MAKALAH
“SUMBER AJARAN DAN HUKUM ISLAM : HADIS”
Disusun Guna Memenuhi Ujian Tengah semester Pada Mata Kuliah Pendidikan Agama II
Dosen Pengampu :
Muhammad Ihsanul Arief, S.Th.I., M.Ag Disusun Oleh : Kelompok 4
1. Aida Wati 2110312120033
2. Aliyah Indira Putri 2110312120035 3. Bahjatunnisa 2110312220082 4. Nurul Annisa 2110312320038 5. Syarifah Halidah 2110312320037 6. Laila Agustiah 2110312220042 7. Halimah 2110312120020 8. Noorhayati 2110312120019 9. Annisa Rohima 2110312220040
Semester VII
PROGRAM STUDI MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
TAHUN AJARAN 2024/2025
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah- Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Sumber Ajaran dan Hukum Islam: Hadis" dengan baik dan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.
Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas dalam mata kuliah Pendidikan Agama II di bawah bimbingan Bapak Muhammad Ihsanul Arief, S.Th.I., M.Ag. Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memperdalam pemahaman tentang hadis sebagai salah satu sumber utama ajaran dan hukum Islam, serta relevansinya dalam kehidupan umat Islam di era modern.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari Bapak Dosen dan rekan-rekan mahasiswa untuk perbaikan di masa mendatang.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan menambah wawasan kita semua tentang pentingnya hadis dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Banjarmasin, 20 September 2024 Hormat kami,
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... 1
DAFTAR ISI...2
BAB I PENDAHULUAN...3
A. LATAR BELAKANG... 3
B. RUMUSAN MASALAH...4
C. TUJUAN... 4
BAB II PEMBAHASAN...5
A. PENGERTIAN HADITS... 5
B. KEDUDUKAN HADIS SEBAGAI SUMBER DASAR DAN AJARAN ISLAM...5
C. FUNGSI HADIST SEBAGAI SUMBER DASAR DAN AJARAN ISLAM...7
D. SYARH HADIST... 9
E. PENGHIMPUNAN HADIST...11
F. GOLONGAN YANG MENOLAK HADITS (AS-SUNNAH)...14
G. HADIS SEBAGAI DASAR PELAKSAAN IBADAH... 18
H. PENGAMALAN HADIST DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI...20
BAB III PENUTUP... 22
A. KESIMPULAN...22
B. SARAN... 22
REFERENSI... 24
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANGIslam, sebagai agama yang komprehensif, memiliki dua sumber utama dalam ajaran dan hukumnya: Al-Qur'an dan Hadis. Sementara Al-Qur'an merupakan wahyu langsung dari Allah SWT, Hadis menjadi sumber kedua yang tidak kalah pentingnya dalam membentuk landasan kehidupan umat Islam. Hadis, yang merupakan rekaman perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW, berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur'an, serta menjadi pedoman praktis dalam menjalani kehidupan sehari-hari sesuai dengan ajaran Islam.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksitas permasalahan modern, pemahaman dan penerapan Hadis menjadi semakin menantang. Terdapat berbagai isu yang perlu diperhatikan, mulai dari otentisitas Hadis, metode klasifikasi, hingga interpretasi yang tepat dalam konteks kekinian. Perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kehujjahan Hadis tertentu juga menambah kompleksitas dalam penggunaan Hadis sebagai sumber hukum Islam.
Di sisi lain, era globalisasi dan kemajuan teknologi informasi telah membuka akses yang luas terhadap berbagai literatur Hadis. Hal ini, meski memberikan kemudahan, juga berpotensi menimbulkan kesalahpahaman dan penyalahgunaan Hadis jika tidak diimbangi dengan pemahaman yang memadai tentang ilmu Hadis. Oleh karena itu, menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak untuk mengkaji dan memahami Hadis secara komprehensif, tidak hanya dari segi teksnya, tetapi juga konteks historis dan relevansinya dengan kehidupan kontemporer.
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang Hadis sebagai sumber ajaran dan hukum Islam. Makalah ini akan mengeksplorasi kedudukan Hadis dalam Islam, metodologi kritik Hadis, klasifikasi Hadis, serta aplikasinya dalam pengembangan hukum Islam. Dengan demikian, diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi dalam upaya menjaga kemurnian ajaran Islam sekaligus memberikan perspektif yang relevan dalam menghadapi tantangan zaman modern.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pengertian hadis menurut para ulama dan ahli hadis?
2. Apa kedudukan hadis dalam struktur sumber ajaran dan hukum Islam?
3. Bagaimana fungsi hadis sebagai sumber dasar dan ajaran Islam?
4. Apa yang dimaksud dengan syarah hadis dan bagaimana perannya dalam memahami hadis?
5. Bagaimana proses penghimpunan hadis dilakukan sepanjang sejarah Islam?
6. Siapa saja golongan yang menolak hadis dan apa argumentasi mereka?
7. Bagaimana peran hadis dalam penetapan dan pelaksanaan ibadah dalam Islam?
8. Bagaimana cara mengamalkan hadis dalam kehidupan sehari-hari di era modern?
C. TUJUAN
1. Menjelaskan pengertian hadis secara komprehensif berdasarkan pandangan para ulama dan ahli hadis.
2. Menganalisis kedudukan hadis dalam hierarki sumber ajaran dan hukum Islam.
3. Mengidentifikasi dan menjelaskan berbagai fungsi hadis dalam konteks sumber dasar dan ajaran Islam.
4. Memahami konsep syarah hadis dan signifikansinya dalam interpretasi dan pemahaman hadis.
5. Menelusuri sejarah dan metodologi penghimpunan hadis dari masa Nabi Muhammad SAW hingga era kodifikasi.
6. Mengkaji argumentasi golongan yang menolak hadis dan memberikan bantahan ilmiah terhadap pandangan mereka.
7. Mendeskripsikan peranan hadis dalam penetapan dan tata cara pelaksanaan ibadah dalam Islam.
8. Memberikan panduan praktis tentang cara mengamalkan hadis dalam kehidupan sehari-hari di tengah tantangan modernitas.
BAB II PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HADITSMenurut Bahasa, hadits artinya Baru, tidak lama, ucapan, pembicaraan, atau cerita.
Sedangkan, menurut Istilah, hadits menupakan Segala berita yang berasal dari Nabi Muhammad SAW berupa ucapan, perbuatan, dan takrir (persetujuan Nabi SAW) serta penjelasan sifat-sifat nabi SAW.
Hadits Qauliyah: Hadits yang didasarkan atas segala ucapan Nabi SAW
Hadits Fi'liyah Hadits yang didasarkan atas segenap prilaku dan perbuatan Nabi SAW. Contoh. Cara Nabi Haji, Shalat, dll
Hadits Takririyah Hadits yang disandarkan atas persetujuan Nabi SAW. Contoh.
Nabi membiarkan jual beli yang dilakukan orang buta.
Singkatnya, Hadits adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad SAW. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al- Qur'an. Hadist bisa disebut juga As Sunnah yang berarti segala perkataan, perbuatan, dan penetapan Rasulallah SAW.
Allah SWT telah mewajibkan untuk menaati hukum- hukum dan perbuatan-perbuatan yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
artinya:
”... apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, ..." (Q.S Al Hasyr: 7)
B. KEDUDUKAN HADIS SEBAGAI SUMBER DASAR DAN AJARAN ISLAM
Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedudukannya berada di urutan kedua setelah Al-Qur’an. Hal ini dijelaskan secara eksplisit dalam beberapa dalil yaitu sebagai berikut:
A. Dalil Al-Qur’an
Pada Surah An-Nur ayat 54 telah dijelaskan dengan bunyi, “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul (Muhammad) itu hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan kepadamu. Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk,” dan hadis didefinisikan oleh ulama sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassalaam baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan diam-diam, atau sifat sehingga menjadikan hadis sebagai salah satu sumber dasar dan ajaran islam.
Meskipun begitu, terdapat beberapa kelompok kecil yang menolak hadis.
Adapun kelompok ini disebut dengan inkar al-Sunnah (Yusuf 2015). Salah satu dalil yang dikemukakan oleh kelompok ini yaitu Surah An-Nahl ayat 89, “Kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu sebagai petunjuk, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang muslim,” melalui ayat tersebut mereka percaya bahwa Al-Qur’an telah meliputi semua hal yang berkenaan dengan agama Islam sehingga tidak diperlukan keterangan lainnya.
B. Dalil Hadis
Imam Ahmad meriwayatkan hadis dalam Kitab Musnad dengan bunyi sebagai berikut: “Dari sahabat Abu Said Al-Khudri ra, Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassalaam bersabda, ‘Sungguh, aku meninggalkan dua hal penting di tengah kalian sesuatu yang jika berpegang pada keduanya, kalian tidak akan tersesat sepeninggalku.
Yang satu lebih besar dari yang lain. Pertama, kitab Allah, sebuah tali panjang dari langit ke bumi. kedua, keturunanku ahli baitku. Ketahuilah, keduanya takkan terpisah sampai keduanya melewati telagaku,” (HR Imam Ahmad). (Alhafiz 2023)
C. Kesepakatan Ulama
Banyak peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan untuk menjadikan hadis sebagai sumber ajaran islam melalui sunnah yang tercantum dalam beberapa hadis yaitu salah satunya disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal : “Ketika Abu Bakar di bai’at menjadi Khalifah, ia pernah berkata; Saya tidak akan meninggalkan sedikitpun
sesuatu yang diamalkan atau dilakukan oleh Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassalaam. Sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya.” (H.
Hairillah 2015)
C. FUNGSI HADIST SEBAGAI SUMBER DASAR DAN AJARAN ISLAM
Pada dasarnya, hadist memiliki fungsi utama sebagai menegaskan, memperjelas dan menguatkan hukum-hukum dan hal lain yang ada di Al-Qur’an. Para ulama sepakat setiap umat islam diwajibkan untuk mengikuti perintah yang ada hadist-hadist shahih. Dengan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Al hadist, niscaya hidup kita dijamin tidak akan tersesat. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
:
هِلِوْسُرَ ةَنَّسُ وَ هِللِا بَاتَكِ امَهِبِ مْتَكْسَّمَتَ امَ اوْلضِتَ نْلِ نْيْرَمَأَ مْكْيْفِ تُكِرَتَ
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
Hadist memiliki peranan penting dalam menjelaskan (Bayan) firman-firman Allah SWT di dalam Al-Quran. Secara lebih rinci, dijelaskan fungsi-fungsi hadist dalam islam adalah sebagai berikut:
1. Bayan Al- Taqrir (memperjelas isi Al-Qur’an)
Fungsi Hadist sebagai bayan Al- Taqrir berarti memperjelas isi dari Al-Qur’an. Sebagai contoh hadist yang diriwayatkan oleh H.R Bukhari dan Abu Hurairah terkait perintah berwudhu, yakni:
“Rasulullah SAW bersabda, tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sampai ia berwudhu” (HR.Bukhori dan Abu Hurairah)
Hadits diatas mentaqrir dari surat Al-Maidah ayat 6 yang berbunyi:
اوْحُسَّمَاوَ قِفِارَمَلِا ىلِا مْكْيْ دِيْأَوَ مْكْهَوْجُوَ اوْلسَّغْافِ ةِوْل-صّلِا ىلِا مْتَمَقُاذَااوْنَّمَا نْيْ ذِلِااهِيْاايْ
نْيْبَعْكْلِا ىلِا مْكْلجُرَاوَ مْكْسُوَءُرَبِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki” (QS.Al-Maidah:6)
2. Bayan At-Tafsir (menafsirkan isi Al-Qur’an)
Fungsi hadist sebagai bayan At-Tafsir berarti memberikan tafsiran (perincian) terhadap isi Al-Qur’an yang masih bersifat umum (mujmal) serta memberikan batasan-batasan (persyaratan) pada ayat-ayat yang bersifat mutlak (taqyid). Contoh hadist sebagai bayan At-Tafsir adalah penjelasan nabi Muhammad SAW mengenai hukum pencurian.
5فِّكْلِا لِصّفْمَ نْمَ هُدِيْ عَطَقَفِ قِرَ اسَّبِ ىتَأَ
“Rasulullah SAW didatangi seseorang yang membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri tersebut dari pergelangan tangan”
Hadist diatas menafsirkan surat Al-Maidah ayat 38:
هِللِا نْمَ> لاًاكْنَ ابَسَّكِ امَبِ >ءُازَجُ امَهِيْ دِيْااوْعْطَقُافِ ةَقُرَاسَّلِاوَ قِرَاسَّلِاوَ
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah” (QS.Al-Maidah:38)
Dalam Al-Qur’an, Allah memerintahkan hukuman bagi seorang pencuri dengan memotong tangannya. Ayat ini masih bersifat umum, kemudian Nabi SAW memberikan batasan bahwa yang dipotong dari pergelangan tangan.
3. Bayan at-Tasyri’ (memberi kepastian hukum islam yang tidak ada di Al-Qur’an) Hadist sebagai bayan At tasyri’ ialah sebagai pemberi kepastian hukum atau ajaran- ajaran islam yang tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an. Biasanya Al-Qur’an hanya menerangkan pokok-pokoknya saja. Sebagaimana contohnya hadist mengenai zakat fitrah, dibawah ini:
مَ ا>عً اصَ سِانَّلِا ىلعً نَاضِمَرَ نْمَ رَطَفْلِا ةِ اكِزَ ضَرَفِ مْلسُوَ هِيْلعً هِللِا ىلصَ هِللِا لُوْسُرَ نَا نْيْمَلسَّمَلِا نْمَ ىثَنَأَ وَأَ Jرَكِذَ Jدِبَعًوَا Kرَحُ 5لِكِ ىلعً Jرَيْعْشَ نْمَا>عً اصَ وَاJرَمَتَ نْ
“Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan”(HR. Muslim).
4. Bayan Nasakh (mengganti ketentuan terdahulu)
Secara etimologi, An-Nasakh memiliki banyak arti diantaranya At-Taqyir (mengubah), Al-Itbal (membatalkan), At-Tahwil (memindahkan), atau ijalah (menghilangkan). Para ulama mendefinisikan Bayan An-Nasakh berarti ketentuan yang datang kemudian dapat menghapuskan ketentuan yang terdahulu, sebab ketentuan yang baru dianggap lebih cocok dengan lingkungannya dan lebih luas. Salah satu contohnya yakni:
Jثٍرَاوْلِ ةَيْصَوَلاً
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”
Hadits ini menasakh surat QS.Al-Baqarah ayat 180:
حُ فِوَرَعْمَلِابِ نْيْبِرَقُ لأَاوَ نْيْ دِلِاوْللِ ةَيْصَوْلِارَيْخَ كَرَتَ نَا تُوْمَلِا مْكِ دِحُا رَضِحُاذَا مْكْيْلعً بَتَكِ
نْيْقَتَمَلِا ىلعً اUقَ
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf. (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” (QS.Al-Baqarah:180)
Untuk fungsi hadist sebagai Bayan Nasakh ini masih terjadi perdebatan di kalangan ulama. Para ulama Ibn Hazm dan Mutaqaddim membolehkan menasakh al-Qur’an dengan segala hadits walaupun hadits ahad. Kelompok Hanafiyah berpendapat boleh menasakh dengan hadist masyhur tanpa harus matawatir. Sedangkan para mu’tazilah membolehkan menasakh dengan syarat hadist harus mutawatir. Selain itu, ada juga yang berpendapat Bayan Nasakh bukanlah fungsi hadist.
D. SYARH HADIST
Kata syarh berasal dari bahasa Arab ا حُ رَ شَ – ح رَ ش يْ – ح رَ شَ yang artinya menerangkan, membukakan, dan melapangkan. Istilah syarh biasanya digunakan untuk hadist, sedangkan tafsir untuk kajian Al-Qur’an. Dengan kata lain, secara substansial keduanya sama dalam hal menjelaskan arti, maksud, dan pesan yang terkandung di dalamnya, namun secara istilah, keduanya berbeda. Istilah tafsir spesifik bagi al-Qur’an (menjelaskan arti, maksud, kandungan, atau pesan ayat-ayat al-Qur’an), sedangkan istilah syarh diperuntukan bagi disiplin ilmu lain, meliputi hadist yakni untuk menjelaskan arti, maksud, kandungan, atau pesan hadist.
Sedangkan secara istilah definisi zsyarh al-hadist adalah sebagai berikut:
Syarh al-hadist adalah menjelaskan makna-makna hadis dan mengeluarkan seluruh kandungannya, baik hukum maupun hikmah.
Definisi ini hanya menyangkut syarh terhadap matn hadis, sedangkan definisi syarh yang mencakup semua komponen hadis itu, baik sanad maupun matn-nya, adalah sebagai berikut:
Syarh hadist adalah menjelaskan keshahihan dan kecacatan sanad dan matan hadis, menjelaskan maknamaknanya, dan mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
Kegiatan syarh hadis secara garis besar meliputi tiga langkah, sebagai berikut, a. Menjelaskan kuantitas dan kualitas hadis, baik dari segi sanad maupun matn.
Begitu pula penjelasan tentang jalur-jalur periwayatannya, penjelasan identitas dan karakteristik para periwayatnya, serta analisis matn dari sudut kaidah kebahasaan.
b. Menguraikan makna dan maksud hadis.
Hal ini meliputi penjelasan cara baca lafal-lafal tertentu, penjelasan struktur kalimat, penjelasan makna leksikal dan gramatikal serta makna yang dimaksudkan.
c. Mengungkap hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Hal ini meliputi istinbat terhadap hukum dan hikmah yang terkandung dalam matn hadis, baik yang tersurat maupun yang tersirat.
Ketiga langkah tersebut tentu memerlukan berbagai teori dan disiplin ilmu pengetahuan agar dapat melahirkan pemahaman hadis yang komprehensif. Hal tersebut tidak hanya berhubungan dengan upaya memahami petunjuk ajaran Islam menurut teks dan konteksnya tetapi juga pada aspek otoritas dan validitas hadis dilihat dari segi sanad
maupun matn-nya. Oleh karena pengetahuan selalu berkembang, maka kegiatan pen- syarh-an dan penerapan ajaran Islam yang kontekstual pun menuntut penggunaan metode dan pendekatan yang sesuai dengan perkembangan pengetahuan dan keadaan masyarakat.
E. PENGHIMPUNAN HADIST 1. Pentingnya Penghimpunan Hadist
Penghimpunan hadist bertujuan untuk mengumpulkan, memverifikasi, dan mendokumentasikan hadist-hadist Nabi Muhammad SAW agar dapat dijadikan rujukan yang sahih dalam penetapan hukum Islam. Proses ini sangat penting mengingat banyaknya hadist palsu (maudhu') yang beredar pada masa awal Islam.
Dikutip dari Haqiqi (2024), di penghujung abad pertama hijriah, Umar bin Abdul Aziz, khalifah Bani Umayyah mengirim surat ke berbagai daerah kekuasaannya, salah satunya pada Abu Bakar bin Hazm, Gubernur Madinah pada saat itu yang juga seorang ulama:
لعْلِا سِوَرَدُ تُفْخَ ي5نَإِفِ ؛هِبَتَكِافِ مْلسُوَ هِيْلعً هِللِا ىلصَ هِللِا لُوْسُرَ ثِيْدِحُ نْمَ نَاكِ امَ رَظُنَا ءُامَلعْلِا بَاهَذَوَ مْ
Artinya, "Carilah semua hadits Rasulullah lalu tulislah, sungguh aku takut ilmu ini akan hilang, dan para ulama akan meninggal." (Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, [Cairo: Darut Ta'shil, 2012], juz I, halaman 268). Mulai saat itulah pembukuan hadits dilakukan secara massif.
2. Sejarah Penghimpunan Hadist
Penghimpunan hadist dimulai sejak masa sahabat dan terus berkembang hingga masa tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Berikut adalah beberapa fase penting dalam sejarah penghimpunan hadist (Haqiqi, 2024):
a. Pembukuan Hadits Akhir Abad I - Awal Abad II H
Kembali pada kebijakan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Setelah surat-surat beliau kirimkan ke seluruh penjuru daerah kekuasaannya, orang pertama yang berhasil membukukan hadits-hadits Rasulullah adalah Ibn Syihab Az-Zuhri (w 124 H),
seorang Tabi'in asal Madinah, murid Anas bin Malik ra. Di era Az-Zuhri, metode yang digunakan dalam menyusun kitab hadits adalah mengumpulkan beberapa hadits, atsar Sahabat, dan fatwa para Tabi'in dalam satu tema. Misalnya tentang shalat, maka satu kitab hanya berisi hadits, atsar, dan fatwa Tabi'in tentang shalat.
Satu kitab hanya memuat satu tema. (Muhammad Abu Zahu, Al-Hadits wal Muhadditsun, [Riyadh, Ar-Ri'asatul 'Ammah li Idaratil Buhutsil 'Ilmiuyah: 1984], halaman 128).
b. Pembukuan Hadits Abad II H Setelah era Az-Zuhri, pembukuan hadits kian marak di generasi setelahnya, gerakan ini tersebar di beberapa kota:
1) Makkah ada Ibnu Juraij (w 150 H).
2) Madinah ada Ibnu Ishaq (w 151 H) dan Malik bin Anas (w 179 H).
3) Di Basrah ada Ar-Rabi' ibn Shabih (w 160 H), Sa'id ibn 'Arubah (w 156 H), dan Hammad bin Salamah (w 176 H).
4) Di Kufah ada Sufyan Ats-Tsauri (w 161 H).
5) Di Syam ada Al-Auza'i (w 156 H).
6) Di Wasith ada Husyaim (w 188 H).
7) Di Yaman ada Ma'mar bin Rasyid (w 153 H).
8) Di Ray ada Jarir bin Abdul Hamid (w 188 H).
9) Di Khurasan ada Ibnul Mubarak (w 181 H), dan masih banyak yang lainnya.
Metode mereka dalam menyusun hadits hampir sama dengan era sebelumnya, yaitu mengumpulkan hadits, atsar Sahabat, dan fatwa Tabi'in dalam satu tema.
Bedanya, mereka mengumpulkan tema itu dalam satu bab. Lalu mengumpulkan hadits, atsar, dan fatwa Tabi'in dalam tema lain, dan menempatkannya di bab selanjutnya. Begitulah seterusnya hingga menjadi satu kitab yang memuat beberapa Bab dengan ragam tema. (Abu Zahu, 244).
c. Pembukuan Hadits Abad III H Masa ini adalah masa emas bagi kinerja pembukuan hadits. Di masa ini muncul banyak nama-nama besar.
1) Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Al-Bukhari (194 – 252 H) 2) Al-Jami’ Ash-Shahih karya Imam Muslim (204 – 261 H) 3) Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202 – 261 H)
4) Sunan At-Tirmidzi karya At-Tirmidzi (200 – 279 H) 5) Sunan An-Nasa’i karya An-Nasa’i (215 – 302 H) 6) Sunan Ibnu Majah karya Ibnu Majah (207 – 273 H)
Keenam kitab yang mereka susun, kemudian dijadikan sebagai kitab rujukan bagi ulama setelahnya yang dikenal dengan istilah Al-Kutubus Sittah (6 kitab induk).
Dalam menyusun kitab hadits, para ulama di masa ini hanya memasukkan hadits- hadits Rasulullah saja, tanpa menyertakan atsar Sahabat dan fatwa Tabi'in. Ada yang hanya mencantumkan hadits-hadits shahih seperti Al-Bukhari dan Muslim.
Ada pula yang tidak hanya mencantumkan hadits shahih seperti yang dilakukan oleh empat nama terakhir. (Abu Zahu, halaman 263). Mulai fase awal hingga fase ketiga ini, para ulama menyusun kitab hadits dengan menulis hadits-hadits yang mereka dapatkan dari guru-guru mereka melalui lisan, sehingga ketika menyusun kitab, mereka menuliskan apa yang telah mereka hafal. (Abu Zahu, 423). Dengan berakhirnya fase ketiga ini, proses pembukuan hadits seolah sudah selesai. Karena yang terjadi di masa selanjutnya mayoritas hanya penyempurnaan dari karya-karya di kurun ini dan kurun-kurun sebelumnya.
3. Metodologi Penyaringan Hadist (Tashih)
Para ulama hadist menggunakan metodologi yang ketat dalam penghimpunan hadist untuk memastikan keotentikannya. Beberapa metode yang digunakan antara lain (Andariati, 2020):
1. Sanad: Rantai periwayatan hadist yang menunjukkan silsilah perawi dari Nabi Muhammad SAW hingga perawi terakhir. Sanad yang muttasil (bersambung) dan perawi yang tsiqah (terpercaya) menjadi syarat utama dalam penilaian keabsahan hadist.
2. Matan: Isi atau teks hadist yang harus sesuai dengan ajaran Al-Qur'an dan tidak bertentangan dengan hadist-hadist lainnya.
3. Takhrij: Proses verifikasi hadist dengan meneliti sanad dan matan hadist serta membandingkannya dengan hadist-hadist lain yang serupa, sehingga diketahui tingkat kesahihan hadist.
Penghimpunan hadist merupakan proses yang sangat penting dalam menjaga keaslian ajaran Islam. Melalui metodologi yang ketat dan sistematis, para ulama hadist berhasil mengumpulkan dan mendokumentasikan hadist-hadist Nabi Muhammad SAW yang menjadi rujukan utama dalam penetapan hukum Islam setelah Al-Qur'an. Dengan demikian, hadist tetap menjadi sumber hukum yang sahih dan dapat diandalkan oleh umat Islam sepanjang masa.
F. GOLONGAN YANG MENOLAK HADITS (AS-SUNNAH)
Golongan orang yang menolah hadits atau sering disebut dengan Ingkar Sunnah.
Menurut bahasa kata “Ingkar Sunnah” terdiri dari dua kata yaitu “Ingkar” dan “Sunnah”.
Kata “Ingkar” berasal dari kata bahasa Arab ا >رَ اكْنَإِ رَكْنَّیُ رَكْنَ ا yang mempunyai beberapa arti di antaranya: tidak mengakui dan tidak menerima baik di lisan dan di hati, bodoh atau tidak mengetahui sesuatu (antonim kata al-‘irfan, dan menolak apa yang tidak tergambarkan dalam hati). Dari beberapa arti kata “ingkar” tersebut dapat disimpulkan bahwa ingkar secara etimologis diartikan menolak, tidak mengakui, dan tidak menerima sesuatu, baik lahir maupun batin atau lisan dan hati yang di latar belakangi oleh faktor ketidaktahuannya atau faktor lain, misalnya karena gengsi, kesombongan, keyakinan dan lain-lain.
Ingkar Sunnah merupakan paham yang timbul dalam masyarakat islam yang menolak Sunnah atau hadits sebagai sumber ajaran agama Islam kedua setelah al-Qur’an.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa Ingkar Sunnah (hadits) adalah sekelompok umat Islam yang tidak mengakui atau menolak Sunnah (hadits) sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Orang yang menolak keberadaan Sunnah (hadits) sebagai salah satu sumber ajaran Islam disebut munkir al-Sunnah. Kelompok Ingkar Sunnah merupakan lawan atau kebalikan dari kelompok besar (mayoritas) umat Islam yang mengakui Sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Al-Shafi’i, seperti dikutip oleh Shuhudi Ismail, dalam kitab al-Umm membagi kelompok Ingkar Sunnah menjadi tiga golongan, yaitu pertama: Golongan yang menolak seluruh Sunnah, kedua: Golongan yang menolak Sunnah kecuali apabila Sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an, ketiga: Golongan yang menolak Sunnah yang berstatus ahad. Golongan ini hanya menerima Sunnah yang berstatus mutawatir atau hadits mutawatir.
Dari penggolongan Ingkar Sunnah menjadi tiga bagian tersebut, golongan yang benar-benar masuk dalam pengertian Ingkar Sunnah adalah golongan pertama (golongan yang menolak Sunnah secara keseluruhan). Sedangkan golongan kedua dan ketiga adalah golongan yang masih ragu terhadap keberadaan Sunnah, antara mengakui dan menolak keberadaan Sunnah.
Golongan yang menolak hadits
secara keseluruhan menggunakan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Al-Qur'an itu adalah kitab suci yang berbahasa Arab yang sudah tentu menggunakan gaya bahasa yang biasa dipergunakan oleh bangsa Arab. Kalau seseorang telah mengenal gaya bahasa Arab, maka akan mampu memahami Al-Qur'an tanpa memerlukan penjelasan hadits atau Sunnah dan penjelasan lainnya.
2. Al-Qur'an sendiri telah menyatakan bahwa ia telah mencakup segala hal yang dibutuhkan oleh manusia mengenai segala aspek kehidupannya sebagaimana firman Allah:
"...Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri". (Q.S. An-Nahl 16: 89)
“Tiadalah kami alpakan sesuatu pun di dalam Al-Kitab..." (QS. Al-An'am 6: 36) 3. Berdasarkan keterangan yang menurut mereka berasal dari Nabi SAW sendiri, yaitu:
ا بَاتَكِ فِّلِاخَ نَإِوَ ، هِتَلقُ انَأفِ هِللِا بَاتَكِ قِفِاوَ نَإِفِ هِللِا بَاتَكِ ىلعً هُوْضرَعًأفِ ىنَّعً مْكِاتَأَ امَ
.
هِللِا ينَادِهَ هِبِ وَ هِللِا بَاتَكِ فِّلِاخَأَ فِّيْكِوَ انَأَ هِلقُأَ مْلفِ هِللِ.
"Apa-apa yang sampai kepadamu dari saya, maka cocokkanlah dengan kitab Allah (Al-Qur'an). Jika sesuai dengan kitab Allah maka aku telah mengatakannya, dan jika ia berbeda dengan kitab Allah maka aku tidak mengatakannya. Bagaimanakah aku
dapat berbeda dengan kitab Allah sedangkan dengannya Allah memberi petunjuk padaku".
Imam Syafi'i terhadap alasan-alasan golongan yang menolak hadits di atas memberikan jawaban sebagai berikut:
1. Menurut kenyataan bahwa umat Islam dalam mengamalkan firman Allah tidak dapat lepas dari penjelasan atau keterangan dari hadits. Sebab banyak firman Allah yang bersifat mujmal, muthlaq, dan bersifat umum yang membutuhkan kepada bayan, baik berupa rincian, taqyid dan takhshish. Untuk itu Nabi yang diberi tugas dan wewenang untuk memberikan bayan.
Perhatikanlah Firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 44:
"...Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang selalu diturunkan kepada mereka..." (Q.S. An-Nahl 16: 44)
2. Yang dimaksud dengan Q.S. An-Nahl 16: 89 tersebut di atas ialah bahwa Allah telah menjelaskan segala sesuatu yang diperlukan oleh manusia seutuhnya secara global dan terinci. Penjelasan lebih lanjut ditugaskan kepada Rasulullah SAW. Sedangkan yang dimaksud dalam Q.S. Al-An'am 6:38 ialah bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, terutama mengenai umur seseorang dan rizkinya, sudah termaktub dan sudah ditentukan di dalam al-Lauh al Mahfudz, dan bukan Al-Qur'an. Pengertian ini diambil dari rangkaian kalimat sebelumnya dari ayat tersebut:
"Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu..." (QS. Al-An'am 6: 38)
3. Bahwa yang dianggap hadits oleh mereka sebagaimana tersebut pada butir tiga di atas, menurut penelitian ahli-ahli hadits ternyata hadits maudhu' (palsu).
Menurut Imam Syafii, golongan yang menolak hadits itu dapat menimbulkan konsekuensi yang berat sekali, karena kalau kita mengikuti pendapat mereka, maka kita tidak akan mengerti cara-cara mengerjakan shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya yang di dalam Al-Qur'an disebutkan secara global saja. Sedangkan kita dapat mengamalkan ibadat tersebut berdasarkan penjelasan dari Nabi atau hadits. (Imam Syafi'i, t.t, VII: 250- 367)
Untuk memahami lebih lanjut tentang alasan-alasan Imam Syafi'i dalam membela hadits terhadap pendapat golongan pertama di atas, perhatikan keterangan Abu Zahrah (1948: 214- 217), yaitu:
1. Allah telah memerintahkan kepada kita agar beriman kepada Rasul-Nya. Beriman kepada Rasul itu berarti wajib taat kepadanya, baik terhadap ucapannya, perbuatannya dan taqrir-nya. Dengan demikian wajib bagi umat Islam beriman kepada hadits sebagai sumber hukum Islam sebagaimana Firman-Nya:
"Katakanlah, 'Hai manusia! Akulah utusan Allah kepada kamu sekalian. (Allah), Pemilik kerajaan langit dan bumi. Tiada Tuhan selain Dia. Dia menghidupkan dan Dia mematikan. Maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi, yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya. Taatilah ia supaya kamu beroleh bimbingan." (QS. Al-A'raf 7: 158)
Juga tersebut di dalam Al-Qur'an:
"Sungguh, yang beriman hanyalah yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan bila mereka bersama Rasul (menghadapi) sesuatu urusan bersama, tiadalah mereka pergi sebelum meminta izin daripadanya. Mereka yang meminta izin dari padamu, merekalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika mereka meminta izin daripadamu untuk sesuatu urusan sendiri, berilah izin kepada siapa yang kau kehendaki di antara mereka. Dan mintalah ampun kepada Allah bagi mereka.
Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (QS. An-Nur 24: 62)
Kedua ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa iman kepada Rasul itu sebahagian dari rukun iman. Tidaklah logis bila iman kepada Rasul itu wajib, sedangkan mengikuti haditsnya tidak wajib.
2. Allah telah menerangkan dalam Al-Qur'an bahwa Rasul telah mengajarkan Al-Qur'an dan al-Hikmah kepada umatnya sebagaimana tersebut dalam surat Al-Baqarah ayat 129:
"Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur'an) dan hikmah serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Yang dimaksud Al-Kitab di sini ialah Al-Qur'an sedangkan yang dimaksud dengan Al- Hikmah ialah hadits.
3. Allah mewajibkan kepada semua orang untuk taat kepada Nabi dan mengikutinya.
Barang siapa yang menentangnya, maka ia berdosa, sebagaimana tersebut dalam Q.S.
Al- Ahzab 33: 36; An-Nisa' 4: 59, 65 dan 80.
4. Allah tidak menjadikan ajakan Rasul untuk mengerjakan sesuatu seperti ajakan seseorang kepada orang lain di antara kita. Juga Allah tidak menjadikan orang yang menentang Rasul seperti menentang orang lain, karena orang yang menentang Rasul diancam oleh Allah akan mendapat bencana dan siksaan yang berat. Dengan demikian, segala keputusan Rasul itu merupakan pedoman untuk diamalkan. Perhatikan Firman Allah berikut ini:
“Janganlah kamu samakan panggilan Rasul di antara kamu dengan panggilan dengan salah seorang daripadamu kepada yang lain. Sungguh, Allah mengetahui mereka yang menyelinap lari mencari perlindungan. Maka hendaklah mereka yang menyalahi perintah (Rasul), takut bahwa percobaan akan menimpa dirinya atau azab yang pedih jatuh menimpanya." (QS. An-Nur 24: 63)
Juga Firman Allah:
"Sesungguhnya jawaban orang beriman bila diseru kepada Allah dan Rasul-Nya agar (Rasul) mengadili mereka, hanyalah bahwa mereka berkata, kami mendengar dan kami taat. Mereka inilah orang-orang yang berjaya." (Q.S. An-Nur 24: 63)
Juga Q.S. An-Nur 24:51, yang berbunyi:
"Sesungguhnya jawaban orang beriman bila diseru kepada Allah dan Rasul-Nya, agar (Rasul) mengadili mereka, hanyalah bahwa mereka berkata, kami mendengar dan kami taat. Mereka inilah orang-orang yang beruntung."
5. Allah telah memerintahkan kepada Nabi supaya menyampaikan risalah-Nya, menjalankan Syari'at-Nya dan mengikuti wahyu-Nya sebagaimana tercantum dalam Q.S. Al- Maidah 5: 67; Al-Jatsiyah 45: 18; dan Al-An'am 6: 106.
G. HADIS SEBAGAI DASAR PELAKSAAN IBADAH
Hadis merupakan salah satu sumber utama ajaran Islam setelah Al- Qur'an. Hadis berisi perkataan, perbuatan, dan pengakuan Nabi Muhammad SAW yang menjadi pedoman bagi
umat Islam dalam menjalankan ibadah dan kehidupan sehari-hari. Hadis memiliki peran yang sangat penting sebagai dasar hukum ibadah dalam Islam. Dengan menjelaskan dan merinci ajaran-ajaran yang terkandung dalam Al-Qur'an, hadis menjadi pedoman bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah secara benar dan sesuai dengan sunnah Nabi. Oleh karena itu, pemahaman dan pengamalan hadis sangat dianjurkan dalam kehidupan sehari- hari. Dalam hal ini, akan dibahas peran hadis sebagai dasar pelaksanaan ibadah dalam Islam.
Peran Hadis dalam Berbagai Ibadah :
1. Sholat: Hadis menjelaskan tentang rukun, syarat, dan sunnah sholat, serta adab-adab yang harus diperhatikan.
2. Puasa: Hadis memberikan penjelasan tentang tata cara puasa, makanan dan minuman yang membatalkan puasa, serta keutamaan puasa.
3. Zakat: Hadis menjelaskan tentang nisab, jenis harta yang dizakati, dan cara mengeluarkan zakat.
4. Haji: Hadis memberikan penjelasan rinci tentang tata cara pelaksanaan haji, mulai dari niat hingga wukuf di Arafah.
5. Muamalah: Hadis juga mengatur berbagai aspek muamalah, seperti jual beli, akad nikah, dan perjanjian.
Contoh Hadis dalam Ibadah 1. Hadis tentang Sholat
"Sesungguhnya shalat itu dibangun di atas lima perkara: Berdiri dengan sempurna, ruku' sampai sempurna, sujud sampai sempurna, duduk di antara dua sujud sampai sempurna, dan berjalan antara sujud dan berdiri." (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Hadis tentang Puasa
"Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)
3. Hadis tentang Keutamaan Haji
"Barangsiapa yang menunaikan haji dengan ikhlas karena Allah dan tidak melakukan perbuatan dusta atau dosa, dia akan kembali seperti bayi yang baru lahir dari ibunya."
(HR. Bukhari dan Muslim) Hadis ini menggambarkan betapa suci dan bersihnya seseorang setelah menunaikan ibadah haji dengan penuh keikhlasan.
4. Hadis tentang Zakat
Nabi Muhammad SAW bersabda: "Islam dibangun di atas lima dasar: bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke Baitullah."
(HR. Bukhari dan Muslim) 5. Hadis tentang Muamalah
Nabi Muhammad SAW bersabda: "Penjual dan pembeli berhak untuk membatalkan transaksi mereka selama mereka belum berpisah, dan jika mereka jujur dan menjelaskan (barang yang dijual), maka mereka akan diberkahi dalam jual beli mereka;
tetapi jika mereka menyembunyikan dan berdusta, maka berkah jual beli mereka akan dihapus." (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis dan Ijtihad
Hadis juga memberikan landasan bagi ijtihad, yaitu usaha untuk menggali dan menetapkan hukum- hukum baru yang tidak secara eksplisit terdapat dalam Al-Qur'an. Dalam proses ini, ulama menggunakan hadis untuk mempertimbangkan konteks dan situasi yang berkembang. Misalnya, dalam menetapkan hukum bagi ibadah yang berkaitan dengan teknologi modern, seperti penggunaan media sosial dalam dakwah.
H. PENGAMALAN HADIST DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI
Al-Qur'an merupakan sumber hukum utama dalam Islam, mengatur segala sesuatu mulai dari ibadah, etika, mu'amara, dan hukum pidana. Namun selain Alquran, ada juga sumber hukum yaitu hadist yang dijadikan acuan memahami ajaran Islam. Hadist memegang peranan penting dalam memahami dan menjelaskan ayat-ayat Al-Quran yang terkadang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Hadist Nabi Muhammad SAW akan menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut sedemikian rupa sehingga mudah dipahami umat Islam.
Hadits tidak hanya berfungsi sebagai penjelasan ajaran Islam, sumber hukum, dan validitasnya, tetapi juga menjadi inspirasi dan teladan bagi umat Islam. Hadist Nabi
Muhammad SAW mengandung ajaran moral dan etika yang dapat dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Hadist memberikan petunjuk bagaimana umat Islam hendaknya bertindak, berperilaku, dan berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya. Dengan mengamalkan hadis tersebut, umat Islam dapat hidup sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW.
Contoh pengamalan hadist dalam kehidupan sehari-hari:
1. Mengamalkan ajaran moral dan etika
Hadist memberikan petunjuk tentang adab dan etika dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Umat Muslim dapat mengimplementasikan hadis-hadis tersebut dengan menjaga sikap sopan santun, menghormati orang lain, dan berperilaku jujur dan adil.
2. Menjalankan ibadah dengan benar
Hadist memberikan contoh-contoh praktis tentang cara menjalankan ibadah dengan benar. Umat Muslim dapat mengimplementasikan hadis-hadis tersebut dengan mempelajari dan mengamalkan tata cara shalat, puasa, zakat, dan haji yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
3. Mengambil hukum-hukum Islam sebagai pedoman
Hadis memberikan penjelasan dan rincian tentang hukum-hukum Islam. Umat Muslim dapat mengimplementasikan hadis-hadis tersebut dengan mengambil hukum- hukum Islam sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Misalnya, mengikuti aturan dalam pernikahan, perceraian, dan waris sesuai dengan ajaran agama Islam.
4. Meningkatkan pemahaman Al-Quran
Hadis membantu dalam memahami dan mendalamkan pemahaman terhadap Al- Quran. Umat Muslim dapat mengimplementasikan hadis-hadis tersebut dengan membaca, mempelajari, dan merenungkan ayat-ayat Al-Quran serta memahami konteks sejarah di balik penurunan ayat-ayat tersebut.
Hadist memiliki fungsi yang sangat penting dalam pemahaman dan implementasi ajaran agama Islam. Hadist menjelaskan dan melengkapi Al-Quran, menjaga keutuhan dan keaslian Al-Quran, membantu dalam menjalankan ibadah, serta menjelaskan hukum- hukum Islam. Implementasi hadist dalam kehidupan sehari-hari membantu umat Muslim untuk mengamalkan ajaran moral dan etika, menjalankan ibadah dengan benar,
mengambil hukum-hukum Islam sebagai pedoman, serta meningkatkan pemahaman Al- Quran. Oleh karena itu, pemahaman dan implementasi hadist dalam Al-Quran sangatlah penting bagi umat Muslim dalam menjalani kehidupan mereka.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan mengenai hadis dalam makalah ini menegaskan bahwa hadis, yang merupakan segala ucapan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad SAW, memiliki kedudukan yang sangat penting sebagai sumber ajaran dan hukum Islam, berada di urutan kedua setelah Al-Qur'an. Hadis berfungsi untuk memperjelas, menafsirkan, dan memberikan kepastian hukum atas ketentuan yang terdapat dalam Al-Qur'an, serta menetapkan hukum-hukum baru yang tidak dijelaskan dalam kitab suci tersebut. Proses penghimpunan hadis dimulai sejak masa sahabat dan terus berkembang hingga kini, dengan tujuan untuk mendokumentasikan dan memverifikasi keaslian hadis agar dapat dijadikan rujukan yang sahih dalam penetapan hukum Islam. Dengan demikian, pemahaman yang komprehensif terhadap hadis sangat diperlukan untuk mengamalkan ajaran Islam secara benar dan sesuai dengan konteks zaman.
B. SARAN
1. Pengkajian Hadis yang Mendalam: Disarankan bagi para pelajar dan praktisi hukum Islam untuk terus mengkaji hadis secara mendalam, baik dari segi sanad maupun matan, guna memastikan keaslian dan konteks penggunaannya dalam berbagai aspek kehidupan.
2. Pengamalan Hadis dalam Kehidupan Sehari-hari: Penting bagi umat Islam untuk tidak hanya memahami, tetapi juga mengamalkan hadis dalam kehidupan sehari-hari,
terutama dalam menjalankan ibadah, muamalah, dan adab yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
3. Pemanfaatan Teknologi untuk Penghimpunan Hadis: Dengan perkembangan teknologi informasi, diharapkan proses penghimpunan dan penyebaran literatur hadis dapat lebih mudah diakses oleh umat Islam di seluruh dunia. Penelitian lebih lanjut tentang penggunaan teknologi untuk menjaga dan menyebarkan hadis otentik juga sangat dianjurkan.
4. Menjaga Kesahihan Hadis di Era Digital: Di era globalisasi dan kemajuan teknologi, perlu ada upaya yang lebih intensif dalam menjaga keotentikan hadis yang beredar secara online, agar tidak terjadi kesalahpahaman atau penyalahgunaan dalam mengamalkan ajaran Islam.
REFERENSI
Alhafiz, Kurniawan. 2023. “No Title.” NUOnline. Retrieved
(https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/kajian-hadits-ikut-ahlul-bait-atau-sunnah-rasul-QZNSw).
H. Hairillah. 2015. “Kedudukan As-Sunnah Dan Tantangannya Dalam Hal Aktualisasi Hukum Islam.” Mazahib Vol. XIV,(1–20):193.
Yusuf, Nasruddin. 2015. “HADIS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM (Telaah Terhadap Penetapan Kesahihan Hadis Sebagai Sumber Hukum Menurut Syafi’iy).” Potret Pemikiran 19(1). doi: 10.30984/pp.v19i1.714.
Andariati, L. (2020). HADIS DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA Leni. Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis, 7(1), 1. https://doi.org/10.15578/jp.v7i1.10285
Haqiqi, R. (2024). Pembukuan Hadits dari Masa ke Masa: Masa Nabi hingga Imam Al-Bukhari.
NU Online. https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/pembukuan-hadits-dari-masa-ke-masa-masa- nabi-hingga-imam-al-bukhari-HejX2