MAKALAH
HADIS MUKHTALIF DALAM PERSPEKTIF ULAMA HADIS
Diajukan untuk memahami salah satu tugas terstruktur dalam mata kuliah Studi Hadist dan Pembaharuan Hukum
Dosen Pengampu : Dr. Zul Efendi, M.Ag
Disusun Oleh:
MUHAMMAD SYARIF AKMAL 10124055
PASCASARJANA JURUSAN HUKUM ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SJECH M. DJAMIL DJAMBEK BUKITTINGGI
2024/2025
Kata Pengantar
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan kepada kita banyak sekali kenikmatan, sehingga kita tidak akan pernah mampu untuk menghitungnya.
Salawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW Sang Pemimpin Terbaik untuk memimpin di seluruh penjuru bumi ini.
Alhamdulillah berkat Allah Yang Maha Kuasa atas segala rahmat-Nya, makalah ini dengan tema Hadis Mukhtalif dalam perspektif para ulama, khususnya ulama hadis dapat ditulis dengan baik. Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Zul Efendi, M.Ag, sebagai Dosen Pengampu Mata Kuliah Studi Hadist dan Pembaharuan Hukum.
Harapan, semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan para pembaca dan khususnya bagi penulis. Tentu dengan keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis, penulis yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat berharap saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca demi memperoleh faedah yang lebih luas. Amin! Wajazakumullah Khairan.
Bukittinggi, 9 November 2024
Daftar Isi
Kata Pengantar... 2
Bab I... 4
Pendahuluan... 4
A. Latar Belakang...4
B. Rumusan Masalah...5
C. Tujuan Penelitian...5
D. Metode Penelitian...5
Bab II...6
Pembahasan... 6
Hadis Mukhtalif Dalam Perspektif Ulama Hadis...6
Pendahuluan... 6
Definisi hadis mukhtalif...6
Sebab-Sebab terjadinya hadis mukhtalif...7
Contoh-contoh hadis mukhtalif...7
Pendapat para ulama hadis tentang hadis mukhtalif...11
Berbagai ulama fikih memberikan pandangan terkait hadis mukhtalif:...13
Pengaruh hadis mukhtalif dalam kehidupan umat Islam...14
Kesimpulan...15
Saran...16
Daftar Pustaka... 17
Bab I
Pendahuluan
A. Latar BelakangHadis merupakan salah satu sumber utama hukum Islam setelah Al-Qur’an, berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari bagi umat Islam. Namun, dalam kajian hadis, ditemukan beberapa riwayat yang tampak saling bertentangan, baik dari segi lafaz maupun makna. Fenomena ini dikenal dengan istilah “hadis mukhtalif” atau hadis yang tampak bertentangan (ikhtilaf). Hadis mukhtalif dapat memunculkan berbagai interpretasi di kalangan ulama, baik dalam bidang hukum, akidah, maupun etika.
Kajian terhadap hadis mukhtalif menjadi penting karena perbedaan yang tampak di dalamnya berpotensi menimbulkan kebingungan di kalangan umat Islam.
Jika tidak dilakukan kajian mendalam, hal ini dapat menimbulkan keraguan terhadap keabsahan atau keakuratan beberapa hadis yang dianggap bertentangan. Oleh karena itu, para ulama hadis dan fuqaha sejak awal telah mengembangkan metodologi khusus untuk memahami, menganalisis, dan merekonsiliasi hadis-hadis tersebut.
Para ulama besar, seperti Imam Syafi'i juga berpendapat bahwa jika terdapat dua hadis yang tampak bertentangan, upaya harus dilakukan untuk mengkompromikan keduanya (al-jam’u) sebelum menyatakan salah satu di antaranya sebagai hadis yang di-nasakh (dihapuskan). Beliau juga memprioritaskan hadis yang diriwayatkan dengan sanad yang lebih kuat. Pendapat beliau tersebut lebih kurang juga senada dengan pendapat al-Khatib Baghdadiy.
Imam Abu Hanifah juga memiliki pendekatan dalam memahami hadis mukhtalif. Sebagai seorang ahli fikih dan mujtahid, ia sangat berhati-hati dalam menggunakan hadis yang tampak kontradiktif dan cenderung memprioritaskan hadis yang lebih kuat sanadnya dan yang lebih sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang ia yakini. Jika terjadi perbedaan, Imam Abu Hanifah juga memperhatikan hadis- hadis yang lebih sesuai dengan pemahaman umum sahabat dan ulama-ulama terpercaya.
Demikian juga halnya dengan Ibn Ash-Shalah dan Ibn Hajar al-Asqalani, telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam mengklasifikasikan dan menjelaskan hadis mukhtalif. Ibn Ash-Shalah dalam karyanya “Muqaddimah” dan Ibn Hajar al- Asqalani dalam “Nuzhat al-Nazhar” menekankan pentingnya pendekatan harmonisasi, baik dengan melakukan tarjih (menguatkan salah satu dari hadis yang
tampak bertentangan), jam’u wa at-taufiq (menggabungkan dan merekonsiliasi makna), atau pendekatan lain yang dapat menghilangkan kesan kontradiksi.
Makalah ini akan membahas konsep hadis mukhtalif menurut para ulama klasik, mengulas metode yang mereka gunakan dalam menangani hadis-hadis yang tampak bertentangan, serta mengidentifikasi implikasi pentingnya kajian hadis mukhtalif dalam kehidupan beragama umat Islam. Dengan memahami metode ini, diharapkan umat Islam dapat mendalami dan mengapresiasi hikmah di balik keragaman riwayat yang ada dalam tradisi keilmuan Islam, serta lebih berhati-hati dalam menerapkan hadis secara kontekstual sesuai kaidah yang benar..
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah disampaikan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hadis Mukhtalif dalam pandangan ulama.
2. Teori penyelesaian hadis mukhtalif menurut ulama hadis.
3. Teori penyelesaian hadis mukhtalif menurut ulama fikih.
4. Pengaruh hadis mukhtalif dalam kehidupan.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui makna Hadis Mukhtalif dalam pandangan ulama.
2. Mengetahui teori penyelesaian hadis mukhtalif menurut ulama hadis.
3. Mengetahui teori penyelesaian hadis mukhtalif menurut ulama fikih.
4. Mengetahui pengaruh hadis mukhtalif dalam kehidupan.
D. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode analisis kepustakaan, yakni pendekatan yang digunakan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mengkaji, serta melakukan komparasi masalah yang menjadi topik pembahasan makalah ini dari berbagai sumber pustaka. Tujuannya adalah untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang topik penelitian melalui berbagai sumber dan literature.
Bab II Pembahasan
Hadis Mukhtalif Dalam Perspektif Ulama Hadis
PendahuluanHadis merupakan sumber hukum Islam yang menjadi pedoman setelah AlQuran. Namun, beberapa hadis ditemukan memiliki perbedaan dalam redaksi atau kandungan maknanya. Fenomena ini dikenal sebagai hadis mukhtalif, yaitu hadis yang tampak bertentangan atau berbeda dalam makna antara satu dengan yang lain.
Salah satu fenomena dalam ilmu hadis ini menantang ulama dalam mencari pemahaman yang tepat dan metode penyelesaiannya. Penting untuk mengidentifikasi contoh hadis mukhtalif serta memahami pandangan ulama mengenai masalah ini agar umat Islam dapat lebih bijaksana dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Studi tentang hadis mukhtalif sangat penting dalam memahami metode penyelesaian perbedaan hadis dan dampaknya terhadap kehidupan umat.1
Definisi hadis mukhtalif
Secara terminologi, mukhtalif berasal dari bahasa Arab, yaitu kata “ikhtilaf”
yang berarti perbedaan atau pertentangan. Hadis mukhtalif adalah hadis yang menunjukkan adanya perbedaan atau kesan bertentangan baik secara redaksi maupun makna antar riwayatnya. Para ulama hadis mengklasifikasikan hadis ini sebagai kajian yang penting untuk memastikan kebenaran ajaran Rasulullah SAW dan memastikan keselarasan antara hukum yang diambil dari hadis tersebut.2
Ibn Ash-Shalah dalam Muqaddimah menyatakan bahwa mukhtalif al-hadith adalah hadis yang "tampaknya bertentangan satu sama lain," tetapi setelah dilakukan penelitian dan analisis, bisa diperoleh jalan keluar atau penjelasan yang menghilangkan kontradiksi yang tampak itu. Menurutnya, para ulama hadis dan fuqaha perlu melakukan kajian mendalam dalam memahami hadis mukhtalif agar tidak terjadi kekeliruan dalam mengamalkan hadis tersebut.3
1 Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu Hadis (Litera Antar Nusa, 2006).
2 Muhammad Mustafa Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (King Saud University, 1977), hal. 33.
3 Ibn Ash-Shalah, Muqaddimah Ibn Al-Salah (Dar al-Fikr, 1986), hal. 212-214.
Ibn Hajar Al-Asqalani dalam Nuzhat al-Nazhar juga membahas konsep mukhtalif al-hadith. Menurutnya, mukhtalif al-hadith adalah hadis-hadis yang nampaknya bertentangan dalam satu aspek tertentu. Para ulama berusaha menyelaraskan hadis-hadis ini, baik dengan cara men-tarjih (menguatkan salah satunya), memadukan keduanya, atau dengan metode lain yang sesuai. Dalam pandangan Ibn Hajar, mendamaikan hadis mukhtalif adalah bagian penting dari disiplin ilmu hadis, karena itu membantu umat Islam dalam memahami dan mengamalkan hadis secara akurat.4
Perbedaan antara keduanya terlihat dalam pendekatan teknis yang mereka gunakan dalam menjelaskan solusi atau cara mengharmoniskan hadis-hadis yang tampak bertentangan tersebut.
Sebab-Sebab terjadinya hadis mukhtalif
Para ulama menyebutkan beberapa sebab munculnya perbedaan atau pertentangan dalam hadis, di antaranya:
1. Perbedaan Redaksi Riwayat: Hadis yang diriwayatkan oleh perawi berbeda seringkali memiliki perbedaan dalam redaksi. Misalnya, satu hadis menggunakan kata tertentu yang sedikit berbeda dengan hadis lain, meski makna keseluruhannya mungkin sama.
2. Perbedaan Situasi atau Konteks: Nabi Muhammad SAW sering kali memberikan fatwa atau penjelasan yang sesuai dengan konteks situasi yang dihadapi. Oleh karena itu, suatu hadis yang relevan dalam satu situasi bisa jadi tidak relevan di situasi lain.
3. Perbedaan dalam Pemahaman Para Perawi: Setiap perawi hadis memiliki tingkat pemahaman yang berbedabeda. Hal ini dapat mempengaruhi cara perawi tersebut menyampaikan hadis kepada generasi berikutnya.5
Contoh-contoh hadis mukhtalif
1. Hadis mengangkat kedua tangan dalam salat.
: هِيبِأَ نْعَ ،هِلَّلا دِبْعَ نْبِمِلاسَ نْعَ ،بٍاهَشِ نْبِانْعَ ،كٍلامَ نْعَ ،ةَمَلَّسْمَ نْبِهِلَّلا دِبْعَ انَثَدِحَ
"
اذَإِوَ ،عِو كُ'رُّلَّل رُّبْ كُاذَإِوَ ،ةَلاَصَّلا حَتَتَفْا اذَإِ هِيبْكِنَمَ وَذْحَ هِيْدِيْ عُفْرُّيْ نَاكُ هِلَّلا لَوسَرَ نَأَ
.( يرَاخبْلاهاوَرَ ا9ضًيْأَ كٍلذْ كُ امَهَعَفْرَ ،عِو كُ'رُّلا نْمَهِسَأَرَعُفْرَ )
6
4 Ibn Hajar Al-Asqalaniy, Nuzhat Al-Nazhar Fi Tawdih Nukhbat Al-Fikar (Dar al-Fikr, 1999), hal.
107-109.
5 Muhammad Al-Khudari, Ushul Al-Hadits (Dar al-Kutub, 1981), hal. 67.
6 Imam Bukhari, Shahih Al-Bukhariy, Dar Thauq al-Najah, Beirut, hal 1/148, 1422.
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Maslamah, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya dalam shalat sejajar dengan kedua pundaknya apabila memulai shalat, setelah bertakbir untuk ruku`, dan apabila mengangkat kepalanya dari ruku’ beliau juga mengangkat kedua tangannya.” (HR al-Bukhâri).
Sedangkan di dalam hadis yang berasal dari Abdullah bin Mas'ud, berbunyi:
دِبْعَ نْعَ ،بٍيلَّكُ نْبِ مِصِاعَ نْعَ ،نَايفْسَ انَثَدِحَ ،دِمَحَأَ وبِأَ انَثَدِحَ ،عُينَمَ نْبِ دِمَحَأَ انَثَدِحَ
" :
مِكِبِي@لَّصِأَ لَاأَ لَاقَ هِنَعَ هِلَّلا يضِرَ دٍوعَسْمَ نْبِ هِلَّلا دِبْعَ نْعَ ،ةَمَقَلَّعَ نْعَ ،دٍوسَلأَا نْبِ نْمَحَرُّلا .( دٍوَادٍوبِأَوَ يذْمَرُّتَلاهاوَرَ 9ةَرُّمَلَاإِ هِيْدِيْعُفْرُّيْ مِلَّفْىلَّصَّفْ ؟ ) " " ﷺ هِلَّلالَوسَرَ ةَلاَصِ
Artinya: “Ahmad bin Mani' meriwayatkan kepada kami, Abu Ahmad meriwayatkan kepada kami, Sufyan meriwayatkan dari 'Ashim bin Kulaib, dari Abdurrahman bin Al-Aswad, dari Alqamah, dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu yang berkata: "Maukah kalian aku shalatkan seperti shalat Rasulullah ﷺ?" Maka beliau pun shalat, dan beliau tidak mengangkat kedua tangannya kecuali satu kali saja.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
Di sini, kontradiksi muncul dalam mengangkat tangan saat salat. Para ulama mengkombinasikan hadis-hadis tersebut dengan mengatakan bahwa mengangkat tangan adalah sunnah yang dianjurkan, namun meninggalkannya diperbolehkan.
2. Hadis membaca surat Al-Fatihah bagi makmum
Hadis tentang kewajiban membaca Al-Fatihah dalam salat
تِمَاصَّلا نْبِةَدٍابْعَ نْعَ عُيبِرُّلا نْبِدٍومَحْمَ نْعَ ،@يرُّهْ'زُّلا نْعَ ،Mبٍيعَشِ انَرُّبْخْأَ ،نَامَيلايبِأَ نْعَ
" " : :
يرَاخبْلا هاوَرَ بٍاتَكِلا ةَ حْ تِافْبِ أَرُّقَيْ مِل نْمَل ةَلاَصِ لَا ﷺ هِلَّلا لَوسَرَ لَاقَ لَاقَهِنَعَ هِلَّلا يضِرَ
. ملسمو
Artinya: “Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu al-Yaman, yang meriwayatkan dari Syu'aib, yang meriwayatkan dari az-Zuhri, yang meriwayatkan dari Mahmud bin ar-Rabi', yang meriwayatkan dari 'Ubadah bin ash-Shamit هِنَعَ هِلَّلا يضِرَ bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Tidak sah salat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim).7
7 Muhammad Zubair Siddiqi, Sahih Al-Bukhari (Dar al-Fikr, 2002), Beirut, 2002, hal. 756.
Terdapat hadis lain tentang mengikuti imam dalam salat dan mendengarkan bacaan imam
نْعَ ،ةَشَئِاعَيبِأَ نْبِىسَومَ نْعَ ،نَايفْسَ نْعَ ،Mعُي كُوَ انَثَدِحَ ،ةَبْيشِيبِأَ نْبِ رُّكِبِوبِأَ انَثَدِحَ
" : :
امَنَإِ ﷺ هِلَّلا لَوسَرَ لَاقَ لَاقَهِنَعَ هِلَّلا يضِرَ ةَرُّيْرُّهْيبِأَ نْعَ ،ةَبْتَعَ نْبِ هِلَّلا دِبْعَ نْبِ هِلَّلا دِيبْعَ
" اوتَصَّنَ أَفْ أَرُّقَ اذَإِوَ ،اوَرُّ@بْكِفْ رُّبْ كُاذَإِفْ ،هِبِ مِتِؤْيلمُامَلْإِالَعَجُ
Artinya: Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Bakr bin Abi Syaibah, yang meriwayatkan dari Waki', dari Sufyan, dari Musa bin Abi 'Aisyah, dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah, dari Abu Hurairah هِنَعَ هِلَّلا يضِرَ, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Maka jika ia bertakbir, bertakbirlah kalian; dan jika ia membaca (Al-Qur'an), diamlah kalian (dengarkanlah)." (Diriwayatkan oleh Muslim).8
3. Hadis tentang salat di waktu larangan Shalat
نْبِاهِلَّلادِبْعَ هِيبِأَنْعَ ،هِلَّلا دِبْعَ نْبِمِلاسَنْعَ ،@يرُّهْ'زُّلا نْعَ ،رُّمَعَمَ نْعَ ،قِازَّرُّلا دِبْعَ انَثَدِحَ
هِلَّلالَوسَرَ نَأَامَهَنَعَ هِلَّلايضِرَ رُّمَعَ
. :
لَاإِ ةَسْمَ خ لا هِجُرُّخْأَ نْيتِدِ جْسَلَاإِ رُّجْفْلادِعَبِ ةَلاَصِ لَا لَاقَ ﷺ
: .
رُّجْفْلايتَعَ كُرَلَاإِ رُّجْفْلاعِولَّطُ دِعَبِ ةَلاَصِلَا قِازَّرُّلا دِبْعَ ةَيْاوَرَيفْوَ يئِاسْنَلا
Artinya: “Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Az-Zuhri, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya Abdullah bin Umar—semoga Allah meridlai mereka berdua—bahwasanya Rasulullah—shalawat dan salam senantiasa tercurah kepadanya—bersabda: “Tidak ada shalat sesudah fajar kecuali dua sujud/raka’at.” Lima Imam mengeluarkannya kecuali an-Nasa`i (Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibn Majah). Dalam riwayat ‘Abdurrazzaq disebutkan: “Tidak ada shalat sesudah terbit fajar kecuali dua raka’at fajar/qabla shubuh.”9
Dalam redaksi lain hadis berbunyi:
هِلَّلا دِبْعَىلومَ رَاسْيْ نْعَ بٍيسْمَلا نْبِدِيعَسَ نْعَ ،@يرُّهْ'زُّلا نْعَ ،Mرُّمَعَمَ انَثَدِحَ ،Mمِيشَهْ انَثَدِحَ
: : :
لَا تِلَّقَ ؟تِيلَّصِ مِكُ رَاسْيْ ايْ لَاقَفْ رُّجْفْلا عُلَّطُ امَدِعَبِي@لَّصِأَ انَأَوَ رُّمَعَ نْبِاينَآرَ لَاقَ رُّمَعَ نْبِ
: :
غْ @لَّبْيل لَاأَ لَاقَفْ ةَلاَصَّلاهذْهْي@لَّصَّنَ نْ حْ نَوَانَيلَّعَ جَرُّخْ ﷺ هِلَّلالَوسَرَ نَإِتِيْرَدٍلَا لَاقَ ،يرَدٍأَ
نَاتِدِ جْسَلَاإِ حَبْ'صَّلا دِعَبِ ةَلاَصِلَا نَأَ،مِكِبْئِاغَ مِكُدِهْاشِ
8 Muhammad Fu’ad Abd Al-Baqi, Sahih Muslim (Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1991).
9 Abdur Razzaq, Al-Musannaf (al-Majlis al-Ilmi, 1995), Beirut, 1995, hal. 29, no. 4411.
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hushaym, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Sa'id bin Al-Musayyib, dari Yasaar, seorang budak (mantan budak) Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Ibn ‘Umar melihatku sedang shalat setelah terbit fajar (ba’da adzan shubuh—pen).
Lalu ia bertanya: “Wahai Yasar, berapa kali kamu shalat?” Aku menjawab: “Tidak ingat.” Ia menegur: “Kamu tidak tahu sungguh Rasulullah saw pernah ketika keluar (dari kamarnya) kepada kami dan saat itu kami sedang shalat seperti shalat ini, beliau bersabda:
“Perhatikan, hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir, bahwasanya tidak ada shalat setelah (terbit) shubuh kecuali dua raka’at (qabla shubuh).”10
Dari sababul-wurud (latar belakang kronologis) hadits ini diketahui bahwa maksud “tidak ada shalat sesudah fajar” itu adalah shalat sunat setelah adzan shubuh dan sebelum shalat shubuh, sebab adzan shubuh itu pasti dikumandangkannya sesudah terbit fajar dan dalam hadits di atas disebutkan kejadiannya sebelum shalat shubuh. Pengecualian “dua raka’at” pun diketahui maksudnya adalah dua raka’at qabla shubuh.
Para ulama seperti Imam Nawawi berpendapat bahwa pelarangan shalat pada waktu tertentu bersifat umum, sementara pengecualian dapat diberikan dalam situasi khusus atau shalat tertentu.
4. Hadis tentang hukum qunut subuh
Sebagian riwayat menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan doa qunut dalam shalat Subuh, namun ada juga riwayat lain yang tidak menyebutkan hal tersebut.
نْعَ ،@يرُّهْ'زُّلا نْعَ ،رُّمَعَمَ نْعَ ،Mمِيشَهْ انَثَدِحَ ،بٍرُّحَ نْبِنْيسْحَانَثَدِحَ ،ىيحْ يْ نْبِدِمَحْمَ انَثَدِحَ
" :
نَأَ لَاقَ هِنَعَ هِلَّلايضِرَ بٍزَّاعَ نْبِءِارُّبْلا نْعَ هِنَعَ هِلَّلايضِرَ كٍلامَ نْبِسِنَأَنَبٍيسْمَلا نْبِدِيعَسَ
.
مِلَّسْمَهاوَرَ بٍرُّغْمَلاوَ حَبْ'صَّلايفْ تِنَقَيْ نَاكُ ﷺ هِلَّلالَوسَرَ
Artinya: “Diriwayatkan dari Muhammad bin Yahya, dari Husain bin Harb, dari Husyam, dari Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Sa'id bin Al-Musayyib, dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu Rasulullah ﷺ biasa melakukan qunut pada shalat Subuh dan Maghrib."11
10 Abu Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats, Sunan Abu Dawud (Dar al-Fikr, 1995), Beirut, 1995, hal.
380. no. 1283.
11 Imam Muslim, Sahih Muslim (Dar al-Ma’rifah, 1999), Beirut, hal. 332, no. 593.
Dalam bentuk redaksi lain hadis berbunyi:
Imam Syafi’i menyarankan pelaksanaan qunut pada shalat Subuh, sementara Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa qunut bukanlah bagian dari shalat Subuh
،هِنَعَ هِلَّلايضِرَ سٍابْعَنْبِانْعَ ،رُّيبْجُ نْبِدِيعَسَ نْعَ ،Mرُّيْرُّجُ انَثَدِحَ ،هِيْوهْارَ نْبِقِاحْسَإِانَثَدِحَ
" :
نَامَثْعُو رَمَعُو رٍكْبَ يبِأَو ﷺ هِلَّلا لِوسُرَ فَلْخَ تَيْلْصَ دْقَ كَنَّ /إِ تِبَأَ ايَ لِاقَ رٍيْبَجُ نِبْ دْيْعِسُ نْعُ
". Mثٌدِ حْمَ ينَبِايْ لَاقَ؟نَوتَنَقَيْ اونَاكُأَ ،نْينَسَ سِمَخْنْمَا9بْيْرُّقَ ةَفْوكِلابِانَهْ اهْ gيلَّعَوَ :
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Isyaq bin Rahawaih, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, dari Sa'id bin Jubair, ia berkata: 'Wahai ayahku, sesungguhnya engkau telah shalat di belakang Rasulullah ﷺ, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali di sini di Kufa hampir lima tahun. Apakah mereka melakukan qunut? Ia menjawab: Wahai anakku, itu adalah perkara yang diada-adakan (muhdath).”12
Pendapat para ulama hadis tentang hadis mukhtalif
Pembahasan mengenai hadis mukhtalif, yakni hadis-hadis yang tampak memiliki perbedaan atau pertentangan dalam makna atau kandungannya, menjadi penting dalam ilmu hadis. Ulama hadis klasik, seperti Ibn Hibban, AlBaihaqi, dan Ibn Hajar alAsqalani, memiliki kontribusi besar dalam mengkaji dan menyelesaikan perbedaan dalam hadis mukhtalif. Setiap ulama memiliki pendekatan khusus dalam memahami dan menafsirkan hadis-hadis yang terlihat bertentangan, serta menyusun metode untuk memecahkannya.
1. Hadis Mukhtalif Menurut Ibn Hibban
Ibn Hibban (w. 965 M), seorang ahli hadis besar, memberikan perhatian khusus terhadap hadis mukhtalif. Dalam karyanya, Sahih Ibn Hibban, ia meneliti secara teliti sanad dan matan hadis untuk mengidentifikasi serta mengklarifikasi hadishadis yang terlihat bertentangan. Ibn Hibban menekankan pentingnya memperhatikan konteks serta kredibilitas perawi hadis sebagai salah satu cara menyelesaikan pertentangan.
Dalam Kitab al Taqasim wa al Anwa’, Ibn Hibban membagi hadis berdasarkan kategori untuk memudahkan pemahaman terhadap hadis-hadis yang tampak bertentangan. Pendekatan ini membantu para pembaca memahami bahwa tidak semua hadis yang tampak bertentangan benarbenar memiliki kontradiksi nyata. Menurutnya,
12 Abu Dawaud Al-Asy’ats, Sunan Abu Dawud, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, hal. 432, no.1302.
hadis mukhtalif dapat dipahami dengan lebih baik jika konteks, maksud, dan tujuan hadis tersebut diperhatikan.13
2. Hadis Mukhtalif Menurut AlBaihaqi
AlBaihaqi (w. 1066 M) juga memiliki perhatian mendalam terhadap hadis mukhtalif. Dalam karyanya Sunan alKubra, AlBaihaqi menyajikan banyak hadis yang tampak bertentangan dan mencoba memberikan solusi untuk mengharmonisasikannya. Ia menggunakan pendekatan aljam'u wa attaufiq (menggabungkan dan mendamaikan) sebagai metode utama. AlBaihaqi juga sangat mengutamakan konteks historis dan situasional yang melatar-belakangi hadishadis tersebut.
Dalam Sunan alKubra, AlBaihaqi sering kali memberikan komentar yang menunjukkan bagaimana satu hadis dapat dipahami bersama hadis lain dengan cara melihat tujuan dan kondisi saat hadis tersebut disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. AlBaihaqi juga mengakui bahwa pada beberapa kasus, ada hadis yang mengalami naskh (pembatalan) oleh hadis yang datang kemudian, sebagai salah satu cara untuk mengatasi pertentangan.14
3. Hadis Mukhtalif menurut Ibn Hajar alAsqalani
Ibn Hajar alAsqalani (w. 1449 M), seorang ahli hadis terkemuka, memberikan perhatian besar terhadap hadis mukhtalif dalam karyanya Fath alBari, yang merupakan penjelasan dari Sahih Bukhari. Ibn Hajar banyak menggunakan metode tarjih, yaitu memilih hadis yang lebih kuat dalam hal sanad dan matan jika dua hadis tampak bertentangan. Namun, ia juga sangat mengedepankan pendekatan harmonisasi atau aljam'u wa attaufiq.
Ibn Hajar menjelaskan bahwa dalam kasus-kasus tertentu, pertentangan yang tampak antara hadis-hadis tersebut sebenarnya bisa diharmonisasikan dengan memperhatikan aspekaspek kebahasaan, konteks, dan maksud Rasulullah SAW. Ia memberikan contoh bahwa beberapa hadis tentang larangan shalat pada waktu tertentu bisa dijelaskan lebih rinci dengan hadis lain yang menunjukkan pengecualian dalam situasi tertentu.
Misalnya, dalam kasus hadis tentang larangan shalat setelah Ashar hingga matahari terbenam, Ibn Hajar mengutip hadis yang menunjukkan bahwa Nabi kadang melakukan shalat pada waktu tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa larangan itu tidak
13 Ibn Hibban, Sahih Ibn Hibban, Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1988, hal 33.
14 Al-Baihaqiy, Sunan Al-Kubra, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1994, hal. 212.
bersifat mutlak. Dengan mengkaji sanad, matan, dan latar belakang hadis, Ibn Hajar berhasil menyelesaikan pertentangan yang ada.15
Berbagai ulama fikih memberikan pandangan terkait hadis mukhtalif:
1. Imam Syafi’i: Beliau memberikan perhatian yang sangat besar terhadap masalah mukhtalif hadis. Dalam kitab Risalah, Syafi’i menjelaskan bahwa sebagian besar perbedaan dalam hadis dapat diselesaikan dengan memperhatikan sanad dan matan hadis. Menurut beliau, hadis yang tampak bertentangan seharusnya dianalisis secara mendalam untuk memahami konteks dan maksud Rasulullah SAW.16
2. Imam Ahmad bin Hanbal: Ulama ini menyarankan untuk merujuk pada hadis yang lebih kuat sanadnya atau menggunakan metode tarjih untuk memilih hadis yang lebih dapat diandalkan. 17
3. Al-Khatib al-Baghdadi: Dalam alKifayah fi Ilm alRiwayah, AlKhatib alBaghdadi menyatakan bahwa tidak semua hadis yang tampak bertentangan benarbenar bertentangan. Ia menjelaskan pentingnya metode penyelesaian hadis mukhtalif yang didasarkan pada pemahaman konteks dan memperhatikan latar belakang hadis tersebut.18
Menurut Jonathan A.C. Brown, dalam bukunya Misquoting Muhammad, ia menyatakan bahwa perbedaan dalam hadis mukhtalif sering kali terjadi karena proses penyalinan yang panjang dan pengaruh politik serta sosial yang mempengaruhi interpretasi hadis. Brown menyarankan bahwa hadis-hadis tersebut perlu dipahami melalui konteks historisnya.19
Metode pemecahan hadis mukhtalif
Para ulama mengembangkan metode-metode untuk menyelesaikan perbedaan dalam hadis mukhtalif, antara lain:
1. Metode al Jam'u wa al Taufiq: Metode ini menggabungkan dan mendamaikan antara dua hadis yang terlihat bertentangan dengan mencari pemahaman yang menyeluruh. Misalnya, hadis tentang larangan shalat setelah Subuh dapat
15 Ibn Hajar Al-Asqalaniy, Fath Al-Bariy, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1959, hal. 312.
16 Imam Syafii, Al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1993, hal.120.
17 Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Dar al-Risalah, Beirut, 2001, hal.210.
18 Al-Khatib Al-Baghdadiy, Al-Kifayah Fi Ilm Al-Riwayah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1997, hal. 98.
19 Jonathan A.C Brown, Misquoting Muhammad, Oneworld Publications, 2014, hal 127.
diselaraskan dengan hadis lain yang membolehkan shalat sunnah di pagi hari jika diartikan sebagai pengecualian dalam situasi tertentu.20
2. Metode al Tarjih: Dalam hal tidak mungkin mendamaikan dua hadis, ulama menggunakan metode tarjih, yaitu memilih hadis yang lebih kuat dari segi sanad atau matan. Tarjih juga memperhatikan kredibilitas perawi untuk memastikan hadis yang lebih dapat dipercaya.
3. Metode al Naskh: Pada kasus tertentu, satu hadis dianggap telah dihapus oleh hadis yang datang kemudian. Sebagai contoh, hadis tentang konsumsi daging hewan yang ditemukan mati karena tenggelam dianggap dibatalkan oleh hadis yang melarang mengonsumsi bangkai.21
4. Tahqiq Manath (Memahami Penyebab atau Latar Belakang Hadis): Beberapa hadis yang tampak bertentangan dapat diselesaikan dengan memahami situasi atau sebab yang melatar-belakangi hadis tersebut.22
Keempat metode tersebut dalam rangka penyelarasan hadis-hadis yang terlihat kontradiktif dapat dipakai untuk menemukan titik terang atas hadis sahih yang sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. Dengan upaya para ulama dalam menjelaskan status sebuah hadis yang diinginkan atau dibutuhkan melalui metode-metode di atas dapat memberikan jalan terang dan solusi serta dalam di waktu yang sama menjadi sebagai jawaban terhadap kesangsian orang yang meragukan atau tidak percaya akan hadis Nabi SAW, dan sekaligus memberikan keyakinan yang bertambah atas orang Islam akan kesahihan hadis yang dipandang pada awal mulanya saling bertentangan atau tidak ada kesamaan antara satu hadis dengan hadis lainnya.
Pengaruh hadis mukhtalif dalam kehidupan umat Islam
Pemahaman yang tepat terhadap hadis mukhtalif memberikan dampak yang besar terhadap kehidupan umat Islam, baik dalam hal ibadah, muamalah, maupun akhlak. Beberapa pengaruhnya adalah sebagai berikut:
1. Melalui penyelesaian perbedaan dalam hadis mukhtalif, ulama dapat menetapkan hukum yang lebih konsisten dan sesuai dengan kondisi zaman. Misalnya, perbedaan dalam fiqih shalat, puasa, atau zakat sering kali didasarkan pada pemahaman yang lebih dalam dari perbedaan hadis tersebut.
20 Ibn Hajar Al-Asqalaniy, Fath Al-Bariy, Dar al-Fikr, Beirut, 1998, hal.312.
21 Muhaammad Abdul Baqi Al-Zurqaniy, Manahil Al’Irfan Fi Ulum Al-Quran, Dar al-Fikr, Beirut, 1997, hal.144.
22 Azami, Muhammad Mustafa. Studies in Hadith Methodology and Literature, Riyadh: King Saud University, 1977, hlm. 100.
2. Hadis mukhtalif mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dan penuh pertimbangan. Hal ini membangun kedewasaan umat dalam memahami ajaran agama yang tidak selalu bersifat kaku dan absolut.
3. Adanya perbedaan dalam memahami hadis mukhtalif mendorong umat Islam untuk lebih toleran terhadap perbedaan pandangan yang berlandaskan pada ijtihad ulama.
Toleransi ini sangat penting dalam menjaga persatuan umat Islam di tengah keragaman mazhab.
4. Hadis mukhtalif memberikan umat Islam pilihan dalam beberapa hal ibadah yang tidak mengikat. Misalnya, pelaksanaan qunut dalam shalat Subuh yang memiliki perbedaan pandangan antara mazhab Syafi’i dan mazhab lainnya.23
Kesimpulan
Hadis mukhtalif adalah fenomena yang kompleks namun sangat penting dalam kajian ilmu hadis. Melalui pemahaman dan metode penyelesaian hadis mukhtalif, para ulama mampu menjaga keseimbangan dalam ajaran Islam dan memberikan pedoman yang relevan bagi umat. Pemahaman yang mendalam tentang hadis mukhtalif mendorong umat Islam untuk lebih terbuka dan toleran dalam beragama, serta mempermudah adaptasi ajaran Islam dalam konteks kehidupan modern.
Kajian tentang hadis mukhtalif sangat penting dalam studi hadis karena mampu menjembatani perbedaan pemahaman yang muncul di kalangan umat Islam. Dengan memahami metode penyelesaian hadis mukhtalif seperti aljam'u wa attaufiq, attarjih, dan annaskh, umat Islam dapat memperoleh pandangan yang lebih seimbang dan moderat dalam beragama. Selain itu, pemahaman terhadap hadis mukhtalif juga membantu meningkatkan toleransi dan kedewasaan umat dalam menyikapi perbedaan pandangan, sehingga ajaran Islam dapat diterapkan dengan relevan dalam kehidupan sehari-hari.
Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Ibn Hibban, Al-Baihaqi, dan Ibn Hajar alAsqalani, al-Khatib al-Baghdadiy dan ulama lainnya sangat berperan penting dalam mengkaji hadis mukhtalif dan mengembangkan metode untuk menyelesaikan perbedaan yang ada. Ibn Hibban menekankan pentingnya kategori dan konteks dalam memahami hadis. AlBaihaqi banyak menggunakan pendekatan harmonisasi dan pembatalan untuk menjelaskan perbedaan, sedangkan Ibn Hajar mengedepankan pendekatan tarjih dan harmonisasi. Ketiga ulama ini memberikan landasan yang kuat
23 Al-Nawawiy, Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim, Dar al-Fikr, Beirut, 1995, hal. 45.
bagi perkembangan ilmu hadis, khususnya dalam menyikapi perbedaan dan pertentangan dalam hadis mukhtalif.
Saran
Untuk menambah pemahaman yang lebih baik tentang hadis mukhtalif, disarankan bagi setiap penuntut ilmu khususnya pelajar ilmu hadis untuk:
1. Memahami hadis mukhtalif melalui pendekatan kontekstual sangat penting untuk mendapatkan pemahaman yang relevan dengan situasi sosial dan budaya saat ini.
2. Memperkuat pemahaman tentang ilmu takhrij dan jarh wa ta’dil sangat membantu dalam menentukan kualitas dan keabsahan hadis, terutama dalam menghadapi hadishadis yang tampak bertentangan.
3. Pendekatan seperti yang digunakan Imam Syafi’i dan Imam Nawawi dalam menyelesaikan hadis mukhtalif menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan tidak ekstrem dalam memahami ajaran Islam.
Daftar Pustaka
Al-Asqalaniy, Ibn Hajar, Fath Al-Bariy (Dar al-Ma’rifah, 1998)
———, Fath Al-Bariy (Dar al-Fikr, 1998)
———, Nuzhat Al-Nazhar Fi Tawdih Nukhbat Al-Fikar (Dar al-Fikr, 1999) Al-Asy’ats, Abu Dawud Sulaiman bin, Sunan Abu Dawud (Dar al-Fikr, 1995) Al-Baghdadiy, Al-Khatib, Al-Kifayah Fi Ilm Al-Riwayah (Dar al-Kutub al-
Ilmiyah)
Al-Baihaqiy, Sunan Al-Kubra (Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994)
Al-Baqi, Muhammad Fu’ad Abd, Sahih Muslim (Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1991)
Al-Khudari, Muhammad, Ushul Al-Hadits (Dar al-Kutub, 1981) Al-Nawawiy, Al-Minhaj Syarh Sahih Muslim (Dar al-Fikr, 1995) Al-Qattan, Manna Khalil, Studi Ilmu Hadis (Litera Antar Nusa, 2006)
Al-Zurqaniy, Muhaammad Abdul Baqi, Manahil Al’Irfan Fi Ulum Al-Quran (Dar al-Fikr, 1997)
Ash-Shalah, Ibn, Muqaddimah Ibn Al-Salah (Dar al-Fikr, 1986)
Azami, Muhammad Mustafa, Studies in Hadith Methodology and Literature (King Saud University, 1977)
Brown, Jonathan A.C, Misquoting Muhammad (Oneworld Publications, 2014) Hanbal, Imam Ahmad bin, Musnad Ahmad (Dar al-Risalah)
Hibban, Ibn, Sahih Ibn Hibban (Muassasah ar-Risalah, 1988)
Imam Bukhari, Shahih Al-Bukhariy, 1st edn (Dar Thauq al-Najah, 1422) Muslim, Imam, Sahih Muslim (Dar al-Ma’rifah, 1999)
Razzaq, Abdur, Al-Musannaf (Al-Majlis al-Ilmi, 1995)
Siddiqi, Muhammad Zubair, Sahih Al-Bukhari (Dar al-Fikr, 2002) Syafii, Imam, Al-Risalah (Dar al-Kutub al-Ilmiyah)