• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Itikad Baik Pembeli Tanah Sebagai Jaminan Perlindungan Hukum Terhadap Wanprestasi Penjual (Studi Kasus Putusan No. 9/Pdt.G/2018/PN.Kln.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of Itikad Baik Pembeli Tanah Sebagai Jaminan Perlindungan Hukum Terhadap Wanprestasi Penjual (Studi Kasus Putusan No. 9/Pdt.G/2018/PN.Kln.)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

631 DOI: https://doi org/10 21776/ub arenahukum 2023 01602 9 Volume 16 No 3 (Desember) 2023 : pp 631-650 e-ISSN:2527-4406 Faculty of Law, Universitas Brawijaya, Malang p-ISSN:0126-0235 Indonesia

https://arenahukum.ub.ac.id/index.php/arena

ITIKAD BAIK PEMBELI TANAH SEBAGAI JAMINAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANPRESTASI PENJUAL (STUDI KASUS PUTUSAN NO. 9/PDT.G/2018/PN.KLN.)

Reni Anggriani, Firdha Ikhsania Fadilla Fakultas Hukum Univeritas Muhammadiyah Yogyakarta

Jl. Brawijaya,tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Email: [email protected]

Disubmit: 17-06-2022 | Direview: 08-08-2022 | Diterima: 13-07-2023

Abstract

This research aims to analyse how the protection of the Buyer of the land in the event of a default is carried out by the Seller. This research method is empirical normative, namely from laws and regulations and interviews of speakers related to this paper. Based on Article 1338 paragraph (3) of the Civil Law and Supreme Court Circular No. 4 of 2016 concerning the Implementation of the Formulation of the Results of the Plenary Meeting of the Supreme Court Chamber in 2016, which is a guideline for the implementation of duties for the judiciary, the Formulation of the General Civil Chamber Number 4, is stated that Good faith when purchasing land is one of the legal protections for the Purchaser of the land, so it is necessary to obtain a guarantee of legal protection.

Keywords: Default; Good faith; Land buyer; Legal protection.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan terhadap pembeli tanah jika ada wanprestasi yang dilakukan oleh penjual. Penelitian ini adalah normatif empiris yaitu dari peraturan perundangan dan wawancara narasumber yang berkaitan dengan tulisan ini.

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2016, yang merupakan pedoman pelaksanaan tugas bagi peradilan, Rumusan Kamar Perdata Umum Nomor 4, dinyatakan bahwa itikad baik saat membeli tanah merupakan salah satu perlindungan hukum bagi Pembeli tanah, sehingga perlu untuk mendapat jaminan perlindungan hukum.

Kata kunci: Itikad Baik; Pembeli Tanah; Perlindungan Hukum; Wanprestasi.

(2)

Pendahuluan

Tanah adalah kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, dan termasuk kebutuhan primer. Tanah sebagai kebutuhan pokok memiliki banyak manfaat salah satunya adalah untuk tempat tinggal dan menjadi investasi di kemudian hari. Tanah sebagai kebutuhan pokok, yang secara luasan tidak akan bertambah, tetapi masyarakat atau jumlah penduduk terus berkembang sehingga masyarakat yang memerlukan tanah terus bertambah karena tanah sebagai salah satu kebutuhan pokok yaitu sebagai tempat tinggal.

kebutuhan masyarakat akan tanah yang terus bertambah menyebabkan nilai jual tanah semakin hari semakin tinggi dan menjadi penyebab naiknya harga tanah setiap tahun.

Kebutuhan manusia terhadap tanah yang semakin meningkat tetapi luasan tanah yang tidak bertambah menyebabkan masyarakat yang belum mempunyai tanah harus berlomba untuk mendapatkan tanah yang akan dijadikan sebagai tempat tinggal mereka.

Peralihan tanah dapat terjadi karena warisan, hibah, jual beli, tukar menukar dan lainnya. Cara untuk mendapatkan tanah yang banyak terjadi salah satunya dengan membeli tanah. Jual beli tanah terjadi karena kebutuhan hidup yang juga terus meningkat dari waktu ke waktu, dan mengakibatkan untuk sebagian masyarakat menjual tanah sebagai salah satu cara untuk dapat memenuhi kebutuhan

1 M Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 181.

2 Riry Elizabeth, “Wanprestasi dalam perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik”, Lex Jurnalica, Vol. 12, No. 1, (2015), hlm. 36.

3 R Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1996), hlm 41.

4 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 358.

hidupnya, dan hasil dari penjualan tanah tersebut dapat dipergunakan untuk keperluan hidup lainnya.

Tanah merupakan salah satu objek jual beli yang merupakan perjanjian biasa, sehingga pengaturannya tunduk pada pengaturan Jual beli berdasarkan Pasal 1457 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata adalah persetujuan yang mengikat pihak penjual, untuk berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) sedangkan pihak lain bertindak sebagai pembeli dengan berjanji untuk membayar sejumlah harga.1 Perjanjian dengan kata lain melahirkan hak dan kewajiban yang seimbang diantara para pihak yang membuatnya.

Perjanjian jual beli menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, belum memindahkan hak milik atas barang, karena hak milik atas barang hanya akan berpindah setelah dilakukannya pembayaran yang merupakan suatu perbuatan yuridis untuk memindahkan hak milik.2 Pelaksanaan perjanjian dilakukan dengan itikad baik yaitu dengan mengindahkan norma-norma kepatutan serta keadilan,3 termasuk di dalamnya perjanjian jual beli.

Pengertian jual beli tanah mempunyai arti bahwa suatu perbuatan hukum yang sengaja untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain melalui jual beli.4 Jual beli merupakan suatu persetujuan yang mana pihak satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan kebendaan sedang pihak lain untuk membayar

(3)

harga yang telah diperjanjikan.5

Berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya”,6 artinya isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Untuk dapat menetapkan sah atau tidaknya suatu perjanjian juga harus tetap ada perlindungan hukum untuk melindungi para pihak yang lemah yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dan campur tangan pengadilan melalui hakim dalam putusannya.7

Permasalahan yang ada di masyarakat adalah banyaknya Pembeli khususnya tanah yang tidak terlindungi dari wanprestasi yang dilakukan oleh Penjual, dan apakah itikad baik dapat melindungi Pembeli tanah terhadap wanprestasi yang dilakukan oleh Penjual?

Untuk menjawab permasalahan tersebut mempergunakan metode normatif empiris yaitu mengenai bagaimana implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya disetiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.

Penelitian hukum ini dilakukan dengan mengkaji materi hukum primer dan sekunder, dan materi non-hukum yang berkaitan dengan itikad baik Pembeli tanah sebagai jaminan perlindungan hukum terhadap wanprestasi

5 Gunawan Widjaja, Kartini Muldjadi, Seri Hukum Perikatan Jual Beli, (JakartaI PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 11.

6 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 248.

7 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermedia, 1990), hlm. 48.

8 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 81.

Penjual. Pendekatan tersebut merupakan pendekatan statuta yaitu mengkaji seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah hukum, dan pendekatan kasus dengan mengkaji kasus yang memiliki hubungan dengan masalah hukum yang akan dibahas.

Pembahasan A. Itikad baik

Menurut Munir Fuady itikad baik yang dirumuskan dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itikad baik bukan bagian dari syarat sah dari perjanjian yang dipersyaratkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Itikad baik hanya dijadikan syarat untuk pelaksanaan dalam suatu perjanjian, bukan merupakan syarat untuk pembuatan suatu perjanjian. Oleh karena itu dalam pembuatan perjanjian, unsur itikad baik telah masuk dalam “kuasa yang legal” sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.8

Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa “Suatu perjanjian harus diselenggarakan dengan itikad baik”. Itikad baik dapat pula disebut sebagai kejujuran yang bertujuan untuk mencapai apa yang telah disepakati. Dengan cara beritikad baik maka

(4)

dapat menciptakan kepastian hukum tentang isi perjanjian yang tidak selalu dinyatakan dengan jelas. Itikad baik merupakan hal yang penting untuk melaksanakan perjanjian terutama dalam perjanjian jual beli termasuk jual beli tanah.

Asas Itikad baik terdiri dari 2 (dua) arti itikad baik, yaitu itikad baik dalam arti objektif dan itikad baik secara subyektif. Itikad baik objektif artinya bahwa suatu perjanjian yang dirancang harus dilaksanakan berdasarkan kaidah/ aturan-aturan kepatutan serta kesusilaan. Dengan demikian pelaksanaan perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik, supaya tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Sedangkan itikad baik dalam arti subyektif adalah itikad baik yang terdapat pada jiwa seseorang. itikad baik dalam hukum benda merupakan bentuk kejujuran, termasuk dalam melaksanakan perjanjian.

B. Pengertian dan Syarat sahnya Perjanjian

Pengertian Perjanjian dalam Bahasa Belanda disebut dengan overeenkomst dapat juga diartikan sebagai persetujuan,9 yaitu peristiwa dimana seseorang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal yang disebut perjanjian.10 Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pengertian perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku

9 Leli Joko Suryono, Pokok-Pokok Perjanjian Indonesia, (Yogyakarta: LP3M, 2014), hlm. 4.

10 Wawan Muhwam Hariri, Hukum Perikatan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 119.

11 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op. Cit., hlm.1.

12 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perpajakan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014), hlm. 67.

13 R. Subekti, 1992, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, hlm. 4.

14 Salim HS, 2003, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 24.

III diatur dalam Pasal 1313 adalah “Suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.11

Perbuatan saling mengikatkan diri tersebut menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak untuk melakukan suatu perjanjian, karena perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang dapat menimbulkan, merubah, menghapus hak, atau mengandakan suatu hubungan hukum.12

Perjanjian sah jika memenuhi syarat yang ada pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ialah:

1. Kesepakatan untuk mengikatkan diri.

Kesepakatan merupakan sesuatu yang paling penting dalam sebuah perjanjian.

Menurut R. Subekti yang dimaksud dengan kesepakatan ialah terdapatnya kehendak para pihak yang menginginkan sesuatu yang sama dengan timbal balik.13

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Kecakapan bertindak merupakan kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum.14 Artinya pada saat melakukan perbuatan hukum, seseorang harus cakap hukum. Jika salah satu pihaknya adalah badan, baik badan usaha maupun badan hukum maka yang mewakili badan tersebut harus benar-benar orang yang mempunyai

(5)

kewenangan dalam bertindak untuk dan atas nama badan tersebut.

3. Suatu hal tertentu.

Suatu hal tertentu atau objek tertentu, berdasarkan Pasal 1333 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu (centainty of terms). Artinya apa yang diperjanjikan yaitu hak dan kewajiban dari kedua belah pihak dan barang yang diperjanjikan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya,15 atau dapat dikatakan barangnya harus jelas.

4. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal atau kuasa yang halal, berdasarkan Pasal 1337 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata adalah suatu hal yang tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum serta kesusilaan.

Pengertian sebab atau kausa yang halal adalah tujuan yang hendak dicapai secara bersama oleh para pihak,16 dengan tidak melanggar undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum serta kesusilaan. Apabila suatu perjanjian dibuat berdasarkan sebab yang dilarang atau tidak memiliki sebab maka perjanjian tersebut berakibat tidak memiliki kekuatan hukum atau

15 Retna Gumantri, “Syarat Sahnya Perjanjian (ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdaa)”, Jurnal Pelangi Ilmu, Vol. 5, No. 1 (2012): 8.

16 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm. 319.

17 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm.111.

18 Salim HS, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak Cetakan Kelima, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 42.

dapat batal demi hukum.17

C. Macam-macam Perjanjian

Macam-macam Perjanjian terdiri dari 2 macam, yaitu perjanjian tertulis dan perjanjian lisan. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan dan hanya berdasarkan kesepakatan dan kepercayaan diantara para pihak untuk melakukan perjanjian.18

Perjanjian tertulis dibedakan menjadi 3 (tiga) bentuk, yakni:

a. Perjanjian di bawah tangan merupakan suatu perjanjian yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja.

Perjanjian tersebut mengikat hanya kepada para pihaknya, tetapi tidak memiliki kekuatan mengikat bagi pihak ketiga. Oleh karena itu apabila perjanjian di bawah tangan disangkal oleh pihak ketiga, maka salah satu pihaknya mempunyai kewajiban untuk mengajukan bukti-bukti untuk dapat membuktikan bahwa perjanjian itu ada.

b. Perjanjian yang dilakukan dengan saksi notaris untuk melegalisasi tanda tangan para pihak merupakan perjanjian yang dibuat dibawah tangan dan Notaris sebagai yang menyaksikan atau melegalisasi

(6)

kebenaran tanda tangan para pihak.

Kesaksian Notaris tidak mempengaruhi kekuatan hukum dalam isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

c. Perjanjian yang dibuat dihadapan notaris dan dibuat dalam bentuk akta otentik.

Akta otentik adalah merupakan akta yang dibuat dihadapan dan di muka pejabat yang berwenang yang dalam hal ini salah satunya adalah Notaris, Camat, PPAT dan lain-lain. Perjanjian yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang mempunyai kekuatan hukum sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atau yuridis.

D. Wanprestasi Dalam Perjanjian Wanprestasi berdasarkan Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah

“Penggantian biaya rugi dan bunga karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, baru mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya”. Artinya bahwa wanprestasi baru jika salah satu pihak terbukti lalai dalam menjalankan kewajibannya dalam perjanjian yang harus ia penuhi, dan saat itulah mulai diwajibkan padanya.

Wanprestasi berasal dari istilah dalam

19 Agustina, Dina Dwi, “Tinjauan Yuridis Tentang Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Kerjasama Penjualan Tanah Secara Kavlingan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 957 PK.Pdt/2018)”, Kumpulan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Sosial Sains, Vol. 2, No. 02, (2020): 12.

20 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet II, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1970), hlm. 50.

Bahasa Belanda “Wanprestatie” yang berarti tidak terpenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan kepada pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang- undang.

Pengertian lain wanprestasi adalah perbuatan tidak menepati janji yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian, atau melaksanakan prestasinya namun terlambat dan melakukan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam perjanjian.19.

Menurut R. Subekti Wanprestasi dapat berupa:20

a. Tidak melaksanakan apa yang sudah menjadi kesanggupan supaya dilaksanakan.

b. Melakukan sesuatu yang ada dalam perjanjian namun tidak seperti yang diperjanjikan.

c. Melaksanakan apa yang telah disepakati, akan tetapi pelaksanaannya melampaui batas yang ditentukan.

d. Melaksanakan apa yang di perjanjian dilarang.

Kategori Wanprestasi dalam perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak tidak mudah dikategorikan, karena dalam suatu perjanjian tidak ditentukan dengan jelas dan kapan tepatnya salah para pihak diharuskan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagaimana diatur dalam perjanjian jual

(7)

beli.21 Artinya ketidak lengkapan pengaturan dalam perjanjian akan mengakibatkan terjadinya masalah dikemudian hari.

Seseorang dinyatakan wanprestasi karena melakukan tidak sama sekali melaksanakan prestasi yaitu seorang debitur sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya,22 yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain.

Akibat hukum dari terjadinya wanprestasi adalah:23

a. Perikatan tetap ada

b. Sebagaimana dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Debitur wajib membayar ganti rugi kepada kreditur

c. Beban resiko beralih untuk kerugian debitur, apabila halangan itu timbul setelah melakukan wanprestasi kecuali apabila terdapat kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Oleh sebab itu debitur tidak diperbolehkan berpegang pada keadaan memaksa.

Wanprestasi dapat menimbulkan kerugian bagi pihak yang melakukannya serta pihak yang dirugikan dapat menuntut pihak yang melakukan wanprestasi supaya memberikan ganti rugi. Akibat yang ditimbulkan karena

21 Legawantara, Made Erik Krismena, dkk, “Akibat Hukum Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah”, Jurnal Interpretasi Hukum, Vol.1, No.1, (2020): 112-117.

22 A. Qirom Syamsudin, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta pengembangannya, (Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 9

23 Zaeni Asyhadie, Hukum Keperdataan (Dalam Perspektif Hukum Nasional, Kitab Undang-Undang Hukum Perdaa (BW), Hukum Islam dan Hukum Adat), (Depok: Rajawali pers, 2018), hlm. 89.

24 Fadhila Restyana dan Mochammad Bakri, 2018, “Implementasi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Pada Putusan Hakim Dalam Pemberian Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Beritikad Baik”, Thesis Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, hlm.2-3.

25 Fitriani Amas Gulu, “Aspek Hukum Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdaa”, Legal Opinion, Vol. 5, No. 4, (2017): 4.

26 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2012), hlm. 98.

adanya wanprestasi ialah debitur memiliki kewajiban untuk bayar ganti rugi atau salah satu pihaknya dapat membatalkan perjanjian, termasuk perjanjian jual beli berdasarkan Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu persetujuan di mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain berkewajiban membayar harga yang telah dijanjikan, sehingga perjanjian ini menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat perjanjian, yaitu pihak penjual dan pihak pembeli.24 Apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak memenuhi kewajiban tersebut, maka dapat dikategorikan telah terjadi wanprestasi atau ingkar janji.25

Unsur pokok yang harus terpenuhi dalam jual beli adalah unsur essensialia. Artinya diantara penjual dan Pembeli ada kesepakatan mengenai benda dan harga. Berdasarkan Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak apabila mencapai kata sepakat tentang barang dan harga meskipun barangnya belum diserahkan maupun harga belum dibayar.26

Perjanjian Jual Beli Tanah di Masyarakat,

(8)

dapat dikategorikan menjadi:

a. Jual Beli Menurut Hukum Adat

Sebelum diberlakukannya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 Undang- Undang Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960 berlaku sistem Hukum Adat yang dikhususkan untuk golongan bumi putera atau pribumi dan Hukum Barat untuk golongan Eropa. Inilah yang dijadikan dasar dalam hukum pertanahan yang ada di Indonesia sehingga tanah adat dan tanah barat menjadi dua macam tanah yang dimiliki oleh Indonesia.27

b. Jual Beli Menurut Undang-Undang Pokok Agraria

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang- Undang Pokok Agraria, hukum agraria mempunyai dasar yang disesuaikan dalam hukum adat, yaitu dengan asas-asas yang ada dalam Undang-Undang Pokok Agraria selanjutnya disebut UUPA karena menganut sistem dan asas hukum adat, maka jual beli yang dilakukan merupakan jual beli yang riil dan tunai.

Tujuan UUPA adalah memberikan kepastian hukum kepada masyarakat terhadap hak-hak atas tanah yang dipegangnya.

Selain itu alat untuk mencapai kemakmuran,

27 AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia (Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997) dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No. 37 tahun 1998), (Bandung: Mandar Maju, 2009), hlm. 20.

28 Larasati, Ayu, and Raffles Raffles. “Peralihan Hak Atas Tanah Dengan Perjanjian Jual Beli Menurut Hukum Pertanahan Indonesia.” Zaaken: Journal of Civil and Business Law, Vol.1, No. 1, (2020): 128.

29 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, (Yogyakarta: Liberty, 1974), hlm. 67.

30 Abdulkadir, Op.Cit., hlm. 318.

31 Ashar Sinilele “Tinjauan Hukum Terhadap Itikad Baik Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah”, Jurisprudentie:

Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum, Vol. 4, No. 2, (2013): 78.

kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyatnya dalam meletakkan dasar-dasar penyusunan hukum agraria nasional.28 Pelaksanaan jual beli terdapat tiga tahapan yakni persetujuan, penyerahan serta pembayaran. Perbuatan dengan menyatakan adanya kesepakatan antara pembeli dan penjual terhadap objek serta persyaratan jual beli disebut sebagai persetujuan. Penyerahan adalah proses terhadap suatu benda oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain memperoleh hak milik atas benda tersebut.29 Sedangkan pembayaran adalah perbuatan untuk menyerahkan sejumlah uang kepada penjual sebagai bentuk imbalan atas benda yang telah diterima.30 Pembayaran harus dilakukan ditempat yang telah ditetapkan dalam perjanjian, apabila dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat, maka pembayaran mengenai barang tersebut harus terjadi ditempat dimana barang itu berada sewaktu perjanjian dibuat.31

c. Jual Beli Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Berdasarkan Pasal 1457 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata jual beli merupakan persetujuan yang mengikat pihak penjual untuk berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) sedangkan pihak lain bertindak sebagai

(9)

pembeli dengan berjanji untuk membayar harga,32 dengan kata lain dalam perjanjian itu melahirkan kewajiban dan hak bagi para pihak yang membuatnya. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perjanjian jual beli belum memindahkan hak milik atas barang. Hak milik atas barang akan berpindah setelah dilakukannya pembayaran yang merupakan suatu perbuatan yuridis untuk memindahkan hak milik.33

Kewajiban penjual Menurut R. Subekti, penjual memiliki kewajiban utama yaitu:34 1) Melakukan penyerahan terhadap hak

milik atas barang yang diperjualbelikan.

Apabila bendanya tidak bergerak maka penyerahan dilakukan dengan cara yuridis dengan balik nama atau overshijving dihadapan pejabat yang berwenang.

2) Tanggungjawab terhadap barang yang diperjualbelikan dari cacat-cacat tersembunyi.

Sama halnya dengan Penjual, pembeli juga memiliki hak dan kewajiban yang terdiri dari, berikut adalah hak Pembeli:

1. Hak milik atas suatu barang

Berdasarkan Pasal 1481 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata “Barang siapa yang bersangkutan harus diserahkan dalam keadaan seperti pada waktu penjualan. Pada saat penyerahan, semua hasil menjadi kepunyaan si pembeli”.

2. Hak untuk menunda pembayaran dapat

32 M Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 181.

33 Riry Elizabeth, “Wanprestasi dalam perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik”, Lex Jurnalica, Vol. 12, No. 1, (2015):

36.

34 R. Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm. 9.

terjadi karena terdapat gangguan yang dialami oleh pihak pembeli. Gangguan dapat berupa hak hipotik pihak ketiga yang masih melekat pada barang. Hak menunda pembayaran terjadi pada benda tidak bergerak seperti saat pelaksanaan jual beli tanah.

3. Kewajiban pembeli sebagaimana diatur dalam Pasal 1513 Kitab Undang- Undang Hukum Perdaa yaitu “Kewajiban utama pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan tempat sebagaimana yang telah ditetapkan menurut persetujuan”. Namun yang menjadi kewajiban utama sebagai pembeli ialah menyelesaikan pelunasan harga yang bersamaan dengan penyerahan barang.

Perjanjian jual beli berdasarkan UUPA adalah jual beli yang riil dan tunai, sebagaimana yang dianut dalam sistem dan asas hukum adat, untuk mewujudkan kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah, lahirlah Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997, mengatur bahwa setiap perjanjian termasuk memindahkan hak atas tanah dikarenakan jual beli harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yaitu PPAT.

(10)

Sedangkan berdasarkan Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah persetujuan yang mengikat antara pihak penjual dan pihak pembeli. Pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda (zaak) sedangkan pihak pembeli berjanji untuk membayar harga,35 sehingga dalam perjanjian tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Perjanjian jual beli berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata belum memindahkan hak milik atas barang.

E. Itikad Baik Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Tanah Akibat Wanprestasi

Perlindungan Pembeli yang beritikad baik dalam membeli tanah, beberapa putusan pengadilan di Indonesia mempunyai keterkaitan dengan penyusunan kontrak.

Tetapi dalam putusan-putusan tersebut tidak secara tegas menyebutkan itikad baik, karena itikad baik dalam penyusunan kontrak merupakan perluasan doktrin itikad baik. 36

Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Klaten oleh Penggugat, secara garis besarnya tuntutannya adalah:

a. Bahwa Tergugat sudah mengingkari kesepakatan yang dibuat bersama pada tanggal 16 Desember 2013, sehingga adalah patut dan wajar apabila Tergugat dinyatakan telah melakukan wanprestasi.

b. Bahwa sebagai akibat dari perbuatan Tergugat yang telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat, baik kerugian

35 M Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 181.

36 Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kontrak Di Berbagai Sistem Hukum, (Yogyakarta: FH UII Press, 2017), hlm. 262.

materiil maupun immateriil, maka patut dan wajar apabila tergugat dituntut agar memberikan ganti kerugian kepada Penggugat.

c. Bahwa karena itu, dikhawatirkan tidak ada itikad tidak baik Tergugat dan untuk menghindari dialihkannya atau dibebani hak apapun itu menyangkut atas Sertifikat Hak Milik sebagai objek sengketa dan demi terjaminnya hak-hak Penggugat selaku pembeli yang beritikad baik maka sudah seharusnya hak-haknya harus dilindungi supaya tidak ada kerugian lebih banyak lagi yang akan dialami oleh penggugat.

Putusan Majelis Hakim dalam perkara aquo tidak serta merta mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya. Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2016 sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi peradilan, rumusan kamar Perdata Umum Nomor 4 menyatakan bahwa pembeli beritikad baik sebagaimana yang tercantum dalam kesepakatan kamar perdata tanggal 09 Oktober 2014 yang menjadi kriteria dalam penetapan pembeli sebagai pihak yang beritikad baik sehingga perlu diberikan perlindungan hukum berdasarkan pada Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut.

a. Pelaksanaan jual beli tanah atas objek

(11)

tanah tersebut dilakukan dengan tata cara/

prosedur-prosedur serta dokumen yang sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, yakni:

Melakukan pembelian tanah melewati pelelangan umum, atau;

1. Melakukan pembelian tanah di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;

2. Pembelian terhadap tanah milik adat/yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat yaitu dilakukan secara tunai dan terang, didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli

3. Pembelian dilakukan dengan harga yang layak

b. Melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam melihat serta meneliti tanah sebagai objek yang akan diperjanjikan, antara lain:

1. Memastikan penjual merupakan orang yang berhak/mempunyai objek jual beli berupa hak atas tanah yang menjadi, sesuai dengan bukti kepemilikannya, atau;

2. Memastikan tanah/objek jual beli itu tidak berada dalam status disita atau barang sitaan;

3. Memastikan tanah/objek yang diperjualbelikan tidak dalam status

jaminan/Hak Tanggungan;

4. Untuk tanah yang telah bersertifikat telah mendapatkan keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemilik sertifikat.

Majelis Hakim berdasarkan kriteria pembeli beritikad baik tersebut dalam petitumnya berpendapat bahwa pembeli tidak termasuk dalam kategori pembeli yang beritikad baik karena tidak memenuhi kriteria sebagai jual beli antara Penggugat dan Tergugat terhadap Sertipikat Hak Milik atas nama tergugat haruslah dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah apabila pembeli menginginkan disebut sebagai pembeli yang beritikad baik. Walaupun pembayaran pelunasan akan dibayar Ketika pengurusan balik nama di notaris PPAT namun berdasarkan bukti-bukti surat maupun saksi dari Penggugat maupun Tergugat pembayaran uang tersebut tidak terjadi di hadapan notaris PPAT.

Penggugat pada posisi ini adalah sebagai pembeli, di mana tidak memenuhi kriteria sebagai pembeli yang beritikad baik. Pembeli tidak memenuhi kriteria sebagai Pembeli yang baik dengan berdasarkan bukti-bukti sebagaimana yang telah diajukan oleh Penggugat yaitu berupa fotokopi surat perjanjian jual beli tanah dan ruko yang dibuat serta ditandatangani oleh Tergugat dan Penggugat.

dan kwitansi uang muka pembayaran pertama pembelian tanah dan ruko Tergugat, serta bukti fotokopi kuitansi pembayaran pembelian tanah dan ruko Penggugat yang diterima oleh

(12)

Tergugat. Tergugat tidak membantah telah menandatangani perjanjian dan kuitansi- kuitansi tersebut, dengan adanya bukti yang berupa surat perjanjian jual beli antara Penggugat dan Tergugat merupakan alat bukti yang kuat.

Pembeli yang terkategori sebagai pembeli beritikad baik adalah Pembeli yang apabila melaksanakan perjanjian jual belinya telah melalui prosedur sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pembeli akan dikategorikan sebagai pembeli yang beritikad baik apabila jual beli tanah dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta jual beli tersebut didaftarkan di kantor pertanahan.37 Proses jual beli tanah di bawah tangan memiliki kekurangan terutama dalam kepastian hukum terhadap peralihan hak atas tanah, karena peralihan hak atas tanah melalui jual beli di bawah tangan tidak bisa didaftarkan atau tidak diproses peralihan hak atas tanahnya di Badan Pertanahan Nasional, sehingga jual beli di bawah tangan yang dilakukan secara riil, tunai dan terang dapat dikatakan bahwa pembeli dikategorikan sebagai pembeli yang beritikad baik, tetapi dari sudut yang lain perjanjian di bawah tangan tidak dapat didaftarkan di Badan Pertanahan Nasional yang sekarang adalah Agrarian dan

37 Wawancara dengan Hakim Ketua Pengadilan Negeri Klaten, Novi Wijayanti, S.H., 20 Januari 2022

38 Ashar Sinilele, “Tinjauan Hukum Terhadap Itikad Baik dalam Perjanjian Jual Beli Tanah”, Jurisprudentie, Vol. 4, No. 2, (2017): 80.

39 Muhammad Syarifuddin, Hukum Kontrak, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hlm. 94.

Tata Ruang atau ATR/BPN, sehingga data dikatakan bahwa perjanjian yang dilakukan dibawah tangan kekuatan hukumnya lemah dalam perspektif kepastian hukum.38 Dan berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Pokok Agraria yang berkaitan dengan pendaftaran tanah, bahwa peralihan hak atas tanah harus didaftarkan untuk menjamin kepastian hukum dan juga untuk ketertiban administrasi dalam bidang pertanahan.

Menurut R. Subekti itikad baik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan contoh sendi yang memiliki peran penting dalam pembuatan hukum kontrak juga memberi kekuasaan terhadap hakim untuk memberikan pengawasan dalam suatu kontrak agar tidak terjadi pelanggaran keadilan.

Hakim memiliki wewenang untuk memberikan pertimbangan dalam membuat Keputusan yang menyimpang dari kontrak apabila ternyata dalam pelaksanaan kontrak tersebut telah melanggar keadilan bagi salah satu pihaknya. Oleh sebab itulah asas itikad baik menuntut adanya kepatutan dan keadilan.

Artinya bahwa keadilan harus ada dalam perjanjian sehingga akan menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan kontrak tidak boleh dilanggar dalam pelaksanaannya.39 Artinya bahwa dalam suatu perjanjian harus terdapat kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya termasuk dalam hal ini

(13)

dalam membuat perjanjian jual beli tanah.

Dalam perjanjian jual beli tolak ukur terhadap kategori pembeli beritikad baik dalam pelaksanaan kontrak adalah bahwa perjanjian harus dibuat dan dilaksanakan sesuai kaidah serta norma-norma yang berlaku sehingga tidak akan merugikan salah satu pihak.40

Pelaksanaan itikad baik dilaksanakan berdasarkan itikad baik yang obyektif dimana hal tersebut mengacu dalam aturan yang obyektif. Pelaksanaan itikad baik berpedoman pada aturan-aturan yang tidak tertulis yang saat ini menjadi sumber hukum itu sendiri.

Norma tersebut dikatakan obyektif karena perbuatan yang dilakukan tidak berdasarkan pada pendapat para pihak, namun berdasarkan pada tingkah laku yang harus sesuai dengan pandangan umum terhadap itikad baik tersebut.41

Menurut Ridwan Khairandy, pembeli dapat dikategorikan sebagai pihak yang beritikad baik yaitu apabila pembeli dalam melaksanakan jual beli telah menerapkan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian merupakan bentuk pengembangan dari yurisprudensi di Belanda, walaupun tidak dijumpai dalam satu ketentuanpun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur kewajiban umum mengenai itikad baik dalam hubungan pra-kontrak, akan tetapi yurisprudensi telah mengakui adanya kewajiban tersebut.

Perjanjian Jual Beli tanah dan bangunan

40 Miftah Arifin, “Membangun Konsep Ideal Penerapan Asas Itikad Baik dalam Hukum Perjanjian”, Jurnal Ius Constituendum, Vol. 5, No. 1, (2020): 74.

41 Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kontrak di Berbagai Sistem Hukum, (Jakarta: FH UII, 2017), hlm. 191.

ruko dengan Sertipikat Hak Milik dalam Kasus aquo, apabila dilihat dari bentuk perjanjian jual belinya dapat dikategorikan sebagai perjanjian dibawah tangan yang dilaksanakan oleh para pihaknya tanpa dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang yang dalam hal ini tidak dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Berdasarkan Pasal 1874 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata akta dibawah tangan adalah “sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain- lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum”. Artinya perjanjian jual beli yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat merupakan perjanjian dibawah tangan. Perjanjian jual beli menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan telah terjadi apabila ada kesepakatan dari para pihaknya, tanpa memperhatikan apakah harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang atau tidak, tetapi dala peraturan tentang pertanahan yaitu berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria perjanjian jual beli tanah harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Jual beli yang dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah sah karena dibuktikan dengan suatu akta yang merupakan akta otentik. Peralihan hak atas tanah hanya dapat dibuktikan

(14)

dengan suatu akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPAT dalam membuat akta adalah berdasarkan atas apa yang disampaikan dan disepakati oleh para pihak dengan didukung oleh data-data yang benar. Dengan demikian disarankan kepada masyarakat apabila akan melakukan jual beli maka harus dengan akta otentik atau akta yang disahkan oleh pejabat yang berwenang supaya jual beli yang dilaksanakan sah secara hukum dan mempunyai kekuatan hukum, sehingga dapat diproses peralihan haknya di Badan Pertanahan Nasional.

Perjanjian jual beli tanah yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang yang dalam hal ini adalah PPAT, akan memberikan perlindunga hukum bagi para pihak.

Perlindungan hukum menurut Penggugat adalah upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara memberikan suatu kekuasaan kepada orang tersebut untuk melakukan tindakan yang dapat memenuhi kepentingannya.42 Menurut Philipus M.

Hadjon, perlindungan hukum adalah sebuah tindakan untuk memberikan perlindungan atau pertolongan bagi subyek hukum dengan menggunakan perangkat-perangkat hukum.43

Perlindungan hukum menurut Philipus M.

Hadjon, digolongkan menjadi 2 (dua), yakni:

1. Sarana perlindungan hukum preventif Pada perlindungan hukum preventif

42 Satjipto Raharjo, Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2003), hlm. 121.

43 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011), hlm. 10.

44 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm. 25.

45 Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2003), hlm. 14.

subyek hukum memiliki kesempatan untuk mengajukan keberatan ataupun pendapatnya sebelum keputusan dari pemerintah mendapatkan bentuk yang definitis.

Perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.

2. Sarana perlindungan hukum represif

Sarana perlindungan hukum represif memiliki tujuan terhadap penyelesaian sengketanya. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kedalam kategori perlindungan hukum ini. Perlindungan hukum yang bersumber terhadap pengakuan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan ada kaitannya terhadap tujuan dari negara hukum.44

Menurut Muchsin Perlindungan hukum adalah kegiatan guna melindungi individu dengan menyerasikan hubungan terhadap nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berada di dalam sikap dan tindakan untuk menciptakan ketertiban pada pergaulan antar manusia.45

Penggugat dan Tergugat dalam Kasus aquo telah membuat perjanjian jual beli atas tanah dan bangunan ruko dengan alas hak berupa Sertipikat Hak Milik atas nama Tergugat yang selanjutnya disebut sebagai objek sengketa. Penggugat sudah berusaha untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan cara kekeluargaan atau perdamaian,

(15)

tetapi tidak berhasil. Karena penyelesaian perkara tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan maka jual beli tersebut sangat merugikan pembeli sehingga sudah seharusnya Penggugat yang dalam hal ini selaku pembeli berhak mendapatkan perlindungan hukum.

Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Agraria menjelaskan bahwa untuk memindahkan hak milik dapat dilakukan melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemberian wasiat, pemberian menurut adat serta perbuatan-perbuatan lain diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang diatur dalam Pasal 37 ayat (1) yang berbunyi “Bahwa perselisihan hak atas tanah yang diperoleh dari jual beli tanah nantinya hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah atau yang disebut PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perjanjian yang dibuat tersebut tidak dapat digunakan untuk mengubah data kepemilikan tanah karena pembuatannya tidak sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Pembuktian terhadap perjanjian di bawahtangan sulit dibuktikan karena perjanjian dibawah tangan hanya dibuat diantara para pihak tanpa adanya keterlibatan dari Pejabat yang berwenang. Perjanjian

46 Socha Tcefortin Indera Sakti, “Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah Letter C di Bawah Tangan”, Jurnal Privat Law, Vol. 8, No. 1, (2020): 148.

47 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pasal 2 ayat (1) dan (2)

dibawah tangan dalam hal terjadi masalah atau sengketa akan sulit dalam melakukan pembuktian, karena perjanjian dibawah tangan hanya dibuat oleh para pihak yang telah bersepakat untuk melakukan jual beli.

Pembuktian telah terjadinya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah melalui jual beli akan sulit mengingat perjanjian di bawah tangan hanya dibuat oleh para pihak saja tanpa ada pejabat yang berwenang.46 Dalam hal ini adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan pejabat umum yang memiliki kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu atau peralihan atas tanah, diantaranya adalah jual beli. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) bahwa PPAT memiliki tugas pokok untuk menyelenggarakan kegiatan pendaftaran tanah yang kemudian membuat akta sebagai bukti bahwa telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu atau peralihan terhadap hak atas tanah atau hak milik, yang akan menjadi dasar dalam pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum tersebut.47

Peralihan hak atas tanah yang dilakukan melalui perjanjian jual beli dibawah tangan, akan dikatakan sah apabila perjanjian jual beli tersebut telah memenuhi persyaratan perjanjian sebagaimana dalam Pasal 1320 Kitab Undang-

(16)

Undang Hukum Perdata. Syarat-syarat perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dibagi menjadi dua yaitu syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat subyektif adalah syarat yang berhubungan dengan subyek-subyek hukum dalam membuat perjanjian atau dapat disebut persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam melakukan perjanjian yaitu kesepakatan dan kecakapan. Kesepakatan adalah persetujuan yang akan mengikat keduabelah pihak. Sedangkan kecakapan para pihak adalah kecakapan para pihak yang membuat perjanjian artinya dalam melakukan perjanjian para pihak harus sudah cakap atau dewasa secara hukum, atau dengan kata lain sudah dapat melakukan perbuatan hukum.

Sedangkan syarat kedua yaitu syarat obyektif merupakan syarat yang ada kaitannya dengan obyek perjanjian seperti suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Akan tetapi perjanjian jual beli dalam kasus aquo masih rawan karena tidak memberikan kepastian hukum.

Masyarakat lebih senang melakukan jual beli atas dasar kepercayaan daripada harus melakukannya dengan perjanjian tertulis.

Perjanjian tertulis mempunyai aturan yang rigid terhadap seluruh hal yang hendak diperjanjikan, untuk tercapainya kepastian hukum bagi keduabelah pihak atau para pihak yang membuat perjanjian. Secara yuridis formal perjanjian jual beli tanah di bawah tangan sangat lemah kekuatan hukumnya, karena apabila para pihaknya beritikad

48 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm. 3 49 Wawancara dengan Hakim Anggota Pengadilan Negeri Klaten, Novi Wijayanti, S.H, 20 Januari 2022

baik maka perjanjian yang lemah kekuatan hukumnya tersebut tidak akan menjadi masalah dikemudian hari. Tetapi apabila salah satu pihaknya mempunyai beritikad tidak baik maka akan menjadi permasalahan atau sengketa dan akibatnya akan merugikan bagi pihak lainnya.

Menurut Philipus M. Hadjon dalam teorinya mengatakan perlindungan hukum dapat digolongkan menjadi dua yaitu perlindungan hukum represif dan perlindungan hukum preventif. Perlindungan hukum represif adalah perlindungan hukum yang didapatkan di pengadilan, dimana pelaku mendapatkan sanksi dari apa yang telah diperbuatnya agar bisa memulihkan hukum terhadap keadaan yang sesungguhnya.

Hubungannya dengan perlindungan hukum represif yaitu guna memberikan keadilan terhadap proses persidangan apabila terjadi sengketa. Sedangkan perlindungan hukum preventif merupakan perlindungan hukum untuk mencegah terjadinya suatu sengketa.48

Pembeli dalam kasus aquo, mendapatkan perlindungan hukum berupa perlindungan hukum represif untuk mendapatkan keadilan dalam pengadilan. Amar putusannya menyatakan bahwa:49

1. Mengabulkan gugatan penggugat sebagian;

2. Menyatakan Penggugat telah melunasi segala kewajiban dan Penggugat mempunyai hak atas tanah dan bangunan ruko objek sengketa.

(17)

3. Menyatakan jual beli antara Penggugat dan Tergugat atas objek sengketa adalah sah menurut hukum;

4. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan wanprestasi;

5. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.

Pembeli dalam kasus aquo, berhak mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan kesepakatan yang dibuat oleh pihak-pihak. Kesepakatan jual beli yang dapat dikaitkan dengan peraturan tentang perjanjian yang diatur dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Adapun bentuk perlindungan hukum dalam perkara aqua adalah sebagai berikut:

1. Pembeli mendapat perlindungan hukum berupa dikabulkannya beberapa tuntutan gugatannya oleh Majelis Hakim.

2. Pembeli mendapat perlindungan hukum atas hak atas tanah dan bangunan ruko.

Hal tersebut merupakan pemenuhan dari hak pembeli karena telah melakukan kewajibannya dengan melunasi jual belinya.

3. Pembeli mendapat perlindungan hukum berupa perjanjian jual beli antara Penggugat dan Tergugat atas tanah dan bangunan yang adalah sah secara hukum.

Hal tersebut didasarkan pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

50 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 1.

yang mana untuk menentukan sahnya perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yaitu: adanya kesepakatan para pihak, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, adanya suatu hal tertentu dan adanya suatu sebab yang halal.

Perlindungan hukum lainnya yang seharusnya didapatkan oleh Pembeli yang penjualnya melakukan wanprestasi adalah adanya ganti rugi terhadap kerugian yang telah diderita oleh Pembeli. Jika diperhitungkan sejak Penggugat mengalami kerugian materiil yang apabila tanah dan bangunan ruko dapat disewakan. Kerugian immateriil ditafsirkan sekitar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dengan alasan bahwa Penggugat sakit dan mempunyai malu yang tidak biasanya yang menjadikan rasa tidak percaya pada dirinya apabila bertemu dengan saudara-saudara Penggugat.

Ganti rugi yang timbul akibat adanya wanprestasi dalam perjanjian adalah ketika para pihak tidak menepati apa yang telah diperjanjikan dan telah menjadi komitmen dalam melaksanakan perjanjian, secara hukum Penjual dalam Kasus aqua dapat dimintakan pertanggungjawabannya apabila pihak lain menderita karena kerugiannya.50

Simpulan

Itikad baik Pembeli yang dilakukan oleh Pembeli tanah berdasarkan Putusan Nomor:

9/Pdt.G/2018/PN.Kln. adalah mendapatkan perlindungan hukum berupa dikabulkannya

(18)

gugatan Penggugat sebagian oleh Majelis Hakim. Perjanjian jual beli tanah yang dilakukan oleh penjual dan pembeli adalah sah menurut hukum, karena Pembeli telah melunasi pembayaran, sehingga Pembeli memiliki hak atas tanah yang telah dibelinya tersebut.

Dan itikad baik pembeli tersebut merupakan jaminan perlindungan hukum terhadap Penjual yang wanprestasi, sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2016, yang merupakan pedoman pelaksanaan tugas bagi peradilan, Rumusan Kamar Perdata Umum Nomor 4, mengatur bahwa Pembeli yang telah beritikad baik dalam melakukan pembelian objek jual beli yang menjadi sengketa harus dilindungi oleh

hukum.

Dengan demikian Itikad baik Pembeli tanah dalam Kasus aquo telah mendapatkan perlindungan hukum yaitu dengan dikabulkannya gugatan Penggugat dengan pertimbangan hukum bahwa perjanjian jual beli tanah yang dilakukan oleh penjual dan pembeli berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sah, sehingga Pembeli berhak memiliki objek sengketa karena telah melunasi membayar sejumlah uang pembayaran atas objek sengketa kepada Penjual yang merupakan kewajiban sebagai Pembeli, sehingga perlu dilindungi.

Walaupun telah ada SEMA yang mengatur, tetapi terkadang Pembeli yang beritikad baik tidak terlindungi secara langsung, tetapi harus melalui proses persidangan.

DAFTAR PUSTAKA Abdulkadir, Muhammad. Hukum Perikatan.

Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

Asyhadie, Zaeni. Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta:

Raja Grafindo, 2012.

Asyhadie, Zaeni. Hukum Keperdataan (Dalam Perspektif Hukum Nasional, Kitab Undang-Undang Hukum Perdaa (BW), Hukum Islam dan Hukum Adat).

Depok: Rajawali pers, 2018.

Budiono, Herlien. Ajaran Umum Hukum Perpajakan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014.

Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum

Perdata di Bidang Kenotariatan.

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2013.

Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001.

Fuady, Munir. Konsep Hukum Perdata.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014.

Hadjon, Philipus M. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2011.

Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia. Surabaya:

Bina Ilmu, 1987.

(19)

Harahap, M Yahya. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni, 1986.

Hariri, Wawan Muhwam. Hukum Perikatan.

Bandung: Pustaka Setia, 2011.

HS, Salim. Perkembangan Hukum Kontrak Innominat di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2003.

HS, Salim. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Cetakan Kelima, Sinar Grafika, 2008.

Khairandy, Ridwan. Itikad Baik dalam Kontrak di Berbagai Sistem Hukum.

Jakarta: FH UII, 2017.

Muchsin. Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor di Indonesia. Surakarta:

Universitas Sebelas Maret, 2003.

Parlindungan, AP. Pendaftaran Tanah di Indonesia (Berdasarkan PP No.

24 Tahun 1997) dilengkapi dengan Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP No. 37 tahun 1998).

Bandung: Mandar Maju, 2009.

Raharjo, Satjipto. Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas, 2003.

Santoso, Urip. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Jakarta: Prenada Media Group, 2010.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Perdata: Hukum Benda. Yogyakarta:

Liberty, 1974.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Yogyakarta: Liberty, 1980.

Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata.

Jakarta: Intermasa, 1996.

Subekti, R. Hukum Perjanjian, Cet II. Jakarta:

Pembimbing Masa, 1970.

Subekti, R. Hukum Perjanjian. Jakarta:

Intermedia, 1990.

Subekti, R. Bunga Rampai Ilmu Hukum.

Bandung: Alumni, 1992.

Subekti, R. Aneka Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

Suryono, Leli Joko. Pokok-Pokok Perjanjian Indonesia. Yogyakarta: LP3M, 2014.

Syamsudin, A. Qirom. Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta pengembangannya.

Yogyakarta: Ghalia Indonesia, 2009.

Syarifuddin, Muhammad. Hukum Kontrak.

Bandung: Mandar Maju, 2012.

Widjaja, Gunawan dan Kartini Muldjadi. Seri Hukum Perikatan Jual Beli. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Jurnal

Agustina, Dina Dwi. “Tinjauan Yuridis Tentang Penyelesaian Wanprestasi dalam Perjanjian Kerjasama Penjualan Tanah Secara Kavlingan (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 957 PK.Pdt/2018)”, Kumpulan Karya Ilmiah Mahasiswa Fakultas Sosial Sains, Vol. 2, No. 02, (2020)

Ashar Sinilele “Tinjauan Hukum Terhadap Itikad Baik Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah”, Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum, Vol. 4, No. 2, (2013).

Fadhila Restyana dan Mochammad Bakri, 2018, “Implementasi Surat Edaran

(20)

Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Pada Putusan Hakim Dalam Pemberian Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Beritikad Baik”, Thesis Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Gulu, Fitriani Amas. “Aspek Hukum Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Legal Opinion, Vol.

5, No. 4, (2017).

Larasati, Ayu, and Raffles Raffles. “Peralihan Hak Atas Tanah Dengan Perjanjian Jual Beli Menurut Hukum Pertanahan Indonesia.” Zaaken: Journal of Civil and Business Law, Vol.1, No. 1, (2020).

Legawantara, Made Erik Krismena, dkk,

“Akibat Hukum Perjanjian Jual Beli Hak Atas Tanah”, Jurnal Interpretasi Hukum, Vol.1, No.1, (2020).

Miftah Arifin, “Membangun Konsep Ideal Penerapan Asas Itikad Baik dalam Hukum Perjanjian”, Jurnal Ius Constituendum, Vol. 5, No. 1, (2020).

Retna Gumantri, “Syarat Sahnya Perjanjian (ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdaa)”, Jurnal Pelangi Ilmu, Vol. 5, No. 1, (2012).

Ridwan Khairandy. Itikad Baik Dalam Kontrak Di Berbagai Sistem Hukum, Yohyakarta, FH UII Press, hlm. 262.

Ashar Sinilele, “Tinjauan Hukum Terhadap Itikad Baik dalam Perjanjian Jual Beli Tanah”, Jurisprudentie, Vol. 4, No. 2, (2017).

Riry Elizabeth, “Wanprestasi dalam perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik”, Lex Jurnalica, Vol. 12, No. 1, (2015).

Socha Tcefortin Indera Sakti, “Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah Letter C di Bawah Tangan”, Jurnal Privat Law, Vol. 8, No. 1, (2020).

Peraturan perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Referensi

Dokumen terkait

Didasarkan hal tersebut menurut penulis Perlindungan hukum terhadap pihak yang beritikad baik (pembeli) di dalam perjanjian jual beli tanah dan bangunan apabila penjual

Jual beli hak atas tanah dan bangunan harus dilakukan di hadapan Pejabat PembuatAkta Tanah (PPAT) dan diwujudkan dalam Akta Jual Beli (AJB) sebagai tanda bukti merupakan

Syarat formil dalam jual beli hak atas tanah adalah meliputi formalitas transaksi jual beli tersebut.Formalitas ini meliputi akta yang menjadi bukti perjanjian jual beli serta

Jual beli tanah tanpa melalui Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Sehubungan dengan perbuatan hukum jual beli tanpa melalui PPAT, maka sistem yang dianut adalah sistem

Tujuan dari penelitian ini menjawab permasalahan mengenai kekuatan hukum perjanjian jual beli tanahyang tidak dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Addien Iftitah, Kewenangan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) dalam membuat akta jual beli tanah beserta akibat hukumnya , Jurnal Hukum Agraria. Lex Privatum

Dalam keadaan tertentu Jual beli se- cara di bawah tangan atau jual beli tanpa menggunakan akta Pejabat Pembuat Akta dapat didaftarkan ke Kantor Pertanahan, hal ini disebutkan

Namun dalam ke- adaan tertentu Jual beli secara di bawah tangan atau jual beli tanpa menggunak- an akta Pejabat Pembuat Akta dapat di- daftarkan ke Kantor Pertanahan, hal ini