Jurnal Kesehatan Vol 11 No. 1– P-ISSN : 2338-7823 E-ISSN : 2747-0253
Page | 60 Health Journal “Love That Renews”
Halaman Jurnal: https://journal.stikesborromeus.ac.id/index.php/jks Halaman Utama Jurnal : https://journal.stikesborromeus.ac.id/index.php/
HUBUNGAN KESIAPSIAGAAN BENCANA GEMPA BUMI DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA SISWA/I KELAS 9
SMPN 1 WARUNGKONDANG
Nazla Hilaby1, Hery Prayitno2*, Dinny Ria Pertiwi3
1,2,3
Prodi Sarjana Ilmu Keperawatan, STIKes Dharma Husada, email: [email protected]
ABSTRAK
Gempa bumi merupakan bencana alam yang tidak dapat dicegah dan tidak dapat diperkirakan secara akurat pusat lokasinya, waktu terjadinya, dan kekuatannya. Bencana gempa bumi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya perasaan cemas. kesiapsiagaan terhadap bencana menjadi salah satu upaya penanggulangan bencana yang dapat mengurangi risiko kerugian dan korban jiwa di sebabkan oleh bencana.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adakah hubungan kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur. Jenis penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain deskriptif korelasi melalui pendekatan cross-sectional dengan sampel sebanyak 78 responden dengan teknik stratified random sampling Instrumen yang digunakan adalah kuesioner Kesiapsiagaan dan Kuesioner Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS). Hasil analisa bivariat menunjukkan nilai p- value 0,029 < 0,05 yang. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan antara kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur. Maka disarankan bagi pihak sekolah SMPN 1 Warungkondang Kab.
Cianjur diperlukan upaya peningkatan kesiapsiagaan dengan melakukan penyuluhan tentang kesiapsiagaan bencana alam sehingga terbentuknya siswa/i yang tanggap bencana.
Kata Kunci: Kesiapsiagaan, Bencana Gempa Bumi, Kecemasan
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang rawan terhadap berbagai bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung merapi, tanah longsor dan lain-lain, karena terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama yaitu lempeng Eurasia, Indo- Australia dan lempeng Pasifik (Seja & Hermiasih, 2022). Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU RI No. 24 tahun 2007).
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2022, terdapat 3.494 peristiwa bencana alam di Indonesia sejak awal tahun hingga 29 Desember 2022. Bencana alam yang paling sering terjadi adalah banjir, yakni 1.506 kejadian. Jumlah itu setara 43,1% dari total kejadian bencana secara nasional. Berikutnya ada 1.045 kejadian cuaca ekstrem, 633 kejadian tanah longsor, 251 kebakaran hutan dan lahan (karhutla), 28 kejadian gempa bumi, 26 kejadian gelombang pasang/abrasi, serta 4 kejadian kekeringan.
Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 61 Provinsi yang paling sering mengalami bencana alam tahun 2022 adalah Jawa barat, yakni 817 kejadian. Selanjutnya Jawa Tengah dan Jawa Timur masing- masing 477 dan 396 kejadian. Seluruh kejadian bencana itu membuat lebih dari 5,38 juta orang menderita dan mengungsi, 851 orang meninggal dunia, 8.725 orang luka-luka, dan 46 orang hilang. Bencana tersebut juga mengakibatkan 94.661 rumah rusak, dengan rincian 19.928 rumah rusak berat, 22.974 rusak sedang, dan 51.759 rusak ringan. Kemudian 1.977 fasilitas umum mengalami kerusakan, terdiri dari 1.238 Fasilitas Pendidikan, 645 Fasilitas Peribadatan, dan 94 Fasilitas Kesehatan (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2022).
Salah satu bencana yang sering terjadi adalah gempa bumi. Gempa bumi merupakan bencana alam yang tidak dapat dicegah dan tidak dapat diperkirakan secara akurat pusat lokasinya, waktu terjadinya, dan kekuatannya. Penyebab gempa bumi dapat berupa aktivitas gunung api, dinamika bumi (tektonik), longsoran di bawah permukaan air laut, ledakan bom nuklir di bawah permukaan bumi, hal ini membuat manusia ingin meningkatkan kemampuan dalam menghadapi suatu bencana yang biasa disebut dengan kesiapsiagaan (Hermawan & Wardhani, 2022). Pada tanggal 21 November 2022, telah terjadi gempa bumi di daerah Cianjur, Jawa barat. Gempa bumi yang terjadi pada tanggal 21 November 2022 itu sangat menyisakan duka yang mendalam bagi para korban. Kejadian bencana yang diakibatkan oleh gempa dengan kekuatan yang cukup besar yaitu 5,6 SR ini disebabkan oleh banyaknya warga yang masih beraktivitas di dalam rumah maupun sekolah dan juga disebabkan oleh struktur bangunan yang tidak tahan gempa yang menyebabkan banyak rumah dan bangunan lainnya yang roboh (Supendi et al.,2022).
Selain dampak material, adanya bencana gempa bumi ini menyebabkan dampak psikologis yang bervariasi, kepanikan saat gempa bumi menyebabkan kegagalan untuk melarikan diri. Kerugian secara material juga menimbulkan dampak psikologis seperti kebingungan, kesedihan, keputusasaan, kecemasan, dan depresi (Krisnanto 2019, dalam Ernawati, 2022). Korban gempa tidak hanya mengalami masalah darurat seperti pembangunan, makanan, kondisi fisik akibat gempa namun juga masalah kesehatan mental.
Trauma psikologis setelah bencana alam akan semakin memperburuk kondisi atau masalah psikologis yang telah ada sebelum gempa bumi terjadi (Dwidiyanti, 2018, dalam Ernawati ,2022).
Sebagian besar populasi korban bencana tetap memiliki reaksi psikologis yang normal, sekitar 15- 20% akan mengalami gangguan mental ringan atau sedang yang merujuk pada kondisi Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), sementara 3-4% akan mengalami gangguan berat seperti psikosis, kecemasan berat, hingga depresi (Oktaviana, et all 2020 dalam Ernawati, 2022). Data Riskesdas (2013) menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional pasca bencana yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan, untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia (Ernawati, 2022). Peningkatan proporsi gangguan jiwa pada data yang didapatkan Riskesdas 2018 cukup signifikan jika dibandingkan dengan data Riskesdas 2013, naik dari 1,7% menjadi 7%.
Dampak dari bencana salah satunya mengakibatkan trauma yang memunculkan timbulnya kecemasan (Chrisnanto, 2019 dalam Ernawati, 2022).
Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 62 Anak-anak dan remaja merupakan salah satu kelompok paling rentan dan beresiko terkena dampak bencana. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, dalam 2000 kasus bencana yang tersebar di berbagai daerah Indonesia pada tahun 2016, korban terbanyak adalah anak-anak, remaja dan lanjut usia. Korban usia remaja terjadi di berbagai tempat dan waktu, terutama saat anak remaja sedang bersekolah pada saat berlangsungnya kejadian bencana gempa bumi. Anak remaja sangat rentan menjadi korban bencana karena kemampuan dan pengetahuannya yang terbatas terkait kesiapsiagaan bencana (Wayan et al.,2022). Dampak tersebut dapat dikurangi dengan meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Semua kegiatan dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian dan penggunaan langkah-langkah tepat merupakan manajemen bencana dalam fase kesiapsiagaan (Darwati et al., 2021). Terdapat 5 indikator kesiapsiagaan bencana yaitu: pengetahuan dan sikap terhadap risiko bencana, kebijakan dan panduan, rencana untuk keadaan darurat bencana, sistim peringatan bencana, kemampuan untuk memobilisasi sumber daya (Darwati et al., 2021).
Kesiapsiagaan merupakan kegiatan serta langkah yang dilakukan seseorang sebelum terjadinya bahaya atau bencana untuk meramalkan dan meningkatkan seseorang akan kemungkinan adanya bencana.
Kegiatan kesiapsiagaan dilakukan dengan mengevaluasi dan memastikan respons yang efektif pada anak- anak, misalnya dengan menyimpan barang berharga dan makanan. Siklus manajemen bencana, telah menjelaskan upaya kesiapsiagaan termasuk dalam fase pengurangan risiko sebelum terjadinya bencana.
Pergeseran konsep penanganan bencana menjadi paradigma pengurangan risiko bencana semakin menekankan bahwa upaya kesiapsiagaan bencana merupakan salah satu tahapan penting untuk mengurangi besarnya kerugian yang timbul akibat adanya bencana (Seja & Hermiasih, 2022). Pentingnya pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana dan pengurangan risiko bencana diberikan sejak dini untuk memberikan pemahaman dan pengarahan langkah-langkah yang harus dilakukan saat terjadi suatu ancaman bencana.
Peningkatan kesiapsiagaan bencana pada siswa sekolah dapat dilakukan sejak dini melalui program siaga bencana di sekolah agar anak-anak dapat mengetahui cara menyelamatkan diri saat terjadi bencana (Wayan et al.,2022).
Menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006) terdapat tujuh stakeholders kesiapsiagaan terhadap bencana salah satunya adalah komunitas sekolah. Komunitas sekolah mempunyai potensi yang besar sebagai sumber pengetahuan, penyebarluasan pengetahuan dan petunjuk praktek mengenai hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum, saat, dan setelah terjadinya bencana. Siswa sekolah termasuk ke dalam komunitas sekolah dan kelompok rentan terhadap bencana. Jadi dapat diasumsikan bahwa komunitas sekolah merupakan tempat yang tepat dalam penyebarluasan pengetahuan dan petunjuk praktik kesiapsiagaan bencana (Wayan et al.,2022). Peningkatan pengetahuan anak mengenai kesiapsiagaan bencana merupakan hal yang penting dalam upaya perlindungan diri anak bila sewaktu-waktu terjadi bencana (Wayan et al.,2022). Semakin kurang tingkat kesiapsiagaan maka tingkat kecemasan semakin meningkat. Untuk dapat mengurangi kecemasan saat bencana diperlukan upaya peningkatan kesiapsiagaan pada masyarakat misalnya dengan melakukan penyuluhan tentang bencana alam sehingga terbentuknya komunitas yang
Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 63 tanggap bencana (Seja & Hermiasih, 2022).
Bencana gempa bumi yang menjadi faktor penyebab timbulnya kecemasan bagi siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur khususnya yang pernah menjadi korban dan tingkat kesiapsiagaan yang kurang mengakibatkan tingkat kecemasan semakin meningkat. Berdasarkan data diatas penliti untuk mengetahui mengenai adakah “Hubungan Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi dengan Tingkat Kecemasan Pada Siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur”.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian yang bersifat kuantitatif korelasi analitik bertujuan untuk mengetahui hubungan kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i sekolah menengah pertama. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa/I kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kabupaten Cianjur yang berjumlah 365 responden. Teknik Sampling yang digunakan adalah Stratified Random Sampling sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 78 responden. Peneliti telah mendapatkan surat layak etik penelitian dari Komisi etik Penelitian Kesehatan STIKes Dharma Husada dengan nomor surat 62/KEPK/SDHB/B/VI/2023.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN HASIL
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kesiapsiagaan Siswa/I Kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur
f %
Kurang Siap 65 83,3%
Sangat Siap 13 16,7%
TOTAL 78 100,0%
Berdasarkan tabel 1 diketahui mengenai kesiapsiagaan siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur dengan keseluruhan sebanyak 78 orang, dengan kategori kurang siap sebanyak 65 orang (83,3%) dan kategori sangat siap sebanyak 13 orang (16,7%).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Kecemasan Siswa/I Kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur
f %
Tidak ada 43 55,1%
Ringan 9 11,5%
Sedang 11 14,1%
Berat 14 17,9%
Sangat berat 1 1,3%
TOTAL 78 100,0%
Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 64 Berdasarkan tabel 2 diketahui mengenai tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur dengan keseluruhan sebanyak 78 orang, dengan kategori tidak ada kecemasan sebanyak 43 orang (55,1%), kategori kecemasan ringan sebanyak 9 orang (11,5%), kategori kecemasan sedang sebanyak 11 orang (14,1%), kategori kecemasan berat sebanyak 14 orang (17,9%), dan kategori kecemasan sangat berat sebanyak 1 orang (1,3%).
Tabel 3. Distribusi Uji Somers’D Hubungan Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi dengan tingkat Kecemasan pada Siswa/I SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur
Kecemasan Tidak
Ada Ringan Sedang Berat Sangat
Berat Total Koefisien Korelasi
P Value
Kesiapsiagaan
Kurang
Siap 39 8 10 8 0 65
0,396 0,029
% 50% 10,30% 12,80% 10,30% 0% 83,30%
Sangat
Siap 4 1 1 6 1 13
% 5,10% 1,30% 1,30% 7,70% 1,30% 16,70%
Total 43 9 11 14 1 78
% of Total 55,10% 11,50% 14,10% 17,90% 1,30% 100%
Berdasarkan tabel 3 dilihat bahwa kebanyakan responden memiliki tingkat kesiapsiagaan dengan kategori kurang siap dan tidak ada kecemasan sebanyak 39 orang (50,0%), kategori kurang siap dan kecemasan ringan sebanyak 8 orang (10,3%), kategori kurang siap dan kecemasan sedang sebanyak 10 orang (12,8%), kategori kurang siap dan kecemasan berat sebanyak 8 orang (10,3%), kategori kurang siap dan kecemasan sangat berat 0 orang (0,0%). Sedangkan kategori sangat siap dan tidak ada kecemasan sebanyak 4 orang (5,1%), kategori sangat siap dan kecemasan ringan sebanyak 1 orang (1,3%), kategori sangat siap dan kecemasan sedang sebanyak 1 orang (1,3%), kategori sangat siap dan kecemasan berat sebanyak 6 orang (7,7%), kategori sangat siap dan kece,asan sangat berat sebanyak 1 orang (1,3%). Uji yang digunakan unutk menganalisis hubungan kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur menggunakan uji somers’d karena skala ukur variabel yang di gunakan adalah ordina-ordinal. Tabel tersebut hubungan kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 memiliki nilai signifikan sebesar 0,029 < 0,05 maka Ha diterima. Dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur.
Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 65 PEMBAHASAN
Tingkat Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi pada Siswa/I Kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab.
Cianjur
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 78 responden yang diteliti 65 orang atau 83,3% memiliki tingkat kesiapsiagaan dengan kategori kurang siap, 13 orang atau 16,7% memiliki kesiapsiagaan dengan kategori sangat siap. Menurut peneliti dari hasil yang diteliti pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur Kab. Sebagian besar mendapatkan tingkat kesiapsiagaan dengan kategori kurang siap dikarenakan siswa/i kelas 9 belum mendapatkan pengetahuan mengenai penanggulangan bencana, sehingga kurangnya kesiapan dalam mengantisipasi bencana.
Faktor yang mempengaruhi kesiapsiagaan bencana terdiri dari faktor pengetahuan terhadap kesiapsiagaan becana, sikap terhadap kesiapsiagaan bencana, kebijakan dan panduan, rencana untuk keadaan darurat bencana, sistim peringatan bencana, mobilisasi sumber daya. Hasil penelitian ini di dukung oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO,2006 dalam Husna 2020) yang menjelaskan bahwa kebijakan kesiapsiagaan bencana sangat penting dan merupakan upaya konkrit untuk melaksanakan kegiatan siaga terhadap bencana. Kebijakan yang signifikan berpengaruh terhadap kesiapsiagaan yang meliputi pendidikan publik, emergency planning, sistem peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya termasuk pendanaan, organisasi pengelola, fasilitas-fasilitas penting untuk keadaan darurat bencana.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Seja, dkk (2022) dimana dari 42 responden Sebagian besar mempunyai tingkat kesiapsiagaan yang tidak siap sebanyak 17 orang atau 40,5% dan yang paling sedikit memiliki tingkat kesiapsiagaan sangat siap yaitu sebanyak 1 orang atau 2,4%, dikarenakan penelitian Seja et al, sebagian besar masyarakat belum mengikuti program pelatihan penanggulangan bencana, sehingga informasi bencana masih sangat minim, padahal pengetahuan mengenai kebencanaan adalah faktor utama kunci kesiapsiagaan. Namun hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sarkawi et al, (2021) dimana menunjukkan bahwa dari 606 responden sebagian besar siap sebanyak 349 (57,6%) responden.
Tidak siap 257 (42,4%) responden. Menurut Niken & Andiri (2020) hal utama yang mengakibatkan timbulnya banyak korban akibat bencana adalah kurangnya kesiapsiagaan tentang bencana dan kurangnya kesiapan dalam mengantisipasi bencana tersebut pentingnya manajemen bencana karena merupakan salah satu elemen penting kesiapsiagaan dari kegiatan resiko terjadinya bencana. Menurut Hadi et al, (2019) kesiapsiagaan merupakan salah satu elemen penting di dalam pengelolaan bencana alam.
Termasuk di dalamnya dalam menghadapi bencana alam gempabumi. Setiap komunitas hendaknya memiliki kesiapsiagaan yang tinggi terhadap ancaman resiko bencana. Terutama di negara kita yang notabene adalah Kawasan yang memiliki ancaman potensi bencana gempa bumi yang tinggi. Kesiapsiagaan mutlak diperlukan, mengingat dalam penanggulangan bencana telah terjadi pergeseran paradigma dari fatalistic responsive yang berorientasi pada respon kedaruratan akibat bencana menuju kepada proactive
Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 66 preparedness yaitu penanggulangan bencana yang dilakukan sejak dini melalui kesiapsiagaan hingga tahap pemulihan sosial.
Tingkat Kecemasan Bencana Gempa Bumi pada Siswa/I Kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab.
Cianjur
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 78 responden yang diteliti 43 orang atau 55,1% memiliki tingkat kecemasan dengan kategori tidak ada kecemasan, 9 orang atau 11,5% memiliki tingkat kecemasan dengan kategori kecemasan ringan, 11 orang atau 14,1% memiliki tingkat kecemasan dengan kategori kecemasan sedang, 14 orang atau 17,9% memiliki tingkat kecemasan dengan kategori kecemasan berat, 1 orang atau 1,3% memiliki tingkat kecemasan dengan kategori kecemasan sangat berat.
Menurut peneliti dari hasil yang diteliti pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur, Sebagian besar mendapatkan tingkat kecemasan dengan kategori kecemasan berat di karenakan kecemasan yang di alami kemungkinan disebabkan oleh pengalaman buruk saat terjadinya gempa, seperti sekolah/rumah hancur atau cedera. Pengalaman mengalami bencana berulang- ulang dengan durasi dan intensitas yang tinggi, pengalaman juga berhubungan dengan informasi. Sehubungan dengan menghadapi kecemasan pasca bencana, kecemasan perlu dikelola dengan baik sehingga tetap memberikan awareness namun tidak sampai menimbulkan kepanikan yang berlebihan atau sampai pada gangguan kesehatan kejiwaan yang lebih buruk.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Thoyibah et al. (2020) dimana dari 40 responden menujukkan bahwa 15 reponden mengalami kecemasan ringan atau 37,5% dan 25 responden mengalami kecemasan sedang atau 62,5%. Dikarenakan menurut penelitian Thoyibah et al selain dampak fisik, kejadian gempa juga menimbulkan masalah kesehatan. Jiwa, salah satunya rasa cemas. Kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam dan merupakan hal yang normal terjadi. Pada penelitian Thoyibah dkk, di dapatkan responden mengungkapkan bahwa mereka masih merasa takut saat gelap dan saat sendiri. Menurut Tim Crisis and Recovery Center (CRC) Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada menemukan bahwa 2,5% dari populasi yang mengalami beban mental pasca gempa bumi akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri pada jangka menengah dan panjang, artinya korban yang selamat akan memerlukan bantuan psikologis mulai dari minggu ke 3 sampai 3 bulan kemudian. Selanjutnya, 1% dari populasi akan mengalami masalah psikologis pada masa yang lebih lama, yaitu korban yang rumahnya rusak berat atau roboh (Thoyibah et al.,2020).
Kecemasan (anxiety) merupakan bagian dari kondisi hidup (Nelson-Jones, 1995), maknanya kecemasan ada pada setiap orang. Lang, 1969 (dalam Powell dan Engright, 1990) mengungkapkan, bahwa kecemasan mungkin diterangkan dalam bentuk pemikiran, seperti “aku takut”, fisik sensasi atau perasaan seperti rasa gugup, berkeringat, tegangan, atau ungkapan perilaku seperti menghindar dari suatu situasi, lari/pergi. Individu yang berbeda pada keadaan kecemasan akan bertukar-tukar dalam kaitan dengan sistem yang dilafalkan. Pada dasarnya semua gangguan Kesehatan mental diawali oleh perasaan cemas (anxiety)
Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 67 menurut Sadock dkk. (2010) kecemasan adalah respons terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi (Vibriyanti., 2020). Kecemasan diawali dari adanya situasi yang mengancam sebagai suatu stimulus yang berbahaya (stressor), pada tingkatan tertentu kecemasan dapat menjadikan seseorang lebih waspada (aware) terhadap suatu ancaman, karena jika ancaman tersebut dinilai tidak membahayakan, maka seseorang tidak akan melakukan pertahanan diri (self defence).
Reaksi kecemasan akan berbeda pada setiap individu, untuk sebagian orang reaksi kecemasan tidak selalu diiringi oleh reaksi fisiologis. Namun pada orang-orang tertentu, kompleksitas respons dalam kecemasan dapat melibatkan reaksi fisiologis sesaat seperti detak jantung menjadi lebih cepat, berkeringat, sakit perut, sakit kepala, gatal-gatal dan gejala lainnya. Setelah seseorang mulai merasakan kecemasan makan sistem pertahanan diri selanjutnya akan menilai kembali ancaman diiringi dengan usaha untuk mengatasi, mengurangi atau menghilangkan perasaan terancam tersebut. Seseorang dapat menggunakan pertahanan diri (defence mechanism) dengan meningkatkan aktifitas kognisi atau motorik. Masalah psikologis pada usia anak- anak dan remaja yang berkaitan dengan bencana alam akan berlangsung lama setelah insiden bencana, kondisi tersebut akan semakin memburuk bila tidak ditangani dengan baik dan dideteksi sejak awal dengan cara melakukan identifikasi masalah pada korban bencana alam. Gejala-gejala yang dirasakan anak dan remaja dirumah maupun disekolah. Sehingga hal ini akan membutuhkan penanganan lebih lanjut, seperti pelayanan Kesehatan pasca bencana seperti kegiatan trauma healing.
Hubungan kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan peneliti pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur dengan 78 responden (100%) di dapatkan melalui uji statistik terdapat hubungan yang bermakna antara hubungan kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur. Dalam penelitian ini dilakukan uji korelasi dengan statistik menggunakan uji somers’D di dapatkan p value = 0,029 < α 0,05 dengan nilai Correlation Coefficient = 0,396 yang artinya kekuatan hubungan variabel di kategorikan moderate/sedang sehingga dapat disimpulkan hipotesis penelitian ini Ha diterima artinya ada hubungan kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab. Cianjur. Menurut peneliti, kesiapsiagaan sangat dibutuhkan dan berpengaruh pada kecemasan. Semakin siswa/i siap maka kecemasan akan berkurang. Untuk itu berbagai program kegiatan perlu di lakukan untuk dapat meningkatkan kesiapsiagaan dan mengurangi kecemasan seperti pelatihan siaga bencana, penyuluhan bencana dan melibatkan pihak sekolah dan siswa/i pada program siaga bencana. Tingkat kesiapsiagaan bencana pada orang yang pernah mengikuti pelatihan atau penyuluhan berkaitan dengan kebencanaan lebih tinggi dari pada orang yang tidak mengikuti pelatihan atau penyuluhan kebencanaan. Menurut peneliti tingkat kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan memiliki hubungan yang sangat signifikan atau hubungan yang sangat kuat dan kearah variabel positif.
Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 68 Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Seja et al, 2022 menunjukkan bahwa sebanyak 17 responden (40,5%) dalam kategori tidak siap dan sebanyak 33 responden (78,6%) dalam kategori sedang.
Hasil uji spearman rank diperoleh nilai p value = 0,004 dibandingkan α 0,05, karena 0,004 < 0,05 maka H0 ditolak dan Ha diterima yang artinya ada hubungan antara tingkat kesiapsiagaan dengan tingkat kecemasan.
Nilai Correlation Coefficient sebesar -0,430 yang artinya terdapat hubungan antara tingkat kesiapsiagaan dengan tingkat kecemasan dalam kategori rendah. Hubungan antara tingkat kesiapsiagaan dan tingkat kecemasan berlawanan atau tidak serasi yang dapat diartikan bahwa semakin kurang tingkat kesiapsiagaan maka tingkat kecemasan semakin meningkat. Sebaliknya, semakin baik tingkat kesiapsiagaan maka tingkat kecemasan semakin berkurang. Menurut Hadi, et al 2019, kesiapsiagaan merupakan upaya dan kegiatan yang dilakukan secara cepat dan efektif sebelum terjadi bencana alam, saat bencana dan setelah bencana.(tujuan kesiapsiagaan). Upaya ini sangat diperlukan untuk mengurangi dampak dari bencana alam seperti kecemasan.
SIMPULAN
1. Tingkat kesiapsiagaan dari 78 responden (100%) menunjukkan bahwa sebanyak 65 orang atau 83,3%
memiliki tingkat kesiapsaiagaan dengan kategori kurang siap, 13 orang atau 16,7% memiliki kesiapsiagaan dengan kategori sangat siap.
2. Tingkat kecemasan dari 78 responden (100%) menunjukkan bahwa 43 orang atau 55,1% memiliki tingkat kecemasan dengan kategori tidak ada kecemasan, 9 orang atau 11,5% memiliki tingkat kecemasan dengan kategori kecemasan ringan, 11 orang atau 14,1% memiliki tingkat kecemasan dengan kategori kecemasan sedang, 14 orang atau 17,9% memiliki tingkat kecemasan dengan kategori kecemasan berat, 1 orang atau 1,3% memiliki tingkat kecemasan dengan kategori kecemasan sangat berat.
3. Uji Somers’D diperoleh koefisien korelasi p value = 0,029 < α 0,05 dengan nilai Correlation Coefficient = 0,396 yang artinya kekuatan hubungan variabel di kategorikan moderate/ sedang sehingga dapat disimpulkan hipotesis penelitian ini Ha diterima artinya ada hubungan kesiapsiagaan bencana gempa bumi dengan tingkat kecemasan pada siswa/i kelas 9 SMPN 1 Warungkondang Kab.
Cianjur
DAFTAR PUSTAKA
[1] Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB). (2012). Buku Saku Tanggap Tangkas Tangguh Menghadapi Bencana. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
[2] Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2017). Buku Pedoman Latihan Kesiapsiagaan Bencana. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
[3] Kurniawati, F., Astarani, K., Wahyu Astuti, V., Keperawatan Program Sarjana STIKESBaptis Kediri, P. R., & Timur,
Health Journal “Love That Renews” Vol.11, No.2. 2023, pp. 60 – 69 Page | 69 [4] J. (2022). KESIAPSIAGAAN ASEGANA (ANAK SEKOLAH TANGGAP BENCANA)
TERHADAP BENCANA GEMPA BUMI PADA SISWA DI SD PELITA BANGSA SURABAYA. Pelita Abdi Masyarakat, 3(1). https://journal.pelitamedika.org/index.p hp/pam [5] Supendi, P., Jatnika, J., Sianipar, D., Haidar Ali, Y., Heryandoko, N., Prayitno Adi, S., Karnawati,
D., Dwi Anugerah, S., Fatchurochman, I., Sudrajat Kelompok Kerja Sesar Aktif dan Katalog Gempabumi Badan Meteorologi, A., & Geofisika, dan. (n.d.). Analisis Gempabumi Cianjur (Jawa Barat) Mw 5.6 Tanggal 21 November 2022. https://inatews.bmkg.go.id/.
[6] Seja, M. E., & Herminsih, A. R. (2022). Tingkat Kesiapsiagaan Masyarakat MenghadapiBencana Gempa Bumi Dan Tsunami Dengan Tingkat Kecemasan Masyarakat Di Dusun Wuring Leko Kelurahan Wolomarang. Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan Masyarakat, 9(1).
[7] Thoyibah, Z., Dwidiyanti, M., Mulianingsih, M., Nurmayani, W., Indra Wiguna, R., Studi Keperawatan, P., Yarsi Mataram, S., Ilmu Keperawatan, D., Kedokteran, F., Diponegoro, U., &
Ilmu Keperawatan Fakultas Kesehatan, J. (2019). Gambaran Dampak Kecemasan dan Gejala Psikologis pada Anak Korban Bencana Gempa Bumi di Lombok. In Journal of Holistic Nursing and Health Science (Vol. 2, Issue 1). https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/ hnhs
[8] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun (2007). Tentang Penanggulangan Bencana.
Wayan, N., Rahayuni, A., Made Mertha, I., Gusti, I., Rasdini, A., Kesehatan, P., & Denpasar, K.
(2022). EDUKASI DENGAN MEDIA PERMAINAN TEKA-TEKI SILANG DAN PENGETAHUAN KESIAPSIAGAAN SISWA MENGHADAPI BENCANA.
[9] Zurriyatun, T., Meidiana, D., Misroh, M., Winda N., Reza, IW. (2019). Gambaran dampak Kecemasan dan Gejala Psikologis pada Anak Korban Bencana Gempa Bumi di Lombok. Journal of Holistic Nursing and Health Science , Volume 2, No.1, Juni 2019 (Hal. 31- 38). Available Online at https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/ hnhs
[10] Hatuwe, E. (2022). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kecemasan Pada Masyarakat Pengungsian Pasca Gempa Bumi Di Desa Kamarian Kabupaten Seram Bagian Barat. JURNAL JURRIKES Vol 1 No.1 | pISSN: 2828-9366, eISSN: 2828-9374, Hal 66-76.