Kapan Hukum itu Efektif?
Muhammad Rayyan Aulia Muhammad Reza
Namira Meilina
Teuku Raja Muhammad Rajih
KELOMPOK 1
SOSIOLOGI HUKUM
KAPAN HUKUM ITU EFEKTIF?
Efektivitas hukum adalah sejauh mana norma-norma hukum dapat
mempengaruhi perilaku masyarakat sesuai dengan tujuan yang
diinginkan. Dalam kerangka Lawrence M. Friedman, terdapat beberapa
faktor yang memengaruhi kapan dan bagaimana hukum dapat menjadi
alat yang efektif dalam mengatur kehidupan sosial.
A. SANKSI-SANKSI HUKUM
Sanksi adalah komponen esensial dari sistem hukum. Ia menjadi alat utama untuk menegakkan norma dan memberikan konsekuensi atas pelanggaran.
Sanksi yang jelas, tegas, dan dapat ditegakkan akan memperkuat daya paksa hukum terhadap masyarakat. Friedman menekankan bahwa keberadaan sanksi bukan hanya sebagai bentuk hukuman, tetapi juga sebagai penanda bahwa suatu norma memiliki kekuatan hukum. Tanpa sanksi, hukum kehilangan
"taringnya" dan menjadi sekadar seruan moral atau nasihat sosial.
Ingoude Company: Recruitment and Selection Policy Presentation
Jenis-Jenis Sanksi di Indonesia : 1. Sanksi Pidana
Soesilo : hukuman/sanksi pidana adalah suatu perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar undang-undang hukum pidana.
KUHP UU 1/2023
Pasal 10 KUHP
Pidana pokok, terbagi menjadi:
1. hukuman mati;
2. hukuman penjara;
3. hukuman kurungan;
4. hukuman denda;
5. hukuman tutupan.
Pidana tambahan, terdiri atas:
1. pencabutan beberapa hak yang tertentu;
2. perampasan barang yang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Pasal 64 UU 1/2023 Pidana terdiri atas:
a. pidana pokok;
b. pidana tambahan; dan
c. pidana yang bersifat khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.
Pasal 65 ayat (1) UU 1/2023 1. Pidana pokok terdiri atas:
2. Pidana penjara;
3. Pidana tutupan;
4. Pidana pengawasan;
5. Pidana denda; dan 6. Pidana kerja sosial.
Pasal 66 ayat (1) UU 1/2023 Pidana tambahan terdiri atas:
1. Pencabutan hak tertentu;
2. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
3. Pengumuman putusan hakim;
4. Pembayaran ganti rugi;
5. Pencabutan izin tertentu; dan
6. Pemenuhan kewajiban adat setempat.
Pasal 67 UU 1/2023
Pidana yang bersifat khusus merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif.
A. SANKSI-SANKSI HUKUM
2. Sanksi Perdata
Dilihat dari Perbedaan Sifat Putusan Deklarator, Konstitutif, dan Kondemnator dalam ranah hukum perdata, ditinjau dari sifatnya, putusan yang dijatuhkan oleh hakim dapat berupa:
a. Putusan kondemnator (condemnatoir), yakni putusan yang memuat amar yang menghukum salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, majelis hakim menghukum salah satu pihak untuk membayar ganti kerugian dan biaya perkara.
b. Putusan deklarator atau deklaratif (declaratoir vonnis), yakni pernyataan hakim tentang suatu tentang sesuatu hak atau titel maupun status yang dicantumkan dalam amar atau diktum putusan. Misalnya, putusan yang menyatakan bahwa hak pemilikan atas benda yang disengketakan tidak sah sebagai milik penggugat, atau penggugat tidak sah sebagai ahli waris.
c. Putusan konstitutif (constitutief vonnis) yakni putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan/menghilangkan suatu keadaan hukum maupun menimbulkan keadaan hukum baru. Misalnya, putusan perceraian, merupakan putusan yang meniadakan keadaan hukum, yakni tidak ada lagi ikatan antara suami-istri, sekaligus menimbulkan keadaan hukum baru kepada suami dan istri sebagai janda dan duda.
Sanksi hukum perdata dapat berupa:
d. Kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang diperintahkan oleh hakim;
dan
hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan hukum baru.
3. Sanksi Administratif
Sanksi administratif adalah sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif.
- Sanksi administratif dapat berupa denda, peringatan tertulis, pencabutan izin tertentu, dan lain-lain.
- CTH : ketentuan Pasal 18 angka 29 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 71A ayat (1) UU 27/2007, diterangkan sejumlah sanksi administratif sebagai berikut.
o Peringatan tertulis.
o Penghentian sementara kegiatan.
o Penutupan lokasi.
o Pencabutan perizinan berusaha.
o Pembatalan perizinan berusaha o Denda administratif
Ingoude Company: Recruitment and Selection Policy Presentation
B. PENCEGAHAN & HUKUMAN MATI
Hukum bertujuan tidak hanya untuk menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga untuk mencegah kejahatan terjadi. Terdapat dua jenis pencegahan: general deterrence (pencegahan umum) yang bertujuan menakut-nakuti masyarakat agar tidak melanggar hukum, dan specific deterrence (pencegahan khusus) yang mencegah pelaku yang telah dihukum untuk mengulangi perbuatannya. Hukuman mati sering diklaim sebagai bentuk pencegahan paling ekstrem, namun efektivitasnya sangat bergantung pada faktor lain seperti kepastian hukum dan persepsi masyarakat terhadap keadilan sistem peradilan.
Konsep deterrence (pencegahan) merujuk pada tujuan hukum untuk mencegah terjadinya tindak pidana dengan cara memberikan ancaman hukuman yang cukup berat kepada pelanggar hukum.
(
The Legal System: A Social Science Perspective, Lawrence M. Friedman)1. General Deterrence (Pencegahan Umum)
General deterrence atau pencegahan umum adalah konsep di mana hukuman terhadap seseorang diharapkan dapat mencegah masyarakat luas untuk melakukan kejahatan.
Dalam hal ini, tujuan utamanya adalah memberikan contoh kepada seluruh masyarakat bahwa pelanggaran terhadap hukum akan berujung pada konsekuensi yang serius, sehingga individu lain merasa takut untuk melakukan tindakan yang serupa.
Tujuan: Mencegah orang lain agar tidak melakukan tindak pidana dengan menunjukkan bahwa pelanggaran hukum akan mengarah pada hukuman yang keras.
Contoh: Hukuman mati bagi pembunuh di negara tertentu bisa diharapkan untuk mencegah orang lain dari melakukan tindak pembunuhan. Masyarakat akan merasa takut melakukan pembunuhan jika mereka tahu bahwa hukuman mati adalah konsekuensinya.
Pencegahan umum sangat bergantung pada persepsi masyarakat terhadap keadilan dan ketegasan penegakan hukum. Semakin tinggi persepsi bahwa kejahatan akan dihukum dengan tegas dan pasti, semakin efektif pencegahan umum ini.
2. Specific Deterrence (Pencegahan Khusus)
Specific deterrence atau pencegahan khusus adalah bentuk pencegahan yang bertujuan untuk mencegah pelaku yang telah dihukum untuk melakukan tindak pidana yang sama atau kejahatan lainnya di masa depan. Di sini, pencegahan ditujukan secara langsung kepada individu yang telah melanggar hukum, dengan harapan bahwa hukuman yang diterima akan memberikan efek jera yang kuat, sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatannya.
Tujuan: Mencegah pelaku yang telah dihukum untuk melakukan kejahatan lagi setelah menjalani hukuman.
Contoh: Seseorang yang dihukum penjara karena pencurian mungkin akan lebih takut untuk melakukan pencurian lagi setelah merasakan langsung konsekuensi dari
perbuatannya. Hukuman penjara, dengan segala ketidaknyamanannya, berfungsi untuk memberikan pelajaran kepada pelaku untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Pencegahan khusus lebih berfokus pada pengalaman pribadi si pelaku kejahatan dan efek psikologis atau perubahan perilaku yang terjadi setelah dihukum.
Perbedaan Utama Antara General Deterrence dan Specific Deterrence
Tujuan: General deterrence mencegah masyarakat umum melakukan kejahatan, sementara specific deterrence bertujuan mencegah individu yang sudah dihukum melakukan kejahatan lagi.
Sasaran: General deterrence menargetkan masyarakat secara keseluruhan, sedangkan specific deterrence berfokus pada individu yang sudah menjalani hukuman.
Efek yang Diharapkan: Dalam general deterrence, efeknya lebih bersifat preventif untuk masyarakat luas, sedangkan specific deterrence berfokus pada perubahan perilaku individu yang telah melanggar hukum.
Dalam KUHP terdapat Sembilan jenis kejahatan yang diancam dengan pasal hukuman mati, di antaranya:
a) Pasal 104 KUHP, makar dengan maksud membunuh Presiden dan wakil Presiden
b) Pasal 111 ayat (2) KUHP, melakukan hubungan dengan negara asing sehingga terjadi perang
c) Pasal 124 ayat (3) KUHP, penghianatan kepada musuh di waktu perang
d) Pasal 124 bis KUHP, menghasut dan memudahkan terjadinya huru-hara
e) Pasal 140 ayat (3) KUHP, pembunuhan berencana terhadap kepala negara sahabat
f) Pasal 340 KUHP, pembunuhan berencana
g) Pasal 265 ayat (4) KUHP, pencurian dengan kekerasan secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati
h) Pasal 444 KUHP, pembajakan di laut yang menyebabkan kematian
i) Pasal 149 K ayat (2) dan Pasal 149 O ayat (2) KUHP,
kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan
Ancaman hukuman mati yang terdapat di luar KUHP yang merupakan tindakan khusus, yaitu:
1. UU No.12/DRT/1951 tentang Tindak Pidana Senjata Api, Amunisi atau sesuai Bahan Peledak 2. UU No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
3. UU No.3 Tahun 1964 tentang Tindak Pidana Tentang Tenaga Atom
4. UU No.22 Tahun 1997 dan UU No.5 Tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika 5. UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi
6. UU No.26 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia 7. Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme
Sejalan dengan prinsip yang dianut untuk memenuhi prinsip keseimbangan, kebijakan formulasi menegaskan dalam pelaksanaan pidana mati terdapat pembatasan serta pertimbangan yang mengarah kepada sulitnya untuk melakukan eksekusi pidana mati. Termasuk di dalamnya penegasan tentang ketentuan mengenai “penundaan pidana mati” atau “pidana mati bersyarat”.
Pasal 84 konsep RKUHP menjelaskan, pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat, dengan pertimbangan bahwa hukuman mati tidak dilakukan di depan umum, penundaan eksekusi bagi wanita hamil atau orang sakit jiwa, dan tidak dilaksanakan pidana mati sebelum adanya penolakan grasi dari Presiden.
Sedangkan penundaan pidana mati atau pidana mati bersyarat, apabila dalam masa percobaan selama 10 tahun, terpidana
bersikap terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi penjara seumur hidup atau penjara sementara waktu
1. Upaya Preventif
Secara etimologi, preventif berasal dari bahasa latin pravenire yang artinya ‘antisipasi’ atau mencegah terjadinya sesuatu. Singkatnya, upaya preventif adalah upaya pengendalian sosial dengan bentuk pencegahan terhadap adanya gangguan.
Nurdjana dalam Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi menerangkan bahwa tindakan atau upaya preventif adalah tindakan pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran norma-norma yang berlaku, yaitu dengan mengusahakan agar faktor niat dan kesempatan tidak bertemu sehingga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat tetap terpelihara, aman, dan terkendali.
Merujuk definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang termasuk upaya preventif adalah segala yang diupayakan untuk mencegah suatu hal terjadi. Dalam konteks hukum, upaya preventif adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah adanya pelanggaran hukum. Beberapa contoh dari upaya preventif yang umumnya dilakukan dalam penegakan hukum, antara lain:
- Penyuluhan bahaya narkoba
- Imbauan akan suatu kasus tertentu
- Anjuran dari pemerintah, instansi, atau pihak berwenang
- Larangan dan sanksi sebagaimana dimuat dalam perundang-undangan 2. Upaya Represif
KBBI mengartikan upaya represif merupakan upaya bersifat represi (menekan, mengekang, menahan, atau menindas; dan bersifat menyembuhkan. Jika diartikan secara sederhana, upaya represif bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang mengalami gangguan.
Segala tindakan yang dilakukan untuk menindak pelaku kejahatan adalah bentuk represif. Hal ini sebagaimana dikemukakan Nurdjana (2009) yang menerangkan bahwa yang termasuk upaya represif adalah rangkaian upaya atau tindakan yang dimulai dari penyelidikan, penindakan, pemeriksaan, dan penyerahan penuntut umum untuk dihadapkan ke sidang pengadilan.
Mengenai upaya represif lebih lanjut, Sartono Kartodirdjo dalam Masyarakat dan Kelompok Sosial mengklasifikasikan jenis-jenis tindakan represif yang mana terbagi atas:
- Tindakan pribadi, contohnya wejangan atau teguran dari tokoh masyarakat kepada pelanggar hukum.
- Tindakan institusional, contohnya pengawasan dari institusi atau lembaga.
- Tindakan resmi, yakni tindakan yang dilakukan oleh lembaga resmi sesuai dengan peraturan yang berlaku
- Tindakan Tidak Resmi, bentuk tindakan pengendalian yang dilakukan tanpa peraturan dan sanksi yang jelas, contohnya adalah sanksi sosial berupa pengucilan dari masyarakat setempat.
C. KURVA PENCEGAHAN
Ancaman atau janji dalam hukum harus jelas dan tegas. Masyarakat harus mengetahui :
• Apa yang dilarang dan diperbolehkan
• Sanksi apa yang dikenakan jika melanggar
• Imbalan atau keuntungan apa yang bisa didapat jika menaati
Kejelasan (Clarity)
Kepastian (Certainty)
Sanksi atau janji dalam hukum harus pasti diterapkan.
• Setiap pelanggaran akan selalu diikuti dengan hukuman
• Tidak ada diskriminasi atau pengecualian
• Penegakan hukum dilakukan secara konsisten Ketepatan atau Kesetimpalan (Proportionality)
Ancaman atau janji hukum harus proporsional, tidak boleh berlebihan atau terlalu ringan. Misalnya:
• Hukuman berat untuk tindak kriminal berat (misalnya pembunuhan)
• Hukuman ringan untuk pelanggaran administratif
Ancaman adalah konsekuensi negatif yang dinyatakan atau tersirat, jika seseorang melanggar hukum atau norma sosial. Menurut Donald Black, hukum adalah bentuk kontrol sosial yang digunakan negara secara formal dan cenderung bersifat represif terhadap penyimpangan sosial
Janji adalah konsekuensi positif yang dijanjikan atau diharapkan, jika seseorang menaati hukum atau bertindak sesuai norma sosial.
Dalam pandangan Talcott Parsons, hukum bukan hanya sebagai alat represif, tetapi juga sebagai institusi sosial yang menjamin integrasi masyarakat melalui penghargaan terhadap perilaku yang sesuai Norma
D. KARAKTERISTIK ANCAMAN/JANJI
E. HAKEKAT SANKSI, IMBALAN, VS HUKUMAN
Imbalan: Penguatan Positif dalam Hukum
Hukum yang efektif tidak hanya menakut-nakuti, tetapi juga menghargai ketaatan dan perilaku baik. Ketika masyarakat merasa dihargai karena taat hukum, maka akan tumbuh kesadaran dan partisipasi hukum secara sukarela.
Contoh penerapan imbalan:
• Insentif pajak untuk wajib pajak yang patuh.
• Penghargaan publik untuk tokoh anti-korupsi.
• Program remisi bagi narapidana berperilaku baik.
Apa Itu Sanksi?
Sanksi adalah reaksi sosial atau legal terhadap suatu tindakan bisa berupa penghargaan atas kepatuhan, atau hukuman atas pelanggaran.
• Sanksi Negatif (Hukuman):
→ Ditujukan untuk menghentikan atau mencegah perilaku menyimpang.
→ Contoh: penjara, denda, pencabutan hak, stigma sosial.
• Sanksi Positif (Imbalan):
→ Ditujukan untuk mendorong dan memperkuat perilaku yang diharapkan.
→ Contoh: penghargaan, promosi, insentif pajak, pengakuan sosial.
Hukuman: bentuk sanksi yang paling umum dikenal dalam sistem hukum. Tujuannya bukan hanya menghukum.
• Retribusi (pembalasan setimpal)
→ Memberikan hukuman yang sesuai dengan kesalahan yang dilakukan.
• Deterrence (pencegahan)
→ Memberi efek jera agar pelaku dan orang lain tidak mengulangi perbuatan yang sama.
• Rehabilitasi
→ Membantu pelaku agar berubah menjadi pribadi yang lebih baik dan tidak kembali melakukan pelanggaran.
• Isolasi
→ Menjauhkan pelaku dari masyarakat demi keamanan umum (misalnya penjara).
F. PERSEPSI MENGENAI RISIKO
Dalam banyak kasus, efektivitas hukum lebih ditentukan oleh persepsi daripada realitas objektif. Friedman menggaris bawahi bahwa persepsi masyarakat terhadap kemungkinan tertangkap dan dihukum lebih memengaruhi kepatuhan dibandingkan dengan beratnya hukuman itu sendiri. Jika masyarakat memandang bahwa pelanggaran hukum kecil kemungkinan untuk dikenai sanksi, maka rasa takut untuk melanggar akan menurun, dan efektivitas hukum pun menurun.
1. Pencegahan Pelanggaran
Persepsi risiko hukuman yang tinggi dapat berfungsi sebagai pencegah (deterrent) bagi individu untuk tidak melakukan pelanggaran hukum. Hal ini sejalan dengan teori pencegahan umum dalam kriminologi.
2. Pengaruh Persepsi Risiko
Ketika individu atau kelompok memiliki persepsi risiko yang tinggi terhadap hukuman atau konsekuensi hukum, mereka cenderung lebih patuh terhadap aturan hukum. Hal ini sejalan dengan teori pencegahan umum, di mana ancaman hukuman dapat berfungsi sebagai deterrent (pencegah) bagi pelanggaran hukum.
3. Kepatuhan Terhadap Hukum
Sebaliknya, jika persepsi risiko rendah, misalnya : karena penegakan hukum yang lemah, individu mungkin merasa lebih bebas untuk melanggar hukum, yang mengurangi efektivitas hukum itu sendiri. Lingkungan sosial dan budaya dapat mempengaruhi bagaimana individu menilai risiko hukuman. Dalam masyarakat di mana penegakan hukum dianggap adil dan konsisten, persepsi risiko biasanya lebih tinggi, mendukung efektivitas hukum.
• Waktu merupakan faktor krusial dalam sistem penegakan hukum.
• Hukuman yang dijatuhkan terlalu lama setelah pelanggaran terjadi akan kehilangan efek pencegahannya. Friedman menyatakan bahwa hubungan antara tindakan dan konsekuensinya harus cukup dekat secara temporal agar menimbulkan dampak psikologis yang signifikan.
• Kecepatan dalam penanganan kasus, pemberian sanksi, dan penyelesaian hukum akan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
• Menurut Max Weber cara penegakan hukum pada suatu masa berbeda dengan masa yang sebelumnya yang tentunya tidak terlepas dari dominasi yang disebabkan karena keadaan masyarakatnya yang berbeda, dimana tatanan kehidupan masyarakatnya menurut Hart dalam Satjipto Rahardjo didasarkan Secondary Rules Obligation di mana masyarakatnya mempunyai kehidupan yang terbuka, luas, dan komplek seperti saat ini maka
terdapat diferensiasi dan institusionalisasi pekerjaan hukum berupa : 1) Rules of Recognition
2) Rules of Change
G. KECEPATAN PENERAPAN
• Dalam perspektif sosiologi hukum, efektivitas hukum tidak hanya ditentukan oleh isi undang-undang, institusi penegak hukum, atau sanksi yang diberlakukan, tetapi juga oleh adanya permintaan sosial atas perilaku tertentu yang ingin dikendalikan oleh hukum.
• Efektivitas hukum bergantung pada kesesuaian antara norma hukum dan nilai-nilai sosial yang hidup dalam masyarakat.
• Jika hukum mengatur sesuatu yang bertentangan dengan kebutuhan atau kebiasaan masyarakat, maka hukum tersebut cenderung akan diabaikan.
H.Permintaan atas perilaku yang hendak di control
(Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, Russell Sage Foundation, New York )
Menurut Friedman, setiap sistem hukum pada dasarnya hadir untuk menjawab kebutuhan atau permintaan dari masyarakat terhadap perilaku tertentu yang:
• Diinginkan untuk diatur
• Diharapkan untuk dihindari
• Atau didukung dan diperkuat
Friedman menjelaskan bahwa hukum juga membatasi/mengarahkan perilaku warga negara sesuai dengan nilai, norma, dan kepentingan masyarakat.
Permintaan terhadap kontrol ini bisa datang dari:
• Negara atau pemerintah
• Kelompok masyarakat (misalnya kelompok agama, ekonomi, budaya)
• Individu atau elite tertentu yang punya pengaruh politik Contoh Permintaan atas Kontrol Perilaku dalam Masyarakat :
• Larangan merokok di ruang publik
→ Permintaan dari kelompok masyarakat yang sadar akan hak kesehatan dan kebersihan.
• Pengaturan lalu lintas dan transportasi
→ Permintaan dari publik terhadap keteraturan, keamanan, dan efisiensi.