• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN BUKU APOLOGETIKA

N/A
N/A
Naruka Uzumaki

Academic year: 2024

Membagikan " LAPORAN BUKU APOLOGETIKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN BUKU MATA KULIAH APOLOGETIKA

PENDAHULUAN

Dalam pelaksanaan program Asistensi Mengajar, mahasiswa diwajibkan membuat Laporan Buku tentang “Mempertanggungjawaban Iman Katolik”. Oleh karena itu untuk menggali dan memperdalam ilmu pengetahuan apologetika, mahasiswa asistensi melakukan studi mandiri lewat wawancara warga sekolah dan umat sekitar mengenai tradisi agama Katolik yang banyak mendapat kritikan dari berbagai pihak diluar Katolik.

Hal-hal yang ingin digali yakni definisi apologetika dan metode-metodenya, dasar biblis dan ajaran Gereja tentang pembelaan iman, langkah-langkah ber-Apologetika, serta beberapa pokok pembelaan iman, mencakup : patung dalam Gereja Katolik, peran Maria, doa arwah dan pengakuan dosa.

Apologetika adalah ilmu yang agak sulit dipahami bagi orang yang belum dididik agama Katolik, tetapi ilmu ini bertugas menunjukkan bahwa agama Katolik itu kredibel, selain itu juga dijadikan dasar untuk menunjukkan bahwa Gereja Katolik sepenuhnya rasional dan sah. Apologetika membela dan membenarkannya di semua bidangnya, seperti cabang ilmu lainnya berusaha memberikan jawaban atas semua pertanyaan agama, menunjukkan dengan fakta alasan untuk setiap peristiwa. Istilah ini berasal dari kata Apology yang berarti pembelaan.

Pembelaan ini rasional menurut agama Katolik, karena didasarkan pada akal dan bukan pada perasaan dan intuisi, karena ini bukanlah unsur-unsur yang membantu menentukan kebenaran.

Melalui akal, manusia dapat merenungkan dan menemukan apa itu kebenaran serta membela keimanannya dari serangan musuh-musuh iman Katolik.

Dewasa ini, sesuai dengan pengalaman, banyak orang tidak mengenal agama Katolik dengan cara yang benar, karena pengetahuan yang dangkal, maka dari itu mereka menjauhinya, karena tidak mengetahui dengan baik apa itu doktrin, mereka tidak mengetahui apa yang menjadi dasar-dasarnya dan tidak tahu kebenaran yang dikandungnya. Yang lain hanya melihat bahwa iman itu buta dan harus dipercaya dengan keteguhan mutlak, tanpa mengetahui bahwa hal itu dapat dibuktikan. Itulah sebabnya Apologetika diperlukan, dan tidak hanya sekarang, di zaman kuno ketika gereja Kristen sedang dibentuk, Apologetika juga diperlukan, karena tidak hanya untuk mempertahankannya, tetapi juga agar ajarannya diterima secara rasional. Dengan cara inilah selama berabad-abad Gereja Katolik melalui apologetika telah muncul dengan kemenangan.

(2)

PENGERTIAN APOLOGETIKA

Apologetika atau apologetics adalah pembelaan keyakinan Kristiani mengenai Allah, Kristus, Gereja dan tujuan hidup umat manusia. Apologetik yakni bidang yang memberikan alasan bagi Iman Kristen, berasal dari kata Yunani “apologia”, yang berarti “apologi” (maaf).

Tentu bukan permintaan maaf seperti ketika mengucapkan, permintaan maaf” tapi memiliki arti berusaha memberikan alasan/penjelasan untuk membela sesuatu atau seseorang. Pembelaan ini dapat ditujukan kepada pemeluk agama lain, anggota komunitas Kristiani yang lain, warga komunitas sendiri yang ragu-ragu atau kepada orang beriman biasa yang ingin mengerti bahwa iman mereka dapat dipertanggungjawabkan. Terminologi “apologetika” menjadi lebih masuk akal ketika kita mempertimbangkan makna kata dasar Yunani “apologia”. Apologia adalah sebuah “pembelaan,” sebuah penjelasan rasional untuk membuktikan ketidakbersalahan seseorang ditengah tuduhan dalam pengadilan, atau demonstrasi yang benar dari sebuah argumen atau kepercayaan (Alister, 2019. Hal 13).

Apologetik merupakan suatu cara untuk untuk memahami, menjelaskan dan mempertahankan iman Katolik dengan memberikan jawaban-jawaban atau argumen-argumen dengan cara yang rasional terhadap berbagai tuduhan yang diarahkan mengenai iman Katolik.

Orang yang melakukan kegiatan apologetik (apologetic) disebut apologis (apologist). Maka apologetik juga memainkan peran yang cukup penting dalam evangelisasi. Evangelisasi berarti mewartakan kebenaran Kristus.

Lebih lanjut, tugas mempertahankan iman diperintahkan oleh para uskup, terutama karena orang beriman menjadi lebih bertanggung jawab terhadap standar pemuridan Allah. Umat Kristiani Katolik “terikat lebih sempurna dengan Gereja melalui Sakramen Penguatan, dan Roh Kudus menganugerahkan kepada mereka kekuatan khusus sehingga mereka lebih tegas berkewajiban untuk mewartakan dan mempertahankan iman, baik dengan kata-kata maupun perbuatan, sebagai saksi-saksi sejati dari Kristus." (New York:

HarperCollins, 2007).

Salah satu nilai yang terlibat dalam tugas apologetik adalah memperdalam dan memperkaya pemahaman seseorang tentang kebenaran Katolik. Ketika orang Kristen menjadi semakin yakin bahwa Yesus adalah Jalan, Kebenaran, dan Hidup, mereka mau tidak mau menjadi diri mereka yang seharusnya didalam Kristus. Secara alami, apologetika teoretis dan praktik lahiriah akan saling mempengaruhi dan memperkuat. Selanjutnya, kehidupan pemuridan yang mengabaikan apologetika dapat menghancurkan dorongan yang mendasari misi. Evangelisasi sangat penting bagi kehidupan Gereja, memahami dan menerapkan mandat apologetik memberikan dorongan bagi misi Gereja.

(3)

Penggunaan apologetika sebenarnya merupakan bentuk kasih sayang terhadap lawan bicara. Oleh karena itu, praktik Katolik yang autentik akan berupaya memasukkan apologetika bila perlu. Ketidaksepakatan tidak harus sepenuhnya bertentangan agar umat Katolik menjadi lebih apologetis. Itu hanya mensyaratkan umat Katolik setidaknya berpikir bahwa keyakinan mereka tampaknya berbeda dari sudut pandang agama lain. Meskipun budaya dan teologi kita terus berubah, umat Kristiani tetap hidup di zaman dimana orang perlu diyakinkan bahwa Yesus adalah Tuhan. Jelas, ini mensyaratkan bahwa orang Kristen harus membela Injil. Sekali lagi, akan selalu ada keberatan terhadap Injil, apakah itu secara tidak sadar atau secara terbuka dinyatakan oleh orang luar dan orang-orang didalam Gereja. Dan inilah alasan mengapa apologetika akan selalu menjadi bagian penting dari kepercayaan Katolik. (churchlifejournal, 2016).

Dasar Biblis dan Ajaran Gereja tentang Apologetika

Berikut ini merupakan dasar biblis dan ajaran gereja mengenai apologetika dalam Gereja Katolik.

Dasar Biblis

Alasan pertama melakukan apologetika adalah karena Kitab Suci memerintahkannya.

Dalam Yudas 3, umat Kristiani diperintahkan untuk “berjuang demi iman.” Dalam Kolose 4:5- 6, St. Paulus memperingatkan Gereja: “Tingkah lakumu dengan bijak terhadap orang luar, manfaatkan kesempatan sebaik-baiknya. Biarlah ucapanmu selalu ramah, dibumbui dengan garam, sehingga kamu tahu bagaimana kamu harus menanggapi setiap orang.” Paulus melihat perannya sendiri sebagai seorang Apologis. Dalam Filipi 1:16, dia menulis, “Saya di sini untuk membela Injil.” Walter Kasper merangkum dasar alkitabiah dari Apologetika: “Iman, sebagaimana dipahami dalam Alkitab, bukanlah usaha buta, bukan perasaan irasional, bukan pilihan yang tidak diperhitungkan dan tentunya bukan sacrificium intellectus (pengorbanan intelek). Sebaliknya, iman dapat dan harus memberikan penjelasan yang rasional tentang dirinya sendiri.”

Meskipun Apologetika terkadang membuat orang merasa tidak nyaman, reaksi ini tampaknya berasal dari pemahaman kebenaran tentang Kristus dan Gereja-Nya. Marilah kita mengingat kata-kata Injil Yohanes : “Inilah keputusannya, bahwa terang datang ke dunia, tetapi orang-orang lebih menyukai kegelapan daripada terang, karena perbuatan mereka jahat. Karena setiap orang yang melakukan hal-hal jahat membenci terang dan tidak mendekati terang itu, supaya perbuatannya tidak tersingkap. Tetapi siapa pun yang hidup dalam kebenaran datang ke terang, sehingga pekerjaannya dapat dilihat dengan jelas sebagai dilakukan didalam Tuhan. (Yoh 3:19–21).

(4)

Salah satu dasar biblis yang memberi dasar kekuatan apologetika yakni, Santo Petrus dalam suratnya yang pertama mengatakan: “Siap sedialah pada segala waktu untuk memberikan pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab tentang pengharapan yang ada padamu” (1Ptr 3:15). Dengan demikian apologetika berkaitan dengan teologi dasar, yaitu mengenai dasar-dasar iman Kristiani. Teologi Apologetika banyak dipakai oleh para Bapa Gereja (abad II-abad VIII) untuk membela iman Kristiani terhadap serangan dari pihak bidaah pada zaman itu. Pembelaan ini berlaku untuk masa kini, dimana umat Katolik membutuhkan kejelasan akan imannya.

Ajaran Gereja

Magisterium mendesak umat beriman untuk melibatkan dunia dengan argumen- argumen apologetis. Meskipun Vatikan II tidak menyebutkan atau mendukung metode apologetika apa pun secara rinci, kurangnya kekhususan ini tidak berarti Konsili tidak menganggap pembelaan iman yang beralasan sebagai tidak penting atau tidak relevan. M. John Farrelly mencatat: “Vatikan II mengutamakan makna Allah dan Yesus Kristus, tetapi juga menegaskan bahwa akal, pengalaman manusia biasa, dan nilai sejarah Injil mendukung iman kita akan keberadaan Allah dan wahyu-Nya melalui Yesus Kristus.”

Tidak dapat disangkal bahwa Konsili berkepentingan untuk mendukung penggunaan teologi apologetis. Menarik bagi bagian apologetika sentral dari Perjanjian Baru (1 Pet 3:15) , para uskup mendesak itu : “semua murid Kristus, yang bertekun dalam doa dan memuji Tuhan, harus mempersembahkan diri mereka sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Tuhan. Di mana pun, di bumi mereka harus memberikan kesaksian tentang Kristus dan memberikan jawaban kepada mereka yang mencari penjelasan tentang pengharapan hidup kekal yang ada didalam diri mereka.” (Lumen Gentium , §10).

Dalam Redemptoris Missio, St. Yohanes Paulus II menegaskan bahwa “misi”

memberikan dorongan utama yang mendasari pencarian akan kesatuan Kristiani. Oleh karena itu, dorongan misionaris menjadi bagian dari kehidupan Kristiani, dan juga merupakan inspirasi dibalik ekumenisme : 'agar mereka semua menjadi satu. . . supaya dunia percaya bahwa Engkau telah mengutus Aku' (Yoh 17:21). (RM §1).

Memang, teologi apologetis dapat membantu seseorang untuk memahami perspektif doktrinal lainnya yang, pada gilirannya, dapat digunakan untuk membujuk umat Kristiani lainnya untuk mencapai semacam kesatuan. St. Yohanes Paulus II menulis : Persekutuan penuh tentu harus terjadi melalui penerimaan seluruh kebenaran yang dituntun oleh Roh Kudus kepada murid-murid Kristus. Karenanya segala bentuk reduksionisme atau 'kesepakatan' yang asal- asalan harus mutlak dihindari. Pertanyaan serius harus diselesaikan, karena jika tidak,

(5)

pertanyaan itu akan muncul kembali dilain waktu, baik dengan istilah yang sama atau dengan penyamaran yang berbeda (Ut Unum Sint, §36). Demikian pula, para pembela pengalaman dan paus baru-baru ini telah menekankan kekuatan persuasif dari amal. Paus Benediktus XVI sendiri menyatakan bahwa amal adalah apologetik yang paling meyakinkan untuk iman : Selain itu, amal tidak dapat digunakan sebagai sarana untuk terlibat dalam apa yang saat ini dianggap sebagai proselitisme. Cinta itu bebas; itu tidak dipraktikkan sebagai cara untuk mencapai tujuan lain. Tetapi ini tidak berarti bahwa kegiatan amal entah bagaimana harus mengesampingkan Tuhan dan Kristus. Karena itu selalu berkaitan dengan manusia seutuhnya. Seringkali penyebab terdalam dari penderitaan adalah ketiadaan Tuhan. Mereka yang mempraktikkan kasih amal atas nama Gereja tidak akan pernah memaksakan iman Gereja kepada orang lain. Mereka menyadari bahwa cinta yang murni dan murah hati adalah kesaksian terbaik bagi Tuhan yang kita percayai dan yang mendorong kita untuk mencintai. Seorang Kristen tahu kapan waktunya untuk berbicara tentang Tuhan dan kapan lebih baik tidak mengatakan apa-apa dan membiarkan cinta saja yang berbicara. Ia tahu bahwa Allah adalah kasih (bdk. 1 Yoh 4:8) dan bahwa kehadiran Allah dirasakan pada saat satu-satunya hal yang kita lakukan adalah mengasihi. Dia tahu untuk kembali ke pertanyaan yang diajukan sebelumnya bahwa penghinaan terhadap cinta adalah penghinaan terhadap Tuhan dan manusia; itu adalah upaya untuk melakukannya tanpa Tuhan. Konsekuensinya, perlindungan terbaik bagi Tuhan dan manusia justru terletak pada cinta. Adalah tanggung jawab organisasi amal Gereja untuk memperkuat kesadaran ini dalam diri para anggotanya, sehingga melalui kegiatan mereka serta kata-kata mereka, keheningan mereka, teladan mereka mereka dapat menjadi saksi yang dapat dipercaya bagi Kristus. (Deus Caritas Est, §31).

Di satu sisi, “apologetika cinta” ditunjukkan oleh kehidupan dan kematian para martir Kristen. St. Yohanes Paulus II berpendapat bahwa para martir “memberikan bukti cinta yang tidak membutuhkan argumen panjang untuk meyakinkan. Para martir membangkitkan kepercayaan yang mendalam dalam diri kita karena mereka menyuarakan apa yang sudah kita rasakan dan mereka menyatakan apa yang ingin kita ungkapkan dengan kekuatan” (Fides et Ratio , §32). Kekudusan mungkin lebih dari rasional, tetapi tentunya tidak kurang dari rasional.

Perjumpaan dengan persatuan dan kasih Kristiani juga terkait dengan apologetika kekudusan. Semua perhatian praktis ini bisa menjadi sarana persuasif untuk iman. “Kehadiran universal orang-orang kudus ini,” kata St. Yohanes Paulus II, “sebenarnya merupakan bukti kekuatan transenden Roh. Itu adalah tanda dan bukti kemenangan Allah atas kekuatan jahat yang memecah belah umat manusia” (UUS, §84).

Dalam Deklarasi Kebebasan Beragama , para Bapa Konsili menyatakan: “Kaum beriman kristiani dalam membentuk suara hati mereka wajib mengindahkan dengan saksama

(6)

ajaran Gereja yang suci dan pasti. Sebab atas kehendak Kristus Gereja Katolik adalah guru kebenaran. Tugasnya mengungkapkan dan mengajarkan secara otentik Kebenaran, yakni Kristus, pun juga menjelaskan dan mengukuhkan dengan kewibawaannya azas-azas kesusilaan, yang bersumber pada kodrat manusia sendiri. Selain itu hendaknya Umat kristiani, yang dengan kebijaksanaanya menghadapi mereka yang berada di luar, “dalam Roh Kudus, dalam cinta kasih yang tidak munafik, dalam sabda kebenaran” (2Kor 6:6-7), berusaha memancarkan cahaya kehidupan dengan penuh kepercayaan dan kekuatan rasuli, hingga penumpahan darah. Sebab seorang murid terikat oleh kewajiban yang berat terhadap Kristus Sang Guru, yakni semakin mendalam menyelami kebenaran yang diterima dari pada-Nya, mewartakannya dengan setia, membelanya dengan berani, tanpa menggunakan upaya-upaya yang berlawanan dengan semangat Injil. Tetapi sekaligus cinta kasih Kristus mendesaknya, untuk bertindak penuh kasih, kebijaksanaan dan kesabaran terhadap mereka, yang berada dalam keadaan sesat atau tidak tahu menahu mengenai iman...” (Dignitatis Humanae, §14).

Konstitusi tentang Wahyu Ilahi melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa kita harus “berperang untuk membela iman” (Dei Verbum , §8). Tentu saja, frasa ini hanya menekankan upaya besar yang harus dilakukan umat Katolik untuk mempertahankan doktrin dan praktik yang mapan melawan tantangan yang dihadapi komunitas Kristen : “Maka khotbah apostolik, yang diungkapkan secara khusus dalam kitab-kitab yang diilhami, harus dipertahankan oleh pengkhotbah-pengkhotbah yang terus-menerus sampai akhir zaman. Oleh karena itu para Rasul, menyerahkan apa yang telah mereka terima sendiri, memperingatkan umat beriman untuk berpegang teguh pada tradisi yang telah mereka pelajari baik dari mulut ke mulut atau melalui surat (lih. 2 Tesalonika 2:15), dan berjuang untuk mempertahankan iman diserahkan sekali dan untuk selamanya.” (DV §8).

Meskipun umat beriman memiliki kewajiban untuk membela iman, tugas “menjaga”

Injil dan ajaran Gereja secara resmi dipercayakan kepada Magisterium (bdk. DV §10). Para uskup, misalnya, dipanggil untuk memberikan pembelaan praktis dan teoretis terhadap ajaran Katolik (bdk. Christus Dominus , §13).

Umat Katolik tidak hanya dipanggil untuk melibatkan orang luar dengan argumen amal, mereka harus belajar cara yang efektif untuk menjangkau orang yang ragu. St Yohanes Paulus II menyatakannya seperti ini : Saat ini panggilan untuk bertobat yang ditujukan oleh para misionaris kepada orang-orang non-Kristen dipertanyakan atau diabaikan begitu saja. Itu dilihat sebagai tindakan 'dakwah'; diklaim cukup membantu orang menjadi lebih manusiawi atau lebih setia pada agamanya sendiri, cukup membangun komunitas yang mampu bekerja untuk keadilan, kebebasan, perdamaian, dan solidaritas. Yang diabaikan adalah bahwa setiap orang berhak mendengar 'Kabar Gembira' dari Allah yang menyatakan dan menyerahkan dirinya di

(7)

dalam Kristus, sehingga setiap orang dapat hidup dalam kepenuhan panggilannya yang tepat (Redemptoris Missio, §46).

Salah satu tema besar Gaudium et Spes adalah membaca tanda-tanda zaman. Dalam membaca budaya, umat Katolik tidak hanya dipanggil untuk melibatkan orang luar dengan argumen amal, mereka harus belajar cara efektif untuk menjangkau orang yang ragu. Metode dan konteks harus dipertimbangkan untuk evangelisasi yang efektif terjadi : Dalam persyaratan dan metode yang sesuai dengan teologi, (pria dan wanita) diundang untuk terus mencari cara yang lebih cocok untuk mengkomuniksikan doktrin kepada pria pada zaman mereka; karena simpanan iman atau kebenaran adalah satu hal dan cara penyampaiannya, dalam arti dan pemahaman yang sama, adalah hal lain (GS §62).

Demikian pula, dalam Christus Dominus, Konsili mengajarkan bahwa para uskup hendaknya menyampaikan Injil dengan cara yang sesuai dengan pola pikir modern (bdk. CD §13). Apa pun situasinya, pembela tidak boleh menjadikan tujuan mereka untuk memenangkan argumen. Tidak seorang pun dalam diskusi yang berorientasi pada permintaan maaf harus dipaksa ke dalam situasi menang-kalah. Sebaliknya, para apologis harus mengembangkan keterampilan membuat iman Kristiani koheren dan menarik, menghormati mitra dialog mereka dalam prosesnya. Sebagaimana diakui oleh dokumen Gaudium et Spes : Cinta dan niat baik, tentu saja, tidak boleh membuat kita acuh tak acuh terhadap kebenaran dan kebaikan. Sungguh, kasih itu sendiri mendorong para murid Kristus untuk menyampaikan kebenaran yang menyelamatkan kepada semua orang. Tetapi perlu untuk membedakan antara kesalahan, yang selalu patut ditolak, dan orang yang melakukan kesalahan, yang tidak pernah kehilangan martabatnya sebagai seorang pribadi bahkan ketika ia cacat oleh gagasan-gagasan keagamaan yang salah atau tidak memadai. Tuhan sendiri adalah hakim dan penyelidik hati, untuk alasan itu dia melarang kita membuat penilaian tentang kesalahan internal siapa pun. (§28; bdk. §92) Meskipun umat Katolik dapat memenangkan orang yang tidak percaya kepada iman melalui gaya hidup mereka, ini tidak berarti bahwa argumen harus dikesampingkan dalam upaya menginjili dunia sekuler dan agama lain (Lumen Gentium , §§11, 19, 23, 24, 25, 28).

Umat Katolik tidak hanya dipanggil untuk berdialog dengan non-Kristen, tetapi harus berusaha untuk mempertobatkan mereka kepada Kristus yang bangkit. (Ad Gentes , §§30, 39, 39, 40). Ringkasnya, konsili menunjukkan kepedulian untuk mempertahankan Injil. Argumen dan bukti dapat digunakan dalam dialog dengan dunia. Tetapi kita tidak boleh memaksa mitra dialog kita ke dalam situasi “menang-kalah”. Dialog antaragama bukanlah pengganti apologetika. Konsili menekankan pendekatan apologetik yang berbeda untuk tujuan yang lebih besar dalam menginjili dunia.

(8)

Metode-metode apologetika

Berikut ini merupakan metode yang dilakukan dalam ber-Apologetika, antara lain (Buku, Five Views on Apologetics, diedit oleh Steven B. Cowan, dalam apologeticsindex) : 1. Metode klasik

Metode klasik adalah pendekatan yang dimulai dengan menggunakan teologi natural untuk menetapkan teisme sebagai pandangan dunia yang benar . Setelah keberadaan Tuhan ditunjukkan, metode klasik beralih ke presentasi bukti historis tentang keilahian Kristus, keterpercayaan Kitab Suci, dan lain-lain, untuk menunjukkan bahwa Kekristenan adalah versi teisme terbaik, berlawanan dengan, katakanlah Yudaisme atau Islam. Aliran ini disebut metode “klasik” karena diasumsikan bahwa ini adalah metode yang digunakan oleh para apologis terkemuka di abad-abad sebelumnya. Biasanya diperdebatkan bahwa urutan kedua fase dalam apologetika klasik itu penting. Artinya, sebelum seseorang dapat membahas bukti-bukti sejarah secara bermakna, seseorang harus menetapkan keberadaan Tuhan karena pandangan dunia seseorang adalah kerangka kerja yang melaluinya keajaiban, fakta sejarah, dan data empiris lainnya ditafsirkan. Tanpa konteks teistik, tidak ada peristiwa sejarah yang dapat ditunjukkan sebagai keajaiban ilahi.

2. Metode Pembuktian

Metode pembuktian memiliki banyak kesamaan dengan metode klasik kecuali dalam memecahkan masalah tentang nilai mukjizat sebagai bukti. Evidensialisme sebagai metode apologetik dapat dicirikan sebagai pendekatan “satu langkah”. Mukjizat tidak mengandaikan keberadaan Tuhan tetapi dapat berfungsi sebagai salah satu bukti tentang Tuhan. Metode ini cukup eklektik dalam penggunaan berbagai bukti positif dan kritik negatif, baik dengan argumen filosofis maupun historis. Namun ia cenderung berfokus terutama pada legitimasi pengumpulan berbagai argumen induktif historis dan lainnya untuk kebenaran kekristenan.

3. Metode Kasus Kumulatif

Istilah “kasus kumulatif” digunakan oleh para apologis dengan cara yang berbeda dari yang kita gunakan dalam konteks ini, tetapi Basil Mitchell, pendukung awal pandangan ini, memberi nama metode ini, dan akan menggunakannya disini. Pembaca yang cermat pasti akan mencatat bahwa metode ini termasuk dalam keluarga besar metode yang sama seperti halnya metode bukti (dan mungkin klasik). Namun, juga akan terlihat bahwa sebagai strategi argumentatif, metode kasus kumulatif memiliki sesuatu yang khas untuk ditawarkan. Memang, pendekatan apologetika ini muncul karena ketidakpuasan beberapa filsuf terhadap metode-metode tipe bukti lainnya ini (yaitu, dua yang pertama dari Empat

(9)

Besar). Menurut para pendukung apologetika kasus kumulatif, sifat dasar kasus Kekristenan dalam arti sempit bukanlah argumen formal seperti bukti atau argumen dari probabilitas.

4. Metode Prasuposisi

Para presuposisionalis berpendapat bahwa tidak ada kesamaan yang cukup antara orang percaya dan orang tidak percaya yang akan memungkinkan pengikut dari tiga metode sebelumnya untuk mencapai tujuan mereka. Apologis harus mengandaikan kebenaran Kekristenan sebagai titik awal yang tepat dalam apologetika. Di sini wahyu Kristen dalam Kitab Suci adalah kerangka yang dengannya semua pengalaman ditafsirkan dan semua kebenaran diketahui. Berbagai bukti dan argumen dapat diajukan untuk kebenaran Kekristenan, tetapi ini setidaknya secara implisit mengandaikan premis-premis yang hanya dapat benar jika Kekristenan itu benar. Upaya presuposisionalis, kemudian, untuk berdebat secara transendental. Artinya, mereka berpendapat bahwa semua makna dan pemikiran bahkan, setiap fakta secara logis mengandaikan Tuhan dalam Kitab Suci. Dengan menunjukkan bahwa orang-orang yang tidak percaya tidak dapat berdebat, berpikir, atau hidup tanpa mengandaikan Tuhan. Para pengandaian mencoba untuk menunjukkan kepada orang-orang yang tidak percaya bahwa pandangan dunia mereka sendiri tidak cukup untuk menjelaskan pengalaman mereka tentang dunia dan membuat orang-orang yang tidak percaya melihat bahwa kekristenan saja yang dapat memahami pengalaman mereka.

5. Pendekatan Epistomologi Reformed

Jika suatu kepercayaan tidak didukung oleh bukti, maka tidak masuk akal untuk mempercayainya. Epistemologi yang direformasi menantang asumsi epistemologis

"evidensialis" ini. Mereka yang menganjurkan pandangan ini berpendapat bahwa sangat masuk akal bagi seseorang untuk mempercayai banyak hal tanpa bukti. Yang paling mencolok, mereka berpendapat bahwa kepercayaan kepada Tuhan tidak memerlukan dukungan bukti atau argumen agar menjadi rasional. Apologis epistemologi reformed tidak serta merta menghindari membuat argumen positif untuk membela kekristenan, tetapi akan berpendapat bahwa argumen semacam itu tidak diperlukan untuk iman yang rasional. Jika Calvin benar bahwa manusia dilahirkan dengan sensus divinitatis bawaan (rasa ketuhanan), maka orang dapat secara benar dan rasional segera percaya kepada Tuhan tanpa bantuan bukti. Oleh karena itu, bagi ahli epistomologi Reformed, fokusnya akan cenderung pada apologetika negatif atau defensif ketika tantangan terhadap keyakinan teistik seseorang dihadapi.

(10)

Pokok-Pokok Pembelaan Iman

Dalam mendalami pokok-pokok pembelaan iman yang telah ditentukan, saya melakukan pengamatan di lingkungan persekolahan dan sekitarnya melalui tanya-jawab.

Apakah Gereja Katolik menyebah patung?

“Gereja Katolik tidak menyembah patung, patung dan gambar para kudus adalah sarana doa”!.

“Apakah orang Katolik menyembah patung? Karena umat Katolik memiliki patung di gereja mereka”, lanjut tuduhan itu, mereka melanggar perintah Tuhan: “Jangan membuat bagimu patung atau yang menyerupai apa pun yang ada di surga diatas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di langit. di dalam air di bawah bumi: jangan sujud atau melayani mereka” ( Kel. 20:4–5 ); “Aduh, orang-orang ini telah melakukan dosa besar; mereka telah membuat bagi diri mereka dewa-dewa dari emas” (Kel. 32:31).

Benar untuk memperingatkan orang-orang terhadap dosa penyembahan berhala ketika mereka melakukannya. Tetapi menyebut umat Katolik sebagai penyembah berhala karena mereka memiliki gambar Kristus dan orang-orang kudus didasarkan pada kesalahpahaman atau ketidaktahuan tentang apa yang Alkitab katakan tentang tujuan dan kegunaan patung (baik dan buruk). Jika kita “menyelidiki Kitab Suci” (lih. Yoh 5:39), mereka akan menemukan yang sebaliknya. Tuhan melarang pemujaan patung, tetapi dia tidak melarang penggunaan patung secara religius.

a. Tuhan Berkata Membuat Mereka

Orang-orang yang menentang patung dalam agama melupakan banyak bagian dimana Tuhan memerintahkan pembuatan patung. Sebagai contoh: “Dan kamu harus membuat dua kerub dari emas (yakni, dua patung malaikat dari emas); harus kaubuat dari pekerjaan tempaan, pada kedua ujung tutup pendamaian itu. Buatlah satu kerub diujung yang satu, dan satu kerub di ujung yang lain; dari salah satu tutup pendamaian itu haruslah kaubuat kerub pada kedua ujungnya. Para kerub akan merentangkan sayapnya diatas, menaungi tutup pendamaian dengan sayapnya, wajah mereka satu sama lain; ke arah tutup pendamaian muka para kerub itu” (Kel. 25:18-20).

Daud memberi Salomo rencana “untuk mezbah dupa yang terbuat dari emas murni, dan beratnya; juga rencananya untuk kereta emas kerub yang melebarkan sayapnya dan menutupi tabut perjanjian Tuhan. Semua ini dia jelaskan dengan tulisan tangan Tuhan tentang itu semua, semua pekerjaan yang harus dilakukan sesuai rencana” ( 1 Taw. 28:18–

19 ). Rencana Daud untuk bait suci, yang dikatakan oleh penulis Alkitab kepada kita adalah

“dengan tulisan tangan Tuhan tentang itu semua,” termasuk patung malaikat. Demikian pula Yehezkiel 41:17-18 menjelaskan gambar pahatan (ukiran) di kuil ideal yang

(11)

diperlihatkan kepadanya dalam sebuah penglihatan, karena dia menulis, “Di dinding sekeliling di ruang dalam dan bagian tengah diukir gambar kerub. ”

b. Penggunaan Gambar Secara Religius

Selama wabah ular yang dikirim untuk menghukum orang Israel selama eksodus, Tuhan menyuruh Musa untuk “membuat (patung) ular yang berapi-api, dan meletakkannya diatas tiang; dan setiap orang yang digigit, ketika melihatnya akan hidup. Jadi Musa membuat ular tembaga, dan meletakkannya di atas tiang; dan jika seekor ular memagut seseorang, ia akan memandang ular tembaga itu dan tetap hidup” (Bil. 21:8–9).

Orang harus melihat patung perunggu ular untuk disembuhkan, yang menunjukkan bahwa patung dapat digunakan secara ritual, bukan hanya sebagai hiasan keagamaan. Umat Katolik menggunakan patung, lukisan, dan perangkat artistik lainnya untuk mengingat orang atau benda yang digambarkan. Sama seperti membantu mengingat ibu seseorang dengan melihat fotonya, demikian juga membantu mengingat teladan para wali dengan melihat foto mereka. Umat Katolik juga menggunakan patung sebagai alat pengajaran. Di Gereja mula-mula mereka sangat berguna untuk pengajaran bagi yang buta huruf. Banyak orang Protestan memiliki gambar Yesus dan gambar Alkitab lainnya di sekolah minggu untuk mengajar anak-anak. Umat Katolik juga menggunakan patung untuk memperingati orang dan peristiwa tertentu, sama seperti gereja Protestan memiliki adegan kelahiran tiga dimensi saat Natal. Jika seseorang mengukur Protestan dengan aturan yang sama, maka dengan menggunakan gambar-gambar “berukir” ini, mereka akan mempraktekkan

“penyembahan berhala” yang mereka tuduhkan kepada umat Katolik. Tapi tidak ada penyembahan berhala yang terjadi dalam situasi ini. Tuhan melarang pemujaan patung sebagai tuhan, tapi dia tidak melarang pembuatan patung. Jika dia punya, film religi, video, foto, lukisan, dan sejenisnya akan dilarang. Namun, seperti yang diperlihatkan dalam kasus ular perunggu, Tuhan bahkan tidak melarang penggunaan patung-patung religius untuk keperluan ritual. Saat orang mulai memuja patung sebagai dewa, Tuhan menjadi marah. Jadi ketika orang-orang mulai menyembah ular perunggu sebagai dewa ular (yang mereka beri nama “Nehushtan”), raja Hizkia yang saleh telah menghancurkannya ( 2 Raj.

18:4 ) .

c. Bagaimana dengan Membungkuk?

Kadang anti-Katolik mengutip Ulangan 5:9 , di mana Tuhan berkata tentang berhala,

“Jangan sujud kepada mereka.” Karena banyak umat Katolik kadang-kadang membungkuk atau berlutut didepan patung Yesus dan orang-orang kudus, anti-Katolik mengacaukan pemujaan yang sah terhadap patung suci dengan dosa penyembahan berhala. Meskipun rukuk dapat digunakan sebagai postur dalam ibadah, tidak semua rukuk adalah ibadah. Di

(12)

Jepang, orang menunjukkan rasa hormat dengan membungkuk dalam salam (setara dengan jabat tangan Barat). Demikian pula, seseorang dapat berlutut dihadapan seorang raja tanpa memujanya sebagai dewa. Dengan cara yang sama, seorang Katolik yang mungkin berlutut didepan patung sambil berdoa bukanlah menyembah patung itu atau bahkan berdoa kepadanya, sama seperti orang Protestan yang berlutut dengan Alkitab ditangannya ketika berdoa adalah menyembah Alkitab atau berdoa. untuk itu .

d. Menyembunyikan Perintah Kedua?

Tuduhan lain yang terkadang dibuat oleh orang Protestan adalah bahwa Gereja Katolik

“menyembunyikan” perintah kedua. Ini karena dalam Katekismus Katolik, perintah pertama sering dicantumkan sebagai “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Kel.

20:3), dan yang kedua dicantumkan sebagai “Jangan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan” (Kel. 20:7). Dari sini, dikatakan bahwa umat Katolik telah menghapus larangan penyembahan berhala untuk membenarkan penggunaan patung-patung keagamaan. Tapi ini salah. Umat Katolik hanya mengelompokkan perintah secara berbeda dari kebanyakan Protestan. Dalam Keluaran 20:2-17, yang berisi Sepuluh Perintah, sebenarnya ada empat belas pernyataan imperatif. Untuk mencapai Sepuluh Perintah, beberapa pernyataan harus dikelompokkan bersama, dan ada lebih dari satu cara untuk melakukannya. Karena, di dunia kuno, politeisme dan penyembahan berhala selalu Bersatu.

Penyembahan berhala menjadi ekspresi lahiriah dari politeisme.

Penomoran Sepuluh Perintah Yahudi secara historis selalu mengelompokkan perintah- perintah “Jangan ada padamu allah lain di hadapanku” (Kel. 20 :3) dan “Jangan membuat bagimu patung” (Kel. 20:4). Penomoran bersejarah Katolik mengikuti penomoran Yahudi dalam hal ini, seperti halnya penomoran Lutheran bersejarah. Martin Luther menyadari bahwa perintah melawan politeisme dan penyembahan berhala adalah dua bagian dari satu perintah. Ketika larangan politeisme/penyembahan berhala diringkas, orang Yahudi, Katolik, dan Lutheran menyingkatnya menjadi “Jangan ada allah lain di hadapanku.” Ini bukan upaya untuk "menyembunyikan" larangan penyembahan berhala (Yahudi dan Lutheran bahkan tidak menggunakan patung orang suci dan malaikat). Ini untuk mempermudah mempelajari Sepuluh Perintah. Namun, Gereja Katolik tidak dogmatis tentang bagaimana Sepuluh Perintah harus diberi nomor. Katekismus Gereja Katolik mengatakan, “Pembagian dan penomoran Perintah Allah bervariasi dalam perjalanan sejarah. Katekismus ini mengikuti pembagian perintah-perintah yang ditetapkan oleh Agustinus, yang telah menjadi tradisi dalam Gereja Katolik. Itu juga dari pengakuan Lutheran. Para Bapa Yunani menyusun pembagian yang sedikit berbeda, yang ditemukan dalam Gereja Ortodoks dan komunitas Reformed” (KGK 2066).

(13)

e. Wujud Tuhan?

Beberapa anti-Katolik mengutip Ulangan 4:15-18 dalam serangan mereka terhadap patung-patung keagamaan : “berbuat curang dengan membuat bagimu patung pahatan, berupa patung apa saja, yang menyerupai laki-laki atau perempuan, yang menyerupai binatang apa pun yang ada di bumi, yang menyerupai burung bersayap apa pun yang terbang di udara, yang menyerupai burung segala yang merayap di tanah, seperti ikan yang ada di dalam air di bawah bumi.” Kami telah menunjukkan bahwa Allah tidak melarang pembuatan patung atau gambar berbagai makhluk untuk tujuan keagamaan (lih. 1 Raj.

6:29–32, 8:6–66; 2 Taw. 3:7–14 ). Tapi bagaimana dengan patung atau gambar yang mewakili Tuhan? Banyak orang Protestan akan mengatakan itu salah karena Ulangan 4 mengatakan orang Israel tidak melihat Tuhan dalam bentuk apa pun ketika dia membuat perjanjian dengan mereka, oleh karena itu kita juga tidak boleh membuat representasi simbolis tentang Tuhan. Tapi apakah Ulangan 4 melarang representasi seperti itu?

Jawabannya adalah tidak.

Di awal sejarahnya, Israel dilarang membuat penggambaran Tuhan karena dia tidak menampakkan dirinya dalam bentuk yang terlihat. Mengingat budaya pagan yang mengelilingi mereka, orang Israel mungkin tergoda untuk menyembah Tuhan dalam bentuk binatang atau benda alam (misalnya banteng atau matahari). Namun kemudian Tuhan menampakkan diri dalam bentuk yang terlihat, seperti dalam Daniel 7:9 “Ketika aku melihat, takhta-takhta ditempatkan dan yang lanjut usia mengambil tempat duduknya; pakaiannya putih seperti salju, dan rambut kepalanya seperti wol murni; singgasananya adalah api yang menyala-nyala, rodanya adalah api yang menyala- nyala.” Umat Protestan membuat penggambaran Bapa dalam bentuk ini ketika mereka membuat ilustrasi nubuatan Perjanjian Lama.

Roh Kudus mengungkapkan dirinya dalam setidaknya dua bentuk yang terlihat burung merpati, pada pembaptisan Yesus ( Mat. 3:16; Markus 1:10; Lukas 3:22; Yohanes 1:32 ), dan sebagai lidah api , pada hari Pentakosta (Kis. 2:1–4 ). Umat Protestan menggunakan gambar-gambar ini saat menggambar atau melukis episode-episode alkitabiah ini dan saat mereka memakai pin kerah Roh Kudus atau memasang lambang merpati di mobil mereka.

Namun, yang lebih penting, dalam Inkarnasi Kristus Putranya, Allah menunjukkan ikon dirinya kepada umat manusia. Paulus berkata, “Dia adalah gambar (Yunani: ikon ) dari Allah yang tidak kelihatan, yang sulung dari semua ciptaan.” Kristus adalah “ikon” ilahi yang nyata dari Allah yang tak terlihat dan tak terbatas.

Konsili Trente (1566) mengajarkan bahwa penyembahan berhala dilakukan “dengan menyembah berhala dan gambar sebagai Tuhan, atau percaya bahwa mereka memiliki

(14)

keilahian atau kebajikan apa pun yang membuat mereka pantas disembah, dengan berdoa kepada, atau menaruh kepercayaan pada mereka” (374). “Penyembahan berhala adalah penyimpangan dari rasa religius bawaan manusia. Seorang penyembah berhala adalah seseorang yang 'memindahkan gagasannya yang tidak dapat dihancurkan tentang Tuhan kepada apa pun selain Tuhan'” ( KGK 2114) . Gereja secara mutlak mengakui dan mengutuk dosa penyembahan berhala. Apa yang tidak disadari oleh para anti-Katolik adalah perbedaan antara menganggap sepotong batu atau plester sebagai tuhan dan keinginan untuk secara visual mengingat Kristus dan orang-orang kudus di surga dengan membuat patung untuk menghormati mereka. Pembuatan dan penggunaan patung-patung religius adalah praktik yang sepenuhnya alkitabiah. Siapa pun yang mengatakan sebaliknya tidak tahu Alkitabnya.

Peran Maria

Umat Kristen tidak asing lagi dengan satu tokoh Alkitab yang satu ini yakni Maria/Maryam. Dalam Gereja Katolik, Maria diberi satu penghormatan yang tinggi karena perannya dalam rencana Allah untuk menyelamatkan umat manusia. Inilah yang menjadi salah satu pokok pengamatan saya selama melakukan asistensi mengajar, bukan hanya dilingkungan sekolah saja tetapi juga dengan umat sekitar yang saya jumpai. Jawaban yang saya terima ketika menanyakan mengenai peran Maria sehingga Ia mendapatkan tempat penghormatan dalam Gereja Katolik yakni, “Maria adalah ibu Tuhan!, Gereja tidak pernah menyembah maria melainkan memberi penghormatan atas perannya dalam misteri penyelamatan Allah!”.

Gereja Katolik tidak menyembah Maria. Dengan kata lain, kita menghormati Bunda Maria dengan penuh hormat dengan devosi, karena dia adalah Bunda Allah. Tuhan melindungi Maria dari dosa, dan dia mengandung Tuhan kita dengan kuasa Roh Kudus, membawa Kristus ke dunia kita. Umat Katolik tidak memandang Maria setara dengan Kristus, melainkan memuliakan Maria karena hubungannya dengan Kristus (KGK 964). Sebagai umat Katolik, kami berdoa agar dapat menanggapi panggilan Tuhan untuk kekudusan bagi hidup kami seperti yang dilakukan Maria.

Maria berperan penting dalam rencana keselamatan Allah. Dia adalah wanita yang telah dipersiapkan sejak awal untuk melahirkan Juru Selamat dunia, seperti yang dinubuatkan oleh nabi Yesaya: “Lihatlah, seorang perawan akan mengandung seorang anak, dan akan melahirkan seorang putera, dan ia akan menamakan Dia Imanuel.” (Yes 7:14, bdk. Mat 1:23). Sehingga di dalam Gereja sudah sejak awal berkembang devosi kepada Maria. Namun kadang-kadang dapat dijumpai dalam sebagian kecil umat Katolik yang melakukan devosi kepada Maria secara berlebih-lebihan. Devosi berlebihan justru mengaburkan ajaran iman Gereja Katolik tentang

(15)

Maria dan menimbulkan tuduhan-tuduhan keliru dari pihak Protestan. Gereja Katolik tidak menyembah Maria, melainkan Gereja Katolik menghormati Maria :

“Tepatlah bahwa ia dihormati oleh Gereja dengan kebaktian istimewa. Memang sejak zaman kuno Santa Perawan Maria dihormati dengan gelar ‘Bunda Allah’; dan dalam segala bahaya dan kebutuhan mereka, umat beriman sambil berdoa mencari perlindungannya.

Kebaktian Umat Allah terhadap Maria, meskipun bersifat istimewa, namun secara hakiki berbeda dengan bakti sembah sujud, yang dipersembahkan kepada Sabda yang menjelma seperti juga kepada Bapa dan Roh Kudus, lagi pula sangat mendukungnya.” (Lumen Gentium, 66).

Dalam dokumen Gereja juga menegaskan : “Memang, sejak Gereja Purba, Perawan Terberkati Maria dihormati dengan sebutan “Yang Melahirkan Allah”. Dalam segala bahaya dan kebutuhan, umat beriman membawa diri dengan penuh doa mohon perlindungannya”.

Penghormatan tersebut sifatnya khusus: hal itu mengungkapkan ikatan yang mendalam antara Bunda Kristus dan Gereja. Sebagai Perawan dan Bunda, Maria merupakan “panutan yang tetap”

bagi Gereja. Maka dapat dikatakan, bahwa khususnya dibawah pandangan ini, yaitu sebagai panutan, atau lebih baik sebagai “pralambang”, Maria yang hadir dalam misteri Kristus, tetap selalu hadir juga dalam misteri Gereja” (Redemptoris Mater 42). Apa yang Gereja Katolik percaya dan ajarkan tentang Maria, berakar dalam iman akan Kristus, tetapi sekaligus juga menjelaskan iman akan Kristus. (Katekismus Gereja Katolik, 487).

Doa Arwah

“Mengapa orang Katolik mendoakan orang yang sudah meninggal?”

“Kami mendoakan arwah, karena kepercayaan akan adanya api penyucian!”

Keyakinan Gereja Katolik akan keberadaan api penyucian didasarkan pada Kitab Suci. Penting untuk memahami apa yang Gereja yakini sebagai api penyucian. Katekismus menggambarkan api penyucian seperti ini : “Semua orang yang meninggal dalam kasih karunia dan persahabatan dengan Allah, tetapi masih disucikan secara tidak sempurna, sungguh dijamin akan keselamatan kekal mereka; tetapi setelah kematian mereka mengalami penyucian, untuk mencapai kesucian yang diperlukan untuk memasuki sukacita surga” (KGK 1030).

Perhatikan bahwa Gereja percaya bahwa api penyucian bukanlah keadaan kekal, melainkan keadaan penyucian sebelum memasuki kehidupan kekal bersama Allah di surga.

Kitab Suci mengajarkan kita bahwa tidak ada sesuatu yang najis yang dapat masuk surga (Wahyu 21:27). Kitab Suci juga menggambarkan tempat dimana seseorang pergi dan menderita kerugian, namun tetap diselamatkan, tetapi hanya melalui api (1 Korintus 3:13- 15). Api Penyucian adalah tempat yang membersihkan kita dari kenajisan apa pun yang kita

(16)

miliki ketika kita mati, memungkinkan kita masuk ke hadirat Allah tanpa noda dosa. Sebagai umat Katolik, banyak dari kita memiliki kecenderungan untuk mengabaikan pentingnya Api Penyucian dan, jika kita memikirkannya sama sekali, dengan gagasan bahwa itu adalah perhentian sementara dan singkat dalam perjalanan kita ke Surga. Perlu kita ingat bahwa konsep

“waktu” kita dibentuk oleh pengalaman kita dalam kehidupan di bumi ini.

Dibandingkan dengan makna keabadian yang tak berujung, mungkin lebih logis untuk berasumsi bahwa “waktu” yang dihabiskan di Api Penyucian mungkin jauh, jauh lebih lama daripada waktu kita di bumi ini. Bahkan jika kita menghabiskan ribuan tahun di Api Penyucian, itu tetap tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan keabadian. Jika kita membutuhkan insentif lebih lanjut untuk menghindari dosa yang mungkin kita anggap tidak penting, akan bijaksana untuk mengingat apa yang Yesus katakan kepada kita “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.” (Matius 5:26).

Pengakuan Dosa

“Mengapa harus mengaku dosa dihadapan Pastor?”

Mengenai pengakuan dosa, ada pro dan kontra dari pihak Kekristenan diluar Katolik.

Sesuai pengamatan yang didapatkan di lingkungan sekolah, sebagian non Katolik melontarkan kata : “mengapa harus mengaku dosa dihadapan Pastor?”. Jawaban singkat yang saya berikan yakni : “Pastor merupakan kaum tertahbis yang diberikan kuasa untuk melepaskan dosa-dosa, melalui kuasa Yesus yang ada padanya.”

Jika dilihat dari dasar Biblis, dalam Yakobus 5:16, Allah, melalui Kitab Suci, memerintahkan kita untuk “saling mengaku dosa kita.” Perhatikan, Kitab Suci tidak mengatakan mengaku dosa Anda langsung kepada Tuhan dan hanya kepada Tuhan… dikatakan mengakui dosa Anda satu sama lain. Dalam Matius 9:6, Yesus memberi tahu kita bahwa Dia diberi wewenang di bumi untuk mengampuni dosa. Dan kemudian Kitab Suci memberitahu kita, dalam ayat 8 , bahwa otoritas ini diberikan kepada “manusia”… jamak.

Dalam Yohanes 20, ayat 21-23, apakah hal pertama yang Yesus katakan kepada para murid yang berkumpul pada malam kebangkitan-Nya? “Yesus berkata kepada mereka, “Damai sejahtera bagimu. Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga Aku mengutus kamu.”

Bapa mengutus Yesus dengan otoritas di bumi untuk mengampuni dosa. Sekarang, Yesus mengutus murid-murid-Nya sebagaimana Bapa telah mengutus-Nya. Jadi, dengan otoritas apa Yesus harus mengutus murid-murid-Nya? Otoritas di bumi untuk mengampuni dosa. Dan, kalau-kalau mereka tidak mendapatkannya, ayat 22-23 mengatakan ini, “Dan setelah berkata demikian, Dia menghembusi mereka dan berkata kepada mereka, 'Terimalah Roh Kudus. Jika

(17)

kamu mengampuni dosa siapa pun, mereka diampuni; jika kamu menyatakan dosa seseorang, dosanya tetap ada.'”

Alkitab memberitahu kita untuk saling mengakui dosa kita. Itu juga memberi tahu kita bahwa Tuhan memberi manusia otoritas di Bumi untuk mengampuni dosa. Yesus mengutus murid-murid-Nya dengan otoritas di bumi untuk mengampuni dosa. Ketika umat Katolik mengakui dosa kita kepada seorang imam, kita hanya mengikuti rencana yang ditetapkan oleh Yesus Kristus. Dia mengampuni dosa melalui imam. Itu adalah kuasa Allah, tetapi Dia menjalankan kuasa itu melalui pelayanan imam.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu melalui perancangan buku interaktif yang berisi 50 motif Batik Kudus yang telah divektorkan, lengkap dengan penjelasan mengenai variasi warna yang

Ayat 2: dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk di gunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang

Berisi uraian tentang perumusan/gambaran masalah secara umum yang akan dikerjakan, berisi penjelasan atau argumen mengapa masalah yang dikemukakan dalam

Ditulis dengan huruf Times New Roman ukuran 12, jarak 1,5 spasi, berisi tentang penjelasan terkait manfaat kerja praktek bagi UNISA, khususnya Program Studi

Laporan IMAP adalah dokumen yang berisi data menyeluruh kondisi eksisting infrastruktur permukiman yang dilengkapi dengan penjelasan analitis terhadap permasalahan

II.4.1 Sehubungan dengan tujuan komunitas untuk membentuk anggota-anggotanya menjadi orang- orang Katolik yang dewasa, yang dapat mempertanggungjawabkan imannya secara dewasa, dan

Laporan Konsultasi di sini adalah suatu bentuk penyajian data yang berisi kegiatan- Laporan Konsultasi di sini adalah suatu bentuk penyajian data yang berisi

Berisi tentang ajaran Gereja Katolik tentang