• Tidak ada hasil yang ditemukan

kemampuan menarik kesimpulan dengan cara silogisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "kemampuan menarik kesimpulan dengan cara silogisme"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

KABUPATEN JENEPONTO

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Seminar Skripsi pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh Amirullah 10533 5286 08

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

2012/2013

(2)

AMIRULLAH, 2012.“Kemampuan Menarik Kesimpulan dengan Cara Silogisme Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Bangkala Kabupaten Jeneponto”.Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Keguruan dan ilmu pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kemampuan menarik kesimpulan dengan Cara silogisme siswa kelas X SMA Negeri 1 Bangkala Kabupaten Jeneponto.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah keseluruhan siswa kelas X SMA Negeri 1 Bangkala Kabupaten Jeneponto yang berjumlah 152 orang dan terbagi kedalam empat kelas. Sampel penelitian ini adalah 20% dari jumlah populasi yang ada atau 20% dari 152 siswa. Jadi, jumlah sampel yang ditetapkan sebanyak 25 orang. Penarikan sampel dilakukan dengan random sample (Sampelacak) dengan pertimbangan bahwa subjek yang diteliti itu mempunyai sifat dan kemampuan yang hamper sama. Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah tes tertulis dengan jumlah soal yang disediakän sebanyak 30 butir. Setiap butir soal berskor 1. Jadi, skor maksimal untuk setiap penalaran adalah 30 x 1 = 30 pada rentang nilai 1 - 10. Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan teknik statistic deskriptif ragam persentase yang diolah dengan program computer system Statistical Product Service Solution (SPSS) versi 15.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Siswa kelas X SMA Negeri 1 Bangkala Kabupaten Jeneponto tidak mampu menarik kesimpulan dengan cara silogisme karena jumlah siswa yang memperoleh nilai 6,5 ke atas tidak mencapai criteria jumlah yang ditentukan. yaitu 85%. Diprediksi rendahnya kemampuan menarik kesimpulan dengan silogisme siswa kelas X SMA Negeri 1 Bangkala Kabupaten Jeneponto disebabkan oleh faktor-faktor antara lain: referensi tentang penalaran deduksi, khususnya silogisme masih terdapat kesimpangsiuran (ketidakseragaman) pengetahuan dan pemahaman guru tentang kaidah penarikan kesimpulan dengan cara silogisme, dan kurangnya pelatihan

Terkait penarikan kesimpulan silogisme.

Sebagai aplikasi penelitian ini, disarankan kepada (1) guru bahasa Indonesia hendaknya lebih meningkatkan pengetahuan dan penguasaannya terhadap materi penarikan kesimpulan secara silogisme, memberikan banyak pelatihan kepada siswa tentang cara menarik kesimpulan silogisme serta menggunakan teknik atau strategi pembelajaran yang bervariasi dalam mempresentasekan materi pelajaran tersebut agar tidak merasa jenuh dalam pembelajaran; (2) siswa hendaknya lebih banyak berlatih menarik kesimpulan secara silogisme. Setiap hasil kerja siswa sebaiknya dikoreksi dan dikembalikan kepada siswa; (3) pihak sekolah hendaknya lebih melengkapi koleksi buku bahasa Indonesia di perpustakaan, khususnya buku tentang kesimpulan silogisme.

(3)

AssalamuAlaikumWarahmatullahiWabarakatuh

Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah swt, atas segala limpahan karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi yang berjudul “Kemampuan Menarik Kesimpulan dengan Cara Silogisme Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Bangkala Kabupaten Jeneponto” ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S1) pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat dirampungkan berkat bantuan berupa bimbingan, motivasi, dan saran dari berbagai pihak. Untuk itulah, penulis menyatakan penghargaan, ucapan terima kasih kepada Dr.Andi Sukri Syamsuri, M.

Hum.selaku pembimbing I, Dr. A. Rahman Rahim, M.Hum. selaku pembimbing II, Abdan Syakur, S. Pd.,M. Pd. PengujiI, Drs. H. Tjoddin SB, S.Pd,selaku penguji II,Dra.Hj. Rosleny, S.Pd.,M.Pd. Selaku penguji III,.dan Dr.M. Syukur.Hak MM yang telah memberikan arahan dan bimbingan sejak pelaksanaan penyusunan proposal sampai pada penyelesaian skripsi ini.

Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada, Dra. Munirah, S.Pd.,M.Pd. selaku Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr. Andi Syukri Syamsuri, selaku Dekan Fakultas

(4)

Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah mendidik dan membimbing penulis.

Ucapan terima kasih pula penulis sampaikan kepada Drs. Syaripuddin selaku Kepala SMA Negeri 1 Bangkala Kabupaten Jeneponto yang telah memberikan izin untuk mengadakan Penelitian di sekolah yang dipimpinnya. Begitu pula parasiswakelas X SMA Negeri 1 Bangkala Kabupaten Jeneponto yang telah memberikan informasi yang dibutuhkan sebagai bahan dalam penyusunan skripsi ini.

Teristimewa disampaikan ucapan terima kasih, untaian cinta kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang tinggi dan tulus kepada Ayahanda Jumakka dan Ibunda Bungania yang senantiasa memberikan cinta dan sayangnya untuk membesarkan, mendidik, dan menyekolahkan anak-anaknya; Kakanda Sukardi yang telah membiayai selama di bangku SMP-Perguruan Tinggi, Talebe yang telah memberikan kendaraan sepenuhnya selama di bangku kuliah, dan seluruh keluargaku yang telah ikut serta dalam bantuan material maupun non material.

Penulis juga banyak berterima kasih kepada mitra kampus yang memberikan motivasi, sekaligus dorongan sepenuhnya untuk menyelesaikan skripsi tersebut. Dan tidak lepas dari bantuan dan campur tangan banyak pihak yang tidak sempat penulis sampaikan satu per satu, untuk itu, saya hanya bias mengucapkan terirna kasih sekaligus mohon maaf karena dengan segala kekhilapan yang telah penulis perbuat.

Penulis dalam merampung penyusunan skripsi ini, tanpa hambatan dan rintangan, bahkan menuntut pengorbanan. Namun demikian penulis berusaha

(5)

dunia pendidikan yang serba kompleks.

Akhirnya, terpulang juga pada kodrat manusia, tak ada manusia yang sempurna. Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, masih perlu kritikan dan saran dari berbagai pihak untuk menyempurnakannya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.Amin.

WassalamuAlaikumWarahmatullahiWabarakatuh

Makassar, November 2012

Penulis

(6)

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ... iii

SURAT PERNYATAAN... iv

SURAT PEJANJIAN ... …. v

MOTTO ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka ... 8

B. Kerangka Pikir ... 46

(7)

A. Desain Penelitian ... 49

B. Populasi dan Sampel ... 49

C. Teknik Pengumpulan Data ... 50

D. Teknik Analisis Data ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penyajian Hasil Analisis Data ... 54

B. Pembahasan Analisis Data ... 58

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 64

LAMPIRAN ... 67 RIWAYAT HIDUP ...

(8)

Tabel 1 Keadaan Populasi ... 50 Tabel 2 Klarifikasi Kemampuan siswa ... 53 Tabel 3 Rangkuman Nilai Kemampuan Menarik Kesimpulan dengan Cara

Silogisme Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Bangkala Kabupaten Jeneponto 55 Tabel 4 Frekuensi dan Persentase Nilai Kemampuan Menarik Kesimpulan

dengan Cara Silogisme Siswa kelas X SMA Negeri 1 Bangkala Kabupaten Jeneponto ... 56 Tabel 5 Klarifikasi Kemampuan menarik Kesimpulan dengan Cara Silogisme

Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Bangkala Kabupaten Jeneponto ... 57

(9)

Lampiran 1 Instrumen Penelitian ... 80 Lampiran 2 Kunci Jawaban ... 90 Lampiran 3 Skor kemampuan Menarik kesimpulan dengan Cara Silogisme

Siswa Kelas X SMA Negeri 1` Bangkala Kabupaten Jeneponto ... 91 Lampiran 4 Nilai Kemampuan menarik kesimpulan dengan Cara Silogisme

Siswa Kelas X SMA Negeri1` Bangkala Kabupaten Jeneponto ... 93 Lampiran Kelengkapan Naskah Lainnya ... 95

(10)

Salat bukan hanya sekadar dimulai dari takbiratul ikhram, dan diakhiri dengan salam.

Melainkan, bagaimana salat itu mampu membentengi diri manusia bagi yang melaksanakannya !

(11)

Amirullah lahir di Talasa, Kecamatan Bangkala Kabupaten Jeneponto pada tanggal 16 mei 1990, anak ke sepuluh dari sepuluh bersaudara, buah kasih dari pasangan Jumakka dan Bungania. Penulis memulai jenjang pendidikan sekolah dasar pada tahun 1996 tammat 2002, di SD INP 154 Sunggumanai. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah lanjutan tingkat pertama(SLTP) di SLTP Negeri 3 Bangkala dan tammat pada tahun 2005. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang sekolah menengah ke atas (SMA) di SMA Negeri 1 Tamalatea mulai dari tahun 2005-2008 pada tahun yang sama, melalui jalur penerimaan Mahasisa baru penulis diterima pada jurusan bahasa dan sastra Indonesia program strata satu(S1) Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan pembelajaran bahasa adalah membantu anak didik mengembangkan kemampuan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Siswa diarahkan bukan sekadar belajar teori bahasa, melainkan belajar komunikasi. Kemampuan berkomunikasi yang mendasar adalah kemampuan mengungkapkan makna dan pesan, termasuk kemampuan menafsirkan, menilai, dan mengeksperesikan diri dengan bahasa sehingga dengan bahasalah ekspresi diri seseorang dapat dipahami.

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang menghadapi bermacam masalah, baik masalah pribadi, keluarga, dinas, maupun masalah lain. Setiap masalah yang dihadapi tersebut memerlukan pemecahan. Oleh karena itu, sering kali seseorang meminta kepada orang lain untuk mengemukakan cara memecahkan masalah itu. Proses pemecahan masalah itu dilakukan dengan kemampuan penalaran. Oleh karena itu, proses bernalar merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Penalaran merupakan salah satu kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia yang membedakannya dengan makhluk-makhluk lain. Hal ini berarti bahwa setiap orang tentu mempunyai kemampuan bernalar untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi.

Walaupun setiap orang mempunyai kemampuan bernalar, tetapi dalam kenyataannya setiap orang mempunyai penalaran yang baik, yaitu dapat

(13)

bernalar secara sistematis dalam memecahkan masalah dan dapat mengemukakan pemecahan masalah itu secara sistematis pula kepada orang lain. Sebaliknya, adapula orang yang mempunyai penalaran yang kurang baik. Orang tersebut tidak mampu bernalar secara sistematis dalam mengemukakan gagasan atau pendapatnya yang berhubungan dengan sesuatu masalah.

Proses penalaran atau jalan pikiran manusia pada hakikatnya sangat kompleks dan rumit. Hal tersebut merupakan suatu mata rantai evidensi dan kesimpulan-kesimpulan. Karena keluasan dan kerumitan itulah, pakar logika dan psikologi tidak selalu sepakat mengenai beberapa unsur dari proses penalaran. Penalaran ini merupakan proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan yang logis berdasarkan evidensi yang relevan, dan terkait dengan proses penafsiran fakta sebagai dasar untuk menarik suatu kesimpulan ( Harun, dkk ., 2006: 62 ). Selanjutnya, Sabarti ( 1996: 41 ) mengemukakan bahwa penalaran merupakan proses berpikir sistimatik untuk memperoleh kesimpulan berupa pengetahuan. Penalaran ini terkait dengan pola berpikir secara logis. Pola berpikir logis yaitu urutan yang berdasarkan dialektika pikiran untuk mencari hubungan antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya, antara kebenaran yang satu dengan kebenaran lain. Jadi, urutan logis ialah urutan yang melekat pada ciri pikiran yang menginginkan agar segala sesuatu yang dipikirkan berkaitan secara logis, masuk akal.

Sabarti ( 1996: 62 ) membedakan penalaran deduksi dan penalaran induksi. Penalaran induksi adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan

(14)

berupa prinsip atau sikap yang berlaku umum berdasarakan atas fakta-fakta yang bersifat khusus. Urutan khusus-umum ( induksi ) digunakan bila hendak membuat pengelompokan atau pernyataan-pernyataan umum ( generalisasi ) yang dimulai dari uraian-uraian mngenai hal-hal yang khusus lalu meningkat kepada hal-hal yang umum yang meliputi hal yang khusus tadi.

Penalaran deduksi digunakan bila hendak menjabarkan suatu pernyataan umum, suatu kebenaran umum, kelompok besar, dan sebagainya yang dilanjutkan dengan menelusuri kelompok-kelompok khusus atau pernyataan-pernyataan khusus. Penalaran deduksi dimulai dengan suatu premis, yaitu pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan merupakan implikasi pernyataan dasar itu. Artinya, hal yang dikemukakan didalam kesimpulan secara tersirat telah ada dalam pernyataan itu. Jadi, sebenarnya proses deduksi tidak menghasilkan suatu pengetahuan baru, melainkan pernyataan atau kesimpulan yang konsisten dengan pernyataan dasarnya.

Proses-proses induksi dan deduksi sama-sama menuju kearah kesimpulan, tetapi dengan cara yang berbeda. Penalaran induktif beranjak dari sejumlah kasus khusus menuju ke suatu kesimpulan umum ; penalaran deduktif beranjak dari penerapan suatu prinsip umum menuju suatu kasus khusus, dan kemudian kepada suatu kesimpulan khusus.

Penalran deduksi hanya biasa berlaku dengan lawan tutur ( pendengar atau pembaca ) yang mau menerima kebanaran umum yang digunakan sebagai

(15)

dasar pernyataan khusus. Bertitik tolak dari kebenaran-kebenaran umum itu dapat dibuat pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogisme.

Silogisme merupaknan bentuk, cara berpikir atau menarik kesimpulan yang terdiri atas premis, premis khusus, dan kesimpulan. Silogisme adalaha pola berpikir deduktif yang memiliki kebenaran pasti dan niscaya ; berangkat dari hal-hal umum manuju hal-hal khusus. System penalaran Silogisme ( Aristoetles ) terdiri atas : 1. Premis mayor atau proposisi mayor, 2. Premis minor atau proposisi minor, dan 3. Conclusion ( kesimpulan ).

Pola penalaran deduksi, khususnya silogisme perlu dikembangkan dalam proses belajar mengajar. Kemampuan siswa menggunakan berbagai bentuk penalaran dalam menarik kesimpulan perlu terus ditingkatkan karena seni bernalar utamanya silogisme memang sangat dibutuhkan oleh para siswa tersebut dapat menunjukan dan menganalisis setiap masalah yang muncul secara jernih, dapat memecahkan masalah dengan tepat, dapat menilai sesuatu secara kritis dan objektif, serta dapat mengemukakan pendapat maupun idenya secara logis. Akan tetapi, tidak semua siswa mampu menguraiakan penalaran secara teratur, khususnya dengan penggunaan penalaran silogisme.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik meneliti/mengkaji kemampuan siswa kelas X SMA Negeri 1 Bangkala, Kabupaten Jeneponto dalam menarik kesimpulan dengan cara silogisme.

(16)

Dari survei awal yang dilakukan penulis pada siswa kelas X SMA Negeri 1 Bangkala, Kabupaten Jeneponto ditemukan bahwa masih banyak diantara siswa yang belum dapat mengembangkan penalaran silogisme dan mengoperasikan rumus yang digunakan dalam pengembangan penalaran silogisme tersebut. Bahkan, ada diantara siswa yang menyatakan baru mendengar istilah silogisme itu. Padahal menurut guru bahasa Indonesia, materi itu sudah diajarkan dan dalam kurikulum 2006 ( KTSP ) bahasa Indonesia untuk SMA kelas X semester genap ditetapkan salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa adalah pengembangan penalaran deduksi jenis silogisme.

Penelitian senada dengan penelitian ini telah dilakukan oleh Mariana ( 2005 ) yang mengkaji kemampuan siswa kelas I SMA Negeri 2 Watampone mengembangkan penalaran induksi dan deduksi dalam paragraf. Penelitian tersebut menunjukan hasil bahwa kemampuan siswa belum memadai Karena jumlah siswa yang mencapai standar nilai 6,5 yang menjadi tolok ukur keberhasilan belum mencapai 85%. Untuk melengkapi hasil penelitaian tersebut, penelitian ini perlu dilakukan.

(17)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan permasalahan: Bagaimanakah meningkatkan kemampuan menarik kesimpulan dengan cara silogisme siswa kelas X SMA Negeri 1 Bangkala, Kabupaten Jeneponto ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peningkatan kemampuan menarik kesimpulan dengan cara silogisme siswa kelas X SMA Negeri 1 Bangkala, Kabupaten Jeneponto

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagi siswa, sebagai bahan informasi tentang kemampuan menarik

kesimpulan dengan cara silogisme siswa kelas X SMA Negeri 1 Bangkala, Kabupaten Jeneponto. Bagi guru, sebagai sumbangan pemikiran, khususnya guru bahasa Indonesia kelas X SMA Negeri 1 Bangkala, Kabupaten Jeneponto untuk menyusun strategi pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa, terutama peningkatan kemampuan menarik kesimpulan dengan cara silogisme ;

(18)

2. Bagi pengambil kebijakan pendidikan, sebagai masukan yang berguna bagi penyusun buku pelajaran, penyusun kurikulum, dan pihak sekolah dalam dalam menentukan kebijakan pembelajaran, khususnya pembelajaran bahsa Indonesia.

Bagi peneliti lanjut, sebagaia bahan acuan bagi penelitian selanjut yang sejenis dengan penelititi ini.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang diuraikan dalam penelitian ini pada dasarnya dijadikan acuan untuk mendukung dan memperjelas penelitian ini.

Sehubungan dengan masalah yang diteliti, kerangka teori yang dianggap relevan dengan peneliti ini diuraikan sebagai berikut :

1. Penarikan Kesimpulan.

a. Pengertian Kesimpulan

Kesimpulan merupakan gagasan yang tercapai pada penghujung perbincangan. Dengan kata lain kesimpulan adalah hasil suatu perbincangan. Perbincangan yang berisi adalah perbincangan yang mencapai suatu kesimpulan. Sebaliknya, perbincangan yang tidak melahirkan suatu kesimpulan, ataupun tidak bertujuan melahirkan suatu kesimpulan, ataupun tidak bertujuan melahirkan suatu kesimpulan, merupakan perbincangan yang kosong dan tidak berhasil (http://ms.wikepedia.org/wiki/wikepedia,2011).

Suatu kesimpulan atau konklusi adalah suatu proposisi yang diambil dari beberapa premis dengan aturan-aturan inferensi. Dalam logika modern, suatu proses adalah hal yang dihasilkan dengan mengucapkan suatu kalimat. Dengan kata lain, hal ini merupakan arti dari kalimat itu, dan bukan kalimat itu sendiri. Kalimat yang berbeda

(20)

dapat mengekspresikan proses yang sama, jika artinya sama (http://ms.wikepedia.org/wiki/wikepedia,2011).

Rahayu ( 2007; 37 ) mengungkapkan bahwa kesimpulan adalah pernyataan dari hasil tiap satuan dan keseluruhan analisis yang hendaknya diuraikan denga singkat dalam bentuk ponter yang tidak terlaku banyak. Badudu ( 1994: 65 ) mengemukakn bahwa kesimpulan adalah ikhtisar atau inti yang diambil dari sebuah pembicaraan diskusi, pidato, tulisan dan lain-lain. Selanjutnya , Akhadiah ( 1998: 37 ) mengungkapkan bahwa kesimpulan adalah jawaban masalah yang sejalan/sesuai dengan teori dan berkoresponden dengan kenyataan empiris.

b. Cara Penarikan Kesimpulan

Dalam menarik sebuah kesimpulan, penulis atau pembicara tidak boleh sembarang. Ia harus bekerja dengan cermat dan menggunakan pikiran logis dengan penalaran. Penalaran proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indra ( observasi empiric ) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis. Berdasarkan sejumlah proposisi yang dketahui atau dianggap benar, orang mengumpulkan sejumlah proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis ( antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi.

(21)

Kesimpulan merupakan bagian yang paling sukar dalam suatu penulisan, tetapi akan menjadi lebih mudah jika hal-hal berikut ini diperhatikan :

1. Jika tulisan tentang suatu persoalan, maka kesimpulan yang dicapai adalah jawaban.

2. Jika tulisan tentang suatu masalah ( masalahnya berbincang dikedai kopi ), maka kesimpulan yang harus dicapai ialah suatu rancangan tindakan.

3. Jika tulisan tentang suatu pemerihalan, yakni perbincangan tentang suatu perwujudan, maka kesimpulan yang harus dicapai ialah suatu generalisasi terhadap hal yang telah diperihalkan.

Pada intinya, kesimpulan yang akan dicapai dalam sesuatu penulisan sangat bergantung kepada tujuan penulisan.

1. PENALARAN

a. Pengertian penalaran

Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian berdasarka pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar

(22)

penyimpulan disebut dengan premis ( antesedens ) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi ( consequence ). Hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi.

Penalaran adalah proses pemikiran untuk memperoleh kesimpulan yang logi berdasarkan avidensi yang relevan. Penalaran ini terutama terkait dengan proses penafsiran fakta sebagai dasar untuk menarik suatu kesimpulan ( Tim Dosen Unhas, 2006: 62 ).

Selanjutnya, Sabati ( 1996: 41 ) mengemukakan bahwa penalaran merupakan proses berpikir sistimatik untuk memperoleh kesimpulan berupa pengetahuan.

Menurut Jujun ( 2003: 12 ), penalaran adalah suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan.

Sebagai suatu kegiatan berpikir penalaran memiliki ciri-ciri tertentu.

Ciri pertama adalah proses berpikir logis, yang diartikan sebagai kegiatan berpikir menurut pola tertentu atau dengan kata lain menurut logika tertentu. Crri kedua adalah sifat analitiknya dari proses berpikirnya. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Analisis pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.

Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio dan fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengemmbangkan paham

(23)

rasionalisme, sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.

Dengan demikian, penalaran ini terkait dengan pola berpikir secara logis. Pola berpikir logis yaitu urutan berdasarkan dialektika pikiran yang ingin mencari hubungan antara peristiwa satu dengan peristiwa lainnya, antara kebenaran yang satu dengan kebenaran yang lain, dan sebagainya. Jadi, urutan logis ialah urutan yang melekat pada ciri pikiran yang menginginkan agar segala sesuatu berkaitan secara logis, masuk akal

b. Metode dalam penalaran

Sabarti ( 1996: 62 ) membedakan penalaran berdasarkan prosesnya atas dua kategori, yaitu penalaran deduksi dan induksi.

1. Penalaran Deduksi

Deduksi berasl dari bahasa inggris deducation yang berarti penarikan kesimpulan dari keadaan-keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum, lawannya induksi ( Poerdawarminta, 2006: 273 ). Lain halnya dengan Keraf ( 2001: 57 ) yang mengeruaikan bahwa kata deduktif ( deduksi )

berasal dari bahasa latin deducere ( de yang berarti “ dari” dan kata decree yang berarti „mengantar „). Dengan demikian, kata deduksi yang diturunkan dari kata deducere berarti „ mengantar

(24)

dari sesuatu yang lain „. Sebagai suatu istilah dalam penalaran, deduksi merupakan suatu proses berpikir ( penalaran ) yang bertolak dari sesuatu proposisi yang sudah ada menuju kepada sesuatu proposisi baru yang berbentuk suatu kesimpulan.

Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagian yang khusus.

(www.id.wikepedia.com). Deduksi merupakan suatu cara penalaran dengan menggunakan kriteria atau suatu keyakinan tertentu untuk mendapatkan sesuatu kesimpulan kasus yang khusus atau spesifik. Sebuah pernyataan yang dianggap mewakili sebuah kebenaran atau setidaknya sesuatu yang dianggap benar yang mewakili implikasi-impliikasi tertentu yang dapat diturunkan menjadi sebuah atau beberapa buah pernyataan yang lebih spesifik dan khusus, merupakan salah satu dari ciri penalaran deduktif ( deduksi ). Dengan demikian deduksi diawali oleh sebuah asumsi ( entah itu dogma, atau apapun ) yang kemudian dilanjutkan dengan kesimpulan yang lebih khusus yang diturunka dari asumsi awal tersebut. Keismpulan yang diambil harus merupakan turunan atau derivasi dari asumsi atau pernyataan awal.

Pernyataan umum : Ahmad menciptakan segala sesuatu di dunia ( saya tidak peduli ini benar atau tidak , anggap saja sebuah dogma yang

turun dari langit atau sebuah asumsi fisika ).

(25)

Pernyatan khusus : bumi merupakan sesuatu di dalam dunia

Deduksi yang ditarik : Ahmad menciptakan bumi atau bumi diciptakan oleh Ahmad.

Dengan demikian, antara pernyataan umum dan khusus harus ada korelasi yang nyata diantara kedua. Jika tidak ada korelasi yang nyata atau langsung pada kedua pernyataan antara yang umum dan yang khusus maka tidak biasa dilakukan pmeriksaan kesimpulan deduktif.

Pernyataan umum : Ahmad menciptakan segala sesuatu di dunia Pernyataan khusus : ibu pergi ke pasar

Deduksi yan diambil : ………kosong ………..

( karena tidak ada kaitannya atau hubungan diantara dua pernyataan tersebut, kesimpulan secara deduktif tidak mungkin ditarik ).

Penalaran deduktif ( deduksi ) banyak digunakan di berbagai bidang.

Bahkan, hampir segala macam keilmuan yang ada melakukan upaya – upaya deduktif. Sains atau ilmu alam sangat mengandalkan pemikiran seperti ini. Einstein mengajukan teori gravitasi dan relativitas yang kemudian ternyata menurunkan ( melalui penalaran deduksi ) sabuah pemahaman baru semisal adanya black hole maupun adanya denyut “ ruang dan waktu “. Demikian pula prediksi-prediksi saintifik mendasarkan pada cara berpikir deduktif seperti ini. Oleh karena deduksi diawali oleh

(26)

sebuah pernyataan umum makna kebenaran dari hasil kesimpulannya tergantung mutlak pada benar tidaknya pernyataan umum tersebut.

Sains misalnya memperoleh pernyataan umum dari hasil induksi ( atau generalisasi ) atas penyelidikan atau penelitian atau percobaan yang

di ulang-ulang beribu-ribu atau berjuta kali. Semisal ungkapan “ energy tak dapat dimusnahkan dan tidak dapat diciptakan‟ merupakan sebuah kalimat atau pernyataan umum dari hasil penyelidikan berulang-ulang dimasa lalu. Darinya muncul kesimpulan-kesimpulan baru, semisal konsep exergi atau entalphi.

Demikian pula ditingkat pemikiran social, agama, psikologi, ekonomi atau yang lainnya. Dengan megajukan sebuah pernyataan umum yang oleh para mempunyai bidang tersebut dianggap sebagai sebuah kebenaran maka dapat diturunkan atau dideduksikan sebuah pernyataan baru yang lebih spesifik atau khusus. Semisal dalam bidang agama. Semua yang berdosa akan dihukum dan masuk neraka. Andi berdosa. Andi dihukum dan masuk neraka. Demikian jalan pemikiran deduktifnya.

Tentunya kebalikan dari berpikir deduktif adalah berpikir secara induksi.

Cara ini paling banyak digunakan dalam pengembangan karangan . dalam bentuk umum ke khusus, gagasan utama diletakkan pada awal karangan, kemudian diikuti dengan rincian-rincian khusus.

(27)

Contoh :

1).Salah satu kedudukan bahasa Indonesia adalah bahasa nasional.

(2) kedudukan ini dimilki sejak dicetuskan sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928. (3) Kedudukan ini dimungkinkan oleh kenyataan bahwa bahasa melayu yang mendasari bahasa Indonesia telah menjadi Lingua Franca selama berabad-berabad diseluruh tanah air kita. (4) hal ini ditunjang lagi oleh faktor tidak terjadinya “ persaingan bahasa “, maksudnya persaingannya bahasa daerah yang lain untuk mencapai kedudukanya sebagai bahasa nasional ( Keraf, 2001: 26 ).

Diagram deduksi sebagai berikut :

Urutan-urutan khusus ( deduksi ) digunakan bila hendaknya menjabarkan suatu pernyataan umum, suatu kebenaran umum, kelompok besar, dan sebagainya dilanjutkan dengan menelusuri kelompok-kelompok khusus atau pernyataan-pernyataan khusus.

Penalaran deduksi dimulai dengan suatu premis, yaitu pernyataan dasar untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan merupakan implikasi pernyataan dasar itu. Artinya, hal yang dikemukakan di dalam kesimpulan

Umum (1) (1)

Khusus (3) Khusus (4) Khusus (2)

(28)

secara tersirat telah ada dalam pernyataan itu. Jadi, sebenarnya proses deduksi tidak menghasilkan sesuatu pengetahuan baru, melainkan pernyataan atau kesimpulan yang konsisten dengan pernyataan dasarnya.

Uraian-uraian khusus ( deduksi ) digunakan bila hendaknya menjabarkan suatu pernyataan umum, suatu kebenaran umum, kelompok besar dan sebagainya yang dilanjutkan dengan menelusuri kelompok- kelompok khusus atau pernyataan-pernyataan khusus.

Penalaran deduksi ini dimulai dengan suatu premis, yaitu per hyataan dasar untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan merupakan implikasi pernyataan dasar itu. Artinya, hal yang dikemukakan didalam kesimpulan secara tersirat telah ada dalam pernyataan itu. Sebenarnya proses deduksi tidak menghasilkan pengetahuan yang baru, melainkan pernyataan atau kesimpulan yang konsisten dengan pernyataan dasarnya.

1. Penalaran induksi

Berpikir secara induktif merupakan suatu cara berpikir dengan mendasarkan pada pengalaman-pengalaman yang diulang. Biasa juga merupakan sebuah kumpulan fakta yang berserakan yang kemudian kita cari kesesuaian diantara fakta-fakta tersebut sehingga masing-masing fakta memiliki keterkaitan satu sama lain. Dengan demikian, berpikir secara induktif merupakan suatu rekayasa dari berbagai macam kasus yang unik atau khusus yang kemudian dikembangkan menjadi penalaran tunggal yang menggabungkan kasus-ksus khusus tersebut kedalam suatu

(29)

bentuk pemahaman yang umum. Secara singkat, berpikir secara induktif

berarti berpikir dari kasus khusus menjadi kasus umum (http ://id.wordpress.com/tag/.artikel/,2011)

Metode berpikir induksi adalah metode yang digunakan dalam berpikir dan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Proses penalaran ini mulai bergerak dari penelitian dan evaluasi atas fenomena-fenomena yang ada. Ickhtiar ( 2003: 86 ) mengemukakan bahwa metode induktif adalah penalran yang menuntun penulis pada suatu kesimpulan dengan memulai menyebutkan peristiwa-peristiwa khusus untuk menuju pada kesimpulan umum.

Penalaran induksi adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sikap yang berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus. Urutan khusus-umum ( induksi ) digunakan bila hendaknya membuat pengelompokan atau pernyataan- pernyataan umum ( generalisasi ) yang dimulai dari uraian-uraian mengenai hal-hal khusus lalu meningkat pada hal-hal yang umum yang meliputi hal yang khusus tadi.

Kasus khusus : 1. Andi mati 2. Eko mati 3. Budi mati 4. Dst.

(30)

Andi,Eko, Budi dst. Adalah manusia,

Maka kasus umumnya dapat dipahami atau disimpulkan : Manusia pasti mati.

1. Besi dipanasi mengembang 2. Tembaga dipansai mengembang 3. Kuningan dipanasi mengembang Jadi, semua logam dipanasi mengembang.

Berpikir secara induktif merupakan suatu alat generalisasi dari pemikiran kita untuk dijadikan suatu pegangan umum atas kejadian tertentu. Sains probabilistic biasa sangat menyukai cara pandang seperti ini. Kebanyakan dari pengetahuan sehari kita juga merupakan hasil dari berpikir induktif. Api itu panas. Es itu dingin. Mendung itu pertanda akan hujan, dsb. Merupakan hasil dari berpikir induktif.

Penalaran induksi merupakan generalisasi, analogi, atau hubungan sebab akibat. Generalisasi adalah proses penalaran berdasarakan pengamata atas sejumlah gejala dengan sifat-sifat tertentu mengenai semua atau sebagian dari gejalah serupa itu. Analogi adalah kesimpulan tentang kebenaran suatu gejala yang ditarik berdasarkan pengamatan terhadap )yang menelaah akibat-akibat yang dapat ditimbulkan oleh suatu kejadian atau sebab dari suatu peristiwa.

(31)

Induksi adalah suatu proses berpikir yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan ( inferensi ). Semua fenomena harus diteliti dan dievaluasi terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh ke proses penalaran induktif. Proses penalaran itu disebut juga sebagai suatu corak berpikir yang ilmiah. Proses penalaran induktif dapat dibedakan lagi atas berbagai macam variasi yang berturut-berturut atau dikemukakan dalam bagian-bagian berikut ini : a. Generalisasi.

Ichtiar ( 2003 : 87 ) mengemukakan bahwa penalaran jenis ini dimulai dengan peristiwa-peristiwa yang khusus dengan jumlah yang memadai agar kesimpulan yang ditarik adalah kesimpulan yang terpercaya kebenarannya. Generalisasi adalah proses penalaran berdasarkan pengamatan dalam sejumlah gejala dengan sifat-sifat tertentu mengenai semua atau sebagian dari gejala serupa.

Contoh:

Tembaga adalah jenis logam, bila di panaskan akan memuai.

Perak adalah jenis logam, bila di panaskan akan memuai.

Timah adalah jenis logam, bila di panaskan akan memuai.

Seng adalah jenis logam, apabila di panaskan akan memuai.

Emas adalah logam, apabila di panaskan akan memuai.

(32)

Dari peristiwa peristiwa itu dapat di tarik kesimpulan, bahwa semua logam bila di panaskan akan memuai.

Keraf (2001:43) mengemukakan bahwa generalisasi adalah proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu interferensi yang bersifat umum yang mencakup semua fenomena tadi. Akan tetapi,seperti yang telah di uraikan di atas,proses berpikir induktif tidak ada banyak artinya kalau tidak diikuti proses berpikir yang deduktif.

Bila seseorang berbicara mengenai data atau fakta dalam pengertian fenomena individual tadi, pikiranya selalu terarah kepada pengertian mengenai sesuatu hal yang individual. Dalam kenyataannya, fakta yang di pergunakan itu sebenarnya merupakan generalisasi juga,yang tidak lain dari sebuah hasil penalaran yang induktif. Jika seseorang mengatakan bahwa mobil adalah barang pengangkut, maka pengertian mobil dan kendaraan dengan ciri-ciri tertentu, ia mendapatkan sebuah gagasan mengenai mobil, sedangkan dari bermacam macam alat untuk mengangkut semua lahirlah abstraksi yang lebih tinggi (generalisasi logis) mengenai kendaraan pengangkut.

b. Analogi

Chaer (2000 : 398) mengemukakan bahwa analogi adalah kesimpulan yang ditarik dengan jalan menyampaikan atau perbandingan suatu fakta khusus dengan fakta khusus lain. Kesimpulan

(33)

berdasarkan analogi ini seringkali menyesatkan karena kedua fakta khusus yang diperbandingkan itu tidak ada relevansinya.

Senada dengan itu, Ichtiar (2003 : 87) mengemukakan bahwa analogi adalah penalaran jenis ini kita mulai dengan membandingkan dua hal yang memiliki banyak persamaan, akhirnya ditarik sebuah kesimpulan bahwa pada segi-segi yang lain pun tentu akan terdapat persamaan juga.

Contoh :

Sebuah pabrik kue mencoba memproduksi jenis kue yang agak lain dari biasanya, yakni

Kue yang rasanya sangat enak, aromanya wangi, bentuknya artistik, dan dibungkus dalam kemasan yang memikat. Kue itu dijual dengan harga mahal. Akan tetapi, anehnya kue itu sangat laku di jual di kota-kota Bandung, Semarang, Surabaya sehingga perusahaan mempunyai untung besar. Berdasarkan pengalaman ini, pemilik pabrik kue berkesimpulan bahwa bentuk konsumsi orang-orang yang tinggal di kota-kota besar lainnya pun seperti Jakarta, Medan dan sebagainya.

Perlu diproduksi kue sejenis karena selera mereka tidak akan bebeda jauh.

Keraf (2001 : 48) mengemukakan bahwa analogi atau kadang- kadang disebut juga analogi induktif adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari dua peristiwa khusus yang sangat mirip satu sama

(34)

lain, kemudian menyimpulkan bahwa apa yang berlaku untuk satu hal akan berlaku pula untuk hal lain. Oleh sebab itu, sering timbul salah pengertian antara analogi induktif atau analogi logis sebagai yang dikemukakan di atas dengan analogi deklaratif atau penjelas yang termasuk dalam soal perbandingan.

Analogi induktif atau analogi logis sebagai suatu proses penalaran bertolak dari suatu kesamaan aktual antara dua hal.

Berdasarkan kesamaan aktual itu, penulis dapat menurunkan satu esimpulan bahwa karena kedua hal itu mengandung kemiripan dalam hal-hal yang penting, mereka akan sama pula dalam aspek-aspek yang kurang penting.

Analogi sebagai suatu penalaran untuk menurunkan suatu kesimpulan berdasarkan kesamaan aktual antara dua halite dapat diperinci lagi untuk tujuan-tujuan berikut :

1. Untuk meramalkan kesamaan. Apabila dewasa ini sering berbicara mengenai ekologi dan ekosistim, suatu lingkungan hidup antara unsur-unsur tumbuhan-hewan-manusia, dan berusaha menjaga keharmonisan ekologis tersebut, maka dapat juga dikemukakan bahwa perpindahan manusia kesuatu lngkungan baru dapat merusak ekologi tersebut, bukan hanya karena terjadi pengembangan hutan dn sebagainya, tetapi juga berhubunagn

(35)

penduduk yang sudah ada dapat mengganggu ekuilibrum yang sudah ada.

2. Untuk menyingkapkan kekeliruan. Pada suatu waktu orang-orang takut berpergian dengan pesawat terbang karena banyak kali terjadi kecelakaan dengan pesawat terbang yang tidak sedikit meminta korban. Bila demikian sebaliknya, orang juga tidur di tempat tidur karena hmpir semua manusia yang mati normal menemuinya ajalnya ditempat tidur. Keduanya pikiran ini sama-sama kabarnya sehingga perlu ditolak.

3. Untuk menyususn sebuah klasifikasi. Apabila diketahui suatu penyakit dengan gejala-gejala yang timbul, penyakit itu dapat diklasifikasikan dalam kelas-kelas penyakit tertentu, dan klasifikasi sangat diperlukan dan selalu dapat diberikan sebelum proses induksi atau deduksi.

4. Analogi induktif untuk meramalkan kesamaan bisa juga merupakan hipotesis dan untuk menyusun klasifikasi jelas ia dapat dimasukkan dalam klasifikasi.

c. Kausalitas

Ichtiar ( 2003 : 23 ) mengemukakan bahwa kausalitas merupakan prinsip sebab akibat yang harus dan pasti antara gejala kejadian, serta bahwa setiap kejadian memperoleh kepastian dan keharusan serta kekhususan-kekhususan eksistensi dari sesuatu atau

(36)

berbagai hal yang mendahuluinya, merupakan hala-hal yang diterima tanpa ragu dan tidak memerlukan sanggahan. Keharusan dan keaslian sistim kausal merupakan bagian dari ilmu-ilmu manusia yang tidak dikenal bersama dan tidak diliputi keraguan apapun.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( Alwi, 1998 : 116 ) dijelaskan bahwa kausalitas adalah perihal kausal ; perihal sebab akibat.

Agaknya, sejarah timbulnya hubungan antara sebab dan akibat ( hubungan kausal ) dapat ditelusuri kembali sampai pada saat mula timbulnya intelegensia manusia. Secara historis bukti-bukti ini dapat dicapai kembali sejak abad kelima sebelum masehi dari seorang filsuf yunani yang bernama Leuappus, yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun terjadi tanpa sebab. Setiap hal mempunyai sebab (nihil fit sine causa ). Dengan mengutip pendapat filsuf ini, tidak berarti bahwa jauh sebelumnya belum ada pengetahuan tentang sebab akibat ( Keraf, 2001 : 50 ).

Untuk tujuan praktis dapat diterima sebagai dasar bahwa semua peristiwa mempunyai sebab yang mungkin dapat diketahui bila menusia berusaha menyelidiki dan memiliki pengetahuan yang cukup untuk melakuakan penyelidikan itu dalam dunia modern ini, kadang-kadang hubungan antara sebab akibat tertentu tidak mudah diketahui. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa hal yang dicatat sebagai suatu akibat tidak mempunyai sebab sama sekali.

(37)

2. Silogisme sebagai Pengembangan Penalaran Deduksi.

a. Sejarah Munculnya Konsep Penalaran Silogisme

Logika lahir dari pergumulan filsuf untuk memperjuangkan nilai- nilai objektivitas dan universalitas dalam berpikir dan bertindak. Socrates dan Plato tampil secara gigih melawan kaum sofisisme yang menganut paham relativisme, skeptisisme, subjektivisme dan bahkan nihilisme.

Kedua tokoh filsuf Yunani klasik ini berjuang keras untuk menunjukan adanya nilai-nilai kebenaran yang objektif, absolute dan universal;

terutama dalam lapangan moralitas yang mereka geluti. Aristoteles kemudian yang merumuskan perjuangan moral Socrates dan Plato kedalam aturan-aturan berpikir secara sistimatis. Dengan kata lain, logika lahir sebagai kristalisasi dari perjuangan moral ( Louis, 2004: 115 ).

Kata logika ( inggris; logic, yunani:logikos ) berarti sesuatu yang dapat dimengerti ( reasonable ), akal budi yang tertatur, konsisten, dan sistimatis. Kata logika memiliki akar kata yang sama dengan kata logos berarti ucapan, kata, akal pikiran, studi tentang, pertimbangan tentang ilmu tentang. Makna logos mengacu kepada sesuatu yang dapat dimengerti ( reasonable ), keteratusan akal budi, konistensi penalaran, dan sistimatika pemikiran. Secara ringkas dapat disebutka beberapa padanan dari kata logos : utterance,statement, argument, account,definition, formula, ratio, language,reason, principle (Louis, 2004 : 116 ). Kata logos sering dipakai sebagai lawan dari kata mitos. Dalam hal ini filsafat dikatakan sebagai upaya manusia untuk membebaskan diri dari belengggu-belenggu mitos

(38)

dengan mengggunakan logos. Penerjemahan kata logos menjadi kata logika ini dikerapkali hanya dipahami dalam pengertian teknis, yaitu sejenis metode menalar yang tepat. Padahal jika kita menyingkapi makna kata logos dalam arti yang lebih luas, maka terdapaat yaitu etos atau semangat (geist ), cara pandang, sikap, dan paradigma yang terkandung dalam konsep logos itu. Dalam hal ini, logos juga menolak cara berpikir stigmatis atau stereotip. Stigmatis/stereotip adalah pelekatan suatu nilai yang dianggaap memiliki secara permanen oleh suatu kelompok atau komunitas tanpa melihat keragaman dan dinamika diantara anggota- anggotanya.

Semangat atau etos logos ( logika ) itu adalah pertanggungjawaban ( account ) rasio manusia yang dapat dikomunikasikan kepada sesama

proses saling memahami, transparasi maksud pikiran dan rencana, karena itu makna logos sebagai kata dimaksudkan sebagai pengungkapan pikiran yang dikomunikasikan melalui simbol bahasa yang dimengerti oleh penyampaian gagasan dan penerima gagsan ( pendengar ). Hal secara seratu delapan puluh derajat berseberangan secara diametral dengan gejala skizofrenia, sofistik, relativistic. Gejala skizofrenia yang dimaksud disini bukanlah dalam arti medis atau sejenis patologi psikis, melainkan sebuah patologi social, budaya dan filosofis. Manusia skizofrenik menderita kehilangan kemampuan mengenal realitas objektif diluar dirinya sehinggga seakan-akan ia hidup didunia ilusi dan khayalan dirinya sendiri.

Ia tidak mampu membedakan antara khayalan

(39)

Subjektif dirinya dengan realitas objektif di luar dirinya. Kaum skeptisime, subjektivisme, relativisme dan nihilisme termasuk kaum yang mengidap skizofrenik.

Jadi, beberapa etos yang terkandung dalam konsep logos itu adalah : rasionalitas, eksplanasi ( penjelasan ), konsisten, komunikasi, transparasi, pertanggungjawaban, dan keterarahan/sistimatika berpikir, kejernihan berpikir, lebih mengandalkan rasio dari pada emosi, keteraturan daripada anarki, dan ketepatan pengggunaan istilah. Oleh karena itu, logika berperan menghilangkan kerancuan dan kesemena-menaan makna kata- kata melalui studi defenisi, misalnya : perdebatan kontemporer tentang konstitusi, sistim presidensial, parlementer, dekrit presiden, oposisi,

kebebasan, demokrasi, reformasi, teroris,

jihad(http://penakayu.blogdrive.com/comments?id. 2007:112)

Perdebatan adu argumentasi yang terjadi antara Socrates dan Plato dengan kaum sofis yang relativistik menjadi kajian yang sangat menarik bagi Aristoteles untuk menganlisis pengunaan bahasa dan bentuk-bentuk pemikiran. Ditemukan oleh Aristoteles ( dalam Louis, 2004 : 118 ) bahwa bahasa sangat terkait dengan penalaran manusia; bahwa bahasa adalah lambang pemikiran; bahwa terdapat kaidah-kaidah berpikir yang universal dan dapat menguji kesahihan bentuk-bentuk penalaran.

Mengenai bentuk penalaran, Aristoteles juga menemukan dua ( 2) alur atau cara berpikir yang bertitik tolak dari putusan-putusan yang benar

(40)

lalu membuat kesimpulan. Dialektika merupakan cara berpikir yang bertitik tolak dari hipotesis menuju penyimpulan yang bersifat mungkin.

Dua istilah ini, analitika dan dialektika, kini menjadi bagian dari ilmu yang sekarang dikenal dengan ilmu logika. Oleh karena itu, Aristoteles boleh dipandang sebagai penemu ilmu logika yang memainkan peran penting dalam sejarah intelektual umat manusia. Aristoteles sendiri tidak menyebutnya dalam logika, melainkan analitika. Hal ini menunjukan kecenderungan cara berpikir Aristoteles yang analitik yang dicirikan dengan kesesatan dan jelasnya penggunaan term-term.

Menurut McKeon dalam Introduction to Aristotle ( The Modern Library, New York dalam (http://penakayu.blogdrive.com/comments?id.

2007:112), tulisan-tulisan logika Aristoteles terdapat pada enam buku yang kemudian secara tradisi dikelompokan menjadi sebuah nama, organon. Keenam buku asli Aristoteles yang membahas logika itu adalah Categories, On Interpretation, Prior analytics, Postior Analytics, Topics, dan On Sophistical Refutation. Buku yang disebut terakhir inilah, On Sophistical Refutations, membeberkan kesalahan kesalahan penalaran ( fallacious argument ) yang dilakukan oleh kaum Sofisme. Dalam buku ini, Aristoteles tidak luput pula menyerang kaum Sofis dengan menyebut tiga belas tipe kesesatan dengan perincian :enam kesesatan karena bahasa dan tujuh kesesatan dalam relevansi mengenai materi penalaran. Perincian kesesatan-kesesatan penalaran kaum Sofis tentunya tidak dibahas disini.

(41)

Sesuai dengan maksud tulisan ini, penulis tidak membahas panjang lebar hal ihwal ilmu logika Aristoteles. Yang perlu ditegaskan disini, pernyataan tentang Aristoteles yang menemukan ilmu logika adalah dalam pengertian bahwa Aristoteles untuk pertama kalinya dalam sejarah pemikiran manusia yang menyusun secara sistimatis kajian logika.

(http://penakayu.blogdrive.com/comments?id. 2007:113),

Sebelum Aristoteles, Socrates dan Plato telah menggunakan prinsip-prinsip logika dalam argumen-argumen mereka, bahkan termasuk kaum Sofis, meski yang terakhir ini memakainya secara keliru untuk menyesatkan pemikiran/penalaran. Pernyataan-pernyataan Socrates telah mengandung unsur-unsur logika. Misalnya, pernyataan Socrates : “ setiap kebajikan adalah kesalehan, tapi tidak setiap kesalehan adalah kebajika “, telah memperkenalkan pengertian genus ( kesalehan ) dan spesies kebajikan , dua konsep/pengertian yang kerap dipakai dalam ilmu logika :

“ setiap anjing adalah binatang, tapi tidak setiap binatang adalah anjing. “ karena, binatang adalah genius, sedangkan anjing adalah spesies atau anggota dari genius binatang ( Stephen, 2003 : 34 ).

Upaya pencarian defenisi umum pengertian-pengertian etis Socrates juga telah mengandung makna identitas dari masing-masing pengertian etis tersebut. Selanjutnya, Aristoteles pengertian-pengertian ini diperluas mencakup entitas-entitas lain, tidak terbatas pada etika. Dengan menganalisis defenisi, spesies, genius, muncullah istilah kategori yang didefenisikan sebagai „Ultimate concep' yaitu pengertian yang sifatnya

(42)

paling umum sehingga tidak bisa diturunkan dari pengertian lain. Ada sepuluh kategori menurut Aristoteles, yaitu substansi ( manusia ), kuantitas ( contoh : dua ), kualitas (bagus ), relasi ( separuh ), tempat ( di tokoh ), waktu ( sekarang ), keadaan ( berdiri ), posesi ( bersepatu ), aksi ( membakar ), dan pasivitas ( terbakar ). Selain substansi ( ousia

= ousia ), sembilan kategori lainnya termasuk kedalam aksiden ( pathos = pathos ). Kedua pengertian ini telah dipergunakan Socrates dalam

dialognya dengan Euthyphro.

(http://penakayu.blogdrive.com/comments?id. 2007:113),

Masalah kategori ini dibahas khusus Aristoteles dalam bukunya Categories. Pengaruh ajaran Plato juga tampak dalam buku Aristoteles, prior Analytics. Dalam buku itu termuat bahwa Aristoteles telah menemukan bantuan penalaran yang bergerak dari universal ke partikular yang disebut dengan silogisme ( Syllogismos = syllogismos ).

a. Pengertian Silogisme

Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan ( Jujun, 2005 : 48-49 ). Silogisme merupakan bentuk, cara berpikir yang menarik kesimpulan terdiri atas premis umum, premis khusus, dan kesimpulan ( Alwi, 2002 ; 1066 ).

(43)

Silogisme adalah pola berpikir deduktif yang mmiliki kebenaran pasti dan niscaya ; berangkat dari hal-hal umum menuju hal- hal khusus. Keshahihan deduksi tidak tergantung pada pengalaman indrawi, tapi semata-mata kepada konsistesi rasio. Oeh karena itu, kebenaran silogisme adalah termasuk kebenaran apriori. Hal ini mengingatkan kita kepada teori pengetahuan Plato yang mengklaim bahwa kebenaran berasal dari dunia idea-idea; pengetahuan inilah yang disebut episteme ( episteme ), suatu istilah yang menjadi akar dari kata epistemologi yang terpakai sampai sekarang. Sedangkan pengalaman inderawi, menurut Plato, hanyalah mengingatkan kembali apa yang dulu telah diketahui di Dunia Idea, yang disebut dengan anamnesis.

Menurut David Roos dalam Aristoteles (Methuen dan Co.Ltd.,London, 1960), istilah syllogismos sendiri berasal dari plato ketika mengemukakan Dunia universal, hanya saja Plato belum menggunakannya lebih jauh untuk menarik kesimpulan secara umum sebagaimana yang kemudian digunakan Aristoteles. Aristoteles sendiri menyebut silogisme plato itu dengan istilah itu dengan istilah weak syllogism (silogisme lemah )

Dengan demikian, silogisme Aristoteles boleh di pandang sebagai perkembangan dari “silogisme lema”plato,dengan pengertian bahwa prinsip silogisme Aristoteles telah di gunakan secara umum dan

(44)

sistematik. Berikut disajikan perbandingan kedua jenis silogisme tersebut :

Silogisme lema plato:

Dunia idea–idea adalah universal Keadilan mengandung idea

Keadilan mengandung (nilai) universal Silogisme umum Aristoteles :

Semua manusia akan mati (premis mayor ) Socrates adalah manusia (premis minor) Socrates akan mati ( konklusi )

Sistem penalaran silogisme (Aristoteles ) terdiri atas (1) premis mayor atau proposisi mayor, (2) premis minor atau proposisi minor, dan (3) conclusio ( kesimpulan ).

Menurut Nafiah (2001:143), silogisme adalah bentuk penalaran yang umumnya terdiri dari dua buah premis (pernyataan) yang di hubung –hubungkan satu sam lain, untuk kemudian bergerak menuju kepada suatu kesimpulan. Bentuk silogisme itu misalnya, kalimat pertama (setiap manusia akan mati) berisi pernyataan umum, atau disebut premis mayor, atau dikatakan premis minor .kalimat ketiga

(45)

( jadi,si Ali akan mati) adalah konklusi atau kesimpulan yang di tarik dari dua premis sebelumnya.

Lebih lanjutnya, Nafiah ( 2001 : 143-144 ) mengemukakan bahwa sebagai metode penalaran, silogisme sangat berguna untuk membuat pernyataan ( statemen ) dalam karangan. Dengan metode ini biasanya kesimpulan yang diambil cukup kokoh. Agar kesimpulan mencapai kebenaran, premis-premisnya harus terhindar dari unsur kesalahan.

Contoh :

Semua makhluk adalah manusia.

Kambing adalah makhluk.

Maka, kambing adalah manusia

Walaupun susunan silogisme benar, kesimpulan yang diambil salah. Salahnya terletak pada pernyataan dalam premis mayor yang tidak benar. Benar bahwa semua manusia adalah makhluk, tetapi tidaklah benar kalau dikatakan bahwa setiap makhluk adalah manusia, pada premis mayor.

Senada dengan defenisi terdahulu, Keraf ( 2001 : 58 ) mengemukakan bahwa silogisme merupakan bentuk, cara berpikir, atau menarik kesimpulan yang terdiri atas premis umum, premis khusus dan kesimpulan. Silogisme adalah suatu bentuk proses penalaran yang

(46)

berusaha menghubungkan dua proposisi ( pernyataan ) yang berlainan untuk menurunkan suatu kesimpulan atau inferensi yang merupakan proposisi yang pertama disebut juga premis .

Silogisme adalah suatu bentuk logis argumen deduktif yang terdiri atas dua premis dan satu kesimpulan, yang semuanya merupakan proposisi-proposisi kategoris. Sementara itu, suatu silogisme kategoris- kategoris hanya dapat disebut standar jika semua proposisi yang terkandung di dalamnya (premis –premis dan kesimpulan) merupakan proposisi –proposisi kategoris standar. Selain itu, suatu silogisme kategori standar selalu berisikan tiga term atau tiga kelas, yang masing–masing hanya boleh muncul dalam dua proposisi silogisme (Hayon ,2005 :134).

Lebih lanjut, Hayon ( 2005:134) mengemukakan bahwa kesimpulan dari silogisme kategoris standar yang berupa proposisi kategoris standar itu mengandung dua dari itga term silogisme, yakni term subjek (S) dan term predikat (P). Term predikat dari kesimpulan disebut

“term mayor “ silogisme, sedangkan term subjek dari kesimpulan disebut

“term minor” silogisme. Jadi, dalam bentuk silogisme kategori standar, seperti:

Semua pahlawan adalah seorang berjasa .

Beberapa prajuri adalah pahlawan.

Jadi, beberapa prajurit adalah orang berjasa .

(47)

Term prajurit adalah term minor dan term orang berjasa adalah term mayor .Term ketiga dari silogisme, yang tidak terdapat dalam kesimpulan, tetapi yang hanya termuat dalam kedua premis, disebut “term menengah ( M ,singkatan dari terminus Medius ).dalam contoh di atas .term pahlawan adalah term menengah .

Senada dengan pendapat Hayon, Poespoprodjo ( 1985: 47) mengemukakan bahwa dalam silogisme standar, premis mayor selalu di tempatkan sebagai proposisi kedua pada baris kedua. Premis mayor dan premis minor ini berfungsi sebagai pangkat tolak seluruh penalaran.

Kesimpulan penalaran diturunkan dengan memperhatikan hubungan antara premis mayor dan premis minor disebut atau antara term menengah (M) predikat (P) dalam premis mayor dan antara term suhyek (S) dengan term menengah (M) dalam premis minor. Itu berarti, kalau ternyata bahwa M sama dengan P, sedangkan M, maka S mesti sama juga dengan

P:

M = P S =M S =P

Penilaian yang menggunakan term menengah (M) untuk menarik kesimpulan itu, dalam sistim Aristoteles, disebut penalaran tidak langsung ( Poespoprodjo, 1985 :47).

(48)

b. Jenis silogisme

Silogisme dapat dikategorikan berdasarkan dua hal ,yaitu berdasarkan struktur dan prosesnya. Berdasarkan strukturnya, silogisme terbagi kedalam silogisme tunggal dan silogisme bersusun seperti contoh berikut ini :

1. Silogisme tunggal :

Manusia terkena nasib mati Aminah adalah manusia

Jadi, Aminah terkena nasib mati 2 Bersusun

Semua makhluk hidup itu makan Hewan dan tumbuhan itu makan

Jadi, hewan dan tumbuhan itu makhluk hidup

Berdasarkan prosesnya, silogisme disetarakan dengan penalaran deduktif seperti contoh berikut ini.

Semua mahasiswa S2 ingin cepat lulus Budi Mahasiswa S2

Budi ingin cepat lulus

(49)

Keraf ( 2001:58-71) mengemukakan bahwa ada lima corak proses berpikir yang deduktif , yaitu :

1. Silogisme kategori adalah silogisme yang dapat dibatasi sebagai suatu argumen deduktif yang mengandung suatu rangkaian yang terdiri dari tiga proposisi kategorial, yang disusun sedemikian rupa sehingga ada tiga term yang muncul dalam rangkaian pernyataan itu.

2. Silogisme hipotetis atau silogisme pengadaian merupakan silogisme yang bertolak pada suatu pendirian, bahwa ada kemungkianan apa yang disebut dalam proposisi itu tidak ada atau tidak terjadi .premis mayornya mengandung pernyataan yang bersifat hipotetis .

3. Silogisme alternatif atau silogisme disjungtif merupakan silogisme yang proposisinya mengandung kemungkinan-kemungkinan atau pilihan-pilihan.

Sebaliknya proposisi minornya adalah proposisinya kategorial yang menerima atau menolak salah atau alternatif.

4. Entimen merupakan suatu cara menyatakan pikiran tampaknya bersifat artifisa Dalam kehidupan sehari-hari biasanya silogisme itu muncul hanya dengan dua propsisi, salah satu dihilangkan. Walaupun dihilangkan, proposisi itu tetap dianggap ada dalam pikiran, dan dianggap diketahuai pula orang lain.

5. Rantai deduksi merupakan penalaran yang deduktif dapat berlangsung lebih informal dari entimen . orang–orang yang tidak berhenti pada sebuah silogisme saja, tetapi dapat pula merangkaikan beberapa bentuk silogisme yang tertuang dalam bentuk-bentuk yang informal.

(50)

3 Prinsip-prinsip dasar silogisme

Secara keseluruhan dikenal adanya tujuh prinsip dasar silogisme, yaitu prinsip persamaan, prinsip perbedaan, prinsip pengakuan tentang semua, prinsip pengikaran tentang semua,prinsip identitas, prinsip kontradiksi, dan prinsip tak ada jalan tengah ( Soekadijo, 1991:57-69) . berikut diuraikan secara singkat ketujuh prinsip dasar silogisme tersebut :

1. Prinsip persamaan ( puincippium Convennientiae)

Prinsip ini menyatakan “ Jika dua hal masing-masing sama dengan hal ketiga, maka keduanya pasti sama “.sebut saja kedua tersebut adalah A dan B itu pun ketiga adalah C. Jika A dan B masing–masing sama dengan C, maka B itu pun dengan sendirinya sama satu dengan yang lain. Jadi, rumus formalnya demikian :

A=C =B jadi ,A = B

2. Prinsip perbedaan (principium Discrepantiae)

Prinsip ini menegaskan : “Jika dua hal, satu diantaranya sama dengan hal ketiga, sedangkan langkah yang lain tidak sama, maka keduanya pasti tidak sama, maka A dan B itupun masti tidak sama satu dengan yang lainya.

(51)

Dengan demikian bentuknya menjadi : A = C = B A = C = B

Jadi ,

A = B A = B

3. Prinsip pernyataan tentang semua atau prinsip pengakuan tentang semua ( principium dicti De Omni)

prinsip ini berbunyi : “Apa yang berlaku (diakuai) pula bagi masing–masing anggotanya secara individual “.

Contohnya :Semua penyanyi adalah orang bersuara bagus Ruth sahanaya adalah penyanyi .

Jadi, Ruth sahanaya ada /a/ i orang yang bersuara bagus

4. Prinsip pernyataan tentang tak satu pun atau prinsip pengingkaran tentang semua ( Principium Dicti De Nullo)

Prinsip ini menetapkan : “ Apa yang tidak berlaku ( diingkari) bagi semua anggota dari sesuatu kelas secara universal, hal yang sama tidak berlaku ( diingkari) pula bagi masing-masing anggotanya secara individual “.

Contohnya:

Semua teroris bukan yang mau menempuh jalan damai,

Hambali adalah teroris

(52)

Jadi, Hambali bukan orang yang mau menempuh jalan damai.

5. Prinsip identitas ( Principium Identitas )

Prinsip ini menegaskan :” Tidak mungkin sesuatu itu identik dirinya sendiri.

Misalnya: A =A.

6. Prinsip kontradiksi ( Principium Cot/ Radictionis )

Prinsip ini menyatakan :” Tidak mungkin sesuatu itu dan sekaligus tidak seperti itu „.

Misalnya : tidak mungkin A =B dan sekaligus A=B

7. Prinsip tak ada jalan tengah atau prinsip penyingkiran kemungkinan ketiga ( Principium Exclusi Tertti).

prinsip ini berbunyi :”sesuatu itu seperti itu atau seperti itu atau tidak itu “.

Misalnya: A = B atau A = B, tidak ada kemungkinan lain .

4 Hukum–hukum silogisme mengenai Term

Dalam silogisme terdapat emapat hukum mengangkut term menurut Bertens ( 1989:69-71) , seperti yang diuraikan berikut ini . 1. Hukum Pertama : jumlah term dalam silogisme kategoris

tidak boleh kurang atau lebih dari tiga .

(53)

Semua kucing adalah binatang

Beberapa binatang adalah kucing

Jadi (?)

Dari kedua proposisi semua kucing adalah binatang”dan “ beberapa binatang adalah kucing” tidak dapat ditarik suatu proposisi lain ( kesimpulan ) yang menyatakan sesuatu yang baru selain dari yang telah disebutkan dalam kedua proposisi itu. Dengan kata lain, dengan hanya menggunakan dua term suatu silogisme tidak mungkin terbentuk.

Sebaliknya tidak dapat disusun suatu silogisme apabila jumlah term lebih dari tiga.

Misalnya:

Semua koruptor adalah pencuri.

Arifin adalah karyawan pertamina.

Jadi ( ? ).

Kedua proposisi diatas memiliki lebih dari tiga term dan tidak satupun yang berfungsi sebagai term menengah yang dapat menghubungkan kedua proposisi itu. Oleh karenanya, tidak dapat diambil suatu kesimpulan dan kalau begitu silogisme kategoris tidak mungkin juga terbentuk. Jelaslah bahwa suatu silogisme kategoris dengan jumlah term kurang atau lebih dengan tiga, memiliki implikasi logis yang sama. Akan

(54)

tetapi, kalupun ada tiga term, haruslah diperhatikan bagian masing-masing term itu digunakan dalam arti yang sama atau univok.

2 . Hukum Kedua : term menengah tidak boleh terdapat alam kesimpulan.

Term menengah berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan term minor dari mayor ( term subjek dan term predikat ) dalam kesimpulan. Hal itu berarti term menengah tidak boleh lagi ikut masuk kedalam kesimpulan. Jadi, dari premis-premis :

Semua manusia dapat mati.

Semua orang jawa adalah manusia.

Tidak dapat disimpulkan sesuatupun tentang manusia kecuali tentang orang jawa atau dapat mati. Dengan demikian, kesimpulannya harus berbunyi. “ semua orang jawa dapat mati”.

3 . Hukum Ketiga : term subjek/term predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas dari pada term-term bersangkutan yang terdapat dalam premis-premis.

Tegasnya, suatu term tertentu dalam premis tidak mempunyai luas universal. Jadi, bila luas suatu term tertentu dalam premis adalah partikular tidak boleh diturunkan kesimpulan dengan luas partikukler atau universal. Begitu juga, bila luas suatu term tertentu dalam premis adalah

(55)

singular, jangan diturunkan kesimpulan dengan luas partikular atau universal. Contoh-contoh berikut ini memperlihatkan kesalahan tersebut.

(a). Semua burung mempunyai sayap.

Beberapa binatang adalah burung.

Jadi, semua binatang mempunyai sayap.

Dari silogisme (a) di atas terlihat bahwa luas term subyek sebagai term minor ( binatang ) dalam kesimpulan lebih besar daripada luas term tersebut dalam premis minor. Kesimpulannya seharusnya berbunyi “ beberapa binatang mempunyai sayap “.

(b). Semua manusia berakal budi

Semua manusia adalah makhluk hidup.

Jadi, semua makhluk hidup berakal budi.

Contoh silogisme (b) diatas memperlihatkan bahwa luas term subjek sebagai term minor (makhluk hidup) dalam kesimpulan lebih besar dari pada luas term tersebut dalam premis minor. Kesimpulannya harus berbunyi, “ beberapa makhluk hidup berakal budi “.

(c). Semua ayam adalah binatang berkaki dua.

Semua bebek bukan ayam.

Jadi, semua bebek bukan binatang berkaki dua

(56)

Kiranya tampak jelas dari contoh silogisme (c) diatas bahwa luas term predikat sebagai term mayor ( binatang berkaki dua ) dalam kesimpulan lebih besar dari pada luas term tersebut dalam premis mayor.

4. Hukum Keempat: luas term menengah sekurang-kurangnya satu kali harus universal.

Dengan rumusan lain, hukum ini menegaskan term boleh digunakan dua kali dalm luas partikuler. Perhatikan contoh dibawah ini.

Semua kursi adalah tempat duduk Semua bangku adalah tempat duduk Jadi, semua bangku adalah kursi

Kesalahan silogisme diatas disebabkan karena luas masing-masing term yang berfungsi sebagai term menengah ( dalam contoh tempat duduk), keduanya digunakan sebagai predikat pada proposisi afirmatif, adalah partikular sehingga term tersebut tidak dapat menjadi penghubung antara term minor atau term mayor. Alasanya adalah masing-masing term menengah itu dapat menunjuk pada kenyataan yang berbeda dan kelas yang sama. Semua kursi identik dengan sebagai dari luas tempat duduk, dan semua bangku identik dengan sebagian dari luas tempat duduk.’

Tetapi. Tidak ada jaminan bahwa kursi dan bangku itu menunjuk pada bagian yang sama dari kelas tempat duduk. Kalaupun diandaikan bahwa kursi dan bangku itu secara material adalah identik dan karena itu

Gambar

Tabel  1  Keadaan Populasi ................................................................................
Diagram deduksi sebagai berikut :
Tabel 1 keadaan Populasi :
Tabel  3  Rangkuman  Nilai  Statistik  Kemampuan  Menarik  Kesimpulan  Dengan Cara Siogisme Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Bangkala  Jeneponto
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis data membuktikan bahwa kemampuan menulis karangan narasi dengan menggunakan metode image streaming siswa kelas X SMA Negeri 2 Batang Kapas bahwa kemampuan