• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL EKONOMI DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA

N/A
N/A
Gemilang Makmur .P

Academic year: 2023

Membagikan "HUBUNGAN FAKTOR SOSIAL EKONOMI DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rumusan Masalah

Tujuan Penelitian

  • Tujuan Umum
  • Tujuan Khusus

Manfaat Penelitian

  • Manfaat Teoritis
  • Manfaat Praktis

TINJAUAN PUSTAKA

Stunting

  • Definisi Stunting
  • Tanda Stunting
  • Diagnosis Stunting
  • Epidemiologi Stunting
  • Dampak Stunting
  • Upaya Pencegahan Stunting
  • Faktor-faktor yang berhubungan dengan Stunting

Jika hal ini dilakukan, maka stunting pada anak dan status gizi buruk dapat dicegah (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015). Stunting dapat didiagnosis dengan menggunakan indeks antropometri tinggi badan atau tinggi badan tergantung pada usia, yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada periode prenatal dan postnatal dengan bukti malnutrisi jangka panjang karena gizi dan/atau kesehatan yang tidak memadai (Kementerian van Dorpen, Pembangunan Daerah Tertinggal dan transmigrasi, 2018). Normal, pendek, dan sangat pendek adalah status gizi berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U), yang setara dengan istilah stunting (pendek) dan stunting berat (sangat pendek).

Sedangkan data Dinas Kesehatan Kota Semarang menunjukkan hasil pemantauan status gizi berdasarkan indikator PB/U atau TB/U, prevalensi stunting di Kota Semarang sebesar 20,37%. Prevalensi status gizi balita stunting yaitu kelompok umur 48-59 bulan sebesar 22% dan kelompok umur 0-5 bulan paling rendah sebesar 10,8%. Proses stunting disebabkan oleh kurangnya asupan nutrisi dan infeksi yang berulang sehingga mengakibatkan terhambatnya perkembangan fungsi kognitif dan kerusakan kognitif.

Penyediaan ramuan dan menu yang sesuai untuk kanak-kanak bawah lima tahun dalam usaha meningkatkan status pemakanan mereka tercapai sekiranya ibu mempunyai tahap pengetahuan pemakanan yang baik. Orang yang mempunyai pengetahuan pemakanan yang baik akan mempunyai keupayaan untuk mengaplikasikan pengetahuan pemakanan dalam pemilihan dan pemprosesan makanan supaya pengambilan boleh dijangkakan.

Tabel  2.1.  Kategori  dan  Ambang  Batas  Status  Gizi  Anak  Berdasarkan Indeks
Tabel 2.1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

Status Sosial Ekonomi

Kondisi sosial ekonomi masyarakat merupakan upaya bersama dalam suatu masyarakat untuk mengatasi atau mengurangi permasalahan kehidupan, dengan lima parameter yang dapat digunakan yaitu umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dan tingkat pendapatan (Rizal, 2021). Pendapatan adalah sejumlah pendapatan yang diterima pekerja selama jangka waktu tertentu sebagai imbalan atas usaha yang dilakukannya untuk ikut serta dalam pembentukan produk nasional. Pendapatan adalah uang yang diterima seseorang dan perusahaan dalam bentuk gaji, upah, sewa, bunga dan keuntungan, termasuk berbagai tunjangan, seperti kesehatan dan pensiun (Burhanudin et al., 2016).

Pendapatan berupa barang adalah segala pendapatan yang bersifat biasa dan biasa saja, yang diterima dalam bentuk barang dan jasa. Pendapatan yang dikecualikan adalah penerimaan yang merupakan transfer redistributif dan biasanya mengubah keuangan rumah tangga. Pendapatan keluarga adalah jumlah pendapatan riil seluruh anggota rumah tangga, yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan kolektif dan individu dalam rumah tangga.

Pendapatan rumah tangga adalah imbalan atas pekerjaan atau jasa atau imbalan yang diterima karena kontribusi yang diberikan dalam kegiatan produktif. Pendapatan keluarga dan daya beli makanan bergizi Tingkat pendapatan yang tinggi memberikan pilihan yang lebih tinggi bagi keluarga dalam memilih bahan makanan baik jumlah maupun jenisnya. Besarnya pendapatan keluarga dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga, karena pendapatan akan mencukupi kebutuhan pangan sesuai dengan daya beli.

Daya beli suatu keluarga tidak hanya ditentukan oleh pendapatan satu orang saja, melainkan seluruh anggota keluarga yang bekerja (Sumarwan, 2002). Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan dalam suatu rumah tangga, baik anak, saudara kandung maupun bukan saudara kandung yang tinggal serumah dan tidak bekerja. Anak dengan pendapatan keluarga rendah mempunyai risiko terjadinya stunting 8,5 kali dibandingkan anak dengan pendapatan keluarga tinggi dengan nilai p <0,25.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Irviani dan Ratih di Kota Makassar pada tahun 2014, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendapatan dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 tahun dengan nilai p=0,599. Anak tunagrahita yang mengalami perkembangan kognitif normal sangat dipengaruhi oleh orang tua yang memberikan insentif khusus berupa dukungan pendidikan anak usia dini dan penyediaan fasilitas mainan untuk menunjang perkembangan anaknya khususnya perkembangan kognitif (Diah et al., 2019). 5 (45,4%) balita yang mengalami gizi buruk mengalami kekurangan energi yang parah (Khusna et al., 2017).

Gambar 2.3. Persentase pengeluaran pangan penduduk Indonesia  berdasarkan tempat tinggal
Gambar 2.3. Persentase pengeluaran pangan penduduk Indonesia berdasarkan tempat tinggal

Kerangka Konsep

Hipotesis Penelitian

METODE PENELITIAN

  • Jenis Penelitian
  • Variabel dan Definisi Operasional
    • Variabel Penelitian
    • Definisi operasional
  • Populasi dan Sampel
    • Populasi
    • Sampel
    • Kriteria Inklusi dan Eksklusi
    • Teknik Sampling
  • Alat dan Bahan Penelitian
  • Cara Penelitian
    • Perencanaan
    • Perijinan
    • Pelaksanaan Penelitian
  • Tahap Pengolahan Data
  • Alur Penelitian
  • Tempat dan Waktu Penelitian
    • Tempat Penelitian
    • Waktu Penelitian
  • Analisa Hasil

Penelitian hubungan faktor sosial dengan prevalensi stunting pada anak usia dini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo Semarang. Angka kejadian penyakit penghambat dan non penghambat pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo Semarang sebanyak 63 (50,0%). Hubungan Faktor Sosial Ekonomi Dengan Prevalensi Stunting Pada Balita Usia 12-59 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Bandarharjo Semarang.

Pendidikan ibu juga tidak berhubungan dengan prevalensi stunting (p=0,369), namun pekerjaan ibu berhubungan dengan prevalensi stunting (p=0,020). Prevalensi stunting pada kelompok ibu tidak bekerja (79,4%) lebih rendah dibandingkan prevalensi stunting pada kelompok ibu bekerja (20,6%). Pendapatan keluarga juga berhubungan dengan prevalensi stunting (p=0,011), prevalensi stunting pada keluarga dengan pendapatan di bawah UMR (69,8%) dibandingkan pada keluarga dengan pendapatan di atas UMR (30,2%).

Banyaknya anggota keluarga yang tinggal dalam 1 (satu) rumah juga menjadi faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting. Analisis multivariat faktor-faktor yang berhubungan dengan stunting pada balita usia 12 sampai 59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo Semarang. Faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia 12 sampai 59 bulan pada balita usia 12 sampai 59 bulan.

Pendidikan ayah tidak berhubungan dengan kejadian stunting pada bayi usia 12-59 bulan di Puskesmas Bandarharjo Semarang (p=0,722). Pekerjaan ibu ditemukan berhubungan dengan kejadian Studi Studi (p=0,020), dimana kejadian Studi Studi pada ibu yang tidak bekerja lebih tinggi (79,4%) dibandingkan dengan kejadian Studi Studi pada ibu bekerja (20,6%) . Pekerjaan ibu dalam penelitian Ramadhani dkk. 2019) juga tidak berhubungan dengan kejadian stunting pada balita.

Hubungan Pendapatan Keluarga dengan Kejadian Stunting Pendapatan keluarga berhubungan dengan kejadian stunting pada penelitian ini (p=0,019). Angka kejadian stunting pada balita usia 12 sampai 59 bulan pada keluarga dengan 1 (satu) balita lebih tinggi 6,136 kali dibandingkan pada keluarga dengan 1 (satu) balita. Angka kejadian stunting pada balita usia 12 sampai 59 bulan di wilayah operasi Puskesmas Bandarharjo Semarang sebesar 7,6% (294 dari 3075 balita).

Tabel 3.1. Penetapan jumlah sampel   Kelurahan   Sub populasi balita
Tabel 3.1. Penetapan jumlah sampel Kelurahan Sub populasi balita

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

  • Gambaran Karakteristik Balita
  • Gambaran faktor sosial ekonomi

Gambaran prevalensi stunting pada responden usia 12-59 bulan di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo Semarang dapat dilihat pada Tabel 4.3. Hubungan faktor sosial ekonomi dengan prevalensi stunting Hubungan faktor sosial ekonomi dengan prevalensi stunting disajikan pada Tabel 4.4. Uji chi-square diperoleh nilai p=0,681 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa jenis pekerjaan ayah tidak berhubungan dengan prevalensi stunting.

Jumlah bayi yang dirawat juga berhubungan dengan kejadian Penelitian (p=0.001), anak stunting dari keluarga dengan 1 bayi 81% lebih tinggi dibandingkan anak stunting dari keluarga dengan >1 bayi. Pekerjaan ayah juga tidak berhubungan dengan kejadian stunting (p=0,681), hasil serupa juga ditunjukkan pada penelitian Ramadhani dkk. Angka kejadian stunting pada anak kecil dengan pendapatan keluarga di bawah atau sama dengan upah minimum lebih tinggi (69,8%) dibandingkan dengan kejadian stunting pada balita yang berasal dari keluarga dengan pendapatan sama dengan atau di atas upah minimum (30,2%).

Hubungan Jumlah Anggota Keluarga dengan Kejadian Stunting Jumlah anggota keluarga dalam satu rumah berhubungan dengan kejadian stunting (p=0,000). Hasil hubungan jumlah anggota keluarga dengan kejadian stunting pada penelitian ini bertentangan dengan teori dan juga temuan berbagai penelitian. 2020) juga melaporkan hasil serupa yaitu jumlah keluarga dalam 1 (satu) rumah tidak berhubungan dengan kejadian stunting.

Angka kejadian stunting pada keluarga dengan 1 balita (81,0%) lebih tinggi dibandingkan dengan kejadian stunting pada keluarga dengan > 1 balita. Pekerjaan ibu, pendapatan keluarga, jumlah anggota keluarga, dan jumlah balita yang diasuh berhubungan dengan kejadian stunting pada balita umur 12 sampai 59 bulan di Puskesmas Bandarharjo Semarang, sedangkan pendidikan orang tua, pekerjaan ayah, dan status perkawinan mempunyai hubungan yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita usia 12 sampai 59 bulan di Puskesmas Bandarharjo Semarang. tidak berhubungan. Faktor sosiodemografi dan tinggi badan orang tua serta hubungannya dengan kejadian stunting pada balita usia 6 sampai 23 bulan.

2012 'Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia 25-60 Bulan Di Kelurahan Kalibiru Depok Tahun 2012', [Skripsi], Universitas Indonesia, Jakarta. Hubungan pengetahuan gizi ibu dengan kejadian stunting pada balita di Desa Buhu Kecamatan Talaga Jaya Kabupaten Gorontalo. Hubungan kebersihan lingkungan rumah tangga dengan kejadian stunting pada balita di Puskesmas Wonomulyo Kabupaten Polewali Mandar Tahun 2019.

Tabel  4.1.  Gambaran  Karakteristik  Balita  Usia  12-59  Bulan  di  Wilayah Kerja Puskesmas Bandarharjo Semarang
Tabel 4.1. Gambaran Karakteristik Balita Usia 12-59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Bandarharjo Semarang

Pembahasan

  • Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Stunting
  • Keterbatasan dan Kendala Penelitian

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Gambaran tingkat sosial ekonomi penduduk di wilayah kerja Puskesmas Bandarharjo Semarang adalah tingkat pendidikan orang tua relatif tinggi, pendapatan keluarga dibawah UMR, ayah bekerja dengan gaji tetap, ibu bekerja. tidak bekerja, berkeluarga kecil, mengasuh 1 anak kecil dan berstatus perkawinan lengkap.

Saran

Hubungan sosial ekonomi, pola asuh orang tua, pola makan dengan pertumbuhan stunting pada siswa sekolah dasar di Kecamatan Lut Tawar Kabupaten Aceh Tengah. Hubungan Pendidikan Ibu dan Tingkat Pendapatan Rumah Tangga dengan Status Gizi Anak Prasekolah dan Sekolah Dasar di Kecamatan Godean, Jurnal Kesehatan Masyarakat. Indeks Kesehatan Lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas Bandarharjo Kota Semarang', Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-Journal), 4(4), hal.

Pemodelan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Anak Prasekolah Handicapped di Provinsi Jawa Timur dengan Menggunakan Regresi Biner Probit. Faktor penentu sosioekonomi rumah tangga terhadap balita stunting di Indonesia: Analisis data Indonesia Family Life Survey (IFLS) 2014. Buku Pedoman Pengerdil Desa dalam Mengatasi Dwarfisme', Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Jakarta.

Faktor Risiko Stunting Pada Anak Usia 6-24 Bulan Di Kecamatan Penanggalan Kota Subulussalam Provinsi Aceh', Jurnal Gizi Indonesia: Jurnal Gizi Indonesia, 3(1), hal. Hubungan Penerapan Peran Keluarga Dengan Stunting Pada Balita Di Kecamatan Arjasa Jember Pola Asuh Dan Pola Makan Sebagai Faktor Risiko Stunting Pada Balita Usia 6-24 Bulan, Papua Dan Non Papua.

Gambar

Tabel 3.1.   Penetapan jumlah sampel .................................................................
Tabel  2.1.  Kategori  dan  Ambang  Batas  Status  Gizi  Anak  Berdasarkan Indeks
Gambar 2.1. Prevalensi di Indonesia  Sumber: Pemantauan Status Gizi (2017)
Gambar 2.2. Proporsi Status Gizi Menurut Provinsi, Indonesia 2013- 2013-2018
+7

Referensi

Dokumen terkait

“Hubungan kejadian stunting dengan frekuensi penyakit ISPA dan diare pada balita usia 12-48 bulan di wilayah kerja Puskesmas Gilingan Surakarta,” Univ.. Muhammadiyah Surakarta,