• Tidak ada hasil yang ditemukan

ebook Evaluasi Kurikulum

N/A
N/A
NATALIUS DEDI

Academic year: 2024

Membagikan "ebook Evaluasi Kurikulum"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

EVALUASI KURIKULUM

Abdurrahman Hilabi, M.Pd

(3)

ii |

Evaluasi Kurikulum

Copyright © abdurrahman hilabi, 2019

Penulis:

Abdurrahman Hilabi, M.Pd

Penerbit:

PUSTAKA AMANAH Redaksi:

Jln. Moncokerto No.12G, RT.07/RW.013 Utan Kayu Selatan, Kec.Matraman, Jakarta Timur 13120

Web : www.pustakamanah.com Tlp : 085883174596

ISBN 978-623-94923-8-0 Cetakan Pertama, Juli 2021 110 halaman; 14 x 20 cm

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang memperbanyak maupun mengedarkan buku dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari

penerbit maupun penulis

(4)

iii

KATA PENGANTAR

Kurikulum sejatinya berisi program-program yang hendak dicapai. Pendidik yang baik dan berkualitas dimulai dari kurikulum yang dikonsep dan diimplementasikan secara baik pula. Untuk dapat mengetahui tercapainya program-program tersebut harus melewati satu tahap yang dinamakan Evaluasi Kurikulum.

Dalam buku ini disajikan informasi praktis mengenai gambaran dasar-dasar evaluasi kurikulum meliputi hakikat, tujuan, landasan, kreteria, model dan standar pelaksanaan evaluasi kurikulum. Buku Evaluasi Kurikulum ini disusun sebagai bahan ajar bagi mahasiswa di Perguruan Tinggi. Penguasaan terhadap materi buku ini diharapkan memberi mereka kemampuan dasar untuk melaksanakan evaluasi.

Pendek kata, kami mengharapkan agar buku ini mampu memberikan informasi yang dibutuhkan secara lengkap. Kami tentu menyadari, sebagai sebuah modul, buku ini masih membutuhkan penyempurnaan dan pendalaman lebih lanjut.

Untuk itulah, masukan dan kritik konstruktif dari para pembaca sangat kami harapkan.

Sukabumi, 29 Juli 2019

Abdurrahman Hilabi, M.Pd Semoga upaya yang telah dilakukan ini mampu menambah makna bagi peningkatan mutu pendidikan Islam di Indonesia, dan tercatat sebagai amal saleh di hadapan Allah swt. Akhirnya, hanya kepadD-Nya kita semua memohon petunjuk dan pertolongan agar upaya-upaya kecil kita bernilai guna bagi pembangunan sumberdaya manusia secara nasional dan peningkatan mutu umat Islam di Indonesia.

(5)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

BAB I ... 2

HAKIKAT KURIKULUM ... 2

A. Pengertian Evaluasi ... 2

B. Pengertian Kurikulum ... 2

C. Prinsip Evaluasi Kurikulum ... 33

BAB II ... 36

TUJUAN DAN FUNGSI EVALUASI KURIKULUM ... 36

A. Tujuan Evaluasi Kurikulum ... 36

B. Fungsi Evaluasi Kurikulum ... 40

BAB III ... 47

LANDASAN EVALUASI KURIKULUM ... 47

A. Akuntabilitas Legal ... 50

B. Akuntabilitas Akademik ... 50

C. Akuntabilitas Finansial ... 51

D. Akuntabilitas Pemberian Jasa ... 53

E. Akuntabilitas Dampak ... 55

BAB IV ... 59

KRITERIA EVALUASI KURIKULUM ... 59

A. Pendekatan kriteria Pre-ordinate ... 60

B. Pendekatan Kriteria Fidelity ... 61

C. Pendekatan mutually adaptive ... 61

D. Kriteria dari Lapangan (Proses) ... 62

BAB V ... 65

RUANG LINGKUP EVALUASI KURIKULUM ... 65

A. Evaluasi Kurikulum Pada Tingkat Nasional ... 65

(6)

v

B. Evaluasi Kurikulum Pada Tingkat Satuan Pendidikan ... 66

BAB VI ... 70

JENIS EVALUASI KURIKULUM ... 70

A. Evaluasi Kurikulum Berdasarkan Bentuk Evaluan ... 70

B. Evaluasi Kurikulum Berdasarkan Posisi Evaluator ... 73

C. Evaluasi Kurikulum Berdasarkan Metodologi ... 75

BAB VII ... 77

PROSEDUR EVALUASI KURIKULUM ... 77

BAB VIII ... 85

MODEL EVALUASI KURIKULUM ... 85

A. Model Evaluasi Kuantitatif ... 85

B. Model Evaluasi Kualitatif ... 94

C. Model Evaluasi Kurikulum yang disarankan ... 98

BAB IX ... 101

STANDAR PELAKSANAAN EVALUASI KURIKULUM ... 101

A. Utility Standards ... 101

B. Feasibility Standards... 103

C. Propriety Standards ... 104

D. Accuracy Standards ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... 105

LAMPIRAN ... 107

TENTANG PENULIS ... 116

(7)

1

BAB I

HAKIKAT KURIKULUM

Pengertian Evaluasi

Pengertian Kurikulum

Prinsip Evaluasi Kurikulum

(8)

2

BAB I

HAKIKAT KURIKULUM A. Pengertian Evaluasi

Menurut pengertian bahasa kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran (John M.

Echols dan Hasan Shadily, 1983). Menurut Stufflebeam, dkk (1971) mendefinisikan evaluasi sebagai the process of delineating, obtaining, and providing useful information for judging decision alternatives,” Artinya evaluasi merupakan proses menggambarkan, memperoleh, dan menyajikan informasi yang berguna untuk merumuskan suatu alternatif keputusan.

Evaluasi adalah proses penilaian yang sistematis mencakup pemberian nilai, atribut, apresiasi, dan pengenalan permasalahan serta pemberian solusi-solusi atas permasalahan yang ditemukan.

B. Pengertian Kurikulum

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk

(9)

3

mencapai tujuan pendidikan tertentu (Pasal 1 Butir 19 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).

Sedangkan menurut Harsono (2005), kurikulum merupakan gagasan pendidikan yang diekpresikan dalam praktik. Dalam bahasa latin, kurikulum berarti atau jalur pacu. Saat ini definisi kurikulum semakin berkembang, sehingga yang dimaksud kurikulum tidak hanya gagasan pendidikan tetapi juga termasuk seluruh program pembelajaran yang terencana dari suatu institusi pendidikan.

Pengembangan kurikulum merupakan bagian yang sangat esensial dalam keseluruhan kegiatan pendidikan. Pada waktu yang lalu sebelum diterapkannya kebijakan baru mengenai standar isi (Permendiknas Nomor 22/2006) dan standar kompetensi lulusan (Permendiknas Nomor 23/2006), kurikulum untuk suatu lembaga pendidikan tertentu pada umumnya sudah disusun sebelumnya oleh para perencana kurikulum (curriculum planners). Biasanya tugas para pelaksana kurikulum, dalam hal ini guru, yaitu melaksanakan, membina, dan dalam batas-batas tertentu mengembangkannya.

Melaksanakan kurikulum itu maksudnya adalah mentransformasikan program pendidikan kepada peserta didik

(10)

4

dalam proses pembelajaran. Membina kurikulum dimaksudkan menjaga dan mempertahankan agar pelaksanaan kurikulum sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam kurikulum ideal/potensial. Dengan kata lain, mengupayakan kesesuaian kurikulum aktual dengan kurikulum potensial sehingga tidak terjadi kesenjangan. Adapun pengembangan kurikulum adalah tahap lanjutan dari kegiatan pembinaan kurikulum, yaitu upaya meningkatkan dalam bentuk nilai tambah dari apa yang telah dilaksanakan sesuai dengan kurikulum potensial. Upaya ini dapat dilakukan apabila diadakan penilaian terhadap apa yang telah dilaksanakan. Dengan melakukan penilaian dapat diketahui kekurangan dalam pelaksanaan dan pembinaan kurikulum yang sedapat mungkin diatasi, dan dicarikan upaya lain yang lebih baik sehingga diperoleh hasil yang lebih optimal.

Pada saat ini, setelah diterapkannya kebijakan mengenai pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan, khususnya berkaitan dengan standar isi dan standar kompetensi lulusan maka guru tidak hanya bertugas semata sebagai pelaksana kurikulum yang telah disusun oleh para perancang kurikulum tingkat pusat, namun guru diberi kesempatan yang lebih luas untuk mengembangkan

(11)

5

sendiri kurikulum secara utuh yang akan dilaksanakan di sekolahnya sampai pada penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Sebagai seorang pengembang kurikulum (a curriculum developer) bagi sekolahnya, guru dituntut untuk memahami proses bagaimana kurikulum itu dikembangkan serta komponen-komponen apa saja yang harus ada di dalamnya.

Coba Anda cermati lebih mendalam penjelasan-penjelasan teoretik di bawah ini, kemudian usahakan untuk dikaji dengan mempertimbangkan pengalaman Anda dalam melaksanakan kurikulum selama menjadi guru.

Pengembangan kurikulum itu menyangkut banyak faktor, mempertimbangkan isu-isu mengenai kurikulum, siapa yang dilibatkan, bagaimana prosesnya, apa tujuannya, dan kepada siapa kurikulum itu ditujukan. Pengembangan kurikulum merupakan alat untuk membantu guru melakukan tugasnya mengajar, menarik minat murid, dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada umumnya, para ahli kurikulum memandang bahwa pengembangan kurikulum itu merupakan suatu proses yang berkelanjutan dan merupakan suatu siklus dari beberapa komponen, yaitu tujuan, bahan, kegiatan, dan

(12)

6

evaluasi. Ralph W. Tyler (1975) dalam buku kecilnya yang sangat terkenal dan konsep-konsepnya masih dipakai sampai sekarang, menyajikan empat langkah pengembangan yang disebut four-step model. Langkah-langkah tersebut dinyatakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang mendasar yang harus dijawab baik dalam mengembangkan suatu kurikulum maupun pembelajaran, yaitu:

1. What educational purposes should the school seek to attain?

2. What educational experiences can be provided that are likely to attain these purposes?

3. How can these educational experiences be effectively organized?

4. How can we determine whether these purposes are being attained?

Pertanyaan pertama pada hakikatnya merupakan arah dari suatu program (tujuan kurikulum atau kompetensi apa saja yang harus dicapai siswa), pertanyaan kedua berkenaan dengan isi/materi pelajaran yang harus diberikan untuk mencapai tujuan/kompetensi, pertanyaan ketiga berkenaan dengan strategi pelaksanaan, dan

(13)

7

pertanyaan keempat berkenaan dengan penilaian (evaluasi) pencapaian tujuan/kompetensi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi komponen utama yang harus dipenuhi dalam suatu kegiatan pengembangan kurikulum. Komponen-komponen itu tidaklah berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan, pengaruh memengaruhi, berinteraksi, berinterelasi satu sama lain dan membentuk suatu sistem. Dengan demikian, sistem adalah suatu kesatuan atau totalitas yang terdiri atas lebih dari satu komponen di mana antara satu komponen dengan komponen lainnya saling memengaruhi, berinteraksi, dan berinterelasi satu sama lain dalam mencapai tujuan.

Coba Anda perhatikan bagan di bawah ini yang pada umumnya merupakan gambaran mengenai hubungan atau interelasi antarkomponen dalam pengembangan kurikulum menurut beberapa ahli kurikulum. Achasius Kaber (1988) menggambarkan hubungan antarkomponen dalam pengembangan kurikulum tersebut dalam suatu siklus sebagai berikut.

(14)

8

Tujuan

Bahan Kegiatan

Evaluasi

S.Nasution (1987), salah seorang pakar kurikulum Indonesia, melukiskan proses pengembangan kurikulum yang dimulai dari perumusan tujuan kurikulum, diikuti oleh penentuan atau pemilihan bahan pelajaran, proses belajar-mengajar, dan alat penilaiannya.

Proses tersebut digambarkan sebagai berikut.

Menurut S.Nasution, dalam praktik biasanya semua unsur tersebut dipertimbangkan tanpa urutan yang pasti, misalnya ada yang menganjurkan agar segera setelah dirumuskan tujuan disusun alat evaluasinya, kemudian bahan dan proses belajar mengajarnya atau ada pula yang mulai dengan melihat bahan yang akan dipelajari dengan berpedoman pada buku sumber, sesudah itu baru ditentukan tujuan yang akan dicapai berdasarkan bahan tersebut, akhirnya dipikirkan proses belajar mengajar dan cara penilaiannya. Jadi, dalam proses pengembangannya tampaknya ada proses interaksi menuju perpaduan dan penyempurnaan.

(15)

9

Robert S. Zais (1976) menyebut aspek-aspek atau komponen- komponen yang terdapat dalam pengembangan kurikulum dengan istilah anatomi kurikulum (anatomy of the curriculum) yang terdiri dari komponen tujuan (aims, goals, dan objectives), isi (content), aktivitas belajar (learning activities), dan evaluasi (evaluation). Aspek atau komponen tersebut digambarkannya sebagai suatu keterpaduan.

Coba Anda perhatikan gambar berikut.

Langkah-langkah yang telah dikemukakan oleh ketiga ahli kurikulum di atas menggambarkan aspek-aspek atau komponen- komponen utama yang harus dikembangkan dalam setiap kegiatan pengembangan kurikulum. Aspek atau komponen tersebut adalah (1) tujuan, (2) isi/bahan, (3) strategi pembelajaran, dan (4) evaluasi.

Uraian berikut lebih diarahkan pada pembahasan mengenai keempat aspek atau komponen tersebut di atas.

1. Tujuan

Dalam kegiatan pengembangan kurikulum, baik pada level makro maupun mikro, peran tujuan sangatlah menentukan. Ivor K.

Davies (dalam Hamid Hasan, 1990) mengemukakan bahwa tujuan dalam suatu kurikulum akan menggambarkan kualitas manusia yang

(16)

10

diharapkan terbina dari suatu proses pendidikan. Dengan demikian, suatu tujuan memberikan petunjuk mengenai arah perubahan yang dicita-citakan dari suatu kurikulum yang sifatnya harus merupakan sesuatu yang final. Perhatikan juga beberapa pendapat berikut.

a. Tujuan memberikan pegangan apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukannya, dan merupakan patokan untuk mengetahui sampai di mana tujuan itu telah dicapai (S.

Nasution, 1987).

b. Tujuan sangat memegang peranan penting, akan mewarnai keseluruhan komponen-komponen lainnya dan akan mengarahkan semua kegiatan mengajar (Nana Syaodih, 1988).

c. Tujuan kurikulum yang dirumuskan menggambarkan pula pandangan para pengembang kurikulum mengenai pengetahuan, kemampuan, serta sikap yang ingin dikembangkan (Hamid Hasan, 1990).

Tujuan yang jelas akan memberi petunjuk yang jelas pula terhadap pemilihan isi/konten, strategi dan media pembelajaran, serta evaluasi, bahkan dalam berbagai model pengembangan kurikulum, tujuan ini dianggap sebagai dasar, arah, dan patokan

(17)

11

dalam menentukan komponen-komponen yang lainnya. Ada ahli kurikulum yang memandang tujuan sebagai proses, seperti Bruner dan Fenton (dalam Hamid Hasan, 1990), namun kebanyakan para ahli memandang tujuan itu sebagai hasil (product). Gagne dan Briggs (1974) mempersyaratkan bahwa tujuan merupakan suatu kapasitas yang dapat dilakukan dalam waktu tidak lama setelah suatu kegiatan pendidikan berlangsung, bukan merupakan apa yang dialami siswa selama proses pendidikan. R.F. Mager dan K.M. Beach Jr. (1967) mengemukakan bahwa tujuan itu harus menggambarkan tentang produk atau hasil, bukan prosesnya.

Terlepas dari masalah apakah sebagai proses maupun hasil, tujuan kurikulum tidak mungkin sepenuhnya hanya didasarkan pada suatu posisi teoretis ilmiah tertentu saja. Tujuan kurikulum tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan dan kebutuhan masyarakat, serta didasari oleh falsafah dan ideologi suatu negara. Hal ini dapat dimengerti sebab upaya pendidikan itu sendiri merupakan subsistem dalam sistem masyarakat dan negara sehingga kekuatan-kekuatan sosial, politik, budaya, dan ekonomi sangat berperan dalam menentukan tujuan kurikulum atau tujuan pendidikan, terutama tujuan yang sifatnya umum (nasional).

(18)

12

Di Indonesia, sejak pasca kemerdekaan, tujuan umum pendidikan atau tujuan pendidikan nasional ditetapkan dalam keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengenai Garis- garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan undang-undang tentang sistem pendidikan nasional. Tujuan umum tersebut dapat dicapai melalui tujuan-tujuan yang ada di bawahnya yang berfungsi sebagai tujuan perantara (intermediate goals).

Tujuan Pendidikan Nasional adalah tujuan yang ingin dicapai secara nasional yang dilandasi oleh falsafah negara. Sifat tujuan ini ideal, komprehensif, utuh, dan menjadi induk bagi tujuan-tujuan yang ada di bawahnya. Tujuan Institusional adalah tujuan yang diharapkan dicapai oleh suatu lembaga pendidikan. Tujuan Kurikuler adalah penjabaran dari tujuan institusional yang berisi program- program pendidikan yang menjadi sasaran sesuatu mata pelajaran.

Tujuan Instruksional merupakan tujuan tingkat bawah yang harus dicapai setelah suatu proses pembelajaran. Sebelum penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP), tujuan instruksional ini dirinci lagi menjadi tujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional khusus (TIK). Rumusan TIU biasanya sudah tercantum dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP).

(19)

13

Setelah KTSP diterapkan dalam pengembangan kurikulum di sekolah-sekolah kita saat ini, terdapat perkembangan baru dalam penggunaan beberapa istilah, seperti munculnya istilah Standar Kompetensi Lulusan (SKL), Standar Kompetensi Kelompok Mata Pelajaran (SKKMP), Standar Kompetensi Mata Pelajaran (SKMP), dan Kompetensi Dasar (KD). Supaya tidak tumpang tindih maka penjelasan rinci.

Untuk menambah wawasan Anda, berikut ini diuraikan kajian yang lebih bersifat teoretik mengenai tujuan kurikulum. Dalam literatur asing, istilah tujuan kurikulum dikenal dengan nama purposes, aims, goals, objectives, means, dan ends. Robert S. Zais (1976) dalam hubungannya dengan masalah kurikulum, menekankan pada tiga istilah tujuan, yaitu curriculum aims, curriculum goals, dan curriculum objectives. Pernyataan-pernyataan dalam Curriculum Aims lebih menggambarkan tujuan-tujuan hidup/kehidupan yang diharapkan, yang didasarkan pada nilai dan filsafat dan tidak langsung berhubungan dengan sekolah. Zais memberi contoh tujuan ini seperti Self- Realization, Ethical Character, dan Civic Responsibility. Jika diperhatikan, nampaknya tujuan ini sinonim dengan tujuan umum pendidikan atau tujuan pendidikan nasional.

(20)

14

Curriculum Goals lebih diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan sekolah atau lembaga pendidikan atau sistem pengajaran, seperti mengembangkan kesanggupan berpikir, penghayatan/apresiasi sastra, pengetahuan warisan budaya, minat terhadap masalah sosial merupakan contoh tujuan ini. Curriculum Objectives yang dimaksudkan sebagai tujuan-tujuan khusus pengajaran.

Selain pengklasifikasian tujuan kurikulum di atas, Saylor, Alexander, dan Lewis (1981) mengungkapkan tujuan kurikulum ini dengan menggunakan istilah purposes, general goals, subgoals, objectives, dan specific objectives. Tujuan pada level pembelajaran (instruksional) dirumuskan secara khusus/spesifik dan menekankan pada perilaku peserta didik. Gagne dan Briggs (Aronson, 1983) mengklasifikasikan tujuan-tujuan tersebut ke dalam lima kategori atau domain, yaitu verbal information, attitudes, intellectual skills, motor skills, dan cognitive strategies. Howard Kingleys (dalam Nana Sudjana, 1988) membaginya menjadi tiga kategori, yaitu keterampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian, serta sikap dan cita-cita. Sementara itu, yang dijadikan dasar perumusan tujuan dalam sistem pendidikan di Indonesia ialah klasifikasi yang dikemukakan oleh Benjamin S. Bloom, dkk. dalam bukunya

(21)

15

Taxonomy of Educational Objectives. Bloom membagi tujuan menjadi tiga domain, yaitu Cognitive, Affective, dan Psychomotor.

Dalam pelaksanaan kurikulum, ketiga domain tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya.

Tujuan-tujuan khusus pengajaran (objectives) harus dirumuskan secara operasional, menunjukkan perilaku yang dapat diamati (observable), dan dapat diukur (measurable). Dalam hal ini, Mager dan Beach Jr. (1967) mengungkapkan beberapa karakteristik tujuan pengajaran, sebagai berikut.

a. An objective says something about the student;

b. An objective talks about the behavior or performance of student;

c. An objective is about ends rather than means;

d. An objective describes the conditions under which the student will be performing his terminal behavior;

e. An instructional objective also includes information about the level of performance that will be considered acceptable.

(22)

16

Pratt (dalam A. Kaber, 1988) mengemukakan tujuh kriteria yang harus dipenuhi dalam merumuskan tujuan kurikulum, yaitu sebagai berikut.

a. Tujuan kurikulum harus menunjukkan hasil belajar yang spesifik dan dapat diamati.

b. Tujuan harus konsisten dengan tujuan kurikulum, artinya tujuan-tujuan khusus itu dapat mewujudkan dan sejalan dengan tujuan yang lebih umum.

c. Tujuan harus ditulis dengan tepat, bahasanya jelas sehingga dapat memberi gambaran yang jelas bagi para pelaksana kurikulum.

d. Tujuan harus memperlihatkan kelayakan, artinya bahwa tujuan itu bukanlah suatu standar yang mutlak melainkan harus dapat disesuaikan dengan situasi.

e. Tujuan harus fungsional, artinya tujuan itu menunjukkan nilai guna bagi para peserta didik dan masyarakat.

f. Tujuan harus signifikan dalam arti bahwa tujuan itu dipilih berdasarkan nilai yang diakui kepentingannya.

(23)

17

g. Tujuan harus tepat dan serasi, terutama harus dilihat dari kepentingan dan kemampuan peserta didik termasuk latar belakang, minat, dan tingkat perkembangannya.

2. Isi/Materi Kurikulum

Komponen kedua setelah tujuan dalam pengembangan kurikulum yaitu penetapan isi atau materi kurikulum. Pengkajian masalah isi kurikulum ini menempati posisi yang penting dan turut menentukan kualitas suatu kurikulum lembaga pendidikan. Dengan demikian, isi kurikulum ini harus disusun sedemikian rupa agar dapat menunjang tercapainya tujuan kurikulum pendidikan.

Saylor dan Alexander (Zais, 1976) mengemukakan bahwa isi kurikulum itu meliputi fakta-fakta, observasi, data, persepsi, penginderaan, pemecahan masalah, yang berasal dari pikiran manusia dan pengalamannya yang diatur dan diorganisasi dalam bentuk gagasan (ideas), konsep (concept), generalisasi (generalization), prinsip-prinsip (principles), dan pemecahan masalah (solution). Sementara itu, Hyman (Zais, 1976) mendefinisikan isi/konten kurikulum ke dalam tiga elemen, yaitu

(24)

18

pengetahuan/knowledge (misalnya fakta-fakta, eksplanasi, prinsip- prinsip, definisi), keterampilan dan proses (misalnya membaca, menulis, menghitung, berpikir kritis, pengambilan keputusan, berkomunikasi), serta nilai/values (misalnya keyakinan tentang baik- buruk, benar-salah, indah-jelek).

Nana Sudjana (1988) mengungkapkan secara umum sifat bahan/isi ke dalam beberapa kategori, yaitu fakta, konsep, prinsip, dan keterampilan. Fakta adalah sifat dari suatu gejala, peristiwa, benda, yang wujudnya dapat ditangkap oleh pancaindra manusia dan dapat dipelajari melalui informasi dalam bentuk lambang, kata-kata, dan istilah-istilah. Konsep atau pengertian yaitu serangkaian perangsang yang mempunyai sifat-sifat yang sama. Suatu konsep dibentuk melalui pola unsur bersama di antara anggota kumpulan atau rangkaian. Dengan demikian, hakikat konsep adalah klasifikasi dari pola yang bersamaan. Prinsip adalah pola antarhubungan fungsional di antara konsep. Dengan kata lain, prinsip merupakan hubungan fungsional dari beberapa konsep. Keterampilan adalah pola kegiatan yang bertujuan, yang memerlukan manipulasi dan koordinasi informasi yang dipelajari. Keterampilan ini dapat

(25)

19

dibedakan menjadi dua kategori, yaitu keterampilan fisik dan keterampilan intelektual.

Sebenarnya, sangat banyak hal (pengetahuan, keterampilan, dan nilai) yang perlu diberikan kepada peserta didik, namun tidak mungkin semuanya dijadikan sebagai isi kurikulum pendidikan. Oleh karena itu, perlu diadakan pilihan-pilihan (choices). Karena banyaknya pilihan-pilihan tersebut, dikatakan bahwa kurikulum itu pada hakikatnya adalah “is a matter of choices” (Nasution, 1987).

Untuk menentukan isi/bahan mana yang sangat esensial dijadikan sebagai isi kurikulum tersebut, diperlukan berbagai kriteria.

Berikut ini diuraikan beberapa kriteria menurut tiga orang ahli kurikulum. Perhatikan dan cermati dengan saksama, kemudian coba Anda diskusikan dengan teman-teman mahasiswa lain.

Zais (1976) menentukan empat kriteria dalam melakukan pemilihan isi/materi kurikulum, yaitu sebagai berikut.

a. Kriteria signifikansi (significance) bahwa isi kurikulum harus memiliki tingkat kebermaknaan yang tinggi.

(26)

20

b. Kriteria kegunaan (utility) bahwa isi kurikulum harus bernilai guna bagi kehidupan.

c. Kriteria minat (interest) bahwa kurikulum harus sesuai dengan minat siswa.

d. Kriteria pengembangan manusia (human development) bahwa kurikulum harus sesuai dengan perkembangan individu.

Hilda Taba menetapkan kriteria dalam melakukan pemilihan isi/materi kurikulum sebagai berikut.

a. Isi kurikulum harus valid (sahih) dan signifikan.

b. Isi kurikulum berpegang kepada kenyataan-kenyataan sosial.

c. Kedalaman dan keluasan isi kurikulum harus seimbang.

d. Isi kurikulum menjangkau tujuan yang luas, meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

e. Isi kurikulum harus dapat dipelajari dan disesuaikan dengan pengalaman siswa.

f. Isi kurikulum harus dapat memenuhi kebutuhan dan menarik minat siswa.

(27)

21

Ronald C.Doll (1974) juga mengemukakan beberapa kriteria pemilihan isi kurikulum sebagai berikut.

a. Validitas dan signifikansi bahan (subject matter) sebagai disiplin ilmu

b. Keseimbangan yang tepat dari ruang lingkup bahan (scope) dan kedalamannya (depth)

c. Kesesuaian dengan kebutuhan dan minat siswa d. Daya tahan (durability) bahan

e. Hubungan logis bahan antara ide pokok (main ideas) dan konsep dasar (basic concept)

f. Kemampuan siswa mempelajari bahan tersebut

g. Kemungkinan menjelaskan bahan itu dengan data dari disiplin ilmu lain

Dalam mengkaji isi atau materi kurikulum ini, sering dihadapkan pada masalah scope dan sequence. Scope atau ruang lingkup isi kurikulum dimaksudkan untuk menyatakan keluasan dan kedalaman bahan, sedangkan sequence menyangkut urutan (order) isi kurikulum. Menurut S. Nasution (1987), pengurutan bahan kurikulum tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.

(28)

22

a. Urutan secara kronologis, yaitu menurut terjadinya suatu peristiwa

b. Urutan secara logis yang dilakukan menurut logika

c. Urutan bahan dari sederhana menuju yang lebih kompleks d. Urutan bahan dari mudah menuju yang lebih sulit

e. Urutan bahan dari spesifik menuju yang lebih umum

f. Urutan bahan berdasarkan psikologi unsur, yaitu dari bagian- bagian kepada keseluruhan

g. Urutan bahan berdasarkan psikologi gestalt, yaitu dari keseluruhan menuju bagian-bagian

Sejalan dengan pendapat di atas, Nana Syaodih Sukmadinata (1988) berdasarkan beberapa sumber, mengungkapkan beberapa cara menyusun sekuens bahan sebagai berikut.

a. Sekuens kronologis b. Sekuens kausal c. Sekuens struktural

d. Sekuens logis dan psikologis e. Sekuens spiral

f. Sekuens rangkaian ke belakang

(29)

23

g. Sekuens berdasarkan hierarki belajar

Penetapan sekuens atau urutan mana yang akan dipilih nampaknya sangat tergantung pada sifat-sifat materi/isi kurikulum sebagaimana telah diungkapkan pada bagian terdahulu, juga harus memiliki konsistensi dengan tujuan yang telah dirumuskan.

3. Strategi Pembelajaran

Strategi pembelajaran sangat penting dikaji dalam studi tentang kurikulum baik secara makro maupun mikro. Strategi pembelajaran ini berkaitan dengan masalah cara atau sistem penyampaian isi kurikulum (delivery system) dalam rangka pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.

Pengertian strategi pembelajaran dalam hal ini, meliputi pendekatan, prosedur, metode, model, dan teknik yang dipergunakan dalam menyajikan bahan/isi kurikulum. Nana Sudjana (1988) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran pada hakikatnya adalah tindakan nyata dari guru atau praktik guru melaksanakan pengajaran melalui cara tertentu yang dinilai lebih efektif dan lebih efisien. Dengan kata lain, strategi ini berhubungan dengan politik

(30)

24

atau taktik yang digunakan guru dalam melaksanakan kurikulum secara sistemik dan sistematik. Sistemik mengandung arti adanya saling keterkaitan diantara komponen kurikulum sehingga terorganisasikan secara terpadu dalam mencapai tujuan, sedangkan sistematik mengandung pengertian bahwa langkah-langkah yang dilakukan guru secara berurutan sehingga mendukung tercapainya tujuan.

Tinggi rendahnya kadar aktivitas belajar siswa banyak dipengaruhi oleh strategi atau pendekatan mengajar yang digunakan.

Banyak pendapat mengenai berbagai pendekatan yang dapat digunakan dalam penyampaian bahan/isi kurikulum ini. Richard Anderson (1959) mengajukan dua pendekatan, yaitu pendekatan yang berorientasi pada guru, di mana aktivitas guru dalam suatu proses pembelajaran lebih dominan dibandingkan siswa. Pendekatan ini disebut teacher centered. Pendekatan kedua lebih berorientasi pada siswa. Pendekatan ini disebut student centered yang merupakan kebalikan dari pendekatan pertama, di mana aktivitas siswa dalam proses pembelajaran lebih dominan dibandingkan guru. Pendekatan pertama disebut pula tipe otokratis dan pendekatan kedua disebut tipe demokratis. Massialas (1975) mengajukan dua pendekatan, yaitu

(31)

25

pendekatan ekspositeri dan pendekatan inkuiri. Nana Syaodih Sukmadinata (1988) mengutip pendapat beberapa ahli, di antaranya Rowntree dengan pendekatan Exposition versus Discovery dan Groups versus Individuals, Ausubel dan Robinson dengan kombinasi strategi Reception versus Discovery Learning dan Rote versus Meaningful Learning. Dalam exposition atau reception learning, keseluruhan isi kurikulum disampaikan kepada peserta didik dalam bentuk akhir, sebaliknya, dalam discovery learning, bahan/isi tidak disajikan dalam bentuk akhir, para peserta didik dituntut untuk melakukan berbagai aktivitas. Dalam rote learning, bahan disajikan tanpa memperhatikan maknanya bagi peserta didik, sedangkan dalam meaningful learning penyampaian bahan mengutamakan maknanya.

Mary Alice Guntur (Nana Sudjana, 1991) mengajukan lima kelompok model atau pendekatan, yaitu direct instructional model, concept attainment model, the concept development model, synectic model, dan inquiry model atau problem solving model.

Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Nana Sudjana (1990) menghasilkan lima macam model berkadar CBSA, yaitu model delikan (dengar-lihat-kerjakan), model pemecahan masalah, model

(32)

26

induktif, model deduktif, dan model deduktif-induktif. Bruce Joyce dan Marsha Weil (1980) dengan bukunya yang terkenal Models of Teaching, dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum, mengemukakan empat kelompok atau rumpun model, yaitu model pemrosesan informasi (information processing models), model personal, model interaksi sosial, dan model tingkah laku (behavioral models). Pada setiap rumpun model tersebut mengandung enam komponen umum, yaitu orientasi, sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem bantuan (support system), dan efek instruksional.

Apabila ditelaah lebih jauh, hakikat dan isi dari setiap strategi/

pendekatan/model yang dikemukakan oleh para ahli di atas dapat dikelompokkan ke dalam dua kutub strategi yang ekstrem, yaitu di satu pihak ada strategi yang berorientasi kepada guru dan strategi yang berorientasi kepada siswa. Strategi pertama maksudnya bahwa titik berat kegiatan banyak berpusat pada guru (biasa disebut model ekspositori atau model informasi), sedangkan pada strategi kedua, titik berat aktivitas pembelajaran ada pada para siswa sehingga mereka lebih aktif melakukan kegiatan belajar (biasa disebut model inkuiri atau problem solving). Strategi mana yang digunakan atau dipilih biasanya diserahkan sepenuhnya kepada guru dengan

(33)

27

mempertimbangkan hakikat tujuan, sifat bahan/isi, dan kesesuaian dengan tingkat perkembangan siswa.

4. Evaluasi

Kegiatan evaluasi merupakan bagian yang tak terpisahkan di dalam pengembangan suatu kurikulum, baik pada level makro maupun mikro. Komponen evaluasi ini ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan, serta menilai proses implementasi kurikulum secara keseluruhan, termasuk juga menilai kegiatan evaluasi itu sendiri. Hasil dari kegiatan evaluasi ini dapat dijadikan sebagai umpan balik (feedback) untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan pengembangan komponen- komponen kurikulum. Pada akhirnya hasil evaluasi ini dapat berperan sebagai masukan bagi penentuan kebijakan-kebijakan pengambilan keputusan kurikulum khususnya, dan pendidikan pada umumnya, baik bagi para pengembang kurikulum dan para pemegang kebijakan pendidikan, maupun bagi para pelaksana kurikulum pada tingkat lembaga pendidikan (seperti guru dan kepala sekolah).

(34)

28

Pada awal perkembangannya, konsep evaluasi banyak sekali dipengaruhi secara dominan oleh konsep pengukuran (measurement), salah satunya misalnya konsep yang dikemukakan oleh Ralph W. Tyler (1975). Ia mengungkapkan bahwa proses evaluasi ini merupakan proses yang sangat esensial guna mengetahui apakah tujuan (objectives) secara nyata telah terealisasikan. Lebih jauh dikatakan bahwa “evaluation is the process for determining the degree to which these changes in behavior are actually taking place”.

Sementara itu, Hilda Taba (1962: 312) juga berpendapat bahwa secara prinsipil yang menjadi fokus dari evaluasi ini adalah tingkatan di mana siswa mencapai tujuan (the degree to which pupils attain ...

objectives). Pengertian-pengertian evaluasi tersebut lebih diarahkan atau berorientasi kepada perubahan perilaku dan lebih mementingkan hasil atau produk belajar, kurang memperhatikan proses dan kondisi-kondisi belajar yang memengaruhi hasil belajar.

Menurut Hamid Hasan (1988) pengertian evaluasi seperti itu sudah dianggap tidak lagi memenuhi makna evaluasi yang sesungguhnya.

Apa yang dikemukakan Tyler mengenai perubahan tingkah laku siswa hanyalah merupakan salah satu aspek kajian evaluasi, baik evaluasi pendidikan maupun evaluasi kurikulum.

(35)

29

Perkembangan selanjutnya, dari konsep evaluasi ini menurut Hamid Hasan (1988) berpegang pada satu konsep dasar, yaitu adanya pertimbangan (judgement). Dengan pertimbangan inilah, ditentukan nilai atau worth/merit dari sesuatu yang sedang dievaluasi. Tanpa pemberian pertimbangan bukanlah suatu kegiatan evaluasi.

Pernyataan tersebut merupakan rangkuman dari berbagai pendapat para ahli evaluasi, seperti Scriven, Stake, Weiss, Pophan, Patton, Guba, Cronbach, dan banyak lagi yang lainnya. Berdasarkan rangkuman tersebut kemudian dirumuskan pengertian evaluasi itu sebagai suatu proses pemberian pertimbangan mengenai nilai dan arti dari sesuatu yang dipertimbangkan. Sesuatu yang dipertimbangkan tersebut dapat berupa orang, benda, kegiatan, keadaan, atau suatu kesatuan tertentu. Pemberian pertimbangan tersebut haruslah berdasarkan kriteria tertentu, baik dari evaluan itu sendiri maupun dari luar evaluan. Dari pengertian tersebut, evaluasi lebih dianggap sebagai suatu proses, bukan suatu hasil (produk).

Apabila diperhatikan, nampaknya konsep evaluasi sebagai suatu proses pemberian pertimbangan tentang nilai dan arti ini dalam pelaksanaannya masih belum terealisasikan sebagaimana mestinya.

Kegiatan evaluasi yang dilaksanakan, terutama di Indonesia, masih

(36)

30

menekankan pada evaluasi terhadap hasil (produk). Hal ini sejalan dengan pendapat Zais (1976) bahwa dewasa ini penekanan evaluasi selalu dipusatkan pada evaluasi hasil (product evaluation) yang dicapai oleh siswa. Menurutnya, hal tersebut didasarkan pada model teknik (technical model) dalam pengembangan kurikulum, di mana siswa dianggap sebagai raw material.

Konsep evaluasi kurikulum dapat dipandang secara luas, yaitu mencakup evaluasi terhadap seluruh komponen dan kegiatan pendidikan, tetapi dapat pula dibatasi secara sempit yang hanya ditekankan pada hasil-hasil atau perilaku yang dicapai siswa. Luas atau sempitnya suatu evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuannya. Jadi, dalam hal ini yang menjadi penentu adalah faktor tujuan yang diharapkan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronald C. Doll (1974) yang menjadikan orientasi terhadap tujuan sebagai salah satu syarat atau karakteristik dari evaluasi.

Karakteristik lainnya, yaitu: dinyatakan dalam bentuk nilai- nilai (values and valuing), mencakup keseluruhan (comprehensiveness), berkelanjutan (continuity), memiliki nilai diagnostik dan kesahihan (diagnostic worth and validity) dan evaluasi

(37)

31

tersebut harus terintegrasi atau utuh bukan sesuatu yang lepas-lepas (integration).

Pada bagian lainnya Doll mengemukakan dua dimensi yang harus ada dalam evaluasi, yaitu dimensi kuantitas (the dimension of quantity) dan dimensi kualitas (the dimension of quality). Dimensi pertama berhubungan dengan berapa banyak program-program yang dievaluasi (how much of the program is to be evaluated?), sedangkan dimensi kedua berhubungan dengan tujuan-tujuan apa saja yang disoroti dalam evaluasi dan bagaimana kualitas dari pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Kemudian, di dalam proses evaluasinya Doll mengungkapkan tiga variabel, yaitu variabel input (karakteristik siswa), variabel output (apa yang diperoleh siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar), serta variabel treatment (metode mengajar, subject matter, ukuran kelas, karakteristik siswa lain, dan karakteristik guru). Ketiga kelompok variabel tersebut saling berinteraksi satu dengan lainnya.

Untuk memperoleh gambaran yang komprehensif mengenai kualitas suatu kurikulum yang dievaluasi, terdapat beberapa komponen atau dimensi yang perlu dijadikan sasaran atau lingkup

(38)

32

evaluasi. Nana Sudjana dan R. Ibrahim (1989) dalam hal ini mengemukakan tiga komponen, yaitu komponen program pendidikan, komponen proses pelaksanaan, dan komponen hasil- hasil yang dicapai. Suatu program pendidikan dinilai dari tujuan yang ingin dicapai, isi program yang disajikan, strategi belajar mengajar yang diterapkan, serta bahan-bahan ajar yang digunakan. Proses pelaksanaan yang dijadikan sasaran penilaian/evaluasi terutama proses belajar mengajar yang berlangsung di lapangan, sedangkan hasil-hasil yang dicapai mengacu pada pencapaian tujuan jangka pendek maupun jangka panjang.

Dari pengertian evaluasi dan kurikulum di atas maka penulis menyimpulkan bahwa pengertian evaluasi kurikulum adalah penelitian yang sistematik tentang manfaat, kesesuaian efektifitas dan efisiensi dari kurikulum yang diterapkan. Atau evaluasi kurikulum adalah proses penerapan prosedur ilmiah untuk mengumpulkan data yang valid dan reliable untuk membuat keputusan tentang kurikulum yang sedang berjalan atau telah dijalankan.

(39)

33

C. Prinsip Evaluasi Kurikulum

Program evaluasi kurikulum didasarkan atas prinsip-prinsip sebagai berikut :

1. Evaluasi kurikulum didasarkan atas tujuan tertentu

Setiap program evaluasi kurikulum terarah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara jelas dan spesifik. Tujuan- tujuan itu pula yang mengarah kegitan-kegiatan sepanjang proses evaluasi kurikulum itu dilaksanakan.

2. Evaluasi kurikulum harus bersifat objektif

Pelaksanaan dan hasil evaluasi kurikulum harus bersifat objektif, berpijak pada pada apa adanya dan bersumber dari data yang nyata dan akurat yang diperoleh melalui instrument yang terandalkan.

3. Evaluasi kurikulum bersifat komprehensif

Pelaksanaan evaluasi mencakup semua dimensi atau aspek yang terdapat dalam ruang lingkup kurikulum. Seluruh komponen kurikulum harus mendapatkan perhatian dan pertimbangan secara seksama sebelum pengambilan keputusan.

4. Evaluasi kurikulum dilaksanakan secara kooperatif

(40)

34

Tanggung jawab dalam perencanaan, pelaksanaan, dan keberhasilan suatu program evaluasi kurikulum merupakan tanggung jawab bersama pihak-pihak yang terlibat dalam proses pendidikan seperti guru, kepala sekolah, penilik, orang tua, bahkan siswa sendiri di samping menjadi tanggung jawab utama lembaga penelitian dan pengembangan.

5. Evaluasi kurikulum harus dilaksanakan secara efisien

Pelaksanaan evaluasi kurikulum harus memperhatikan factor efisiensi, khususnya dalam penggunaan waktu, biaya, tenaga, peralatan yang menjadi unsur penunjang, dan oleh karenanya harus diupayakan agar hasil evaluasi lebih tinggi atau paling tidak berimbang dengan material yang digunakan.

6. Evaluasi kurikulum dilaksanakan secara berkesinambungan Hal ini perlu mengingat tuntutan di dalam dan diluar system sekolah yang meminta diadakannya perbaikan kurikulum. Untuk itu peran guru dan kepala sekolah sangat penting karena merekalah yang paling mengetahui tentang keterlaksanaan dan keberhasilan kurikulum serta permasalahan yang dihadapi.

(41)

35

BAB II

TUJUAN DAN FUNGSI EVALUASI KURIKULUM

Tujuan Evaluasi Kurikulum

Fungsi Evaluasi Kurikulum

(42)

36

BAB II

TUJUAN DAN FUNGSI EVALUASI KURIKULUM

A. Tujuan Evaluasi Kurikulum

Tujuan evaluasi kurikulum tidak dapat dilepaskan dari pengertian evaluasi itu sendiri yaitu untuk menilai efektivitas program dan sebagai alat bantu dalam implementasi kurikulum atau pembelajaran.

Berikut adalah beberapa tujuan diadakannya evaluasi kurikulum:

1. Evaluasi kurikulum merupakan dasar dalam pengembangan kurikulum selanjutnya. Sehingga setelah evaluasi kurikulum selesai muncul model kurikulum perbaikan dari kurikulum sebelumnya atau bahkan model kurikulum terbaru.

Dalam konteks tujuan ini, peranan evaluasi lebih bersifat konstruktif, karena informasi hasil evaluasi dijadikan input bagi perbaikan yang diperlukan di dalam program kurikulum yang sedang dikembangkan. Disini evaluasi lebih merupakan kebutuhan yang datang dari dalam sistem itu sendiri karena evaluasi itu dipandang sebagai faktor yang memungkinkan dicapainya hasil pengembangan yang optimal dari sistem yang bersangkutan.

(43)

37

2. Evaluasi atau penilaian kurikulum merupakan salah satu bagian dari evaluasi pendidikan, yang memusatkan perhatian kepada program-program pendidikan untuk anak didik.

3. Evaluasi kurikulum adalah untuk meningkatkan program yang sedang dilaksanakan, sebagai alat untuk mengontrol kualitas dan juga sebagai dasar untuk membuat keputusan bagi program berikutnya.

Tindak lanjut hasil pengembangan kurikulum dapat berbentuk jawaban atas dua kemungkinan pertanyaan:

Pertama, apakah kurikulum baru tersebut akan atau tidak akan disebar luaskan ke dalam sistem yang ada? Kedua, dalam kondisi yang bagaimana dan dengan cara yang bagaimana pula kurikulum baru tersebut akan disebar luaskan ke dalam sistem yang ada ?

Ditinjau dari proses pengembangan kurikulum yang sudah berjalan, pertanyaan pertama dipandang tidak tepat untuk diajukan pada akhir fase pengembangan. Pertanyaan tersebut hanya mempunyai dua kemungkinan jawaban ya atau tidak.

Secara teoritis dapat saja terjadi bahwa jawaban yang diberikan itu adalah tidak. Bila hal ini terjadi, kita akan dihadapkan pada

(44)

38

situasi yang tidak menguntungkan-biaya, tenaga dan waktu yang telah dikerahkan selama ini ternyata terbuang dengan percuma. Peserta didik yang telah menggunakan kurikulum baru tersebut selama fase pengembangan telah terlanjur dirugikan, sekolah-sekolah dimana proses pengembangan itu berlangsung harus kembali menyesuaikan diri lagi kepada cara lama; dan lambat laun akan timbul sikap skeptis di kalangan orang tua dan masyarakat terhadap pembaharuan pendidikan dalam bentuk apapun.

Pertanyaan kedua dipandang lebih tepat untuk diajukan pada akhir fase pengembangan kurikulum. Pertanyaan tersebut mengimplikasikan sekurang-kurangnya tiga anak pertanyaan- aspek-aspek mana dari kurikulum tersebut yang masih perlu diperbaiki ataupun disesuaikan, strategi penyebaran yang bagaimana yang sebaiknya ditempuh, dan persyaratan- persyaratan apa yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu di dalam sistem yang ada. Pertanyaan-pertanyaan ini dirasakan lebih bersifat konstruktif dan lebih dapat diterima ditinjau dari segi sosial, ekonomi, moral maupun teknis. Untuk

(45)

39

menghasilkan informasi yang diperlukan dalam menjawab pertanyaan yang kedua itulah diperlukan kegiatan evaluasi.

4. Evaluasi kurikulum adalah sebagai suatu alat untuk mempertanggungjawabkan keberadaan dan hasil sebuah program pendidikan kepada masyarakat.

Selama dan terutama pada akhir fase pengembangan kurikulum, perlu adanya semacam pertanggungjawaban dari pihak pengembang kurikulum kepada berbagai pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak yang dimaksud mencakup baik pihak yang mensponsori kegiatan pengembangan kurikulum tersebut maupun pihak yang akan menjadi konsumen dari kurikulum yang telah dikembangkan. Dengan kata lain, pihak- pihak tersebut mencakup pemerintah, masyarakat, orang tua, petugas-petugas pendidikan, dan pihak-pihak lainnya yang ikut mensponsori kegiatan pengembangan kurikulum yang bersangkutan.Bagi pihak pengembang kurikulum, tujuan yang kedua ini tidak dipandang sebagai suatu kebutuhan dari dalam melainkan lebih merupakan suatu ‘keharusan’ dari luar.

Sekalipun demikian hal ini tidak bisa kita hindari karena persoalan ini mencakup pertanggungjawaban sosial, ekonomi

(46)

40

dan moral, yang sudah merupakan suatu konsekuensi logis dalam kegiatan pembaharuan pendidikan.

Dalam mempertanggung jawabkan hasil yang telah dicapainya, pihak pengembang kurikulum perlu mengemukakan kekuatan dan kelemahan dari kurikulum yang sedang dikembangkan serta usaha lebih lanjut yang diperlukan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan, jika ada, yang masih terdapat. Untuk menghasilkan informasi mengenai kekuatan dan kelemahan tersebut di atas itulah diperlukan kegiatan evaluasi.

5. Evaluasi kurikulum adalah proses memahami, mendapatkan dan mengumumkan informasi sebagai petunjuk pembuatan keputusan pendidikan dengan memperhatikan program yang tepat.

B. Fungsi Evaluasi Kurikulum

Evaluasi merupakan komponen untuk melihat efektivitas pencapaian tujuan. Dalam konteks kurikulum, evaluasi dapat berfungsi untuk mengetahui apakah tujuan yang ditetapkan telah

(47)

41

tercapai atau belum dan digunakan sebagai umpan balik dalam perbaikan strategi yang ditetapkan. Dengan evaluasi dapat diperoleh informasi yang akurat tentang pelaksanaa pembelajaran, keberhasilan siswa, guru, dan proses pembelajaran. Berdasarkan evaluasi juga dapat dibuat keputusan kurikulum itu sendiri, pembelajran, kesulitan dan upaya bimbingan yang diperlukan.

Fungsi evaluasi meliputi seluruh kegiatan evaluasi, apabila seseorang melakukan evaluasi kurikulum terlepas dari jenis evaluasi yang dilakukannya, maka harus ada kesadaran akan fungsi dari kegiatan evaluasi tersebut. Jika tidak, dikhawatirkan akan terjadi kesulitan baik sewaktu merencanakan kegiatan maupun pada waktu pelaksanaannya. Fungsi evaluasi kurikulum telah banyak diungkapkan oleh banyak ahli walaupun beberapa ahli memiliki perbedaan dalam memformulasikan fungsi kurikulum ini.

Adapun menurut Cronbach (1982) ada dua fungsi evaluasi kurikulum yang berbeda yaitu memberikan bantuan untuk memperbaiki kurikulum dan untuk memberikan penghargaan. Bagi Cronbach pada waktu itu yang lebih penting ialah fungsi evaluasi dalam menentukan aspek-aspek kurikulum yang harus diperbaiki.

(48)

42

Sedangkan fungsi evaluasi untuk memberikan penghargaan kepada program yang sudah ada di lapangan hanya sebagai fungsi dampak bawaan.

Sedangkan Scriven (1967) memformulasikan fungsi evaluasi kurikulum menjadi fungsi formatif dan sumatif.

1. Fungsi Formatif

Evaluasi difungsikan untuk memberikan informasi dan pertimbangan yang berkenaan dengan upaya untuk memperbaiki kurikulum. Fungsi ini dilakukan ketika kurikulum masih dalam tahap pengembangan, evaluasi akan memberikan masukan secara langung mengenai aspek yang sudah memenuhi kriteria dan aspek yang belum memenuhi kriteria. Aspek tersebut diantaranya adalah filosofi, model serta komponen kurikulum.

Menurut Cowen (1977) fungsi formatif hanya dapat diterapkan ketika kurikulum masih bersifat cair sehingga upaya pembentukan dan perbaikan masih bisa dilakukan. Artinya fokus perhatian dari fungsi formatif ini berkenaan dengan proses kurikulum itu sendiri.

(49)

43

2. Fungsi Sumatif

Penilaian sumatif Dilaksanakan setelah selesainya suatu program, ketika kurikulum masih dalam proses pengembangan, fungsi sumatif tidak bisa dilakukan karena fokus dari fungsi ini adalah memberikan pertimbangan terhadap hasil dari pengembangan kurikulum. Tujuan utamanya menilai keberhasilan suatu program dilihat dari tujuan yang telah ditentukan sebelumnya, dan aspek yang dinilai terutama produk atau hasil dari program. Hasil pengembangan dapat berupa dokumen kurikulum, hasil belajar, atau dampak kurikulum terhadap masyarakat. Pertimbangan yang muncul dari fungsi sumatif ini adalah apakan kurikulum perlu dilanjutkan atau perlu diganti.

Evaluasi kurikulum harus mempergunakan kedua fungsi ini secara baik karena keduanya membantu kurikulum dalam pengembang maupun dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi dapat dikatakan bahwa dengan kedua fungsi tersebut evaluasi membuktikan akuntabilitas dirinya baik terhadap para pengembangan kurikulum, peminta jasa evaluasi lainnya, maupun terhadap masyarakat luas yang telah memberikan kepercayaan kepada evaluasi sebagai suatu institusi kemasyarakatan.

(50)

44

Jadi, menurut Scriven fungsi evaluasi kurikulum tidak hanya pada hasil tetapi juga proses pengembangan dan implementasi kurikulum tersebut.

Pendapat selanjutnya mengenai fungsi evaluasi kurikulum diungkapkan oleh Oemar Hamaik dalam bukunya yang berjudul

“Manajemen Pengembangan Kurikulum” (2006 : 238-239). Dalam bukunya tersebut, Oemar menjelaskan bahwa fungsi evaluasi kurikulum adalah sebagai berikut:

1. Edukatif, untuk mengetahui kedayagunaan dan keberhasilan kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan,

2. Instruksional, untuk mengetahui pendayagunaan dan keterlaksanaan kurikulum dalam rangka pelaksanaan proses pembelajaran,

3. Diagnosis, untuk memperoleh informasi atau masukan dalam rangka perbaikan kurikulum, dimana evaluasi yang dilakukan bertujuan untuk memperbaiki isi program, pelaksanaan, dan evaluasi itu sendiri, sera upaya kearah inovasi kurikulum masa yang akan datang.

(51)

45

4. Administratif, untuk memeroleh informasi masukan dalam rangka pengelolaan kegiatan pembelajaran.

Dari pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa fungsi evaluasi kurikulum adalah untuk memperbaiki kurikulum tersebut.

baik dilakukan pada saat proses pengembangan kurikulum, maupun dilakukan setelah diterapkan dalam pembelajaran. Fungsi lainnya ialah untuk memperoleh masukan terhadap kurikulum yang dirasa kurang tepat untuk dilaksanakan.

(52)

46

BAB III

LANDASAN EVALUASI KURIKULUM

Akuntabilitas Legal

Akuntabilitas Akademik

Akuntabilitas Finansial

Akuntabilitas Pemberian Jasa

Akuntabilitas Dampak

(53)

47

BAB III

LANDASAN EVALUASI KURIKULUM

Di Amerika Serikat pada akhir tahun 50-an dan awal tahun 60-an, pemerintahan federal mengeluarkan uang banyak untuk pendidikan. Pengarahan dana yang besar tersebut dilakukan dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan. Pada awal tahun itu timbul pertanyaan apakah dana yang dikeluarkan tersebut dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Presiden Nixon menekankan pentingnya pertanggung jawaban terhadap masyarakat atas pemakaian dana pendidikan dari pemerintah federal tersebut dengan mengeluarkan kebijakan mengenai akuntabilitas.

Untuk mendukung kebijakan itu maka dikeluaran undang- undang yang dikenal dengan nama Elementary and Secondary Education Act (ESEA). Berdasarkan undang-undang ini maka setiap sen dana yang diterima dari pemerintahan federal untuk pendidikan dasar dan menengah harus dipertanggung jawabkan kepada publik.

Oleh karena itu, setiap proyek pendidikan yang didanai dari dana pemeritahan federal harus terbuka untuk dievaluasi. Kebijakan ini menyebabkan kegiatan evaluasi menjadi sesuatu yang dibutuhkan

(54)

48

dan berkembang pesat. Oleh sebab tu, kelahiran kebijakan mengenai akuntabilitas ini dianggap banyak para ahli evaluasi sebagai dasar atau landasan bagi kegiatan evaluasi (Hamid Hasan. 2008:54-55).

Suatu bangunan kurikulum memiliki empat komponen yaitu komponen tujuan, isi/materi, proses pembelajaran, dan komponen evaluasi. Sebelum kurikulum tersebut direncanakan atau dievaluasi ada beberapa kriteria pokok landasan dalam pelaksanaan, pembinaan, pengembangan, dan evaluasi kurikulum. Landasan tersebut hendaknya berdasarkan Kriteria :

1) Arah kurikulum itu sendiri dilandaskan pada sesuatu yang diyakini sebagai suatu kebenaran atau kebaikan

2) Isi kurikulum sesuai dengan tuntutan masyarakat yang bersifat dinamis sebagai pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi 3) Proses pembelajaran memperhatikan prinsip psikologis, baik

teori tentang belajar maupun perkembangan individu (Muhamad Ali,1984 )

Berdasarkan kriteria di atas maka ada beberapa landasan yang mendasari kegiatan evaluasi kurikulum menurut para ahli yang sesuai dengan kebijakan mengenai akuntabilitas sebagai landasan dalam

(55)

49

evaluasi. Akuntabilitas itu sendiri menurut Scriven (1991) selalu berhubungan dengan hasil, memberikan dasar pembenaran bagi dana yang telah dikeluarkan berdasarkan hasil yang dicapai dan waktu yang digunakan. Berbeda dengan McDavid dan Hawthorn (2006:435) berpendapat bahwa akuntabilitas merupakan pertanggung jawaban hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki wewenang formal seperti orang yang mengembangkan kurikulum, kepala sekolah, guru dan sebagainya.

Sedangkan Menurut Rossi dan Freeman(1985:95) mengemukakan bahwa ada enam jenis akuntabilitas dan dengan demikian, evaluasi harus mengumpulkan informasi mengenai keenam bidang itu. Keenam jenis akuntabilitas itu meliputi:

Akuntabilitas Dampak (Impact Accountability), akuntabilitas Efisien (Efficiency Accountability), akuntabilitas Lingkup (Coverage Accountability), akuntabilitas Pemberian jasa (Service Delivery Accountability), akuntabilitas Keuangan (Financial Accountability), akuntabilitas Hukum (Legal Accountability).

(56)

50

Mengacu pendapat Rossi dan Freeman (1985), Scriven (1991), dan McDaviddan Hawthorn (2006) maka terdapat 5 jenis akuntabilitas sebagai dasar Landasan Evaluasi Kurikulum, yaitu :

A. Akuntabilitas Legal

Akuntabilitas legal berkaitan dengan kegiatan pengembangan kurikulum yang secara hukum dapat dipertanggung jawabkan.

Artinya, kegiatan pengembangan kurikulum tersebut haruslah merupakan kegiatan yang secara hukum sah baik ketika proses konstruksi kurikulum, implementasi kurikulum, dan evaluasi kurikulum (Hasan Hamid.2009:58).

Evaluasi kurikulum memiliki landasan legal yang lebih kuat sejak diberlakukannya Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 55 dan 56 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 menetapkan bahwa setiap unit pendidikan harus dievaluasi secara eksternal oleh lembaga internal.

B. Akuntabilitas Akademik

Akuntabilitas akademik berkaitan dengan filosofi, teori, prinsip dan prosedur yang digunakan dalam pengembangan kurikulum.

Pertanyaan mendasar yang dikemukakan dalam akuntabilitas

(57)

51

akademik adalah apakah filosofi, teori, prinsip, dan prosedur yang digunakan dalam pengembangan kurikulum dapat dipertanggung jawabkan secara akademik. Artinya apakah filosofi yang digunakan adalah filosofi yang dikenal oleh dunia akademik (Hasan Hamid.2009:60).

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa proses pengembangan kurikulum terdiri atas tiga kegiatan besar yaitu konstruksi, implementasi dan evaluasi. Akuntabilitas akademik harus ditegakkan oleh para pengembang kurikulum selama proses konstruksi, implementasi, dan evaluasi. Para pengembang harus dapat mempertanggung jawabkan secara akademik landasan filosofi dan teoritik yang digunakan, prinsip dan prosedur yang ditempuh.

Pertanggung jawaban tersebut dilakukan berdasarkan persyaratan yang dikenal dan diakui oleh dunia akademik, pengembang kurikulum dan para evaluator. Para pengembang kurikulum dapat melakukan evaluasi internal maupun eksternal.

C. Akuntabilitas Finansial

Akuntabilitas finansial adalah akuntabilitas yang dianggap sebagai cikal bakal lahirnya konsep akuntabilitas. Secara mendasar

(58)

52

akuntabilitas finansial berkenaan dengan pertanggungjawaban keuangan yang diperoleh untuk pengembangan suatu kurikulum.

Dalam pertanggungjawaban ini maka setiap rupiah yang diterima harus dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan prosedur yang berlaku, jumlah uang untuk suatu aktivitas, dan efisiensi penggunaan uang.

Akuntabilitas yang berkenaan dengan prosedur dan jumlah uang dalam kaitannya dengan kegiatan tidak menjadi kepedulian evaluasi kurikulum. Evaluasi kurikulum memperdulikan masalah efisiensi pemanfaatan dana. Dalam konsep efisiensi ini evaluasi kurikulum sangat peduli. Bahkan evaluasi kurikulum menjadikan fokus ini sedemikian rupa sehingga berbagai model kurikulum dihasilkan.

Model yang terkenal seperti cost-benefit model dan cost- effectiveness model dikembangkan untuk melakukan evaluasi yang berkenaan dengan akuntabilitas finansial. Oleh karena itu, ketika evaluasi kurikulum membahas mengenai akuntabilitas finansial maka pengertian akuntabilitas finansial dibatasi pada cost-benefit dan cost effectiveness dan bukan pada akuntabilitas finansial yang dibahas pada bagian awal (Hamid Hasan.2009:63).

(59)

53

Dalam konteks pengembangan kurikulum di Indonesia, evaluasi kurikulum tidak mungkin melepaskan diri dari akuntabilitas finansial.

Sebab, kondisi umum keuangan negara dan masyarakat menyebabkan adanya keharusan yang mendesak untuk memperhitungkan aspek akuntabilitas finansial.

D. Akuntabilitas Pemberian Jasa

Dimensi akuntabilitas pemberian jasa yang berkenaan dengan kurikulum mempertanyakan apakah kurikulum dalam proses implementasi telah terlaksana dengan sebaik-baiknya.

Akuntabilitas pelayanan meliputi pemberian jasa pendidikan kepada kelompok masyarakat yang seharusnya mendapatkan pelayanan tersebut. Konsep seperti angka partisipasi adalah salah satu bentuk akuntabilitas pemberian jasa. Pada saat sekarang dimana angka partisipasi pendidikan untuk penduduk usia 13-15; 16-19; dan 20-24 masih sangat rendah merupakan petunjuk bahwa pemberian jasa pendidikan terhadap masyarakat masih rendah. Mungkin saja rendahnya angka partisipasi tersebut disebabkan oleh kurangnya fasilitas pendidikan, kemampuan masyarakat untuk mendanai pendidikan putra-putri mereka masih minim, tetapi mungkin juga

(60)

54

disebabkan oleh rendahnya aspirasi dan kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan (Hamid Hasan.2009: 64).

Fungsi pelayanan pendidikan pemerintah dan masyarakat terhadap generasi muda adalah suatu keawajiban moral yang konstitusional. Dilihat dari kewajiban moral maka pemerintah dan masyarakat secara moral bertanggung jawab dalam mempersiapkan generasi muda untuk mengembangkan kehidupan pribadinya dan mengembangkan tugas sebagai anggota masyarakat. Dilihat dari aspek konstitusionalnya maka rendahnya angka partisipasi merupakan pelanggaran konstitusional yang serius, masa depan bangsa berada dalam bahaya. Demokratisasi pendidikan memperlakukan setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh pelayanan pendidikan. Demokratisasi pendidikan mensyaratkan setiap anggota masyarakat harus terdidik dengan kualitas dan tingkat pendidikan yang tinggi. Pendidikan adalah salah satu aspek dari kesejahteraan sosial yang harus dinikmati oleh seluruh anggota bangsa.

Dalam konteks ini maka pertanyaan utama evaluasi kurikulum adalah apakah guru telah memberikan pelayanannya dengan sebaik-

(61)

55

baiknya, apakah fasilitas dan kondisi serta suasana kerja mendukung guru untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya, dsb.

E. Akuntabilitas Dampak

Pada masa awal kehadiran evaluasi kurikulum, dampak belum menjadi kepedulian apalagi fokus evaluasi kurikulum. Oleh karena itu, banyak evaluasi kurikulum yang dikemukakan oleh para ahli tidak mencantumkan dampak sebagai sesuatu yang harus menjadi perhatian evaluasi kurikulum. Namun, pada saat sekarang, dampak sudah merupakan sesuatu yang mendapat perhatian evaluasi kurikulum karena kurikulum tidak saja berkenaan dengan hasil belajar yang dimiliki peserta didik. Kurikulum harus pula memperlihatkan hasilnya dalam bentuk dampak pada masyarakat dan pada kualitas lulusan. Hal ini mengandung arti bahwa hasil belajar yang diperoleh peserta didik dari suatu kurikulum dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Hasan, 2008: 64-65).

Evaluasi terhadap dampak akan memberikan pengaruh yang positif terhadap pengembangan kurikulum. Prinsip pendidikan yang berakar dari lingkungan masyarakat yang dilayaninya dapat dipenuhi oleh kurikulum. Kurikulum yang demikian tidak tercabut dari akar

(62)

56

budaya dan tidak menghasilkan tamatan yang buta terhadap masyarakat sekitarnya. Oleh karena itu evaluasi kurikulum harus mampu membantu pendidikan dan pengembangan kurikulum menegakkan prinsip tersebut.

Banyak contoh lain yang dapat dikemukakan dalam evaluasi dampak untuk menegakkan akuntabilitas dampak suatu kurikulum.

Ketika kurikulum CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) di Cianjur diperkenalkan dan dalam proses belajar peserta didik banyak menggunakan barang bekas, maka masyarakat mulai memberikan perhatiannya terhadap barang-barang bekas. Mereka tidak membuangnya sembarangan tetapi mengumpulkannya untuk digunakan oleh putra-putri mereka. Sayangnya evaluasi kurikulum yang dilakukan pada waktu itu tidak sampai menelusuri apakah kreativitas masyarakat meningkat dalam aspek lain seperti menciptakan atau menginovasi barang bekas tersebut.

Akuntabilitas dampak memberikan kesempatan kepada evaluator, pengembang kurikulum, pengambil kebijakan, dan masyarakat sebagai “stakeholders” untuk menempatkan kurikulum pada posisi yang lebih baik.

(63)

57

Kita telah membahas aspek penting dalam evaluasi kurikulum yaitu akuntabilitas yang menjadi dasar lahirnya evaluasi sebagai suatu profesi. Pada awalnya memang akuntabilitas dikaitkan hanya dengan masalah dana yang digunakan. Perkembangan berikutnya memperluas wilayah akuntabilitas sehingga meliputi juga akuntabilitas legal, akuntabilitas akademik, akuntabilitas pemberian jasa, dan akuntabilitas dampak. Oleh karena kurikulum harus memberikan akuntabilitasnya dalam berbagai bidang tersebut maka untuk itu harus dilakukan evaluasi.

(64)

58

BAB IV

KRITERIA EVALUASI KURIKULUM

Pendekatan kriteria Pre-ordinate

Pendekatan Kriteria Fidelity

Pendekatan mutually adaptive

Kriteria dari Lapangan (Proses)

Referensi

Dokumen terkait

Tahap selanjutnya adalah pengembangan model evaluasi implementasi kurikulum kejuruan dengan melakukan validasi kepada kelompok ahli kurikulum dan pendidikan kejuruan serta

Mata kuliah ini mengkaji pengembangan kurikulum PAUD, mencakup : hakikat kurikulum PAUD dan karakteristiknya: pengertian, komponen dan struktur kurikulum, pengembangan

Sistem Kurikulum terbentuk oleh empat komponen,yaitu komponen tujuan,isi kurikulum,metode atau strategi pencapaian tujuan,dan komponen evluasi.Jika salah satu komponen yang

Pendeketan dan model kurikulum merupakan komponen penting dalam pengembangan dan pembuatan sebuah kurikulum, pendekatan adalah pandangan tentang terjadi suatu proses terhadap

Dalam pengembangan kurikulum banyak pihak pihak yang harus berpartisipasi diantaranya adalah administrator pendidikan, para ahli pendidikan ahli dalam kurikulum,

Pengembangan kurikulum ini tidak dilakukan uji coba lapangan dan evaluasi, tapi pengembangan kurikulum hanya sampai berbentuk dokumen yang diuji kelayakan oleh ahli kurikulum dan

PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI DI SMP MUHAMMADIYAH 1 DEPOK MUSADE Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam merupakan pengembangan komponen-komponen kurikulum pendidikan agama Islam

Makalah ini membahas pengembangan evaluasi kurikulum pembelajaran bahasa Arab, meliputi konsep evaluasi, pengembangan evaluasi kurikulum, dan pengembangan evaluasi kurikulum bahasa