Khutbah Jumat pertama
ِهللاِب ُذوُعَنَو ُهُرِفْغَتْسَنَو ُهُنْيِعَتْسَنَو ُهُدَمْحَن ِهَلِل َدْمَحْلا َنِإ
َ لَفُهللا ِهِدْهَي ْنَم ،اَنِلاَمْعَأ ِتاَئِيَس ْنِمَو اَنِسُفْنَأ ِرْوُر ُش ْنِم
.
ُهللا َ لِإَهَلِإ َ لْن َأ ُدَهْشَأ ُهَل َيِداَه َلَفُهْلِلْضُي ْنَمَو ُهَل َلِضُم . ُهُلْوُسَرَو ُهُدْبَع اًدَمَحُم َن َأ ُدَهْشَأَوُهَل َكْيِرَش َلُهَدْحَو
ِهِباَحْصَأِو ِهِلآ ىلَعَو ٍدّمَحُم انديس ىلَع ْمّلَسَو ّلَص ّمُهللَا نْيّدلا ِمْوَيىَلِإ ٍناَسْحِإِب ْمُهَعِبَت ْنَمَو
َنْوُقَتُمْلا َزاَف ْدَقَف ِهللا ىَوْقَتِب َياَيِإَو ْمُكْيِصْو ُأ ِهللا َداَبِع
ْمُكَقَلَخ يِذّلا ُمُكّبَر اْوُقّتا ُساَنلا اَهّي َأاَي ىَلاَعَت ُهللا َلاَق :
ً لاَجِراَمُهْنِم ّثَبَو اَهَجْوَز اَهْنِم َقَلَخَو ٍةَدِحاَو ٍسْفَن ْنِم
ّنِإ ماَحْر َ لْاَو ِهِب َنْوُلَءاَسَت يِذَلا َهللا اوُقّتاَو ًءاَسِنَو اًرْيِثَك اًبْيِقَر ْمُكْيَلَع َناَك َهللا
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Mengawali Khutbah Jumat pada siang hari ini, kami suguhkan terlebih dahulu kisah seorang pemuda yang datang kepada Ibrahim bin Adam untuk meminta nasehat, karena kesulitannya untuk meninggalkan maksiat dan dosa. “Wahai Imam, aku ingin bertobat dan meninggalkan dosa. Tapi tiba-tiba aku kembali berbuat dosa.
Tunjukkan padaku sesuatu yang bisa melindungiku hingga aku tak lagi bermaksiat kepada Allah.”
Ibrahim bin Adam berkata, “Jika engkau ingin bermaksiat kepada Allah, jangan bermaksiat di atas bumi-Nya.” Orang itu bertanya lagi, “Bagaimana mungkin, sebab seluruh bumi ini milik Allah?” Maka Ibrahim berkata, “Tidakkah engkau malu bahwa seluruh bumi ini milik Allah, tetapi engkau masih berbuat maksiat di atasnya?”
Sang Imam pun kemudian melanjutkan, “Jika engkau ingin bermaksiat, jangan memakan rezeki-Nya.” Orang itu menjawab, “Bagaimana aku bisa hidup?” Ibrahim lalu berkata, “Tidakkah engkau malu memakan rezeki-Nya sementara engkau
bermaksiat kepada-Nya?”
Kemudian lanjutnya, “Jika engkau ingin melakukan maksiat, lakukanlah di tempat yang tidak dilihat-Nya.” Yang bertanya lalu menjawab, “Bagaimana mungkin, sementara Dia terus bersama kita di mana saja kita berada?” Ibrahim pun berkata,
“Tidakkah engkau malu bermaksiat kepada-Nya sementara Dia bersamamu dan dekat denganmu?”
“Jika engkau masih tetap ingin bermaksiat, maka jika malaikat maut datang
kepadamu guna mengambil ruhmu, katakan padanya, tunggu sampai aku bertobat!”
Orang itu berkata lagi, “Bagaimana mungkin wahai Imam, itu mustahil,” Ibrahim pun melanjutkan, “Tidakkah engkau malu malaikat maut datang kepadamu dan
mengambil ruhmu, sementara engkau dalam keadaan bermaksiat?”
Kemudian berikutnya, “Jika engkau tetap ingin bermaksiat, maka ketika para Malaikat Zabaniyah yang menjaga neraka jahannam datang untuk mengantarkanmu menuju neraka, katakan kepada mereka, ‘aku tidak akan pergi bersamamu.’
Mendengar itu, orang tadi menjawab, “Bagaimana mungkin wahai imam?” Ibrahim akhirnya mengatakan, “Setelah ini semua, apakah engkau tidak malu kepada Allah?”
Kaum Muslimin yang berbahagia
Kisah klasik yang berisi percakapan antara Imam Ibrahim bin Adham dengan seorang pemuda mengantarkan kita pada satu hal : milikilah rasa malu dalam tiap langkah kehidupan kita. Orang yang memiliki rasa malu akan terdorong untuk selalu melaksanakan hak-hak Allahﷻ dan mencegahnya dari perbuatan-perbuatan yang membuat Allahﷻ murka kepadanya.
Tanpa rasa malu, kita akan hidup semau nafsu. Tanpa rasa malu, kita dengan mudah mengabaikan hak-hak Allahﷻ. Tanpa rasa malu, kita dengan enteng melanggar larangan Allahﷻ. Oleh karena itu, Nabi Muhammadﷺ bersabda :
ِحَتْسَت ْمَل اَذِإ ،ىَلْو ُ لا ِةَوُبُنلا ِمَلَكْنِم ُساَنلا َكَرْدَأ اَمِم َنِإ
َتْئِش اَم ْعَنْصاَف
“Sesungguhnya ungkapan yang telah dikenal orang-orang dari ucapan nabi-nabi terdahulu adalah: Jika engkau tidak malu berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhari) Dengan sabda Nabiﷺ ini kita diajak untuk merenungi setiap perbuatan yang akan kita kerjakan. Kita harus menimbang dengan seksama apakah perbuatan ini pantas
atau tidak dalam pandangan Allahﷻ atau sebaliknya, tidak pantas untuk diamalkan.
Ada sejumlah bentuk rasa malu yang harus melekat selalu pada diri kita dalam menjalani kehidupan. Yang pertama adalah malu berbuat keburukan.
Kita harus punya sifat malu yang dengannya kita meninggalkan perbuatan buruk sekecil apa pun itu. Bukan karena sesuatu itu dosanya hanyalah (dalam tanda kutip) dosa kecil, lalu kita kerjakan begitu saja.
Tapi kita malu melakukannya, karena kita merasa bahwa di hadapan siapa kita melakukannya. Tidak lain, di hadapan Allahﷻ yang Maha Mengetahui semua perbuatan kita yang tampak atau tersembunyi.
Petikan syair Imam Ahmad bin Hanbal berikut ini patut kita jadikan sebagai bahan muhasabah :
ينيصعت تييحتسا امأ يبر يل لاق ام اذإ
Ketika Tuhanku bertanya padaku apakah engkau tidak malu durhaka kepada-Ku
ينيتأت ِنايصعلابو يقلخ نع َبنذلا يفخُتو
Engkau sembunyikan perbuatan dosamu dari orang padahal kamu terus durhaka kepada-Ku
Bentuk rasa malu yang kedua adalah malu yang lahir dari perasaan tentang
keagungan Allahﷻ yang membuat kita selalu dalam pengawasan-Nya. Seperti kisah Ibrahim bin Adham di atas, beliau menekankan untuk menyikapi setiap keinginan berbuat dosa dan maksiat dengan melihat kepada siapa dan di mana kita melakukannya.
Sementara fasilitas yang kita gunakan untuk bermaksiat bersumber dari rezeki yang Allahﷻ berikan kepada kita. Adakah dari fasilitas yang kita gunakan bermaksiat, bukan anugerah Allahﷻ? Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki semuanya nikmat Allahﷻ. Maka, apakah pantas kita menggunakannya justru untuk berbuat durhaka kepada-Nya.
Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan
Ketiga, bentuk malu pada diri setiap muslimah. Inilah rasa malu yang menjadi tabiat dasar di diri setiap perempuan yang jika sudah hilang, akan membahayakan keselamatannya baik di dunia atau di akhirat.
Contoh tentang malunya seorang muslimah bisa kita lihat dari Ibunda orang-orang beriman, Sayidatuna Aisyah. Awalnya, ketika Nabiﷺ dan kemudian ayahnya dimakamkan, setiap kali berziarah beliau tak mengenakan penutup kepala. Karena, beliau menganggapnya sebagai mahramnya.
Kemudian, ketika Sayidina Umar bin Khatab juga dimakamkan satu area dengan Nabiﷺ dan ayahnya, maka beliau mengenakan penutup kepala setiap kali
berziarah. Mengapa? Karena, menganggap di pemakaman itu sudah ada seseorang yang bukan mahramnya, yakni Umar bin Khatab. Maka, ia harus berpakaian tertutup.
Demikianlah khutbah Jumat dalam kesempatan yang mulia ini. Semoga bisa mengarahkan diri kita untuk berada di jalan yang diridai Allahﷻ.
ْمُكاَيِإَو ِينَعَفَنَو ،ِمْيِظَعلا ِنآْرُقلا ِيف ْمُكَلَو يِل ُهللا َكَراَب
ْمُكْنِمَو ِينِم َلَبَقَتَو ِ مْيِكَحلاِرْكِذلاَو ِتَايلْا َنِم ِهْيِف اَمِب
ُرِفْغَتْس َأَو اَذه ِيلْوَق ُلْوُقَأ ُمْيِلَعلا ُعْيِمَسلا َوُه ُهَنِإ ُهَتَوَلِت .
َوُه ُهَنِإ ُهْوُرِفْغَتْساَف َنْيِمِلْسُمْلا ِرِئاَسِلَو ْمُكَلَو ِيل َهللا
ُمْيِحَرلا ُرْوُفَغلا .
Khutbah Jumat Kedua
اَناَدَه ْنَأ َلْوَل َيِدَتْهَنِل اَنُك اَمَو اَذَهِل اَناَدَه يِذَلا ِهَلِل ُدْمَحْلا
َنَأ ُدَه ْش َأَوُهَل َكْيِرَش َلُهَدْحَو ُهللاَلِإ َهَلِإ َلْنَأ ُدَهْشَأ،ُهَللا انديس ىلَع ْمِلَسَو ِلَص ّمُهَللَا ُهُلْوُسَرَو ُهُدْبَع ًادَمَحُم .
ِ مْوَيىَلِإ ٍناَسْحِإِب ْمُهَعِبَت ْنَمَو ِهِباَحْص َأِو ِهِلآ ىلَعَو ٍدّمَحُم
ُدْعَب اَمَا نْيّدلا . :
َرَهَظاَم َشِحاَوَفْلا اوُرَذَو َىلاَعَت َهللا اوُقَتِا ُساَنلا اَهُيَا اَيَف
ِةَعْمُجْلا ِرْوُضُحَو ِةَعاَطلا َىلَعاْوُظِفاَحَو ،ْنَطَب اَمَو
ِةَعاَمَجْلاَو .
ِةَكِئَلَمِب ىَنَثَو ِهِسْفَنِب ِهْيِف َأَدَبٍرْمَأِب ْمُكَرَمَا َهللا َنَا اْوُمَلْعاَو
َهللا َنِا اًمْيِلَع ً لِئاَقْلَزَي ْمَلَو َىلاَعَت َلاَقَف ،ِهِسْدُق :
ِهْيَلَع اْوُلَص اْوُنَمآ َنْيِذَلا اَهُي َاَيْىِبَنلا َىلَع َنْوُلَصُي ُهَتَكِئَلَمَو اًمْيِلْسَت اْوُمِلَسَو
اَمَك ٍدَمَحُم انديس ِلآ ىَلَعَو ٍدَمَحُم انديس ىَلَع ِلَص َمُهَللَا
َكَنِإ ،َمْيِهاَرْبِإ انديس ِلآ ىَلَعَو َمْيِهاَرْبِإ انديس ىَلَع َتْيَلَص
.
انديس ِلآ ىَلَعَو ٍدَمَحُم انديس ىَلَع ْكِراَبَو ٌدْيِجَم ٌدْيِمَح انديس ِلآ ىَلَعَو َمْيِهاَرْبِإ انديس ىَلَع َتْكَراَب اَمَك ٍدَمَحُم
ٌدْيِجَم ٌدْيِمَح َكَنِإ ،َمْيِهاَرْبِإ
َنْيِنِمْؤملاَو ِتاَمِلْسملاَو َنْيِمِلْسُمْلِل ْرِفْغا َمُهللا
ٌبْيِرَق ٌعْيِمَس َكَنِإ ِتاَوْم َ لاَو ْمُهْنِم ِءاَيْحَلا ِتاَنِمْؤملاَو
ِةَوْعَدلا ُبْيِجُم ،
ِءيِيَسَو ِماَذُجلاوِنوُنُجلاَو ِصَرَبلا َنِم َكِب ُذوُعَن اَنِإ َمُهَللا
ِ ماَقْسلا
اَنْلَعْجاَو ٍنُيْع َأ َةَرُق اَنِتاَيِرُذَو اَنِجاَوْزَأ ْنِم اَنَل ْبَه اَنَبَر
,
َفاَفَعلاو ىَقُتلاو ىَدُهلا َكُل َأْسَن اَنإ َمُهَللا اًماَمِإ َنيِقَتُمْلِل
ًةَنَسَح ِةَرِخ ْلا يِفَو ًةَنَسَح اَيْنُدلا يِف اَنِتآ اَنَبَر ،ىَنِغلاو
ِراَنلا َباَذَع اَنِقَو
ْنَم و ِهِبْحَصَو ِهِلآ ىَلَعَو ٍدَمَحُم اَنِيِبَن ىَلَع ُهللا ىَلَصَو
هلل ُدْمَحْلا ِنَأ اَناَوْعَد ُرِخآَو نْيّدلا ِمْوَيىَلِإ ٍناَسْحِإِب ْمُهَعِبَت
َنْيِمَلاَعْلا ِبَر
يِذ ِءاَتْيِإَو ِناَسْح ْلاَو ِلْدَعْلاِب ُرُم ْأَي َهللا َنإ ،ِهللا َداَبِع
ْمُكُظِعَي ،ِيْغَبلاَو ِرَكْنُمْلاَو ِءا َشْحَفلا ِنَع ىَهْنَيو ىَبْرُقْلا
ِهللا ُرْكِذَلَو ْمُكْرُكْذَي َمْيِظَعْلا َهللا اوُرُكذاَف َنْوُرَكَذَت ْمُكَلَعَل .
ُرَبْك َأ