HUBUNGAN ANTARA NEGARA,AGAMA DAN PANCASILA
Makalah Untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Pancasila
OLEH:
FITRI RAHMAWATI (211010501369) Dosen Pengampu:
Moh.Jazuli.S.Sos.I.,M.Pd.I.
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah tentang “Hubungan Agama, Negara, dan Pancasila” ini dengan baik. Dan juga saya berterima kasih kepada Bapak Moh.Jazuli.S.Sos.I.,M.Pd.I. selaku Dosen mata kuliah Pancasila di Universitas Pamulang yang telah memberikan tugas ini kepada Saya.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai jati diri kita sebagai manusia dalam pandangan islam. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang akan saya buat di masa mendatang.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
FITRI RAHMAWATI
Penyusun
Daftar Isi
BAB I ... 3
PENDAHULUAN ... 3
a. LATAR BELAKANG ... 3
b. RUMUSAN MASALAH ... 4
c. TUJUAN PENULISAN ... 4
BAB II ... 5
PEMBAHASAN ... 5
A. RELASI AGAMA DAN NEGARA ... 5
i. Pengertian agama ... 5
ii. Pengertian Negara ... 6
iii. Paradigma Analisis Hubungan Agama dan Negara ... 7
iv. Paradigma Integralistik (UnifiedParadigm)... 7
v. Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm) ... 8
vi. Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm) ... 8
vii. Hubungan Agama dengan Negara ... 9
B. PROSES PERUBAHAN PIAGAM JAKARTA MENJADI SILA PERTAMA ... 10
a. Sejarah Piagam Jakarta ... 10
b. Isi Piagam Jakarta ... 11
c. Kompromi Umat Islam Tentang Perihal Piagam Jakarta ... 12
C. MAKNA SILA PERTAMA DALAM PANCASILA ... 17
a. Makna Penting Pancasila Bagi Bangsa Indonesia... 17
b. Arti Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ... 18
c. Butir-butir Pancasila Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ... 19
d. Penerapan Pancasila Sila Pertama Dalam Kehidupan Berbangsa Saat Ini ... 20
BAB III ... 21
PENUTUP ... 21
a. KESIMPULAN ... 21
b. SARAN ... 21
DAFTAR PUSTAKA ... 22
BAB I PENDAHULUAN a. LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki falsafah negara Pancasila yang mengakui tentang ketuhanan.Oleh karena Pancasila sebagai dasar negara dan merupakan sumber dari segala sumber hukum, maka apapun aturan atau hukum yang terbentuk harus mengacu pada nilai-nilai Pancasila. Pengakuan agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta jaminan terhadap penduduk yang beragama dan menjalankan ibadah berdasarkan atas agama atau kepercayaan
itu, merupakan ciri negara berketuhanan Yang Maha Esa, dengan demikian bahwa Indonesia bukan negara agama, karena tidak berdasarkan agama tertentu, juga bukan negara sekuler karena tidak memisahkan antara urusan Negara dan agama. Tetapi negara memberikan perlindungan pada semua agama dan aliran kepercayaan.ini berarti bahwa setiap orang berhak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan. Tidak seorang pun boleh dikenakan pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri, dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya.
Negara diisi dengan spirit kerohanian agama dan agama dilindungi bahkan ditertibkan (diatur) oleh negara. Di Indonesia, keberadaan UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama memperlihatkan peran negara dalam hukum agama. Namun jika dilihat dalam takaran yang lebih luas dan dalam, keberadaan produk perundang-undangan tersebut juga memperlihatkan bahwa agama memengaruhi jalannya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah (masyarakat). Dengan kata lain agama juga berperan serta dalam pemerintahan.
Hubungan negara dan agama yang seperti dijelaskan di atas seringkali menjadi ”rumit”. Agama seringkali dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan atau pemerintahan sering dijadikan kekuatan untuk menekan agama.Dalam diskursus politik dan ketatanegaraan serta agama jalinan tersebut masih diperdebatkan dan dikaji baik di (negara) Barat maupun di (negara) Timur.
Agar hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di tengah-tengah dinamika kehidupan politik, ekonomi, dan budaya kita perlu mendiskusikannya terus menerus, sehingga kita sampai pada pemahaman bahwa agama dan negara bagai dua sisi mata uang, di mana keduanya berbeda, namun tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling membutuhkan.
b. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana relasi Agama dan Negara
B. Bagaimana proses perubahan piagam Jakarta menjadi sila ”Ketuhanan yang Maha Esa”
C. Makna sila “Ketuhanan yang Maha Esa” dalam Pancasila c. TUJUAN PENULISAN
A. Memahami dan mengetahui relasi Agama dan Negara
B. Memahami dan mengetahui proses perubahan Piagam Jakarta C. Memahami dan mengetahui Makna Sila Pertama
BAB II PEMBAHASAN A. RELASI AGAMA DAN NEGARA
i. Pengertian agama
Agama menurut etimologi berasal dari kata bahasa sanskerta dalam kitap upadeca tentang ajaran-ajaran agama hindu disebutkan bahwa perkataan agama berasal dari bahasa sanskerta yang tersusun dari kata “A” berarti tidak dan “gama” berarti pergi dalam bentuk harfiah yang terpadu perkataan agama berarti tidak pergi tetap ditempat, langgeng, abadi, diwariskan secara terus menerus dari generasi ke generasi
Pada umumnya perkataan agama diartikan tidak kacau yang secara analitis di uraikan dengan cara di memisahkan kata demi kata yaitu “A” berarti tidak dan “gama” berarti kacau maksudnya orang yang memeluk suatu agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya dengan sungguh-sungguh hidupnya tidak akan kacau.
Agama selalu diterima dan dialami secara subjektif. Oleh karena itu orang sering mendifinisikan agama sesuai dengan pengalamannya dan penghayatannya pada agama yang di anutnya. menurut “Mukti Ali”, mantan menteri agama Indonesia menyatakan bahwa agama adalah percaya akan adanya tuhan yang esa. Dan hukum-hukum yang di wahyukan kepada kepercayaan utusan-utusannya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat.1 Sedangkan menurut ”James Martineau” agama adalah kepercayaan kepada tuhan yang selalu hidup. Yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia.2
Friedrich Schleiermacer, menegaskan bahwa agama tidak dapat di lacak dari pengetahuan rasional, juga tidak dari tindakan moral, akan tetapi agama berasal dari perasaan ketergantungan mutlak kepada yang tak terhingga (feeling of absolute dependence)
Di samping itu, agama merupakan pedoman hidup atau arahan dalam menentukan kehidupan, sebagaimana dalam hadist. “kutinggalkan untuk kamu dua perkara tidaklah kamu akan tersesat selama-lamanya, selama kamu masih berpegang kepada keduanya yaitu kitabullah dan sunnah rasul”.
1 Mukti Ali
2 James Martineau
“Religion can be defined as a system of beliefs and practices by which a group of people interprets and responds to what they feel is sacred and usually supernatural swelF lebih lanjut johnstune menyatakan that by employing this definition weare, for purposes of sociological investigation at least, adopting the position, of the hardnosed relativist and agnostiec (saya kira dengan jujur kita harus mengakui masih sangat sulit mencari orang atau pakar-pakar yang mengkaji atau bergulat dengan agama tertentu di Indonesia, tetapi sekaligus merupakan relativis dan agnostik. “johnstone”
Secara terminologi dalam ensiklopedi Nasional Indonesia, agama diartikan aturan atau tata cara hidup manusia dengan hubungannya dengan tuhan dan sesamanya. Dalam al-Qur’an agama sering disebut dengan istilah din. Istilah ini merupakan istilah bawaan dari ajaran Islam sehingga mempunyai kandungan makna yang bersifat umum dan universal. Artinya konsep yang ada pada istilah din seharusnya mencakup makna-makna yang ada pada istilah agama dan religi.
ii. Pengertian Negara
Istilah negara diterjemahkan dari kata-kata asing yaitu staat” (bahasa belanda dan jerman)
“state” (bahasa inggris) “etat” (bahasa prancis) kata “staat”(state,etat) itu diambil dari kata bahasa latin yaitu “status” atau statum, yang artinya keadaan yang tegak dan tetap atau suatu yang memiliki sifat yang tegak dan tetap.
Negara merupakan integrasi dari kekuatan politk, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala- gejala kekuasaan dalam masyarakat
Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaanlainnya dan yang dapat menetapkan tujuan- tujuan dari kehidupan bersama itu negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan itu dapat digunakan dalam kehidupan bersama itu, baik oleh individu maupun golongan atau asosiasi, ataupun juga oleh negara sendiri.
iii. Paradigma Analisis Hubungan Agama dan Negara
Para ahli merumuskan beberapa teori untuk menganalisa relasi antara negara dan agama yang antara lain dirumuskan dalam 3 (tiga) paradigma, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, paradigma sekularistik.
iv. Paradigma Integralistik (UnifiedParadigm)
Secara umum teori integralistik dapat dinyatakan sebagai kesatuan yang seimbang dan terdiri dari berbagai entitas. Entitas disini memiliki sifat yang berbeda satu sama lain. Perbedaan itu tidak berarti saling menghilangkan justru saling melengkapi, saling menguatkan dan bersatu.
Dalam kaitannya dengan relasi negara dan agama, menurut paradigma integralistik, antara negara dan agama menyatu (integrated). Negara selain sebagai lembaga politik juga merupakan lembaga keagamaan.
Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar ”kedaulatan ilahi” (divine sovereignty), karena pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di ”tangan Tuhan”. (Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 24)3
Paradigma integralistik ini memunculkan paham negara agama atau Teokrasi. Dalam paham teokrasi, hubungan Negara dan Agama digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan Agama, karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau politik, dalam paham teokrasi juga diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan.
Menurut Roeslan Abdoelgani, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2009: 9), menegaskan bahwa negara Teokrasi, menurut ilmu kenegaraan dan filsafat kenegaraan mengandung arti bahwa dalam suatu negara kedaulatan adalam berasal dari Tuhan.4
Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintahan diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut
3 Marzuki Wahid dan Rumadi, 2001: 24
4 Kaelan (2009: 9)
pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala Negara atau raja yang diyakini memerintah atas kehendak Tuhan.
v. Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm)
Secara umum, teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua entitas yang saling menguntungkan bagi peserta hubungan. Dalam konteks relasi negara dan agama, bahwa antara negara dan agama saling memerlukan.
Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang.
Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.
Karena sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama masih mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara.
Marzuki Wahib dan Rumadi membagi Paradigma Simbiotik ini menjadi tiga jenis, yaitu:
Agama dan negara mempunyai keterkaitan namun aspek keagamaan yang masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga negara demikian lebih dekat ke negara sekular; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara lebih banyak lagi, sehingga sekitar 50% konstitusi negara diisi oleh ketentuan agama; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara sekitar 75%, sehingga negara demikian sangat mendekati negara agama.
Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban Agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum Agama. (Agus Thohir, 2009:4)
vi. Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm)
Paradigma ini menolak kedua paradigma diatas. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama.
Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama.
Paradigma ini memunculkan negara sekuler. Dalam Negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan.
Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma Agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma- norma Agama. Sekalipun ini memisahkan antara Agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk Agama apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam urusan - urusan Agama (Syari’at).
vii. Hubungan Agama dengan Negara
Dikalangan kaum muslimin, terdapat kesepakatan bahwa eksistensi Negara adalah suatu keniscayaan bagi berlangsungnya kehidupan bermasyarakat negara dengan otoritasnya mengatur hubungan yang diperlukan antara masyarakat, sedangkan agama mempunyai otoritas unuk megatur hubungan manusia dengan tuhannya.
Hubungan antara agama dan negara menimbulkan perdebatan yang terus berkelanjutan dikalangan para ahli. Pada hakekatnya Negara merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai mahluk individu dan makhluk sosial oleh karena itu sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar negara pula sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian negara mempunyai sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah pendiri negara itu sendiri.
B. PROSES PERUBAHAN PIAGAM JAKARTA MENJADI SILA PERTAMA a. Sejarah Piagam Jakarta
Suatu fakta yang tak dapat dibantah oleh siapapun yakni andaikata Badan Penyelidik Usaha- Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam sidangnya di tahun 1945 mereka tidak menghasilkan konsensus nasional tentang sebuah Dasar Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam naskah Piagam Jakarta, maka Bangsa Indonesia tidak akan mendapatkan rumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 seperti yang ada saat ini.
Piagam Jakarta yang memuat dan berisi tentang rumusan resmi pertama kali sebuah Pancasila bagi Republik ini, disusun dan ditandatangani pada tanggal 22 Juni 1945 oleh sembilan pemimpin terkemuka Indonesia, berikut nama- nama yang menjadi anggota Panitia Sembilan dari BPUPKI, yaitu: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Ahmad Subardjo, KHA Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
Dalam detik-detik yang menentukan menjelang pengesahan Piagam Jakarta, Ir. Soekarno selaku Ketua Panitia Sembilan dengan gigih meyakinkan seluruh anggota sidang BPUPKI untuk menerima rumusan Piagam Jakarta sebagai gentlemen agreement bangsa Indonesia.
BPUPKI adalah satu-satunya badan yang paling representatif untuk mewakili bangsa Indonesia ketika itu, baik dari segi keterwakilan suku, agama maupun aliran politik.
Piagam Jakarta dari segi substansi maupun spiritnya merupakan kristalisasi cita-cita bangsa dan tujuan bernegara serta perjanjian luhur yang menjiwai proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Namun sebagaimana diketahui sehari setelah proklamasi kemerdekaan, pada tanggal 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia mencoret tujuh kata yang tertuang dibelakang kata Ketuhanan, yaitu, dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk- pemeluknya.
Perubahan yang fundamental tersebut terjadi karena sore hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Bung Karno dan Bung Hatta yakni tanggal 17 Agustus 1945 itu, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) datang menemui Bung Hatta, menyampaikan bahwa wakil-wakil dari agama Protestan dan agama Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang menyatakan keberatan terhadap bagian dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar yang dirumuskan oleh panitia Sembilan dalam bunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Mereka para wakil-wakil
mengenai rakyat yang beragama Islam saja. Bung Hatta kemudian menemui beberapa pemimpin Islam untuk membicarakan hal tersebut, yakni Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Muhammad Hasan.
Mantan Menteri Luar Negeri dan tokoh diplomasi kemerdekaan RI Mr. Mohamad Roem menulis, "Hilangnya tujuh perkataan (dalam Piagam Jakarta, pen) dirasakan oleh umat Islam sebagai kerugian besar dan tidak jarang yang menyayangkannya. Tetapi, karena hilangnya tujuh perkataan itu dimaksudkan agar golongan Protestan dan Katolik jangan memisahkan diri dari Republik Indonesia, maka umat Islam bersedia memberi korban yang besar itu. Karena itu, Menteri Agama, Jenderal Alamsjah Ratu Perwiranegara, pernah mengatakan bahwa Pancasila adalah hadiah terbesar yang diberikan umat Islam kepada Republik Indonesia."
Keputusan yang diambil oleh beberapa pemimpin Islam dalam waktu yang sangat singkat itu, sungguh mencerminkan sikap kenegarawanan dan komitmen terhadap persatuan dan kesatuan bangsa yang tiada bandingnya dalam sejarah Republik Indonesia.
Dalam kaitan ini Bung Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi (1970) menyatakan, "Pada waktu itu kami menginsyafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, dan menggantinya dengan kalimat yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa." Hal-hal yang mengenai syariat Islam yang berhubungan dengan kepentingan umat Islam, menurut Hatta, dapat diajukan ke DPR untuk diatur dalam bentuk Undang-Undang.
Dalam perkembangan politik nasional setelah Majelis Konstituante yang dibentuk berdasarkan Pemilu 1955 berlarut-larut dalam merumuskan perubahan UUD, Presiden Soekarno atas desakan TNI Angkatan Darat mengumumkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Dalam konsiderans Dekrit 5 Juli tersebut, Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar.
b. Isi Piagam Jakarta
Piagam Jakarta adalah hasil musyawarah tentang Dasar Negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis). Panitia Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI.
Di dalam Piagam Jakarta terdapat lima butir yang setelahnya menjadi Pancasila dari lima butir, sebagai berikut:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preambule). Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Perubahan butir pertama dilakukan oleh Drs.M.
Hatta atas usul A.A. Maramis setelah berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo.
Naskah Piagam Jakarta ditulis dengan menggunakan ejaan Republik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A. Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Muhammad Yamin.
c. Kompromi Umat Islam Tentang Perihal Piagam Jakarta
Ir Soekarno dengan tegas mengatakan bahwa Piagam Jakarta merupakan Kompromi yang sebaik-baiknya. Artinya memang para tokoh bangsa telah bersepakat dan menghasilkan sebuah rumusan. Sila pertama sampai kelima merupakan hasil dari kompromi tersebut, juga pembukaan UUD 1945 yang sekarang, kedua hasil rumusan tersebut menjadi Dasar Negara kita dan juga sebagai Konstitusi tertinggi.
Namun yang menarik disini ialah, Piagam Jakarta 22 juni 1945 yang kemudian dibahas dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), hanya memiliki perbedaan tujuh kata pada pembukaan UUD 1945 yang sekarang kita ketahui yaitu perbedaanya pada kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Dalam buku "Menghilangkan Prasangka terhadap Piagam Jakarta" KH Syaifudi Zuhri (tokoh NU) menyatakan bahwa tujuh kata yang sekarang tidak ada itu sebenarnya bersifat konstitusional, karena memang dalam pembahasan yang panjang dan sudah disepakati dalam
beragama sendiri sudah diatur pada UUD 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. , dan sebenarnya Umat selain islam tidak perlu khawatir.
Pada sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Ir.
Soekarno mengajak agar memperjuangkan kemerdekaan, juga tokoh-tokoh Islam Nasional dan para pejuang ini memperjuangkan tentang kewajiban menjalankan Syariat Islam hanya khusus bagi Umat Islam. Kesepakatan yang telah disepakati dan merupakan kompromi yang terbaik.
Jadi, jika kita lihat dari proses jalannya sidang-sidang BPUPKI (untuk mempersiapkan kemerdekaan), sudah dapat dibilang ada kata sepakat.
Sore hari pada 17 Agustus 1945, Mohammad Hatta menerima telepon dari Tuan Nishiyama, pembantu Admiral Maeda, yang meminta kesediannya untuk bicara dengan opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Opsir itu ingin mengemukakan suatu hal yang sangat penting. Hatta mempersilakan datang.
Opsir sebagai utusan Kaigun menyampaikan aspirasi keberatan dari wakil-wakil umat Protestan dan Katolik di wilayah Indonesia Timur atas kalimat pembukaan Undang-undang Dasar yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya. Opsir itu menyampaikan jika wakil-wakil itu merasa di diskriminasi. Jika kalimat tersebut ditetapkan juga, mereka memilih berdiri di luar Republik Indonesia.
"Itu bukan suatu diskriminasi," kata Hatta kepada opsir itu yang diceritakannya di buku Untukmu Negeriku. "Sebab, penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam.
Waktu merumuskan Pembukaan Undang-undang Dasar, Mr. Maramis (beragama Kristen) yang ikut serta dalam panitia sembilan tidak mempunyai keberatan apa-apa dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menandatanganinya.".Opsir itu tetap menjelaskan bahwa apa yang disampaikan sudah menjadi pendirian para pemipin kristen dan katolik di daerah kekuasaan Angkatan Laut Jepang wilayah Indonesia Timur. Ancaman disintegrasi rupanya menakuti Hatta. Selama ini ia sudah berjuang mati-matian untuk bisa membuat negeri ini bersatu. Lalu Hatta meminta kepada opsir agar bersabar dan akan menyampaikan usulan itu kepada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPKI) keesokan harinya.
Usul opsir itu disampaikan oleh Hatta pada sidang PPKI pada 18 Agustus 1945. Keributan pun terjadi. Kelompok Islam tidak terima dikarenakan Dasar Negara Pancasila sudah disepakati bersama pada 22 Juni 1945. "Memang pintar pihak minoritas non-Muslim itu. Pintar untuk
memanfaatkan kesempatan moment psychologis." komentar Kasman mengenai kejadian ini di buku Hidup itu Berjuang Kasman Singodemidjo 75 Tahun.5
Mohammad Hatta mengusulkan formulasi baru pada sila pertama menjadi 'Ketuhanan yang Maha Esa'. Ia menafsirkan kata Tuhan sebagai Allah, Tuhannya umat Islam. Demi menjaga persatuan untuk menghadapi penjajahan kembali, beberapa tokoh golongan Islam mengambil sikap mengalah dan menyetujui rancangan baru tersebut. Tidak dengan Ki Bagus Hadikusomo yang tetap ngotot mempertahankan Piagam Jakarta.
Kasman yang ikut sebagai anggota tambahan sidang PPKI, sebenarnya ingin tetap mempertahankan hasil kesepakatan Piagam Jakarta sebagai dasar negara. Karena baginya Piagam Jakarta adalah wajar dan sangat logis bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Situasi yang genting dan waktu yang berjalan begitu cepat, ia memutuskan ikut mengalah untuk sementara.
Para tokoh Islam juga berupaya meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo tetapi tidak berhasil.
Soekarno akhinya meminta batuan Kasman. Selain sesama orang Muhammadiyah, Kasman memang cukup dekat dengan Ki Bagus Hadikusumo. Dengan berpegang pada janji Soekarno akan dibahas kembali persoalan dasar negara 6 bulan kemudian di sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Kasman ikut memutuskan membantu meyakinkan Ketua Muhammadiyah itu agar bisa melihat kenyataan bahwa kondisi saat itu sedang darurat.
"Kiyai, tidakkah bijaksana, jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia merdeka " begitu usaha lobi Kasman. Ki Bagus Hadikusumo pun luluh.
Setelah berkompromi secara bulat dan sikap toleransi para tokoh Islam, disepakati hasil rumusan Pancasila pada kesepaktan Piagam Jakarta di pasal 1 berubah dari 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' menjadi 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Butir Pancasila hasil kesepakatan dari Panitia Sembilan dan sidang PPKI pada 18 Agustus 1945 itu yang dipakai hingga sekarang.
Sejak Soekarno memperkenalkan lima sila yang diberi nama Panca Sila pada 1 Juni 1945, masih belum disepakati sebagai dasar negara (baca juga: Sambutan Tepuk Tangan Ide Pancasila). Abdul Kahar Muzakkir, dalam pidatonya di Majelis Konstituante pada 1957, menceritakan kronologis pelaksaan sidang BPUPKI. Dengan jujur ia menjelaskan, bahwa dari 60 orang peserta sidang BPUPKI yang mewakili kelompok Islam hanya 25% saja. Kemudian
yang memilih dasar negara kebangsaan sebanyak 45 suara dan memilih dasar Islam sebanyak 15 suara."Badan Penyelidik sesudah mengadakan rapat-rapatnya pada bulan Juni 1945 itu, memang belum begitu bulat pendapatnya tentang dasar negara," ucap Muzakkir dalam sidang itu yang dirangkum di buku Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila Konstituante 1957.
"Terbukti ketika ada kesempatan kebanyakan anggota-anggota Badan Penyelidik berkumpul di Jakarta pada 22 Juni 1945, maka Bung Karno mengundang mereka berapat di ruangan Hokokai (Kementrian Keuangan sekarang)."
Dalam rapat itu, Soekarno mengusulkan dibentuk panitia kecil yang diberi nama Panitia Sembilan. Angota Panitia Sembilan adalah: Soekarno, Mohammad Hatta, Agus Salim, A. A.
Maramis, Mohammad Yamin, Wahid Hasyim, A. Subarjo, Abikoesno, dan A. Kahar Muzakkir.
Sebuah perbandingan yang adil dimana kelompok Islam berjumlah 4 orang, begitu juga kelompok kebangsaan 4 orang. Sedangkan Soekarno sebagai penengah dan pimpinan sidang.
Pada rapat 22 Juni 1945 itu, usulan lima sila soekarno yang terdiri dari: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa, disempurnakan oleh Panitia Sembilan.
Setelah rapat hingga jam 20.00 bertempat di kediaman Bung Karno di Jalan Pengangsaan Timur No. 56, Jakarta, disepakati disepakatian lima sila yang berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat hikmat dalam permusyawaratan perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hasil rumusan Pancasila ini disepakati dengan nama Piagam Jakarta oleh Mohammad Yamin.
Kronologis jalannya sudang BPUPKI hingga PPKI juga diceritakan oleh Mohammad Yamin dalam buku Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945. Hasil rumusan Panitia Sembilan memang banyak penolakan dari kelompok kebangsaan di Sidang BPUPKI tahap ke 2. Tetapi Soekarno dengan tegas mengatakan, "Kalau kalimat ini tidak dimasukan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam." Begitu juga anggota yang lain yang masih mempersoalkan sila pertama, lagi-lagi Soekarno dengan tegas bawah anak kalimat itu merupakan, "Kompromi antara golongan Islam dan kebangsaan, yang hanya didapat dengan susah payah."
Rupanya penolakan sila pertama tak hanya datang dari kelompok kebangsaan, dari kalangan Islam, yakni Ki Bagus Hadikusumo juga tak sepakat dengan anak kalimat pasal satu: ... bagi
pemeluk-pemeluknya. Ia meminta agar kalimat terakhir itu dihapus saja, tak perlu menggunakan kalimat Bagi pemeluk-pemeluknya.
Sekali lagi Soekarno mengingatkan sidang, bahwa anak kalimat itu adalah hasil kompromi antara dua pihak, "pendek kata inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi Panitia memegang teguh kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muhammad Yamin 'Jakarta Charter' yang disertai perkataan anggota yang terhormat Sukiman 'Gentelman's Agreement', supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan." jelas Soekarno. Setelah mendengar pidato Abikoesno dari kelompok Islam, akhirnya sidang secara bulat sepakat dasar negara yang akan ditetapkan sesuai rumusan Panitia Sembilan."Dengan penegasan itu, belumlah berarti bahwa Islam dijadikan dasar negara," kata Muzakkir kemudian di dalam pidato Majelis Konstituante pada 1957. "banyak sedikitnya dapat sekedar memberi jaminan bagi berlakunya hukum Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Kemudian Abdul Kahar Muzakkir lanjut bercerita, "akan tetapi apa lacur pada 18 Agustus 1945, semua prinsip-prinsip yang baik dan luhur itu ole Panitia Persiapan Kemerdekaan telah diubah, discoret-coret, dan dihapuskan dari Mukaddimah dan Undang-undang Dasar. Itulah sebabnya ada orang yang mengatakan bahwa Pancasila itu dikebiri."
C. MAKNA SILA PERTAMA DALAM PANCASILA a. Makna Penting Pancasila Bagi Bangsa Indonesia
Pancasila merupakan jati diri bangsa Indonesia, namun masih banyak warga negara yg kurang memahami arti dari Pancasila, dari sini saya akan menjelaskan arti Pancasila bagi Rakyat Indonesia.
1. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia
Pancasila adalah suatu kristalisasi dari nilai-nilai sebagai pandangan hidup bangsa, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad untuk diwujudkan dalam kehidupan sehari- hari, baik kehidupan kemasyarakatan maupun kehidupan kenegaraan.
Pancasila merupakan suatu pandangan hidup Bangsa Indonesia yang sangat asasi demi kekokohan dan kelestarian hidupnya. Pancasila dapat mempersatukan kita, dapat memberi petunjuk dalam mencapai kesejahteraan dan kebahagian lahir dan batin meskipun masyarakat kita beraneka ragam sifatnya.
2. Pancasila sebagai dasar negara
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hhukum yang berlaku di Negara Indonesia.
3. Pancasila merupakan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia
Pancasila merupakan jiwa dan kepribadian Bangsa Indonesia karena memberikan corak yang khas yang membedakan dari Bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Memang terdapat kemungkinan, bahwa tiap-tiap sila secara terlepas dari yang lain bersifat universal, yang mungkin juga dimiliki bangsa lain didunia ini akan tetapi sila yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah yang menjadikan ciri khas bangsa Indonesia.
4. Pancasila merupakan tujuan yang akan dicapai bangsa Indonesia
Tujuan yang akan dicapai Bangsa Indonesia yakni, suatu masyarakat adil-makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan Pancasila didalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana kehidupan bangsa yang aman, tentram tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat tertib dan damai.
5. Pancasila nerupakan perjanjian luhur rakyat Indonesia
Pancasila yang telah disetujui oleh wakil-wakil rakyat Indonesia menjelang proklamasi kemerdekaan yang kita junjung tinggi, bukan sekedar karena ia ditemukan kembali dari kandungan kepribadian dan cita-cita Bangsa Indonesia yang terpendam sejak berabad-abad yang lalu, melainkan karena Pancasila telah mampu membuktikan kebenarannya setelah diuji oleh sejarah perjuangan bangsa.
6. Pancasila sebagai sumber hukum
Pancasila merupakan segala sumber hukum bagi kehidupan Bangsa Indonesia.
7. Perwujudan Pancasila sebagai penggalian sejarah
Dimasa lampau kita telah bersatu untuk mempertahankan Pancasila dengan pengorbanan.
Untuk masa depan kita terpanggil untuk mengamalkan Pancasila. Untuk itu semua kita perlukan kesatuan bangsa, kesatuan pandangan dan gerak langkah dalam mengahayati dan mengamalkan Pancasila.
b. Arti Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Pancasila sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa berarti bahwa negara mengakui adanya Tuhan. Tuhan merupakan pencipta seluruh alam semesta ini. Yang Maha Esa berarti Maha Tunggal, tiada sekutu bagi-Nya, Esa dalam zat-Nya, dalam sifat-Nya maupun dalam perbuatan-Nya. Tuhan sendirilah yang Maha Mengetahui, dan tiada yang sanggup menandingi keagungan-Nya. Tidak ada yang bisa mengatur-Nya karena Tuhan mengatur segala aturan. Tuhan tidak diciptakan oleh makhluk lain melainkan Tuhan yang menciptakan segalanya. Bahagia, tertawa, sedih, tangis, duka, dan gembira juga Tuhan yang menentukan.
Dengan demikian Ketuhanan Yang Maha Esa Tunggal, yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Dan diantara makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang berkaitan dengan sila ini ialah manusia. Sebagai aha Pencipta, kekuaaan Tuhan tidaklah terbatas, sedangkan selain-Nya adalah terbatas.
c. Butir-butir Pancasila Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Ketetapan MPR No.I/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancasila menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 45 butir pengalaman sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila. Ketetapan ini kemudian dicabut dengan Tap MPR No.I/MPR/2013.
a) Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
b) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
c) Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
d) Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
e) Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
f) Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Dari butir-butir yang telah disebutkan di atas, telah di sebutkan bahwa dalam kehidupan beragam itu tidak diperbolehkan adanya suatu paksaan. Setelah ketetapan ini dicabut, tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir ini benar-benar diamalkan dalam keseharian warga Indonesia.
Manusia selain merupakan makhluk ciptaan Tuhan juga merupakan makhluk sosial, yang berarti bahwa manusia memerlukan pergaulan dengan manusia lainnya. Setiap manusia perlu bersosialisasi dengan anggota masyarakat lainnya.
Bangsa Indonesia yang beraneka agama, menjalankan ibadahnya masing-masing dimana pemeluk melaksanakan ajaran agama sesuai dengan norma agamanya. Agar tidak terjadi pertentangan antara pemeluk agama yang berbeda, maka hendaknya dikembangkan sikap toleransi beragama, yaitu sikap hormat menghormati sesama pemeluk agama yang berbeda, sikap menghormati kebebasan menjalanakan ibadah sesuai ajaran agama masing-masing, dan
tidak boleh memaksakan suatu agamma kepada orang lain. Toleransi beragama tidak berarti bahwa ajaran agama yang satu bercampur aduk dengan ajaran agama lainnya.
d. Penerapan Pancasila Sila Pertama Dalam Kehidupan Berbangsa Saat Ini
Penerapan Sila ini dalam kehidupan sehari-hari yaitu:
Misalnya menyayangi binatang; menyayangi tumbuh-tumbuhan dan merawatnya; selalu menjaga kebersihan dan sebagainya. Dalam Islam bahkan ditekankan, bahwa Allah tidak suka pada orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, tetapi Allah senang terhadap orang- orang yang selalu bertaqwa dan selalu berbuat baik. Lingkunagn hidup Indonesia yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan karunia dan rahmat-Nya yang wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuannya agar tetap dapat menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat dan Bangsa Indonesia serta makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi. Reposisi Hubungan Agama dan Negara. Jakarta: Kompas, 2002.
Dede Rosyada. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani.
Jakarta: IAIN Jakarta Press, 2000.
K. Sukardji. Agama-Agama Yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya. Bandung : Angkasa, 1993.
Waqiatul Masrurah. Buku Ajar Civic Education. Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2006.
K. Sukardji, Agama-agama yang berkembang di dunia dan pemeluknya Bandung:Angkasa,1993) hlm 26
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama sebuah pengantar (Bandung: PT. MIizan Pustaka, 2004) hal. 20-22
Waqiatul Azra, Buku ajar civic education (Pamekasan, STAIN Pamekasan Press,2006) hal 48 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara (Jakarta: Kompas Meida Nusantara,2002) hal 33
Dede Rosyada, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM, dan masyarakat madani, (Jakarta: IAN Jakarta Press, 2000) hal, 31-33 .
Kasman Singodimedjo 75 Tahun, Hidup Itu Berjuang, Jakarta: Bulan Bintang,1982.
Saifuddin Anshari, Endang, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: GIP,
Dharmodiharjo, Darji. 1985. Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Malang : IKIP Malang.
Ir. Soekarno. 2006. Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno. Yogyakarta : Medi Pressindo.
Sunoto. 1984. Mengenal Filsafat Pancasila Pendekatan Melalui Sejarah dan Pelaksanaannya.
Yogyakarta : PT. Hanimdita.
Winarno. Paradigma Baru Pendidikan Pancasila