• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH SEORANG IBU KARENA TERLILIT HUTANG DI KEJAKSAAN NEGERI GROBOGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH SEORANG IBU KARENA TERLILIT HUTANG DI KEJAKSAAN NEGERI GROBOGAN"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Hukum

Program Kekhususan Hukum Pidana

Diajukan oleh:

Retno Nova Amaliah NIM : 30301900292

PROGRAM STUDI (S.1) ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG (UNISSULA) SEMARANG

2023

(2)

ii

Diajukan oleh :

Retno Nova Amaliah NIM : 30301900292

Pada tanggal, 6 Juni 2023 telah Disetujui oleh :

Dosen Pembimbing

Dr. H. Trubus Wahyudi, S.H., M.H.

NIDK: 886.297.001.8

(3)

iii

HALAMAN PENGESAHAN

IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH SEORANG IBU

KARENA TERLILIT HUTANG DI KEJAKSAAN NEGERI GROBOGAN

Dipersiapkan dan Disusun Oleh:

Retno Nova Amaliah 30301900292

Telah dpertahankan dihadapan Tim Penguji Pada tanggal, 14 Agustus 2023

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat dan lulus Tim Penguji

Ketua

Dr. H. Widayati, S.H., M.H NIDK: 210389020 Anggota

Dr. Taufan Fajar Riyanto, S.H., M.Kn NIDK: 8905100020

Anggota

Dr. H. Trubus Wahyudi, S.H., M.H NIDK: 8862970018

Mengetahui

Dekan Fakultas Hukum Unissula

Dr. Bambang Tri Bawono, S.H., M.H NIK: 210303039

(4)

iv

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Retno Nova Amaliah NIM : 30301900292

Dengan ini menyatakan bahwa Karya Penulisan Hukum yang berjudul

“IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH SEORANG IBU KARENA TERLILIT HUTANG DI KEJAKSAAN NEGERI GROBOGAN”

adalah benar hasil karya dan penuh kesadaran bahwa saya tidak melakukan tindakan plagiasi atau mengambil alih seluruh atau sebagian besar karya tulis orang lain tanpa menyebutkan sumbernya. Jika saya terbukti melakukan plagiasi saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Semarang, 14 Agustus 2023 Yang menyatakan,

Retno Nova Amaliah

(5)

v

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Retno Nova Amaliah

NIM : 30301900292

Program Studi : Ilmu Hukum

Fakultas : Hukum

Dengan ini menyerahkan karya ilmiah berupa skripsi dengan judul

“IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH SEORANG IBU KARENA TERLILIT HUTANG DI KEJAKSAAN NEGERI GROBOGAN ” dan menyetujuinya menjadi hak milik Universitas Islam Sultan Agung serta memberikan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif untuk disimpan, dialih mediakan, dikelola dalam pangkalan data dan dipublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis selama tetap mencantumkan nama penulis sebagai pemilik Hak Cipta.

Pernyataan ini saya buat sungguh-sungguh. Apabila dikemudian hari terbukti ada pelanggaran Hak Cipta/Plagiarisme dalam karya ilmiah ini, maka segala bentuk tuntutan hukum yang timbul akan saya tanggung secara pribadi tanpa melibatkan pihak Universitas Islam Sultan Agung.

Semarang, 14 Agustus 2023

Yang menyatakan,

Retno Nova Amaliah

(6)

vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO الَ

ااهاعْس ُو هلَِإ اًسْفان ُ هللَّٱ ُفِِّلاكُي

lâ yukallifullâhu nafsan illâ wus‘ahâ

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”

(Q.S Al-Baqarah:286)

“Nasib memang diserahkan manusia untuk digarap, tetapi takdir harus ditanda tangani di atas materai dan tidak boleh d igugat kalau nanti terjadi apa-apa baik

atau buruk.”

(Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono)

PERSEMBAHAN

1. Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesakan penulisan hukum ini dengan tepat waktu.

2. Kepada diri saya sendiri karena mampu berjuang sampai dititik ini.

3. Kedua orangtua dan kakak saya yang telah memberikan kasih sayang, dukungan dan semangat baik secara moril maupun materiil dalam penyusunan penulisan hukum ini.

(7)

vii

KATA PENGANTAR

ِمْيِحهرلا ِنامْحهرلا ِالله ِمــــــــــــــــــْسِب Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirabbil,alamin, Puji Syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP TINDAK PIDANA PEN C UR IA N YANG DILAKUKAN OLEH SEORANG IBU KARENA TERLILIT HUTANG DI KEJAKSAAN NEGERI GROBOGAN” yang merupakan karya ilmiah persembahan penulis untuk memenuhi salah satu syarat guna mencapai derajat S-1 dalam Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Sholawat serta salam selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, yang merupakan nabi akhir zaman yang menjadi suri tauladan bagi umat manusia. Semoga kita memperoleh syafaatnya di dnia dan di akhirat.

Apa yang tertuang dalam penulisan hukum ini berasal dari ilmu pengetahuan yang penulis dapatkan selama menjadi mahasiswa di Universitas Islam Sultan Agung Semarang, hasil penelitian di Kejaksaan Negeri Grobogan, dan tentu saja tidak lepas dari arahan dan petunjuk yang selalu diberikan oleh dosen pembimbing.

Dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat, perkenankan penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada semua pihak yang dengan senang hati telah membantu, membimbing, memberi masukan dan dukungan bagi penulis selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr, H. Gunarto, SH., M.Hum, Selaku Rektor Universitas Islam Sultan Agung Semarang

2. Bapak Dr. Bambang Tri Bawono, SH., M.H, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

(8)

viii

3. Ibu Dr. Hj. Widayati, S.H., M.H, Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

4. Bapak Arpangi, S.H., M.H, Selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

5. Bapak Dr. Achmad Arifullah, S.H., M.H, Selaku Ketua Prodi Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

6. Ibu Ida Musofiana S.H., M.H, Selaku Sekretaris Prodi Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

7. Bapak Dr. H. Trubus Wahyudi, S.H., M.H, Selaku Dosen Pembimbing dalam penulisan hukum ini yang telah memberikan waktu, tenaga, dan ilmunya untuk membimbing, memotivasi, serta memberi pengarahan kepada penulis selama penyusunan penulisan hukum ini, dan juga senantiasa menyambut dengan hangat setiap saat penulis membutuhkan bimbingan dalam penulisan hukum ini hingga selesai

8. Ibu Dr. Hj. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.Hum, Selaku Dosen Wali penulis selama melakukan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

9. Seluruh Bapak Ibu Dosen dan segenap Staff Program Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang yang telah memberikan ilmu, bantuan dan masukan penulis selama menjalani studi dan menyusun penulisan hukum ini

10. Bapak Joko Kris Sriyanto, S.H., M.H, dan Bapak Ariyanto Nico Pamungkas, S.H., Selaku Jaksa Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Grobogan yang telah memberikan ijin untuk penelitian dan wawancara sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini

11. Keluarga Besar yang penulis hormati dan sayangi, Bapak Matori, Ibu Siti Jumlati, kakak kandung penulis M. Rizal Afendi, kakak sepupu penulis Atik Setyo dan adik sepupu penulis Fadya Maulida Putri, yang senantiasa memberikan dukungan baik secara moril dan materiil, motivasi serta doa yang sangat luar biasa dalam perjalanan hidup penulis

(9)

ix

12. Sahabat penulis, Deviana Catur Retnoningtyas, Fitria Fatmawati dan Amelia Nurul Sofa yang telah memberikan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini

13. Kawan-kawan penulis, Nadya Ariani, Sekar Indah Chantika, Sely Cahya Imani yang telah berjuang bersama dalam menyelesaikan studi di Universitas Islam Sultan Agung Semarang

14. Rekan-rekan mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang, khususnya angkatan 2019

15. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, atas bantuan yang telah diberikan selama penyusunan skripsi ini.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kebahagiaan dan kabar baik bagi kita. Penulis memahami bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karenanya kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan sebagai masukan dan kesempurnaan bagi penulisan hukum ini. Penulis berharap semoga apa yang penulis tuangkan dalam penulisan hukum ini dapat menjadi amal ibadah di hadapan Allah SWT dan semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya dalam perkembangan Ilmu Hukum.

Wassalamu’alakum Wr. Wb.

Semarang, 14 Agustus 2023 Penyusun

Retno Nova Amaliah

(10)

x ABSTRAK

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Indonesia menerima hukum sebagai alat untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan dan kesejahteraan bagi warga negaranya. Permasalahan yang muncul di masyarakat tiap tahunnya semakin meningkat, salah satu diantaranya yaitu tindak pidana pencurian yang marak di lingkungan masyarakat sekitar. Pelaku tindak pidana tersebut tidak mengenal gender maupun umur. Proses peradilan untuk permasalahan tindak pidana yang terdapat didalam 362 KUHP tentang Tindak Pidana Pencurian (biasa) tersebut saat ini memudahkan masyarakat kelas bawah dengan cara melibatkan pelaku, korban, tokoh masyarakat serta ahli hukum untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dan tidak memberatkan satu sama lain yang disebut restorative justice (keadilan restoratif).

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis sosiologis, yakni penelitian hukum yang berdasarkan data sekunder sebagai awalnya, kemudian dilanjutkan dengan data primer. Dalam penelitian ini ingin mencari hubungan antara berbagai variabel sebagai alat pengumpulan data yang terdiri dari observasi langsung dan wawancara.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam hal penanganan tindak pidana dilakukan dengan cara survei ke lokasi (rumah) tersangka, jika seseorang yang melakukan tindak pidana tersebut tingkat perekonomiannya jauh dari kata layak, maka dapat diberikan keadilan restoratif dari Jaksa sebagai penuntut, dan jika sebaliknya, maka akan di tindak lanjut secara penal. Terkait penanganan dari tindak pidana tersebut juga tidak terdapat kendala yang berarti, dikarenakan unsur tindak pidana sudah dipulihkan, dan keadilan bagi tersangka dalam bermasyarakat juga dijamin oleh Jaksa yang menangani serta diterima baik oleh masyarakat.

Selain hal tersebut, faktor yang menjadi pertimbangan Jaksa untuk merestorative justice tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh seorang ibu karena terlilit hutang memenuhi untuk tersangka dikenakan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Selanjutnya, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah meminta Kepala Kejaksaan Negeri Grobogan untuk menyelenggarakan gelar ekspose agar segera mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2).

Kata kunci : Implementasi, Keadilan Restoratif, Tindak Pidana Pencurian

(11)

xi ABSTRACT

Article 1 paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia which explains that the State of Indonesia is a country based on law.

Indonesia accepts law as a tool to create order, security, justice and prosperity for its citizens. Problems that arise in society are increasing every year, one of which is the crime of theft which is rife in the surrounding community. The perpetrators of this crime know no gender or age. The criminal justice process contained in 362 KUHP of the Criminal Code concerning (ordinary) Theft Crimes currently makes it easier for lower class people to involve perpetrators, victims, community leaders and legal experts to jointly seek a solution that is fair and not burdensome one another which are called restorative justice.

This research is a sociological juridical legal research, namely legal research based on secondary data as a start, then followed by primary data. In this study wanted to find the relationship between various variables as a data collection tool consisting of direct observation and interviews.

The results of this study indicate that in the case of handling a crime carried out by means of a survey to the location (house) of the suspect, if someone who commits the crime has a far from decent economic level, then restorative justice can be given from the prosecutor as a prosecutor, and if vice versa, it will be penalized follow-up. Regarding the handling of the crime, there are also no significant obstacles, because the elements of the crime have been restored, and justice for the suspect in society is also guaranteed by the prosecutor who handles it and is well received by the community. In addition to this, the factors that are considered by the Prosecutor for restorative justice for the crime of theft committed by a mother because she is in debt to fulfill the suspects are subject to the Prosecutor's Regulation of the Republic of Indonesia Number 15 of 2020 concerning Termination of Prosecution Based on Restorative Justice.

Furthermore, the Head of the Central Java High Prosecutor's Office asked the Head of the Grobogan District Prosecutor's Office to hold an exposure title to immediately issue a Decision Letter on Termination of Prosecution.

Keywords : Implementation, Restorative Justice, Theft Crime

(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN ...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN...iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...vi

KATA PENGANTAR...vii

ABSTRAK ...x

ABSTRACT ...xi

DAFTAR ISI ...xii

DAFTAR BAGAN...xiv

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah...13

C. Tujuan Penelitian ...13

D. Kegunaan Penelitian ...13

E. Terminologi ...14

F. Metode Penelitian ...15

G. Sistematika Penulisan ...18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...20

A. Tinjauan Umum Tentang Restorative Justice...20

1. Pengertian Restorative Justice ...20

2. Sejarah Munculnya Restorative Justice ...22

3. Tujuan Restorative Justice...24

4. Prinsip dan Bentuk Restorative Justice ...24

B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana...26

1. Pengertian dan Unsur Tindak Pidana ...26

2. Pelaku Tindak Pidana ...30

C. Tinjauan Umum Tentang Penyelesaian Tindak Pidana ...32

(13)

xiii

1. Tahap Penyelidikan ...32

2. Tahap Penyidikan ...33

3. Tahap Penuntutan ...34

4. Tahap Pemeriksaan Pengadilan ...35

5. Tahap Pelaksanaan Putusan...36

D. Bentuk Keadilan Supremasi Hukum Restorative Justice di Masyarakat...37

E. Pencurian dan Restorative Justice dalam Perspektif Islam...39

1. Pencurian dalam Perspektif Islam ...39

2. Restorative Justice dalam Perspektif Islam ...43

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...48

A. Implementasi Restorative Justice Di Kejaksaan Negeri Grobogan Terkait Kasus Tindak Pidana Pencurian yang Dilakukan oleh Seorang Ibu Karena Terlilit Hutang ...48

B. Faktor-Faktor yang Menjadi Pertimbangan Jaksa sebagai Penuntut Umum untuk me-Restorative Justice Tindak Pidana Pencurian yang Dilakukan oleh Seorang Ibu karena Terlilit Hutang ...54

BAB IV PENUTUP ...61

A. Kesimpulan ...61

B. Saran ...63

DAFTAR PUSTAKA ...64

LAMPIRAN ...69

(14)

xiv

DAFTAR BAGAN

Bagan 1Restorative Justice (Keadilan Restoratif)...49

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia menerima hukum sebagai ideologi bangsa untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan dan kesejahteraan bagi warga negaranya. Hal ini secara tegas diatur dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.1 Konstitusi Indonesia telah menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang berandaskan hukum (rechstaat). Konsekuensinya, hukum akan menjadi alat legitimasi dari pemegang kekuasaan dalam menjalankan dan mempertahankan kekuasaannya.2

Didalam kehidupan bermasyarakat, kebutuhan atau kepentingan orang satu dengan yang lainya tidak pasti sama, maka dari itu sering terjadi perselisihan yang menyebabkan kurangnya keharmonisan dalam berhubungan di masyarakat. Dengan adanya perselisihan semacam itu, menyebabkan timbulnya kejahatan-kejahatan yang dampaknya tidak hanya merugikan diri sendiri ataupun pelaku namun juga berdampak pada masyarakat luas.

Dalam rangka mencapai keinginan masing-masing pihak, maka manusia membuat aturan-aturan yang disepakati bersama dan tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan di masyarakat guna keamanan dan kesejahteraan dalam bermasyarakat. Semua aturan tersebut harus dipatuhi dan dijunjung tinggi, hal inilah yang sebenarnya disebut hukum.

1 “DPR-RI’, Unda ng-Unda ng Da sa r Nega ra Republik Indonesia Ta hun 1945 Pa sa l 1 Aya t (3), https://www.dpr.go.id/jdih/uu1945 dia kses pa da 19 Agustus pukul 12.00

2 Johni Na jwa n, 2021, Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum, ma ka la h pa da Perkulia ha n Filsa fa t Hukum Progra m Ma gister Ilmu Hukum Progra m Pa sca sa rjana Universita s Ja mbi, Universita s Ja mbi, Ja mbi, hlm. 26-27.

(16)

Rasa keadilan masyarakat seringkali terusik karena cara penegakan hukum pidana yang sangat formalistik. Yang mana, dalam praktik penegakan hukumnya menempatkan prosedur menjadi dasar legalitas untuk menegakkan keadilan, bahkan lebih penting dari keadilan itu sendiri.3 Padahal saat ini masyarakat merasa aparatur penegak hukum perlu menjalankan penegakan hukum pidana dengan melakukan seleksi perkara seperti tindak pidana ringan, perkara penyalahgunaan narkotika serta perkara anak dan perempuan yang berhadapan dengan hukum yang seringkali mengundang reaksi masyarakat secara luas.

Setiap harinya masyarakat Indonesia tidak pernah luput dari permasalahan dalam ranah segi sosial. Perbuatan menyimpang atau melanggar hukum yang dilakukan oleh masyarakat disebut tindak pidana. Tindak pidana secara sederhana dapat dikatakan sebagai perbuatan yang pelakunya seharusnya dapat dipidana.4 Jenis dari permasalahan yang muncul di masyarakat ada berbagai macam, salah satunya tindak pidana pencurian yang marak di lingkungan masyarakat. Tindak pidana pencurian banyak dilakukan dikalangan masyarakat menengah ke bawah karena struktur ekonomi yang semakin memburuk. Hal tersebut diakibatkan oleh kenaikan harga barang inflasi yang terlalu tinggi dan menurunnya lapangan pekerjaan, sedangkan pembagian pendapatan di masyarakat belum merata dan masih tingginya angka pengangguran sehingga mengakibatkan masyarakat terdorong untuk melakukan tindak pidana dengan berbagai cara, contohnya melakukan tindak pidana pencurian.

Regulasi tindak pidana pencurian diatur dalam BAB XXII Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menjelaskan bahwa “Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau Sebagian keputusannya

3 Ha posa n Sa ha la Ra ja Sina ga , 2021, Penera pa n Restora tive Justice da la m Perka ra Na rkotika di Indonesia , Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis, Vol.2. No.7, hlm. 534

4 Ria n Pra yudi Sa putra , 2019, Perkemba nga n Tinda k Pida na Pencuria n Di Indonesia , Jurnal Pahawan, Vol. 2, No. 2, hlm. 45.

(17)

orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.5

Menurut buku KUHP karya Prof. Moeljatno diatas, unsur pelaku dan hal–

hal yang berkaitan dengan hal tersebut seperti kesalahan dan mampu bertanggung jawab, tidak dapat dimasukan kedalam definisi perbuatan pidana, melainkan bagian dari unsur yang lain, yakni unsur pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian, terdapat dua macam konsep dasar tentang struktur tindak pidana, yaitu: (1) konsep penyatuan antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) yang membentuk tindak pidana; (2) konsep pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) yang keduanya merupakan syarat-syarat untuk dapat dipidananya pelaku.6

Untuk hal yang dilarang dan diancam dengan hukuman di dalam kejahatan ini adalah perbuatan “mengambil”, yaitu membawa sesuatu benda di bawah kekuasaannya secara mutlak dan nyata. Tindak pidana pencurian dalam bentuk pokok seperti yang diatur dalam Pasal 362 KUHP terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif:7

1. Unsur subjektif8

Met het oogmerk het zich wederrechtlijk toe te eigenen atau dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum.

Perkataan “menguasai” dalam pasal 362 KUHP merupakan terjemahan dari “zich toeeinenen” yang menurut Memorie Van Toelichting mempunyai arti sebagai “menguasai sesuatu benda seolah-olah ia adalah

5 Prof. Moelja tno, S.H., 2016, Kita b Undang-Undang Hukum Pidana, PT. Bumi Aksa ra , Ja ka rta , hlm. 128.

6 Fra ns Ma ra mis, S.H., M.H., 2013, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, PT. Ra ja Gra findo Persa da , Ja ka rta, hlm. 59.

7 Drs. P.A.F. La minta ng, S.H, 1990, Hukum Pidana Indonesia, Sina r Ba ru, Ba ndung, ceta ka n ketiga , hlm. 213

8 Ibid, hlm. 214

(18)

pemiliknya”, yaitu misalnya perbuatan-perbuatan memiliki bagi dirinya sendiri, memberikan kepada orang lain, menjual atau menggadaikan, yang semuanya itu tidak boleh ia lakukan karena ia bukanlah pemiliknya.

Perbuatan “zich toeeinenen” ini merupakan tujuan dari kejahatan pencurian, akan tetapi perbuatan tersebut tidak perlu sudah terlaksana pada saat perbuatan itu telah selesai, tapi harus juga dibuktikan bahwa si pelaku mempunyai maksud tersebut. Perbuatan “zich toeeinenen” itu haruslah dilakukan secara “melawan hukum” atau secara “wederrechtlijk”, yang menurut Profesor Mr. T.J. Noyon berarti “bertentangan dengan hak pribadi orang lain”, menurut Profesor Mr. D. Simons berarti “bertentangan dengan hukum pada umumnya”, demikian pula pendapat dari Hoge Raad dan menurut Profesor Mr. W.P.J. Pompe mempunyai arti yang sama dengan “onrechtmatig”.

2. Unsur objektif9

a. hij atau barangsiapa

b. wegnemen atau mengambil

Perbuatan mengambil itu telah selesai, apabila benda tersebut telah berada di tangan si pelaku walaupun seandainya benar bahwa ia kemudian telah melepaskan kembali benda tersebut karena ketahuan oleh orang lain.

c. eenig goed atau sesuatu benda

Sesuatu benda yang dimaksud adalah “benda-benda yang berwujud dan dapat bergerak”, juga benda-benda yang tidak mempunyai nilai ekonomis, misalnya sebuah karcis kereta api yang sudah dipakai.

Termasuk juga tenaga listrik, akan tetapi tidak termasuk hak-hak atau hasil-hasil pemikiran seperti hak cipta atau hak oktroi.

d. dat geheel of gedeeltelijk aan een ander toebehoort atau sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain

Barang harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. Barang tidak perlu kepunyaan orang lain seluruhnya, sedangkan sebagian dari

9 Ibid, hlm. 215

(19)

barang saja dapat menjadi objek pencurian, jadi sebagian lagi kepunyaan pelaku sendiri. Barang yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian.

Bahkan Allah telah melarang umat-Nya untuk melakukan perbuatan tercela tersebut, dapat dilihat dari surah Al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi:

ۡمُتـۡنَاَو ِمۡثِ ۡلۡاِب ِساَّنلا ِلاَو ۡمَا ۡنِ م اًقۡي ِرَف ا ۡوُلُکۡاَتِل ِماَّکـُحۡلا ىَلِا اَهِب ا ۡوُلۡدُت َو ِلِطاَبۡلاِب ۡمُكَنۡيَب ۡمُكـَلاَو ۡمَا ا ۡوُلُكۡاَت َلۡ َو ١٨٨ َن ۡوُمَلۡعَت Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.

Didalam surah tersebut Allah menjelaskan kepada umat-Nya untuk tidak mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sesuai syariat agama, seperti mencuri, merampas dan menipu. Dan juga, perbuatan mencuri digolongkan sebagai dosa besar. Setiap perbuatan yang digolongkan sebagai dosa pasti akan mendapatkan hukuman atas segala perbuatannya.

Dalam proses penegakkan hukum yang berpatokan pada hukum pidana dan acara pidana, negara yang diwakili oleh aparat penegak hukum dibawahnya memiliki hak atau wewenang untuk menjatuhkan pidana (ius puniendi).10 Penjatuhan pidana dapat di teliti dan dilihat dari jenis tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku, apakah termasuk tindak pidana ringan atau dengan pemberatan. Jika pencurian tersebut merupakan pencurian ringan, maka hanya dikenakan Pasal 362 KUHP, dan jika termasuk pencurian dengan pemberatan maka dapat dikenakan Pasal 363 atau 365 KUHP.

10 Arfa n Ka imuddin, 2015, PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN TINDAK PIDANA PENCURIAN RINGAN PADA PROSES DIVERSI TINGKAT PENYIDIKAN, Jurnal Arena Hukum, Vol. 8, No. 2, hlm. 259

(20)

Namun, pada kenyataannya jika terjad i tindak pidana terhadap pelakunya akan ditindak melalui proses peradilan yang otomatis diberi hukuman. Korban tindak pidana serta masyarakat akan secara otomatis diwakili oleh Negara yaitu dengan cara mengadili dan menjatuhkan pidana yang setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Hal ini berbeda dengan zaman dahulu, pada zaman dahulu korban atau keluarganya dapat langsung meminta ganti kerugian atau pembalasan kepada pelaku. Fakta ini seperti yang dikemukakan oleh Hazel B. Kerper yang menyatakan11 “pada masa lampau, menururt sejarah perkembangan hukum di Inggris (Raja sebagai perwakilan dari Negara) tidak memberikan perhatian sama sekali terhadap tindakan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain,terkecuali apabila kejahatan tersebut dilakukan terhadap Negara (Raja). Pada saat itu,

“pembalasan” dari seseorang yang dirugikan terhadap pelaku kejahatan (asas talio) masih diperkenankan. Bahkan seluruh keluarga korban dapat melaksanakan pembalasan”. Berpijak pada sejarah tersebut, dengan berjalannya waktu, kebiasaan itupun dihilangkan. Akan tetapi, saat ini terdapat salah satu proses penyelesaian perkara pidana dengan cara melibatkan pelaku, korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, serta pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dan tidak memberatkan satu sama lain yang disebut restorative justice (keadilan restoratif).

Menurut Adrianus Meliala, model hukuman restoratif diperkenalkan karena sistem peradilan pidana dan pemidanaan yang sekarang berlaku menimbulkan masalah. Dalam sistem kepenjaraan sekarang, tujuan pemberian hukuman adalah memberikan efek jera dan pemberian derita sebagai konsekuensi perbuatannya. Indikator penghukuman diukur dari sejauh mana

11 Ba mba ng Wa luyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sina r Gra fika , Ja ka rta , hlm. 2

(21)

narapidana (napi) tunduk pada peraturan penjara. Jadi, pendekatannya lebih ke keamanan (security approach).12

Restorative Justice pada dasarnya merupakan sebuah pendekatan hukum pidana yang memuat sejumlah nilai tradisional. Hal ini didasarkan pada dua indikator yaitu nilai-nilai yang menjadi landasannya dan mekanisme yang ditawarkannya.13 Hal tersebut menjadi dasar pertimbangan mengapa keberadaan keadilan restoratif diperhitungkan kembali. Gagasan Restorative Justice ini pun sudah diakomodir dalam RUU KUHP, yaitu diperkenalkannya sistem pidana alternatif berupa hukuman kerja sosial dan hukuman pengawasan. Sehingga, pada akhirnya Restorative Justice berusaha memberi perhatian, mendengarkan, menenteramkan pihak-pihak yang dirugikan oleh suatu konflik dan untuk memulihkan, sejauh mungkin hubungan yang retak ke arah yang benar dan adil di antara pihak-pihak yang berlawanan, yang berfokus pada pemecahan masalah melalui mediasi, konsiliasi, dialog dan restitusi, untuk secara timbal balik memperbaiki kerugian sosial dan kemungkinan menyatakan rasa penyesalan dan pemaafan. Oleh karena itu, aparatur penegak hukum terutama hakim dan jaksa bekerjasama mengoptimalisasi penyelesaian permasalahan terutama dalam hal perkara perempuan dan anak yang berhadapan dengan hukum yang selama ini dinilai banyak memberikan ketidakadilan kepada pencari keadilan dalam menegakkan hukum terutama hukum pidana. Bentuk ideal dari restorative justice sendiri meliputi memperbaiki, memulihkan, mendamaikan, dan mengintegrasikan kembali pelaku dan korban satu sama lain dan untuk komunitas bersama mereka.14

12 Iba Nurka siha ni, SH., 2019, Restorative Justice, Alternatif Baru Dalam Sistem Pidana, Pela iha ri.

13 “Keja ksa a n Negeri Lemba ta’, Restorative Justice, https://keja ri-

lemba ta .kejaksaan.go.id/2022/10/11/publika si-restora tive-justice/ dia kses pa da 19 Agustus pukul 12.30

14 Menkel-Mea dow, C., 2007, Restora tive Justice: Wha t is it a nd Does it Work?, Annual Review of Law and Social Science Journal, Vol. 10, No.2

(22)

Pengaturan restorative justice (keadilan restoratif) selama ini diatur dalam Surat Edaran (SE) Kapolri No. SE/8/VII/2018 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana, Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dan Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA RI No.1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif.15

Dalam SE Kapolri No. 8 Tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, mengatur prinsip keadilan restoratif tidak bisa dimaknai sebagai metode penghentian perkara secara damai, tapi lebih luas pada pemenuhan rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui upaya yang melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat setempat serta penyelidik/penyidik sebagai mediator dan cara menyelesaikan perkara dilakukan diluar pengadlan, hal ini disebut sebagai konsep Alternative Dispute Resolution (ADR). Penyelesaian kasus dengan penerapan ADR dilakukan dengan syarat-syarat, meliputi penyelesaian tindak pidana ringan ataupun tindak pidana yang berupa delik aduan; permohonan dari para pihak yang berperkara untuk berdamai; melibatkan pranata sosial (tokoh-tokoh masyarakat); memperhatikan faktor niat, usia, keadaan sosial dan ekonomi, besarnya kerugian, hubungan keluarga/kekerabatan serta bukan residivis; perbuatan tersebut diawali dengan perjanjian/perikatan (mengarah ke perdata); pencabutan laporan/pengaduan; ketidakpuasan penyelesaian secara ADR tetap membuka peluang penyelesaian perkara melalui jalur litigasi; dan apabila terjadi pengulangan tindak pidana maka diproses menurut hukum yang ada.

15 “Hukum Online.com’, Mencerma ti Definisi Restora tive Justice di Bebera pa Atura n, https://www.hukumonline.com/berita /a /mencerma ti-definisi-restora tive-justice-di-bebera pa - a tura n-lt61de82f63f2cf/ dia kses pa da 18 Mei pukul 19.52

(23)

Sejalan dengan Surat Edaran Kapolri diatas, dalam proses penyelesaian perkara pidana selain menggunakan ADR, apabila suatu perkara memenuhi syarat materiil dan syarat formil sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 Ayat (1) Perkapolri tentang Penyidikan Tindak Pidana maka dapat diselesaikan berdasar restorative justice. Mekanisme ADR/mediasi penal berdasarkan pada kesepakatan damai dalam proses penyidikan melalui mekanisme Polmas oleh Bhabinkamtibmas, misal di Lampung adanya Rembug Pekon ataupun secara adat dan agama sebagaimana di Bali melalui delik adat Lokika Sanggraha yang didasarkan pada Kitab Adigama oleh Polda Bali dengan mendahulukan keadilan dan kemanfaatan dari pada kepastian hukum.16

Dasar hukum restorative justice pada perkara tindak pidana ringan terdapat pada beberapa peraturan berikut ini :

1. Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

2. Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP);

3. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP;

4. Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 131/KMA/SKB/X/2012, Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Restorative Justice;

5. Surat Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 301 Tahun 2015 tentang Penyelesaian Tindak Pidana Ringan;

16 “Koto, Z’, 2020, PROSPEKRIF PENEGAKAN HUKUM BERDASARKAN PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF DENGAN INDIKATOR YANG DAPAT TERUKUR MANFAATNYA BAGI MASYARAKAT (Penerapan dan Pengembangannya di Lingkungan Polri), https://www.bphn.go.id/da ta /documents/pa pa ra n_rj,_bphn,_01 -12-16,_rev dia kses pa da 23 Agustus pukul 12.40

(24)

Perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan restorative justice adalah pada perkara tindak pidana ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 483 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal ini hukum yang diberikan adalah pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda Rp 2,5 juta.17

Selain pada perkara tindak pidana ringan, penyelesaian perkara melalui restorative justice juga dapat diterapkan pada perkara pidana berikut ini:

1. Tindak Pidana Anak Dasar hukumnya yaitu :

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;

c. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun;

d. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indoneisa Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Tindak Pidana Perempuan yang berhadapan dengan hukum Dasar hukumnya yaitu :

a. Konvensi CEDAW (The Convention on the Elemination of All From of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita;

17 “Ma hka ma h Agung’, Sura t Keputusa n Direktur Jendera l Ba da n Pera dila n Umum Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020,

https://ba dilum.mahkamahagung.go.id/index.php?option=com_attachments&task=downloa d&id = 811 dia kses pa da 18 Mei pukul 20.39

(25)

b. Konvensi ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik);

c. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT);

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;

e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

f. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak;

g. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana;

h. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban;

i. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.

3. Tindak Pidana Narkotika;

Dasar hukumnya yaitu :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

b. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

c. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitas Sosial;

(26)

d. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitas Sosial.

e. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11 Tahun 2014, Nomor 03 Tahun 2014 Nomor Per-005/A/JA/03/2014 Nomor 1 Tahun 2014, Nomor Perber/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.

Penanganan perkara berbasis keadilan restoratif dapat menjadikan pemidanaan sebagai jalan terakhir sehingga dapat menghambat penumpukan perkara di pengadilan dan mengurangi over kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan.

Berkaitan dengan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti permasalahan tersebut dalam skripsi yang berjudul : “IMPLEMENTASI

RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP TINDAK PIDANA

PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH SEORANG IBU KARENA TERLILIT HUTANG DI KEJAKSAAN NEGERI GROBOGAN”.

(27)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang tersebut diatas, maka permasalahan yang dapat dikemukakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi Restorative Justice di Kejaksaan Negeri Grobogan terkait kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh seorang ibu karena terlilit hutang?

2. Faktor apa sajakah yang menjadi pertimbangan Jaksa sebagai Penuntut Umum untuk me-Restorative Justice tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh seorang ibu karena terlilit hutang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian dalam hal ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana implementasi Restorative Justice di Kejaksaan Negeri Grobogan terkait kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh seorang ibu karena terlilit hutang.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor apa saja yang menjadi pertimbangan Jaksa untuk me-Restorative Justice tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh seorang ibu karena terlilit hutang.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian diharapkan dapat dipergunakan secara teoritis maupun secara praktis:

1. Kegunaan Teoritis :

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum bagi peneliti-peneliti yang akan datang serta menambah wawasan berkaitan dengan restorative justice dalam penyelesaian perkara seorang ibu yang mencuri karena terlilit hutang. Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi kegunaan akademis dan bahan tambahan kepustakaan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

(28)

2. Kegunaan Praktis :

Kegunaan penelitian secara praktis ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi, pengetahuan dan solusi kepada pihak masyarakat dan penegak hukum tentang tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh seorang ibu karena terlilit hutang di Kabupaten Grobogan, Kota Purwodadi, sehingga dapat diterapkan cara berpikir dan bertindak bagi masyarakat dan penegak hukum dalam mencegah, menangani dan menyelesaikan kasus pencurian terutama yang dilakukan oleh seorang perempuan. Hasil penelitian ini juga guna untuk memenuhi persyaratan wajib menyelesaikan studi Strata 1 (S-1) di Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

E. Terminologi 1. Implementasi

Pengertian “implementasi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pelaksanaan atau penerapan.18

2. Restorative Justice

Pegertian restorative justice menurut Pasal 1 ayat 1 Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 yakni penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.19

3. Tindak Pidana

Pengertian “tidak pidana” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni perbuatan pidana (perbuatan kejahatan).20

18 “Ka mus Besa r Ba ha sa Indonesia ’, https://kbbi.web.id/implementa si dia kses pa da 18 Mei p u k u l 21.31

19 “JDIH BPK RI DATABASE PERATURAN’, Pera tura n Keja ksa a n Republik Indonesia tenta ng

Penghentia n Berda sa rka n Kea dila n Restora tif,

https://pera tura n.bpk.go.id/Home/Details/169939/peraturan-kejaksaan-no-15-tahun-2020 d ia k se s pa da 22 Mei pukul 15.49

20 “Ka mus Besa r Ba ha sa Indonesia ’, https://kbbi.wed.id/ dia kses pa da 22 Mei pukul 16.03

(29)

4. Pencurian

Pengertian “pencurian” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses, cara, perbuatan mencuri21. Sedangkan, pencurian menurut Pasal 362 KUHP yakni Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.22

5. Seorang Ibu

Pengertian “seorang ibu” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu

“seorang” merupakan satu orang atau sendiri. Sedangkan, “ibu”

merupakan wanita yang telah melahirkan seseorang atau kata sapaan untuk wanita yang sudah bersuami.23

6. Terlilit Hutang

Pengertian “terlilit hutang” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yakni

“terlilit” yang berarti terlibat; tersangkut (dalam perkara dan sebagainya).

Sedangkan, “hutang” merupakan uang yang dipinjam dari orang lain. Jadi, terlilit hutang dapat diartikan sebagai tersangkut dalam perkara uang.24

F. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan implementasi penegakan hukumnya di masyarakat. Jadi, didalam metode ini tidak hanya diambil dari sudut pandang peraturan- peraturan atau hukum positif saja, namun juga memperhatikan aspek-

21 “Ka mus Besa r Ba ha sa Indonesia ’, https://kbbi.web.id/curi dia kses pa da 22 Mei pukul 16.30

22 Prof. Moelja tno, S.H., Loc. Cit., ha l 128

23 “Ka mus Besa r Ba ha sa Indonesia ’, https://kbbi.wed.id/ dia kses pa da 22 Mei pukul 17.06

24 “Ka mus Besa r Ba ha sa Indonesia ’, https://kbbi.wed.id/ dia kses pa da 22 Mei pukul 17.06

(30)

aspek sosiologis yang terjadi dalam implementasi penegakan hukumnya di masyarakat terhadap masalah yang diteliti.25

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian dari permasalahan ini adalah deskriptif analitis yakni penelitian yang bertujuan memberikan gambaran mengenai masalah yang terjadi berhubungan dengan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh seorang ibu karena terlilit hutang. Dikaitkan dengan perundang-undangan yang berlaku dan teori-teori hukum, karena dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas, rinci, dan sistematis dalam penyelesaian masalah pada kasus tersebut.

3. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi sumber data primer, sumber data sekunder, dan sumber data tersier.

a. Data Primer, yaitu data dan informasi yang diperoleh dengan cara mendatangi langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh data yang lengkap dengan cara melakukan wawancara dengan pihak yang bersangkutan atau pihak terkait.26

b. Data Sekunder, yaitu data yang dperoleh dari kepustakaan.27 Data sekunder yang terdapat dalam penelitian ini terdiri dari:

1) Bahan hukum primer

Merupakan bahan-bahan penelitian yang berasal dari perundang- undangan yang berkaitan dengan judul permasalahan yang dirumuskan, antara lain:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c) Pasal 362 KUHP tentang Tindak Pidana Pencurian.

25 Ronny Ha nitijo Soemitro, 1998, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Gha lia Indonesia , Ja ka rta , hlm. 34

26 Sri Suma rwa ni, 2012, Sebuah Seri Metode Penelitian Hukum, UPT Undip Press, Sema ra ng, hlm. 23

27 Ibid, hlm. 23

(31)

d) Pedoman Kejaksaan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana.

e) Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).

2) Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari:

Diperoleh dari bahan-bahan penunjang yang dapat membantu dalam menganalisa dan memahami bahan hukum primer, diantaranya dari buku-buku, artikel, jurnal dan dokumen yang berkatan dengan restorative justice dan tindak pidana pencurian.

3) Bahan hukum tersier

Diperoleh dari bahan-bahan yang dapat memberikan informasi, petunjuk, dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

4. Metode Pengumpulan Data

Berbagai data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode pengumpulan data antara lain:

a. Studi Kepustakaan

Metode studi pustaka merupakan metode untuk mengumpulkan data dengan cara membaca, mempelajari dan memahami sumber yang berasal dari buku, jurnal, skripsi, tesis dan makalah seminar yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian kepustakaan ini, data diperoleh dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung.

b. Studi Lapangan

Metode studi lapangan merupakan cara untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang bersifat primer guna mendapatkan data yang lebih konkrit. Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara (interview) yang didapatkan melalui responden penelitian dilapangan. Wawancara

(32)

merupakan teknik pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian, dalam hal ini dengan Kejaksaan Negeri Grobogan. Metode wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang hal-hal yang tidak dapat diperoleh lewat pengamatan.

5. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kejaksaan Negeri Grobogan yang berlokasi di Jl. Bhayangkara No.2, Brambangan, Purwodadi, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah.

6. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dilapangan, baik data prime dan sekunder dianalisis berdasarkan permasalahan-permasalahan yang terjadi tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian yang kemudian diterapkan dan disajikan secara deskriptif, yakni menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan peristiwa yang erat kaitannya dengan permasalahan dalam penelitian ini, guna memberikan pemahaman dan pengertian yang benar dan akurat dari hasil penelitian nantinya. Sehingga, diharapkan dapat diperoleh pemahaman yang jelas tentang simpulan serta dapat diterima secara ilmiah, yang mana dengan gambaran tersebut dapat memberikan angka-angka dan keadaan dilapangan (lokasi) yang akurat dari hasil penelitian yang telah dicapai.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penuisan skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Implementasi Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana Pencurian Yang Dilakukan Oleh Seorang Ibu Karena Terlilit Hutang Di Kejaksaan Negeri Grobogan” ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN pada bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan

(33)

penelitian, terminologi, metode penelitian, jadwal penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA pada bab ini penulis menguraikan mengenai segala sesuatu tentang restorative justice, tindak pidana, tindak pidana pencurian dan restorative justice dalam perspektif Islam.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN pada bab ini penulis menguraikan tentang penerapan restorative justice di Kejaksaan Negeri Grobogan pada kasus tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh seorang ibu karena terlilit hutang, faktor apa saja yang menjadi pertimbangan Jaksa untuk merestorative justice tindak pidana pencurian dan bagaimana konsekuensi tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh seorang ibu karena terlilit hutang yang sudah di restorative justice.

BAB IV PENUTUP pada bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian, bab ini berisi kesimpulan dan saran dari penulis berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.

(34)

20 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Restorative Justice 1. Pengertian Restorative Justice

Kata restorative justice berasal dari bahasa Inggris, terdiri dari dua kata, yaitu "restoration" yang artinya perbaikan; pemulihan; atau pemugaran, dan "justice" artinya keadilan. "Restorative" artinya (kata benda) obat yang menyembuhkan/menguatkan/menyegarkan: (kata sifat) yang menguatkan, menyembuhkan, atau menyegarkan. Dengan demikian, pengertian restorative justice menurut bahasa adalah keadilan penyembuhan, atau keadilan pemulihan.

Pengertian restorative justice tersebut diatas dapat di identifikasi adanya beberapa dimensi pengertian, antara lain pemulihan yang di maksud adalah pemulihan hubungan antara korban dan pelaku; pemulihan atau penyembuhan juga dapat dimaknai pemulihan kerugian korban atau kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan pelaku, sedangkan dimensi keadilan ditujukan pada keadilan individu, yaitu keadilan korban.

Terdapat banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan gerakan restorative justice, antara lain "communitarian justice" (keadilan komunitarian), "positive justice" (keadilan positif), "relational justice"

(keadilan relasional), "reparative justice", (keadilan reparatif), "community justice". (keadilan masyarakat)".28

28 Suka rdi, 2020, Restorative Justice Dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia, Ra ja Gra find o , Ja ka rta , ha l. 19

(35)

Howard Zehr dalam bukunya The Little Book of Restorative Justice memberikan definisi tentang Restorative Justice, sebagai berikut:

Restorative justice yaitu a process to involve to the extent possible. these who have a stake in a specific offence and to collectively identify and address harms, needs, and obligations, in order to heal and put things as right as possible (Dilihat melalui lensa keadilan restoratif, kejahatan adalah pelanggaran terhadap hubungan kemasyarakatan. Kejahatan menciptakan kewajiban untuk memperbaikinya. Keadilan melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat dalam mencari solusi yang menawarkan perbaikan, rekonsiliasi, dan jaminan).29

Howard Zehr memaknai restorative justice sebagai proses yang memberi proses laku, dan memungkinkan keterlibatan pihak-pihak yang lebih luas, yakni para pihak yang mempunyai kepentingan atas suatu pelanggaran yang spesifik. Kemudian secara bersama, mengidentifikasi dan mengarahkan kerugian, kebutuhan, dan kewajiban dalam rangka menyembuhkan dan menempatkan hak para pihak sebagai titik yang mungkin dituju untuk diselesaikan.

Muladi mengungkapkan bahwa di dalam restorative justice, korban diperhitungkan martabatnya. Pelaku harus bertanggung jawab dan diintegrasikan kembali ke dalam komunitasnya. Pelaku dan korban berkedudukan seimbang dan saling membutuhkan, karena itu harus dirukunkan. Menurut Eva Ahjani Sulfa, keadilan restoratif adalah konsep pemikiran yang merespons pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan korban dan masyarakat yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekeria pada sistem peradilan pidana yang ada Saat ini. Selanjutnya, Bagir Manan. Secara umum

29 Howa rd Zehr, 1990, Changing lenses : A New Focus for Crime and Justice, Hera ld Press, Wa terloo, ha l. 181

(36)

pengertian restorative justice adalah penataan kembali sistem pemidanaan yang lebih adil, baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat.

Berdasarkan uraian mengenai pengertian restorative justice yang dikutip dari berbagai sumber tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa restorative justice adalah konsep pemulihan hubungan antara korban dan pelaku. Pemulihan atau penyembuhan dalam hal kerugian korban atau kerusakan yang ditimbulkan oleh tindakan pelaku, demi keadilan individu, yaitu keadilan korban.

2. Sejarah Munculnya Restorative Justice

Awal mula munculnya Restorative Justice diketahui sebagai bagian dari konsep pendekatan manusia berdasarkan pada tradisi peradilan terdahulu. Restorative merupakan suatu perkembangan dari pemikiran manusia yang didasarkan pada tradisi-tradisi peradilan dari peradaban bangsa-bangsa Arab purba, bangsa Yunani dan bangsa Romawi dalam menyelesaikan masalah termasuk penyelesaian masalah tindak pidana.

Istilah umum tentang pendekatan restoratif diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Albert Eglash yang menyebutkan bahwa restorative justice yang dalam tulisanya mengulas tentang reparation, yang artinya restorative justice adalah suatu alternatif pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan keadilan rehabilitatif.

Sejarah perkembangan hukum modern penerapan restorative justice diawali dari pelaksanaan program penyelesaian di luar peradilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation yang dimulai pada tahun 1970-an di Negara Canada.

Program ini awalnya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman, pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukuman yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak

(37)

pertimbangan hakim. Program ini mengangap pelaku akan mendapatkan keuntungan dan manfaat dari tahapan ini, serta korban juga akan mendapatkan perhatian dan manfaat secara khusus sehinga dapat menurunkan jumlah residivis dikalangan pelaku anak dan meningkatkan jumlah anak yang bertanggung jawab dalam memberikan ganti rugi pada pihak korban. Pelaksanaan program tersebut diperoleh dari hasil tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagi korban dan pelaku daripada saat mereka menjalani proses peradilan tradisional.

Restorative justice timbul karena adanya ketidak puasan dengan sistem peradilan pidana yang telah ada, yang mana tidak dapat melibatkan pihak-pihak yang berkonflik, melainkan hanya antara negara dan pelaku.

Korban maupun masyarakat setempat tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik, berbeda dengan sistem restorative justice dimana korban dan masyarakat dilibatkan sebagai pihak untuk menyelesaikan konflik.

Di Indonesia perkara pidana diselesaikan melalui sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro adalah sistem suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan30. Tujuan sistem peradilan pidana, yaitu :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatan.

30 Ma rdjono Reksodiputro, 2007, Sistem Peradilan Indonesia (Peran Penegak Hukum Melawan kejahatan) dalam buku Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana Kumpulan Karang a n Buku Ketiga, Pusa t Pela ya na n Kea dila n da n Penga bdia n Hukum Universita s Indonesia , Ja ka rta , hlm. 84

(38)

Namun, jika dihubungkan dengan sejarah timbulnya restorative justice, maka sistem peradilan pidana tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, karena gagal memberikan ruang yang cukup pada kepentingan para calon korban dan para calon terdakwa, dengan kata lain sistem peradilan pidana yang konvensional saat ini di berbagai negara di dunia kerap menimbulkan ketidakpuasan dan kekecewaan.

3. Tujuan Restorative Justice

Adapun dilaksanakannya proses Restorative Justice mempunyai tujuan antara lain sebagai berikut:

a. Korban setuju terlibat dalam proses yang dapat dilakukan dengan aman dan menghasilkan keputusan.

b. Pelanggar memahami bahwa perbuatan mereka telah mempengaruhi korban dan orang lain, untukkemudian bertanggungjawab atas konsekuensi dari tindakan mereka dan berkomitmen untuk membuat perbaikan/reparasi.

c. Langkah-langkah fleksibel yang disepakati oleh para pihak yang menekankan untuk memperbaiki kerusakan yang dilakukan dan sedapat mungkin juga mencegah pelanggaran.

d. Pelanggar membuat komitmen mereka untuk memperbaiki kerusakan yang dilakukan dan berusaha untuk mengatasi faktorfaktor yang menyebabkan prilaku mereka.

e. Korban dan pelaku baik memahami dinamika yang mengarah ke insiden tertentu, memperoleh hasil akhir dan reintegrasi/kembali bergabung dengan masyarakat.

4. Prinsip dan Bentuk Restorative Justice

Restorative Justice pada prinsipnya merupakan suatu falsafah (pedoman dasar) dalam proses perdamaian di luar peradilan dengan menggunakan cara mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum

(39)

pidana tersebut yaitu pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana unt uk mencari solusi terbaik yang disetujui dan disepakati oleh para pihak. Ada beberapa prinsip dasar yang menonjol dari Restorative Justice terkait hubungan antara kejahatan, pelaku, korban, masyarakat dan negara, yaitu:

a. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana (keluarganya).

b. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana (keluarganya) untuk bertanggungjawab menebus kesalahannya degan cara mengganti kerugian akibat tindak pidaa yang dilakukannya.

c. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak.

Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik sosial.31 Adapun bentuk-bentuk Restorative Justice yang digunakan sampai saat ini sebagai berikut:

a. Victim-Offender Mediation (VOM)

Bentuk keadilan restoratif ini merupakan proses restorative justice terbaru yang semula program tersebut dipakai dalam sebuah lingkup kejahatan kekerasan termasuk pelaku yang diancam hukuman mati, menjadi pertemuan antara korban dengan pelaku yang d ipimpin oleh seorang mediator khusus yang mengkoordinasi jalannya restorative justice serta memfasilitasi pertemuan. VOM awal mulanya berasal dari Norwegia dan Finlandia sebagai bagian dari alternatif sanksi pengadilan.

b. Family Group Conferencing (FGC)

Jika pada VOM hanya melibatkan pelaku dan korban, maka pada FGC ini melibatkan keluarga inti, masyarakat dan ahli hukum. Bentuk

31 “Prinsip Da sa r Restora tive Justice’, http://nura minsa leh.com/2016/02/seja ra h -perkemba nga n- restora tive-justice.html?m=1 dia kses pa da 15 Juni pukul 19.20

(40)

ini juga biasanya sering digunakan dalam perkara yang dilakukan oleh anak-anak. Tujuan dari proses FGC ini adalah untuk medapatkan kejelasan dari peristiwa yang terjadi dengan memberi semangat kepada pelaku, mengembalikan kerugian korban, melakukan reintegrasi korban ke masyarakat serta pertanggung jawaban bersama. FGC banyak digunakan di Negara Australia, New Zealand dan Brazil.

c. Community Restorative Boards/Youth Panels

Community restorative boards merupakan suatu grup/panel/lembaga yang terdiri dari orang-orang yang telah dilatih untuk bernegosiasi dalam menyelesaikan masalah. Di Inggris dan di Wales, hakim dan jaksa dapat memerintahkan kepada pelaku untuk mengikuti program ini. Polisi juga dapat merujuk pelaku untuk mengikuti program tersebut sebelum mereka melanjutkan penyidikan.

Disini, korban bertemu dengan pelaku dan panelis untuk mendiskusikan masalah dan solusinya dalam jangka waktu tertentu.

Jika dalam jangka waktu tersebut tidak tercapai kesepakatan, grup atau panel akan melimpahkan kembali perkara tersebut ke pihak pengadilan, kejaksaan atau pun ke kepolisian.

d. Restorative Circles

Bentuk ini merupakan suatu forum yang terdiri dari keluarga dan teman-teman untuk mendukung narapidana agar dapat kembali bersosialisasi dengan masyarakat. Sistem ini biasa digunakan di Negara Hawaii dan Kanada.

B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana 1. Pengertian dan Unsur Tindak Pidana

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana dikenal dengan istilah Strafbaarfeit. Tindak pidana ini merupakan istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai

(41)

pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, schingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan ielas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang

dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.

Delik dalam bahasa Belanda disebut Strafbaarfeit, yang terdiri atas 3 (tiga) kata yaitu straf, baar, dan feit. Dimana ketiganya memiliki arti yaitu:

a. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum;

b. Baar diartikan sebagai dapat dan bolch;

c. Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Jadi istilah Strafbaarfeit yaitu peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana sedangkan delik dalam bahasa asing disebut dengan delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman.

Hukum pidana berpokok pada perbuatan yang dapat dipidana (Verbrechen, Crime, atau perbuatan jahat) dan pidana. Perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat tersebut merupakan obyek ilmu pengetahuan Hukum Pidana (dalam arti luas) dan harus dibedakan sebagai berikut:

a. Perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat dipandang secara concreet, sebagaimana terwujud dalam masyarakat (social Verschijnsel, Erecheimang, Phenomena), merupakan perbuatan manusia yang menyalahi norma-norma dasar dari masyarakat dalam konkreto. Ini adalah pengertian “perbuatan jahat” dalam arti kriminologi (criminologisch misdaadsbegrip).

b. Perbuatan jahat dalam arti Hukum Pidana (strafrechtelijk misdaadsbegrip), ialah sebagaimana terwujud in abstracto dalam

(42)

peraturan-peraturan pidana. Untuk selanjutnya dalam pelajaran hukum pidana ini yang akan dibicarakan adalah perbuatan jahat dalam arti yang kedua tersebut.32

Aturan hukum yang mengikat suatu perbuatan dengan syarat-syarat tertentu dengan akibat berupa pidana disebut hukum pidana. Dimana hukum pidana mempunyai fungsi umum yaitu mengatur masyarakat agar tercipta perdamaian, dan fungsi khususnya yaitu melindungi kepentingan hak kita dari perbuatan-perbuatan yang hendak mencederai kita.

Perbuatan yang dapat di pidana itu masih dapat dibagi menjadi33: a. Perbuatan yang dilarang oleh undang-undang; dan

b. Orang yang melanggar larangan tersebut.

Pada hakekatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri atas unsur-unsur lahir. Oleh karena itu, perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya adalah suatu kejadian dalam alam lahir.34

Pengertian tindak pidana dan unsur-unsurnya menurut pendapat para ahli sebagai berikut :

a. D. Simons

Strafbaar feit adalah “een strafbaar gestelde, onrechtmatige, met schuld verband staande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”.

<

Referensi

Dokumen terkait

Dikaitkan dengan kasus tindak pidana pencurian maka metode restorative justice adalah metode penengah suatu masalah, serta penanganan pihak masyarakat dengan pihak

Pelaksanaan restorative justice dalam tindak pidana pencurian pada tahap pemeriksaan di persidangan pada Putusan Nomor 28/ Pid.B/2022/PN Lbb dilakukan oleh Majelis

implementasi , kendala yang dihadapi dan solusi yang dilakukan dalam implementasi restorative justice sebagai bentuk penyelesaian tindak pidana kecelakaan lalu lintas