• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Hukum dan Sanksi di Indonesia

N/A
N/A
namira meilina

Academic year: 2025

Membagikan "Efektivitas Hukum dan Sanksi di Indonesia"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Kapan Hukum itu Efektif?

Muhammad Rayyan Aulia Muhammad Reza

Namira Meilina

Teuku Raja Muhammad Rajih

KELOMPOK 1

SOSIOLOGI HUKUM

(2)

KAPAN HUKUM ITU EFEKTIF?

 

Efektivitas  hukum  adalah  sejauh  mana  norma-norma  hukum  dapat 

mempengaruhi  perilaku  masyarakat  sesuai  dengan  tujuan  yang 

diinginkan. Dalam kerangka Lawrence M. Friedman, terdapat beberapa 

faktor yang memengaruhi kapan dan bagaimana hukum dapat menjadi 

alat yang efektif dalam mengatur kehidupan sosial. 

(3)

A. SANKSI-SANKSI HUKUM

Sanksi adalah komponen esensial dari sistem hukum. Ia menjadi alat utama  untuk  menegakkan  norma  dan  memberikan  konsekuensi  atas  pelanggaran. 

Sanksi  yang  jelas,  tegas,  dan  dapat  ditegakkan  akan  memperkuat  daya  paksa  hukum terhadap masyarakat. Friedman menekankan bahwa keberadaan sanksi  bukan  hanya  sebagai  bentuk  hukuman,  tetapi  juga  sebagai  penanda  bahwa  suatu  norma  memiliki  kekuatan  hukum.  Tanpa  sanksi,  hukum  kehilangan 

"taringnya" dan menjadi sekadar seruan moral atau nasihat sosial.

Ingoude Company: Recruitment and Selection Policy Presentation

Jenis-Jenis Sanksi di Indonesia : 1. Sanksi Pidana

Soesilo  :  hukuman/sanksi  pidana  adalah  suatu  perasaan  tidak  enak  (sengsara)  yang  dijatuhkan  oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah melanggar  undang-undang hukum pidana.

KUHP UU 1/2023

Pasal 10 KUHP

Pidana pokok, terbagi menjadi:

1. hukuman mati;

2. hukuman penjara;

3. hukuman kurungan;

4. hukuman denda;

5. hukuman tutupan.

Pidana tambahan, terdiri atas:

1. pencabutan beberapa hak yang tertentu;

2. perampasan barang yang tertentu;

3. pengumuman putusan hakim.

Pasal 64 UU 1/2023 Pidana terdiri atas:

a. pidana pokok;

b. pidana tambahan; dan

c. pidana yang bersifat khusus untuk  tindak pidana tertentu  yang ditentukan dalam undang-undang.

         

Pasal 65 ayat (1) UU 1/2023 1. Pidana pokok terdiri atas:

2. Pidana penjara;

3. Pidana tutupan;

4. Pidana pengawasan;

5. Pidana denda; dan 6. Pidana kerja sosial.

Pasal 66 ayat (1) UU 1/2023 Pidana tambahan terdiri atas:

1. Pencabutan hak tertentu;

2. Perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;

3. Pengumuman putusan hakim;

4. Pembayaran ganti rugi;

5. Pencabutan izin tertentu; dan

6. Pemenuhan kewajiban adat setempat.

Pasal 67 UU 1/2023

Pidana yang bersifat khusus merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara alternatif.

(4)

A. SANKSI-SANKSI HUKUM

2. Sanksi Perdata

Dilihat dari Perbedaan Sifat Putusan Deklarator, Konstitutif, dan Kondemnator  dalam  ranah  hukum  perdata,  ditinjau  dari  sifatnya,  putusan  yang  dijatuhkan  oleh  hakim  dapat berupa:

a. Putusan  kondemnator  (condemnatoir),  yakni  putusan  yang  memuat  amar  yang  menghukum salah satu pihak yang berperkara. Misalnya, majelis hakim menghukum  salah satu pihak untuk membayar ganti kerugian dan biaya perkara.

b. Putusan  deklarator  atau  deklaratif  (declaratoir  vonnis),  yakni  pernyataan  hakim  tentang suatu tentang sesuatu hak atau titel maupun status yang dicantumkan dalam  amar atau diktum putusan. Misalnya, putusan yang menyatakan bahwa hak pemilikan  atas  benda  yang  disengketakan  tidak  sah  sebagai  milik  penggugat,  atau  penggugat  tidak sah sebagai ahli waris.

c. Putusan  konstitutif  (constitutief  vonnis)  yakni  putusan  yang  memastikan  suatu  keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan/menghilangkan suatu keadaan hukum  maupun  menimbulkan  keadaan  hukum  baru.  Misalnya,  putusan  perceraian,  merupakan  putusan  yang  meniadakan  keadaan  hukum,  yakni  tidak  ada  lagi  ikatan  antara  suami-istri,  sekaligus  menimbulkan  keadaan  hukum  baru  kepada  suami  dan  istri sebagai janda dan duda.

Sanksi hukum perdata dapat berupa:

d. Kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan tertentu yang diperintahkan oleh hakim; 

dan

 

hilangnya suatu keadaan hukum, yang diikuti dengan terciptanya suatu keadaan  hukum baru.

 

3. Sanksi Administratif

Sanksi administratif adalah sanksi yang dikenakan terhadap pelanggaran  administrasi atau ketentuan undang-undang yang bersifat administratif.

- Sanksi  administratif  dapat  berupa  denda,  peringatan  tertulis,  pencabutan  izin  tertentu, dan lain-lain.

- CTH : ketentuan Pasal 18 angka 29 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 71A  ayat (1) UU 27/2007, diterangkan sejumlah sanksi administratif sebagai berikut.

o Peringatan tertulis.

o Penghentian sementara kegiatan.

o Penutupan lokasi.

o Pencabutan perizinan berusaha.

o Pembatalan perizinan berusaha o Denda administratif

Ingoude Company: Recruitment and Selection Policy Presentation

(5)

B. PENCEGAHAN & HUKUMAN MATI

Hukum  bertujuan  tidak  hanya  untuk  menghukum  pelaku  kejahatan,  tetapi  juga  untuk  mencegah  kejahatan  terjadi.  Terdapat  dua  jenis  pencegahan:  general  deterrence  (pencegahan umum) yang bertujuan menakut-nakuti masyarakat agar tidak melanggar hukum, dan specific deterrence (pencegahan khusus) yang mencegah pelaku yang telah  dihukum untuk mengulangi perbuatannya. Hukuman mati sering diklaim sebagai bentuk pencegahan paling ekstrem, namun efektivitasnya sangat bergantung pada faktor lain  seperti kepastian hukum dan persepsi masyarakat terhadap keadilan sistem peradilan.

Konsep  deterrence  (pencegahan)  merujuk  pada  tujuan  hukum  untuk  mencegah  terjadinya  tindak  pidana  dengan  cara  memberikan  ancaman  hukuman  yang  cukup  berat  kepada pelanggar hukum.

(

The Legal System: A Social Science Perspective, Lawrence M. Friedman)

1. General Deterrence (Pencegahan Umum)

General deterrence atau pencegahan umum adalah konsep di mana hukuman terhadap seseorang diharapkan dapat mencegah masyarakat luas untuk melakukan kejahatan. 

Dalam hal ini, tujuan utamanya adalah memberikan contoh kepada seluruh masyarakat bahwa pelanggaran terhadap hukum akan berujung pada konsekuensi yang serius,  sehingga individu lain merasa takut untuk melakukan tindakan yang serupa.

Tujuan: Mencegah orang lain agar tidak melakukan tindak pidana dengan menunjukkan bahwa pelanggaran hukum akan mengarah pada hukuman yang keras.

Contoh: Hukuman mati bagi pembunuh di negara tertentu bisa diharapkan untuk mencegah orang lain dari melakukan tindak pembunuhan. Masyarakat akan merasa takut  melakukan pembunuhan jika mereka tahu bahwa hukuman mati adalah konsekuensinya.

Pencegahan umum sangat bergantung pada persepsi masyarakat terhadap keadilan dan ketegasan penegakan hukum. Semakin tinggi persepsi bahwa kejahatan akan dihukum  dengan tegas dan pasti, semakin efektif pencegahan umum ini.

(6)

2. Specific Deterrence (Pencegahan Khusus)

Specific  deterrence  atau  pencegahan  khusus  adalah  bentuk pencegahan yang bertujuan untuk mencegah pelaku yang  telah  dihukum  untuk  melakukan  tindak  pidana  yang  sama  atau  kejahatan  lainnya  di  masa  depan.  Di  sini,  pencegahan  ditujukan  secara  langsung  kepada  individu  yang  telah  melanggar  hukum,  dengan harapan bahwa hukuman yang diterima akan memberikan  efek  jera  yang  kuat,  sehingga  ia  tidak  akan  mengulangi  perbuatannya.

Tujuan:  Mencegah  pelaku  yang  telah  dihukum  untuk  melakukan kejahatan lagi setelah menjalani hukuman.

Contoh:  Seseorang  yang  dihukum  penjara  karena  pencurian  mungkin  akan  lebih  takut  untuk  melakukan  pencurian  lagi setelah merasakan langsung konsekuensi dari

perbuatannya.  Hukuman  penjara,  dengan  segala  ketidaknyamanannya,  berfungsi  untuk  memberikan  pelajaran  kepada  pelaku  untuk  tidak  mengulangi  kesalahan  yang  sama. 

Pencegahan  khusus  lebih  berfokus  pada  pengalaman  pribadi  si  pelaku kejahatan dan efek psikologis atau perubahan perilaku yang  terjadi setelah dihukum.

Perbedaan Utama Antara General Deterrence dan Specific Deterrence

Tujuan:  General  deterrence  mencegah  masyarakat  umum  melakukan  kejahatan,  sementara  specific  deterrence  bertujuan mencegah individu yang sudah dihukum melakukan  kejahatan lagi.

Sasaran:  General  deterrence  menargetkan  masyarakat  secara  keseluruhan,  sedangkan  specific  deterrence  berfokus  pada individu yang sudah menjalani hukuman.

Efek  yang  Diharapkan:  Dalam  general  deterrence,  efeknya  lebih  bersifat  preventif  untuk  masyarakat  luas,  sedangkan  specific deterrence berfokus pada perubahan perilaku individu  yang telah melanggar hukum.

Dalam  KUHP  terdapat  Sembilan  jenis  kejahatan  yang  diancam dengan pasal hukuman mati, di antaranya:

a) Pasal  104  KUHP,  makar  dengan  maksud  membunuh  Presiden dan wakil Presiden

b) Pasal  111  ayat  (2)  KUHP,  melakukan  hubungan  dengan  negara asing sehingga terjadi perang

c) Pasal  124  ayat  (3)  KUHP,  penghianatan  kepada  musuh  di  waktu perang

d) Pasal  124  bis  KUHP,  menghasut  dan  memudahkan  terjadinya huru-hara

e) Pasal 140 ayat (3) KUHP, pembunuhan berencana terhadap  kepala negara sahabat

f) Pasal 340 KUHP, pembunuhan berencana

g) Pasal  265  ayat  (4)  KUHP,  pencurian  dengan  kekerasan  secara bersekutu mengakibatkan luka berat atau mati

h) Pasal  444  KUHP,  pembajakan  di  laut  yang  menyebabkan  kematian

i) Pasal  149  K  ayat  (2)  dan  Pasal  149  O  ayat  (2)  KUHP, 

kejahatan penerbangan dan sarana penerbangan

(7)

Ancaman hukuman mati yang terdapat di luar KUHP yang merupakan tindakan khusus, yaitu:

1. UU No.12/DRT/1951 tentang Tindak Pidana Senjata Api, Amunisi atau sesuai Bahan Peledak 2. UU No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi

3. UU No.3 Tahun 1964 tentang Tindak Pidana Tentang Tenaga Atom

4. UU No.22 Tahun 1997 dan UU No.5 Tahun 1997 tentang Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika 5. UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi

6. UU No.26 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Terhadap Hak Asasi Manusia 7. Perppu No.1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme

Sejalan dengan prinsip yang dianut untuk memenuhi prinsip keseimbangan, kebijakan formulasi menegaskan dalam pelaksanaan  pidana mati terdapat pembatasan serta pertimbangan yang mengarah kepada sulitnya untuk melakukan eksekusi pidana mati. Termasuk di  dalamnya penegasan tentang ketentuan mengenai “penundaan pidana mati” atau “pidana mati bersyarat”.

Pasal  84  konsep  RKUHP  menjelaskan,  pidana  mati  secara  alternatif  dijatuhkan  sebagai  upaya  terakhir  untuk  mengayomi  masyarakat,  dengan  pertimbangan  bahwa  hukuman  mati  tidak  dilakukan  di  depan  umum,  penundaan  eksekusi  bagi  wanita  hamil  atau  orang sakit jiwa, dan tidak dilaksanakan pidana mati sebelum adanya penolakan grasi dari Presiden.

Sedangkan  penundaan  pidana  mati  atau  pidana  mati  bersyarat,  apabila  dalam  masa  percobaan  selama  10  tahun,  terpidana 

bersikap terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi penjara seumur hidup atau penjara sementara waktu

(8)

1. Upaya Preventif

Secara  etimologi,  preventif  berasal  dari  bahasa  latin  pravenire  yang  artinya  ‘antisipasi’  atau  mencegah  terjadinya  sesuatu.  Singkatnya,  upaya  preventif adalah upaya pengendalian sosial dengan bentuk pencegahan terhadap adanya gangguan.

Nurdjana  dalam  Sistem  Hukum  Pidana  dan  Bahaya  Laten  Korupsi  menerangkan  bahwa  tindakan  atau  upaya  preventif  adalah  tindakan  pencegahan  agar  tidak  terjadi  pelanggaran  norma-norma  yang  berlaku,  yaitu  dengan  mengusahakan  agar  faktor  niat  dan  kesempatan  tidak  bertemu  sehingga situasi keamanan dan ketertiban masyarakat tetap terpelihara, aman, dan terkendali.

Merujuk definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang termasuk upaya preventif adalah segala yang diupayakan untuk mencegah suatu hal  terjadi. Dalam konteks hukum, upaya preventif adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah adanya pelanggaran hukum. Beberapa contoh dari upaya  preventif yang umumnya dilakukan dalam penegakan hukum, antara lain:

- Penyuluhan bahaya narkoba

- Imbauan akan suatu kasus tertentu

- Anjuran dari pemerintah, instansi, atau pihak berwenang

- Larangan dan sanksi sebagaimana dimuat dalam perundang-undangan 2. Upaya Represif

KBBI  mengartikan  upaya  represif  merupakan  upaya  bersifat  represi  (menekan,  mengekang,  menahan,  atau  menindas;  dan  bersifat  menyembuhkan. Jika diartikan secara sederhana, upaya represif bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan yang mengalami gangguan.

Segala tindakan yang dilakukan untuk menindak pelaku kejahatan adalah bentuk represif. Hal ini sebagaimana dikemukakan Nurdjana (2009) yang  menerangkan bahwa yang termasuk upaya represif adalah rangkaian upaya atau tindakan yang dimulai dari penyelidikan, penindakan, pemeriksaan,  dan penyerahan penuntut umum untuk dihadapkan ke sidang pengadilan.

Mengenai upaya represif lebih lanjut, Sartono Kartodirdjo dalam Masyarakat dan Kelompok Sosial mengklasifikasikan jenis-jenis tindakan represif  yang mana terbagi atas:

- Tindakan pribadi, contohnya wejangan atau teguran dari tokoh masyarakat kepada pelanggar hukum.

- Tindakan institusional, contohnya pengawasan dari institusi atau lembaga.

- Tindakan resmi, yakni tindakan yang dilakukan oleh lembaga resmi sesuai dengan peraturan yang berlaku

- Tindakan Tidak Resmi, bentuk tindakan pengendalian yang dilakukan tanpa peraturan dan sanksi yang jelas, contohnya adalah sanksi sosial berupa  pengucilan dari masyarakat setempat.

C. KURVA PENCEGAHAN

(9)

Ancaman atau janji dalam hukum harus jelas dan  tegas. Masyarakat harus mengetahui :

• Apa yang dilarang dan diperbolehkan

• Sanksi apa yang dikenakan jika melanggar

• Imbalan  atau  keuntungan  apa  yang  bisa  didapat jika menaati

Kejelasan (Clarity)

Kepastian (Certainty)

Sanksi atau janji dalam hukum harus pasti diterapkan.

• Setiap  pelanggaran  akan  selalu  diikuti  dengan  hukuman

• Tidak ada diskriminasi atau pengecualian

• Penegakan hukum dilakukan secara konsisten  Ketepatan atau Kesetimpalan (Proportionality)

Ancaman  atau  janji  hukum  harus  proporsional,  tidak  boleh  berlebihan  atau  terlalu  ringan. Misalnya:

• Hukuman  berat  untuk  tindak  kriminal  berat  (misalnya pembunuhan)

• Hukuman  ringan  untuk  pelanggaran  administratif

Ancaman adalah konsekuensi negatif yang dinyatakan atau tersirat, jika seseorang melanggar hukum atau norma sosial. Menurut  Donald Black, hukum adalah bentuk kontrol sosial yang digunakan negara secara formal dan cenderung bersifat represif terhadap  penyimpangan sosial

Janji adalah konsekuensi positif yang dijanjikan atau diharapkan, jika seseorang menaati hukum atau bertindak sesuai norma sosial

Dalam pandangan Talcott Parsons, hukum bukan hanya sebagai alat represif, tetapi juga sebagai institusi sosial yang menjamin  integrasi masyarakat melalui penghargaan terhadap perilaku yang sesuai Norma

D. KARAKTERISTIK ANCAMAN/JANJI

(10)

E. HAKEKAT SANKSI, IMBALAN, VS HUKUMAN

Imbalan: Penguatan Positif dalam Hukum

Hukum  yang  efektif  tidak  hanya  menakut-nakuti,  tetapi  juga  menghargai  ketaatan  dan  perilaku  baik.  Ketika  masyarakat  merasa  dihargai  karena  taat  hukum,  maka  akan  tumbuh  kesadaran  dan  partisipasi hukum secara sukarela.

Contoh penerapan imbalan:

• Insentif pajak untuk wajib pajak yang patuh.

• Penghargaan publik untuk tokoh anti-korupsi.

• Program  remisi  bagi  narapidana  berperilaku  baik.

Apa Itu Sanksi?

Sanksi adalah reaksi sosial atau legal terhadap suatu tindakan bisa berupa penghargaan atas kepatuhan, atau hukuman atas  pelanggaran.

Sanksi Negatif (Hukuman):

→ Ditujukan untuk menghentikan atau mencegah perilaku menyimpang.

→ Contoh: penjara, denda, pencabutan hak, stigma sosial.

Sanksi Positif (Imbalan):

→ Ditujukan untuk mendorong dan memperkuat perilaku yang diharapkan.

→ Contoh: penghargaan, promosi, insentif pajak, pengakuan sosial.

Hukuman: bentuk sanksi yang paling umum  dikenal dalam sistem hukum. Tujuannya bukan  hanya menghukum.

Retribusi (pembalasan setimpal)

→ Memberikan hukuman yang sesuai dengan  kesalahan yang dilakukan.

Deterrence (pencegahan)

→ Memberi efek jera agar pelaku dan orang  lain tidak mengulangi perbuatan yang sama.

Rehabilitasi

→ Membantu pelaku agar berubah menjadi  pribadi yang lebih baik dan tidak kembali  melakukan pelanggaran.

Isolasi

→ Menjauhkan pelaku dari masyarakat demi  keamanan umum (misalnya penjara).

(11)

F. PERSEPSI MENGENAI RISIKO

Dalam banyak kasus, efektivitas hukum lebih ditentukan oleh persepsi daripada realitas objektif. Friedman menggaris bawahi  bahwa  persepsi  masyarakat  terhadap  kemungkinan  tertangkap  dan  dihukum  lebih  memengaruhi  kepatuhan  dibandingkan  dengan beratnya hukuman itu sendiri. Jika masyarakat memandang bahwa pelanggaran hukum kecil kemungkinan untuk dikenai  sanksi, maka rasa takut untuk melanggar akan menurun, dan efektivitas hukum pun menurun.

1. Pencegahan Pelanggaran

Persepsi risiko hukuman yang tinggi dapat berfungsi sebagai pencegah (deterrent) bagi individu untuk tidak melakukan  pelanggaran hukum. Hal ini sejalan dengan teori pencegahan umum dalam kriminologi.

2. Pengaruh Persepsi Risiko

Ketika individu atau kelompok memiliki persepsi risiko yang tinggi terhadap hukuman atau konsekuensi hukum, mereka  cenderung  lebih  patuh  terhadap  aturan  hukum.  Hal  ini  sejalan  dengan  teori  pencegahan  umum,  di  mana  ancaman  hukuman  dapat berfungsi sebagai deterrent (pencegah) bagi pelanggaran hukum.

3. Kepatuhan Terhadap Hukum

Sebaliknya, jika persepsi risiko rendah, misalnya : karena penegakan hukum yang lemah, individu mungkin merasa lebih  bebas  untuk  melanggar  hukum,  yang  mengurangi  efektivitas  hukum  itu  sendiri.  Lingkungan  sosial  dan  budaya  dapat  mempengaruhi  bagaimana  individu  menilai  risiko  hukuman.  Dalam  masyarakat  di  mana  penegakan  hukum  dianggap  adil  dan  konsisten, persepsi risiko biasanya lebih tinggi, mendukung efektivitas hukum.

(12)

• Waktu merupakan faktor krusial dalam sistem penegakan hukum. 

• Hukuman yang dijatuhkan terlalu lama setelah pelanggaran terjadi akan kehilangan efek pencegahannya. Friedman menyatakan bahwa hubungan  antara tindakan dan konsekuensinya harus cukup dekat secara temporal agar menimbulkan dampak psikologis yang signifikan.

• Kecepatan dalam penanganan kasus, pemberian sanksi, dan penyelesaian hukum akan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem hukum.

• Menurut Max Weber cara penegakan hukum pada suatu masa berbeda dengan masa yang sebelumnya yang tentunya tidak terlepas dari dominasi  yang disebabkan karena keadaan masyarakatnya yang berbeda, dimana tatanan kehidupan masyarakatnya menurut Hart dalam Satjipto Rahardjo  didasarkan Secondary Rules Obligation di mana masyarakatnya mempunyai kehidupan yang terbuka, luas, dan komplek seperti saat ini maka 

terdapat diferensiasi dan institusionalisasi pekerjaan hukum berupa :  1) Rules of Recognition

2) Rules of Change

G. KECEPATAN PENERAPAN

(13)

• Dalam perspektif sosiologi hukum, efektivitas hukum tidak hanya ditentukan oleh isi undang-undang, institusi penegak hukum, atau sanksi yang  diberlakukan, tetapi juga oleh adanya permintaan sosial atas perilaku tertentu yang ingin dikendalikan oleh hukum.

• Efektivitas hukum bergantung pada kesesuaian antara norma hukum dan nilai-nilai sosial yang hidup dalam masyarakat. 

• Jika hukum mengatur sesuatu yang bertentangan dengan kebutuhan atau kebiasaan masyarakat, maka hukum tersebut cenderung akan diabaikan. 

H.Permintaan atas perilaku yang hendak di control

(Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, Russell Sage Foundation, New York )

Menurut  Friedman,  setiap  sistem  hukum  pada  dasarnya  hadir  untuk menjawab kebutuhan atau permintaan dari masyarakat  terhadap  perilaku tertentu yang:

• Diinginkan untuk diatur

• Diharapkan untuk dihindari

• Atau didukung dan diperkuat

Friedman  menjelaskan  bahwa  hukum  juga  membatasi/mengarahkan  perilaku  warga  negara  sesuai  dengan  nilai,  norma,  dan  kepentingan  masyarakat.

Permintaan terhadap kontrol ini bisa datang dari:

• Negara atau pemerintah

• Kelompok masyarakat (misalnya kelompok agama, ekonomi, budaya)

• Individu atau elite tertentu yang punya pengaruh politik Contoh Permintaan atas Kontrol Perilaku dalam Masyarakat :

Larangan merokok di ruang publik

→ Permintaan dari kelompok masyarakat yang sadar akan hak kesehatan dan kebersihan.

Pengaturan lalu lintas dan transportasi

→ Permintaan dari publik terhadap keteraturan, keamanan, dan efisiensi.

(14)

SELESAI

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan pendapat terjadi dikalangan ulama mengenai hukum dari pengenaan sanksi berupa harta benda,ada yang memperbolehkan dan ada juga yang mengharamkan.Ulama yang mengharamkan

Mengenai Prostitusi Online Secara Umumnya perbedaannya terletak pada pihak-pihak siapa saja yang dapat dikenai sanksi dalam hukum Positif dan hukum Islam

Dokumen ini membahas tentang analisis efektivitas penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Indonesia dengan Model Susceptible-Infected-Recovered

Dokumen ini membahas pengaruh Judi Online dan sanksi-sanksi yang terkait terhadap masyarakat di Kota Ananda

Dokumen ini membahas tentang hak cipta dan pembatasan pelindungannya dalam konteks hukum

Teks ini membahas mengenai jaminan kesehatan bagi rakyat Indonesia menurut hukum

Dokumen ini membahas tentang penerapan HAM dalam hukum Islam di