonometer aplanasi Goldmann adalah 8 mmHg untuk mata kanan dan kiri. Pasien dilakukan pemeriksaan USG pada kedua mata dengan kesan suspek ablasio retina lama dan ablasio koroid pada mata kanan dan suspek ablasio retina pada mata kiri. Pasien kemudian dirujuk ke Unit Vitreoretina untuk penegakan diagnosa dan penatalaksanaan selanjutnya.

Gambar 2.3 Hasil Pemeriksaan USG Mata Kanan dan Kiri pada hari ke-18 Dikutip dari : PMN RS Mata Cicendo

Pasien datang kontrol ke Poliklnik Vitreoretina 18 hari kemudian, lalu dikonsultasikan ke ke Unit Glaukoma dengan peningkatan TIO pada mata kanan dan kiri. Pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan vitrektomi pars plana + endo drainase + endo laser + silicon oil pada mata kiri keesokan harinya. Visus mata kanan pasien didapatkan NLP dan visus mata kiri 1/300. Pada hasil pemeriksaan segmen anterior mata kanan didapatkan injeksi silier pada bagian konjungtiva, edema kornea, sudut bilik mata depan Van Herrick grade III dengan flare/sel -/-, pupil bulat dilatasi, dan lensa agak keruh. Hasil pemeriksaan segmen posterior mata kanan menunjukkan papil pucat membayang dengan ablasio retina di seluruh kuadran dan ablasio koroid di regio inferotemporal. Pada hasil pemeriksaan segmen anterior mata kiri didapatkan injeksi silier pada bagian konjungtiva, edema kornea, sudut bilik mata depan Van Herrick grade III dengan flare/sel +0.5/+0.5, pupil bulat dengan dilatasi farmakologis sinekia posterior pada iris, dan lensa agak keruh dengan iris pigmen positif. Pemeriksaan segmen posterior mata kiri menunjukkan gambaran papil pucat membayang, ablasio retina di seluruh

(6)

kuadran dan proliferatif vitreoretinopati grade C. Hasil pemeriksaan TIO dengan menggunakan tonometer aplanasi Goldmann adalah 48 mmHg pada mata kanan dan 28 mmHg pada mata kiri. Pasien dilakukan pemeriksaan penunjang USG orbita kanan dan kiri, ocular coherence tomography (OCT) anterior mata kanan dan kiri dan OCT makula kanan dan kiri. Pasien diberikan pengobatan antiglaukoma berupa timolol maleat tetes mata 0.5% 2x/hari untuk mata kanan dan kiri, acetazolamid 3x250 mg per oral, dan kalium 1x1 tablet. Pasien kemudian dilakukan tindakan vitrektomi pars plana + endo drainase + endo laser + silicon oil pada mata kiri pada tanggal 16 Juni 2021.

Gambar 2.4 Hasil Pemeriksaan OCT Anterior Mata Kanan dan Kiri Hari ke-18 Dikutip dari : PMN RS Mata Cicendo

Gambar 2.5 Hasil Pemeriksaan OCT Makula Mata Kanan dan Kiri Hari ke-18 Dikutip dari : PMN RS Mata Cicendo

Pada pemeriksaan hari pertama paskaoperasi didapatkan visus mata kanan dan kiri tetap sama seperti sebelumnya, yaitu NLP pada mata kanan dan 1/300 pada mata kiri. Bilik mata depan mata kanan didapatkan van Herrick grade III flare/sel -/-, dan pemeriksaan segmen anterior lain masih sama seperti sebelumnya.

Pemeriksaan segmen anterior pada mata kiri menunjukkan adanya injeksi silier dan perdarahan subkonjungtiva, bilik mata depan van Herrick grade III flare/sel

(7)

+0.5/+0.5. Pengukuran TIO dengan menggunakan tonometer aplanasi Goldmann mata kanan adalah 23 mmHg dan 19 mmHg pada mata kiri.

Pasien kembali datang ke Poliklinik Glaukoma 1 minggu paskaoperasi pada tanggal 23 Juni 2021. Visus mata kanan dan kiri pasien tetap sama yaitu NLP pada mata kanan dan 1/300 pada mata kiri. Segmen anterior mata kanan dan kiri masih sama dengan pemeriksaan sebelumnya, kecuali pada pemeriksaan bilik mata depan, dimana didapatkan van Herrick grade III f/s -/- dan pada mata kanan dan kiri. Hasil pemeriksaan TIO dengan tonometer aplanasi Goldmann menunjukkan 19 mmHg pada mata kanan dan 14 mmHg pada mata kiri. Pasien ingin pulang ke Ambon dan kontrol di Rumah Sakit setempat, sehingga pasien diberikan surat pengantar rujukan ke Rumah Sakit setempat dan diberikan resep timolol maleat tetes mata 0.5% 2x/hari untuk mata kanan, acetazolamid 3x250 mg per oral, dan kalium 1x1 tablet.

Gambar 2.6 Segmen Anterior Mata Kanan dan Kiri 1 hari paskaoperasi Dikutip dari : PMN RS Mata Cicendo

Gambar 2.7 Segmen Anterior Mata Kanan dan Kiri 7 hari paskaoperasi Dikutip dari : PMN RS Mata Cicendo

III. Diskusi

Sindroma Schwartz-Matsuo memiliki tiga tanda utama yaitu ablasio retina regmatogen, peningkatan TIO, dan adanya sel akuos. Sekitar 87% ablasio retina pada sindroma Schwartz-Matsuo terjadi pada area ora serrata atau epitel non-

(8)

pigmen dari pars plana dan pars plikata badan siliaris. Sobekan ini seringkali terjadi di sisi kuadran superotemporal dan inferotemporal. Hasil yang sama juga ditemukan pada pasien ini, dimana dari pemeriksaan funduskopi indirek mata kanan tampak gambaran ablasio retina di seluruh kuadran dan ablasio koroid di regio inferotemporal dan mata kiri tampak ablasio retina di seluruh kuadran dan proliferatif vitreoretinopati grade C. Pemeriksaan penunjuang berupa USG orbita dan OCT makula juga menunjang temuan segmen posterior pada pasien ini.1,5–7,9

Gambar 3.1 Tampilan Sel Segmen Luar Fotoreseptor pada Pemeriksaan Mikroskop Elektron

Dikutip dari : Mitry, dkk.4

Ablasio retina regmatogen pada umumnya menyebabkan penurunan TIO akibat peningkatan aliran keluar dari cairan akuos humor melalui sobekan pada epitel pigmen retina. Peningkatan TIO ini diduga disebabkan oleh pelepasan sel luar fotoreseptor retina yang mengalir melalui sobekan epitel pigmen retina menuju ke bilik mata depan dan menghambat aliran keluar akuos humor yang melewati anyaman trabekular. Sel luar fotoreseptor retina ini dapat disalahartikan sebagai sel radang yang tidak berespon terhadap pengobatan antiinflamasi. Sel luar fotoreseptor pada cairan akuos ini dapat dideteksi dengan analisa mikroskop elektron, dimana sel segmen luar fotoreseptor banyak mengandung kolesterol dan lemak sehingga berbentuk lebih besar dan bulat dibandingkan cairan akuos di sekitarnya (Gambar 3.1). Pada sindroma Schwartz-Matsuo, TIO akan turun dengan sendirinya setelah dilakukan tindakan untuk mengatasi ablasio retina. 2,6-10

(9)

Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan analisa cairan akuos menggunakan mikroskop elektron karena keterbatasan alat, namun pada pasien dijumpai adanya sel akuos pada bilik mata depan kanan dan kiri pada saat pasien pertama kali datang.

TIO mata kiri pasien mengalami penurunan sebelum dan sesudah tindakan pembedahan, dari 28 mmHg menjadi 19 mmHg satu hari paskaoperasi dan 14 mmHg tujuh hari paskaoperasi. Temuan ini sesuai dengan perjalanan penyakit sindroma Schwartz-Matsuo dimana TIO akan kembali normal setelah dilakukan tindakan perlekatan retina kembali.

Beberapa yang dapat meningkatkan risiko terjadinya ablasio retina regmatogen seperti miopia tinggi dan trauma okuli diduga menjadi faktor risiko terjadinya sindroma Schwartz-Matsuo. Faktor risiko lain adalah riwayat operasi pada mata dan dermatitis atopik.1,6,8-10 Pada pasien ini diduga teradapat riwayat miopia tinggi yang tidak dapat dikoreksi dengan kacamata dan riwayat trauma tumpul pada mata kiri 26 tahun yang lalu. Riwayat operasi pada mata dan dermatitis atopik atau kondisi alergi lainnya disangkal oleh pasien.

Diagnosis banding dari sindrma Schwartz-Matsuo antara lain adalah iritis, glaukoma primer sudut terbuka, dan sindroma Posner-Scholssman. Pada iritis didapatkan adanya sinekia anterior dan keratik presipitat, dimana kedua hal ini tidak dijumpai pada sindroma Schwartz-Matsuo. Glaukoma primer sudut terbuka biasanya tidak disertai dengan adanya akuos sel dan ablasio retina. Sindroma Posner-Scholssman ditandai dengan peningkatan TIO secara akut dan rekuren disertai dengan peradangan minimal pada bilik mata depan, keratik presipitat minimal, dan berespon baik terhadap steroid.1,2,7

Tatalaksana sindroma Schwartz-Matsuo pada dasarnya sama dengan glaukoma sekunder, dimana tujuan utama terapi adalah untuk mengatasi ablasio retina dan membersihkan bilik mata depan dari sel-sel debris. Terapi antiglaukoma preoperatif tetap diberikan sesuai dengan target TIO pasien. Pemberian pilokarpin masih menjadi kontroversi hingga saat ini. Pilokarpin dapat membantu membuka pori- pori anyaman trabekular namun obat ini dapat menyebabkan miosis dan meningkatkan risiko ablasio retina yang lebih parah. Jika TIO tetap tinggi setelah tindakan pembedahan retina, dapat dipertimbangkan tindakan pembedahan

(10)

glaukoma seperti trabekulektomi atau pemasangan implan drainase. Pada pasien ini diberikan terapi antiglaukoma berupa timolol maleat tetes mata 0.5% 2x/hari untuk mata kanan dan kiri, acetazolamid 3x250 mg per oral, dan kalium 1x1 tablet. Pasien tidak direncanakan tindakan pembedahan glaukoma karena TIO sudah dapat terkontrol dengan obat.

IV. Simpulan

Sindroma Schwartz-Matsuo memiliki tiga karakteristik klinis yang khas yaitu ablasio retina regmatogen, peningkatan TIO, dan adanya sel akuos. Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan oftalmologis, dan pemeriksaan penunjang yang sistematis dan teliti dapat membantu kita dalam mendiagnosis pasien dengan glaukoma sekunder yang disebabkan oleh sindroma Schwartz-Matsuo. Tatalaksana utama pada sindroma ini adalah tindakan pembedahan untuk mengatasi ablasio retina regmatogen disertai terapi antiglaukoma.

(11)

10

DAFTAR PUSTAKA

1. Etheridge T, Larson JC, Nork TM, Momont AC. Schwartz-matsuo syndrome: an important cause of secondary glaucoma. Am J Ophthalmol Case Reports. 2020;17:100586.

2. Wang Y, Hu Z, Jiang Y, Liu H, Fang X. UBM-guided scleral buckling for schwartz-matsuo syndrome with tear of nonpigmented epithelium of the ciliary body: a case report. BMC Ophthalmol. 2021;21(1).

3. Oliver SE, Aubin M, Atwell L, Matthias J, Cope A, Mobley V, dkk. Ocular syphilis — eight jurisdictions, united states, 2014–2015. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2016;65(43):1185–8.

4. Mitry D, Constable I, Singh J. Photoreceptor outer segment glaucoma in rhegmatogenous retinal detachment. Arch Ophthalmol. 2009;127(8):1053–

4.

5. C. Girkin, A. Bhorade, A. Giaconi, F. Medeiros, A. Sit, A. Tanna C. Basic and clinical science course: glaucoma. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2020. hlm. 209

6. Chen X, Richter GM, Caprioli J, McCannel TA. Macular microcysts in schwartz-matsuo syndrome. Retin Cases Br Reports. 2018;12(4):367–70.

7. Heatley G, Pro M, Harasymowicz P. Schwartz-matsuo syndrome. J Glaucoma. 2006;15(6):562–4.

8. Clark A, Alkhotani A, Yucel YH, Sylvester C, Kertes PJ, Birt CM. Electron microscopic evidence of photoreceptor outer-segments in the trabecular meshwork in a case of schwartz-matsuo syndrome. J Glaucoma.

2019;28(9):843–5.

9. Yanoff M, Duker JS. Ophthalmology. Edisi ke-5. Philadelphia: Saunders;

2019. hlm. 776.

10. Albert D, Miller JW, Azar D. Principles & practice of ophthalmology.

Volume 1. Amsterdam: Elsevier; 2008. hlm. 2754.

Referensi

Dokumen terkait

Pemeriksaan segmen anterior pada mata kiri didapatkan koloboma palpebra, konjungtiva sulit dinilai dan kornea keruh, terdapat keratopati eksposur.. Bilik mata

9–11 Pada kasus ini pasien belum dilakukan tindakan operasi, pasien direncanakan untuk tindakan fakoemulsifikasi dengan pemasangan lensa intraokular pada mata kanan

Salah satu komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma kimia alkali pada mata adalah defek epitel kornea persisten yang disebabkan oleh limbal stem cell

Pemeriksaan segmen anterior mata kiri didapatkan hasil palpebra superior dan inferior blefarospasme, konjungtiva bulbi terdapat injeksi siliar, kornea donor intak dengan

Dikutip dari: Brodie dkk. Alonso dkk berpendapat bahwa Le Grand schematic eye adalah model schematic eye paling sederhana yang paling merepresentasikan struktur optik mata

Lapisan air mata merupakan struktur yang terdiri dari beberapa lapis. Lapisan lemak air mata diproduksi oleh kelenjar meibom yang terletak di palpebra superior dan inferior serta

Hasil pemeriksaan tajam penglihatan jauh pasien dengan ETDRS chart di unit low vision mengalami peningkatan sampai 2/40 setelah operasi katarak pada mata kanan, meskipun

Pada laporan kasus ini pasien adalah seorang wanita berusia 27 tahun dengan peningkatan TIO pada kedua mata (OD 23 mmHg, OS 48 mmHg), sudut bilik mata depan terbuka melalui