• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PRAKTIKUM PENANGKARAN DAN RESTOCIKNG PENYU TAHUN 2024

N/A
N/A
Arshy Paramita

Academic year: 2024

Membagikan "LAPORAN PRAKTIKUM PENANGKARAN DAN RESTOCIKNG PENYU TAHUN 2024"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM

PRAKTIKUM PENANGKARAN DAN RESTOCIKNG TAHUN 2024

MODUL III: PENYU

Disusun Oleh:

Kelompok 5

Muharnanta Fahreza 26040122130106

Galuh Yuanita Maira 26040121130074

Arshy Paramita 26040121130079

Acriska Nissia Gesta 26040122140094

Belinda Aureliawati 26040122140126

Johnatan Febian Revero 26040122140123

Penanggung Jawab Kelompok

Kirana Bening 26040121130054

Dosen Pengampu Mata Kuliah:

Dr. Ir. Retno Hartati, M. Sc.

Prof.Dr. Ir. Ambariyanto, M. Sc.

Dr. Pi. Ir. Widianingsih, M. Sc.

Dra. Rini Pramesti, M. Si.

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2024

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan praktikum pada praktikum Penangkaran dan Restocking Endangered Species ini dengan sebaik mungkin dan dapat dikumpulkan dengan tepat waktu. Tidak lupa juga penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada koordinator dosen yaitu Ibu Dr. Ir. Retno Hartati, M. Sc. pada mata kuliah Pencemaran Laut Penangkaran dan Restocking Endangered Species dan para asisten praktikum Penangkaran dan Restocking Endangered Species yang sudah membantu dalam bimbingan materi serta memberikan kesempatan kepada kami agar dapat menuliskan laporan praktikum ini.

Penulis menyadari bahwa masih ada banyak sekali kesalahan-kesalahan kecil maupun besar dalam penulisan laporan resmi ini. Oleh karena itu, penulis ingin memohon maaf apabila terjadi kesalahan, seperti kesalahan penulisan maupun penggunaan kata yang salah. Dan penulis menerima kritik dan saran yang membangun agar laporan ini dapat tersusun lebih baik lagi. Di akhir kata, penulis berharap agar laporan ini dapat menambah wawasan serta bermanfaat untuk studi ke depannya.

Semarang, 25 April 2024

Kelompok 5 Ilmu Kelautan A

(3)

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA ... 3

DAFTAR GAMBAR ... 4

I. PENDAHULUAN ... 5

1.1. Latar belakang ... 5

1.2. Tujuan ... 6

1.3. Manfaat ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Biologi Penyu ... 7

2.2 Ekologi Penyu ... 7

2.3 Habitat Penyu ... 8

2.4 Identifikasi Penyu ... 9

2.5 Pemeliharaan Tukik... 10

2.6 Pelepasliaran Tukik ... 11

2.7 Lokasi Pembesaran ... 11

2.8 Pemberian Pakan ... 12

2.9 Risiko Pengambilan telur ... 13

III. MATERI DAN METODE ... 14

3.1 Materi ... 14

3.2 Alat dan Bahan ... 14

3.3 Metode ... 14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

4.1 Hasil ... 15

4.2 Pembahasan ... 15

V. KESIMPULAN ... 19

5.1 Kesimpulan... 19

5.2 Saran ... 19

(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Desain Tempat Pembesaran Penyu ... 15

(5)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang (Belinda Aureliawati W_26040122140126)

Indonesia merupakan suatu negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah pulau mencapai lebih dari 17.500 di sepanjang ekuator dan lebih dari 360 juta hektar area laut.

Kawasan perairan Indonesia merupakan kawasan yang baik bagi pertumbuhan biota laut salah satunya penyu laut. Penyu merupakan merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh di sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara.Tercatat enam jenis penyu yang hidup di perairan Indonesia yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), serta penyu tempayan (Caretta caretta) (Ario et al., 2016).

Kondisi keberadaan penyu yang tergolong terancam dapat membahayakan populasinya baik secara langsung maupun tidak. Kondisi ini dapat diakibatkan oleh aktivitas manusia maupun dari hewan penyu sendiri. Ancaman utama terhadap populasi penyu adalah kegiatan manusia, seperti pencemaran pantai dan laut; perusakan habitat peneluran, perusakan daerah mencari makan, gangguan pada jalur migrasi, serta penangkapan induk penyu secara ilegal dan pengumpulan telur penyu. Selain itu para pengrajin kulit, di Indonesia dan terlebih di Jepang cenderung memilih kulit sisik penyu sisik sebagai bahan baku pembuatan barang kerajinan untuk perhiasan badan maupun hiasan rumah tangga (Darmayati et al., 2015).

Menurut Suherman dan Astri (2019), penyu sendiri memiliki tingkat keberhasilan hidup yang rendah. Pengelolaan terhadap kehidupan penyu tergolong cukup rumit, hal ini dikarenakan pertumbuhannya yang lambat, lambatnya usia matang kelamin, perbiakan yang tidak terjadi setiap tahun, tingkat kematian yang tinggi pada penyu muda, penyebaran tukik di laut, migrasi yang jauh antara tempat mencari makan dan tempat peneluran, kebiasaan untuk bertelur di lokasi yang sama, serta ketergantungan perbiakan terhadap suhu tertentu.

Berdasarkan uraian tersebut, maka diperlukan studi dan pengamatan faktor serta kondisi habitat yang tepat dalam teknik pemeliharaan penyu agar dapat mendukung tujuan dari pelestarian penyu.

(6)

1.2. Tujuan

1. Memahami biologi, ekologi dan habitat Penyu sebagai dasar dilakukan penangkaran terhadapnya

2. Mendesain pembesaran untuk melakukan penangkaran pada Penyu 3. Mendesain usaha pembesaran Penyu

1.3. Manfaat

1. Praktikan dapat memahami biologi, ekologi dan habitat Penyu sebagai dasar dilakukan penangkaran Penyu

2. Praktikan dapat mendesain pembesaran untuk melakukan penangkaran pada Penyu 3. Praktikan dapat mendesain usaha pembesaran Penyu

(7)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Penyu (Galuh Yuanita Maira_26040121130074)

Penyu, salah satu hewan reptil yang hidup di lautan, dikenal karena memiliki cangkang keras yang melindungi tubuhnya. Dalam klasifikasi biologisnya, penyu termasuk dalam kelompok reptil yang disebut Chelonia atau Testudines. Penyu hidup di lautan di seluruh dunia dan dapat ditemukan juga di beberapa sungai dan danau. Ciri-ciri fisiknya mencakup tubuh besar yang dilindungi oleh karapas, kaki besar, dan bercakar yang berguna untuk menggali lubang telur di pantai. Sebagai hewan omnivora, penyu memakan berbagai jenis makanan seperti alga, ikan, krustasea, ubur-ubur, dan belut. Reproduksi penyu betina seringkali terjadi di pantai tempat mereka bertelur, kemudian anak-anak penyu yang menetas melakukan perjalanan panjang kembali ke laut untuk menjalani sebagian besar hidup mereka di sana.

Namun, banyak spesies penyu yang saat ini terancam punah karena berbagai ancaman seperti perburuan dan kehilangan habitat. Oleh karena itu, berbagai organisasi konservasi dan pemerintah di seluruh dunia bekerja keras untuk melindungi dan memulihkan populasi penyu (Benni et al., 2017).

Anatomi penyu mencakup sejumlah bagian yang vital dalam proses pencernaan makanan dan pengeluaran sisa-sisa yang tidak terpakai. Mulut penyu memiliki gigi kerucut dan lidah yang berguna untuk merobek dan mengunyah makanan sebelum kemudian makanan yang sudah dikunyah tersebut melewati kerongkongan dan masuk ke perut. Di dalam perut, makanan diolah oleh asam lambung dan enzim pencernaan. Setelah itu, nutrisi yang sudah dipecahkan di usus halus akan diserap dan disalurkan ke dalam aliran darah, sementara sisa-sisa yang tidak tercerna akan diproses lebih lanjut di usus besar sebelum dikeluarkan sebagai feses melalui dubur. Selain itu, penyu juga memiliki kelenjar garam di sekitar mata untuk mengeluarkan kelebihan garam dari tubuh, serta kelenjar empedu yang membantu dalam proses pencernaan.

Sistem pencernaan penyu ini, meskipun mirip dengan reptil lainnya, memiliki adaptasi unik karena penyu merupakan hewan laut, sehingga kelenjar garam dan empedu ini membantu mereka untuk bertahan dalam lingkungan laut yang berbeda dengan kondisi daratan (Juliono dan Ridhwan, 2017).

2.2 Ekologi Penyu (Galuh Yuanita Maira_26040121130074)

Penyu, yang merupakan reptil laut dengan sejarah evolusi lebih dari 100 juta tahun, memiliki peran vital dalam menjaga ekosistem laut. Mereka menyebarkan nutrisi ke dalam

(8)

ekosistem melalui proses pembuangan limbah makanan mereka di laut setelah mengonsumsi berbagai jenis makanan seperti ikan, krustasea, alga, dan spons. Selain itu, sebagai predator alami bagi banyak hewan laut termasuk ikan, krustasea, dan ubur-ubur, penyu membantu menjaga keseimbangan populasi dalam ekosistem. Dengan memakan hewan-hewan ini, penyu membantu mengendalikan populasi mereka agar tidak berlebihan. Selain itu, penyu juga memiliki peran dalam melindungi pantai dari erosi dengan membangun sarang di pantai, yang membantu menahan pasir di tempatnya. Di Indonesia, upaya pelestarian dan konservasi penyu melibatkan berbagai tindakan seperti pemeliharaan penyu, pengambilan telur untuk penetasan, serta upaya untuk melindungi habitat mereka. Secara ekologis, penyu mendiami perairan dangkal dan pantai tropis serta subtropis di seluruh dunia. Mereka biasanya berada di wilayah- wilayah yang kaya akan lamun dan/atau rumput laut, di mana mereka mencari makanan. Jenis penyu pipih umumnya memakan hewan invertebrata laut seperti ubur-ubur dan teripang.

Mereka sering ditemukan di perairan dengan ekologi yang cukup dalam, di samping ekosistem lainnya, karena ini memenuhi kebutuhan mereka akan sumber makanan. Selanjutnya, penyu cenderung melakukan migrasi ke kawasan dengan ekologi yang lebih optimal jika lokasi awalnya tidak lagi memadai, mencerminkan adaptasi mereka terhadap perubahan lingkungan (Isdianto et al., 2022).

Kualitas air, termasuk pH, suhu, salinitas, dan kadar oksigen terlarut (DO), adalah syarat ekologis penting bagi kehidupan penyu. Perairan dengan ekologi yang stabil memberikan penyangga optimal bagi kehidupan penyu. Suhu yang hangat, berkisar antara 28- 32 derajat Celsius, merupakan kondisi yang sesuai untuk penyu. Kadar pH perairan yang optimal, berkisar antara 7-8,5, juga mendukung kehidupan penyu dengan baik serta memberikan kondisi yang ideal bagi mikroorganisme dan makroorganisme lain yang menjadi mangsa penyu. Kadar oksigen terlarut (DO) yang cukup, dengan kisaran > 5mg/l, sangat penting dalam metabolisme penyu untuk memenuhi kebutuhan energinya. Selain itu, salinitas perairan juga memainkan peran vital dalam efisiensi kehidupan penyu dan organisme laut lainnya, dengan kisaran yang sesuai adalah 32-35 ppt (Mansula dan Romadhon, 2020).

2.3 Habitat Penyu (Acriska Nissia Gesta_26040122140094)

Penyu merupakan salah satu jenis biota migran yang memiliki wilayah jelajah yang cukup luas dan hampir selalu melakukan perpindahan tempat selama hidupnya. Penyu adalah hewan reptil yang hidup di berbagai habitat di perairan tropis dan subtropis di seluruh dunia.

Habitat penyu juga akan berpengaruh pada proses persarangannya, pada kawasan pantai berpasir dan juga vegetasi naungan dan perakarannya baik di pulau besar ataupun di pulau kecil.

(9)

Habitat dari penyu sendiri juga dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, perairan tempat kawan disekitar pulau dan pesisir pantai yang berpasir serta perlindungan dari predator alamani ataupun manusia, sehingga jumlah populasi dan keberadaan penyu disuatu lokasi dapat ebrbeda-beda. Penyu melakukan persarangan, pada umumnya ditemukan pada pasir berstektur halus sampai sedang dengan komposisi pasir lebih dari 85%. Kawasan pulau kecil memiliki jenis vegetasi tertentu yang sering digunakan penyu melakukan persarangannya, dan juga pada pasir yang bertekstur halus sampai sedang (Parinding., 2021).

Habitat dari penyu lekang mencakup berbagai jenis lingkungan di perairan tropis dan subtropis di seluruh dunia. Penyu lekang biasanya ditemukan di perairan pantai, estuari, dan sungai yang terhubung ke laut. Mereka sering bermigrasi antara perairan pesisir dan lautan terbuka, terutama selama periode penetasan telur dan pertumbuhan awal anak penyu. Penyu lekang memiliki lokasi yang disukai yaitu pantai yang memiliki karakteristik pantai yang berpasir hitam. Selama musim bertelur, penyu lekang betina akan kembali ke pantai tempat mereka menetas untuk bertelur. Setelah itu, anak penyu akan kembali ke laut dan menghabiskan sebagian besar hidup mereka di habitat laut terbuka, termasuk di dekat padang lamun, terumbu karang, dan perairan dangkal lainnya di lepas pantai. Habitat-habitat ini menyediakan sumber makanan yang kaya dan tempat perlindungan bagi penyu lekang selama mereka tumbuh dan berkembang (Akbar et al., 2020).

2.4 Identifikasi Penyu (Acriska Nissia Gesta_26040122140094)

Identifikasi penyu melibatkan pengamatan ciri-ciri fisik dan perilaku yang khas bagi setiap spesies. Dalam pengamatan fisik, perhatian diberikan pada bentuk dan ukuran cangkang, warna serta pola pada cangkang dan kulit, serta karakteristik kepala dan ekor. Ukuran tubuh juga menjadi faktor penting dalam proses identifikasi, meskipun perlu diingat bahwa ukuran dapat bervariasi antara individu-individu yang berbeda. Selain itu, pengamatan perilaku penyu di habitat alaminya juga memberikan petunjuk penting, seperti cara berenang, mencari makanan, dan beristirahat. Lokasi geografis di mana penyu ditemukan juga dapat membantu dalam identifikasi, karena setiap spesies penyu memiliki wilayah sebaran yang khas. Namun, untuk mengidentifikasi penyu dengan akurat, seringkali diperlukan pengalaman dan pengetahuan yang luas tentang berbagai spesies penyu (Isdianto et al., 2020).

Pengukuran penyu dilakukan untuk mengetahui informasi dari penyu tersebut agar dapat digunakan untuk memahami populasi penyu, mempelajari perilaku penyu, menetapkan peraturan dan kebijakan serta melindungi habitat penyu sendiri. Penyu lekang merupakan reptil yang hidup di laut serta terdistribusi pada beberapa perairan dan pada saat ini mengalami

(10)

penurunan populasi diberbagai lokasi akibat penangkapan. Sehingga identifikasi penyu lekang perlu dilakukan agar populasinya tetap terjaga. Adapun beberapa hal yang dilakukan untuk melakukan identifikasi penyu lekang seperti ukuran tubuh, morfologi, perilaku, pertumbuhan pasca menetas, dan kinerja lokomotor. Pengukuran tubuh penyu dapat dilakukan dengan menghitung 9 karakter diantaranya adalah panjangleher (PL), panjang karapas (PKs), lebar karapas (LKs), panjang plastron (LP), panjang lengan depan (PLD), panjang lengan belakang (PLB), panjang kepala (PK), lebar kepala, dan panjang tubuh (LK). Identifikasi tersebut dapat membantu untuk mendapatkan informasi penyu lekang (Banoet et al., 2019).

2.5 Pemeliharaan Tukik (Arshy Paramita_26040121130079)

Pemeliharaan tukik yang dilakukan di tempat penangkaran maupun pembesaran penyu harus dilakukan dengan baik dan optimal untuk memastikan kelangsungan hidup tukik. Dalam pemeliharaannya, perlu dilakukan pemantauan sarang tempat tukik menetas terhindar dari ancaman, seperti gangguan manusia atau hewan lainnya. Tempat tukik menetas juga harus diperhatikan suhu maupun kelembapan pasirnya. Setelah tukik menetas, pemindahan dari sarang penetasannya ke bak pemeliharaan harus dilakukan dengan hati hati. Pada tukik penyu lekang, tukik diberikan makanan alami dengan tujuan saat dilepas tukik dapat menemukan makanannya sendiri sehingga keberlangsungan hidup tukik dapat terjamin dan menjaga kelestariannya. Pakan yang digunakan juga harus sesuai karena mempengaruhi peningkatan pertmbuhan dari tukik sebelum dilepas, sehingga saat dilepas tukik sudah siap dengan situasi habitat aslinya (Dewi et al., 2018).

Pemeliharaan tukik penyu lekang (Lepidochelys olivacea) melibatkan berbagai aspek, termasuk pemberian pakan, perubahan jumlah nutrisi, dan pengelolaan lingkungan. Tukik penyu lekang membutuhkan pakan yang mempunyai kandungan nutrisi cukup memadai untuk menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Pakan alami, seperti cacahan ikan dan rumput laut, dapat digunakan, tetapi kekurangannya adalah harus segar dan tukik tidak akan memakan pakan yang tidak segar, yang akan berpengaruh terhadap pertumbuhan. Oleh karena itu, pakan buatan dapat digunakan sebagai pengganti pakan alami. Tukik penyu lekang akan dapat hidup dengan baik jika diberikan makanan alami yang biasa ditemui dilaut seperti rumput laut, udang ebi dan ikan layang. Jenis pakan tersebut dapat mudah dijumpai ketika tukik sudah dilepas ke laut. Selain pakan tersebut terdapat beberapa pakan yang juga bisa dimakan oleh tukik penyu lekang yakni keong mas, kepiting dan udang-udang kecil yang ada di laut (Suraeda et al., 2018).

(11)

2.6 Pelepasliaran Tukik (Arshy Paramita_26040121130079)

Pelepasan tukik penyu merupakan salah satu upaya pelestarian dan pengaturan kelangsungan hidup bagi penyu. Kegiatan ini dilakukan di daerah-daerah sekitar laut lepas.

Kegiatan pelepasan penyu sering dikaitkan dengan hari-hari besar adat di beberapa daerah.

Pelepasan tukik merupakan serangkaian melepasliarkan tukik hasil penetasan semi alami dan pembesaran dikolam pembesar ke laut lepas. Kegiatan pelepasan tukik meliputi pelepasan tukik dan pendataan. Tukik yang siap dilepaskan yaitu setelah tukik cukup kuat dalam menghadapi arus dan predator. Pelepasan tukik menjadi salah satu bentuk restocking penyu sehingga populasi penyu dilaut semakin semakin banyak. Pelepasan tukik biasanya dilakukan pada malam hari sekitar pukul 19.00-05.30 WIB (Rosalina dan Prihajatno, 2022).

Cara mengetahui apakah tukik siap untuk dilepaskan ke laut adalah dengan mengetahui jenis tukik, jumlah telur yang telah menetas, dan jumlah makanan yang tersedia. Tukik yang baru menetas sudah punya cadangan makanan untuk dirinya sendiri, yang dapat bertahan hingga satu minggu. Jika tukik yang sudah menetas ditempat dulu di dalam bak, cadangan makanan itu bisa habis ketika ia berada di bak, menyebabkan tukik tidak punya cadangan makanan saat dilepaskan ke laut, yang akan berpengaruh terhadap kemampuan bertahan hidup tukik. Banyaknya dari kegiatan pelepasan penyu yang tidak memperhatikan hal-hal yang mempengaruhinya, sehingga populasi penyu di alam tidak dapat terukur dengan baik. Maka dari itu, lebih baik setelah tukik dilepaskan perlu diperhatikan jumlah dan waktu yang dilakukan saat pelepasan tukik untuk mengetahui jumlah dan kondisi tukik di alam. Perhatikan pula wilayah pelepasan tukik dari ancaman predator (Suraeda et al., 2018).

2.7 Lokasi Pembesaran (Belinda Aureliawati W_26040122140126)

Menurut Juliono dan Ridhwan (2017), Penyu merupakan salah satu hewan yang tingkat populasinya kian menurun tiap tahunnya. Pelestarian dapat didefiniskan sebagai suatu usaha atau kegiatan untuk merawat, melindungi dan mengembangbiakan objek pelestarian yang memiliki nilai guna untuk dilestarikan. Konsep awal pelestarian adalah konservasi yaitu upaya melestarikan dan melindungi sekaligus memanfaatkan sumber daya suatu tempat dengan adaptasi terhadap fungsi baru, tanpa menghilangkan makna kehidupan.

Konservasi merupakan salah satu kegiatan yang diharapkan dapat mencegah punahnya habitat penyu. Konservasi mempunyai arti pelestarian yaitu melestarikan atau mengawetkan daya dukung, mutu, fungsi, dan kemampuan lingkungan secara seimbang.

Salah satu lokasi pemeliharaan atau pelestarian penyu ada pada Turtle Conservation and Education Center (TCEC) Serangan, Denpasar Bali. Teknik pemeliharaan penyu

(12)

merupakan suatu bagian dari kegiatan yang dilakukan di Turtle Conservation and Education Center (TCEC) dalam rangka meningkatkan pelestarian penyu serta menyiapkan penyu untuk upacara ada yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Penyu di TCEC memiliki umur yang berbeda-beda, untuk penyu lekang (Lepidochelys olivacea) memiliki umur sekitar 50 tahun, penyu sisik (Eretmochelys imbricate) memiliki umur 10 tahun dan penyu hijau (Chelonia mydas) memiliki umur 15 tahun. Sistem pemeliharaan harus memenuhi syarat ekologis. Selain pengadaan sirkulasi air, luas tempat pemeliharaan juga harus dapat perhatian khusus (Hamino et al., 2021).

2.8 Pemberian Pakan (Belinda Aureliawati W_26040122140126)

Penyu merupakan hewan herbivora atau omnivora yang memakan berbagai jenis makanan seperti rumput laut, tumbuhan air, krustasea, moluska, ikan kecil, dan ubur-ubur.

Pola makan penyu bervariasi tergantung pada spesiesnya, ukuran tubuh, usia, musim, dan ketersediaan makanan di habitatnya. Pemberian makan pada penyu yang dipelihara dalam penangkaran atau konservasi dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan gizi dan kesehatan hewan tersebut. Dalam konservasi penyu, pemberian makan pada penyu yang dipelihara dalam penangkaran merupakan salah satu faktor penting untuk memastikan kesehatan dan kelangsungan hidup hewan tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan kebutuhan hewan tersebut (Nadaoka dan Uchida, 2017).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian makan pada penyu yaitu, pilihlah jenis makanan yang sesuai dengan spesies penyu dan kondisi kesehatannya. Pastikan makanan yang diberikan mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh penyu, seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Pola pemberian makan pada penyu dapat bervariasi tergantung pada usia, ukuran tubuh, dan kebiasaan makan hewan tersebut. Pada umumnya, penyu dewasa diberi makan satu kali sehari atau setiap dua hari, sementara anak penyu perlu diberi makan lebih sering, yaitu tiga hingga empat kali sehari. Jumlah makanan yang diberikan pada penyu harus disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi hewan tersebut.

Pemberian makanan yang berlebihan dapat menyebabkan obesitas dan masalah kesehatan lainnya pada penyu. Pastikan kondisi lingkungan di dalam kolam atau tempat penahanan penyu memenuhi standar yang diperlukan, seperti kebersihan air, suhu, kelembapan, dan pencahayaan. Hal ini akan mempengaruhi nafsu makan dan kesehatan penyu. Perhatikan perilaku makan penyu, seperti jumlah makanan yang dikonsumsi, waktu makan, dan apakah ada tanda-tanda gangguan pada kesehatan hewan tersebut (Steiner et al., 2021).

(13)

2.9 Risiko Pengambilan telur (Johnatan Febian Revero_26040122140123)

(14)

III. MATERI DAN METODE

3.1 Materi (Arshy Paramita_26040121130079)

Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 19 April 2024. Kegiatan ini berlokasi di daerah Jawa Barat yang merupakan salah satu tempat penetasan dan pembesaran tukik penyu. Di lokasi ini, metode yang digunakan adalah metode observasi dengan observasi lapangan untuk mengetahui variabel penentu kritis keberhasilan penetasan telur penyu. Metode lain yang digunakan adalah desain parametrik, yaitu metode pembuatan desain dan produksi sistem inkubator dengan mempertimbangkan semua variabel yang dibutuhkan oleh inkubator telur penyu otomatis untuk menghasilkan desain inkubator telur penyu yang paling optimal.

3.2 Alat dan Bahan (Johnatan Febian Revero_26040122140123) 3.3 Metode (Johnatan Febian Revero_26040122140123)

(15)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil (Muharnanta Fahreza_26040122140106)

Gambar 1. Desain Tempat Pembesaran Penyu

4.2 Pembahasan

1) Jelaskan mengenai alur penangkaran Penyu di hatchery atau pembesaran yang dari desain yang telah dibuat! (Muharnanta Fahreza_26040122140106)

Proses penetasan telur penyu hijau semi alami melibatkan serangkaian langkah yang terperinci. Pertama-tama, penyu betina naik ke pantai pada malam hari untuk bertelur, menggali lubang dengan kaki depan mereka yang memiliki diameter dan kedalaman tertentu.

Hal ini diperkuat oleh Lestari et al., (2019), setiap penyu betina dapat meletakkan sejumlah telur dalam lubang yang mereka gali. Kemudian, setelah menyelesaikan proses bertelur, penyu betina menutup kembali lubang dengan pasir, membentuk gundukan pasir yang khas. Telur- telur penyu ini kemudian mengalami masa inkubasi selama periode tertentu di bawah suhu pasir yang dijaga dengan cermat oleh petugas. Saat telur menetas, anakan penyu keluar dari sarang dan menuju laut, dengan panjang karapas dan berat yang khas. Setelah semua anakan menetas, petugas mencatat data mengenai jumlah telur yang menetas dan tidak menetas serta melakukan pencacahan sarang untuk memantau populasi penyu hijau. Dalam semua proses ini, aspek etnomatematika tercermin melalui penghitungan jumlah telur, sarang, dan anakan penyu, pengukuran diameter lubang dan gundukan pasir, serta pengemasan telur dalam karton dan pembagian telur ke dalam kandang penetasan yang berbeda

alur pembesaran penyu melibatkan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, anakan penyu yang baru menetas dikumpulkan dari habitat asli mereka oleh petugas. Kemudian,

(16)

mereka dipindahkan ke fasilitas pembesaran, yang biasanya terdiri dari kandang dengan kolam air kecil. Jenis pakan yang diberikan disesuaikan dengan ukuran dan tingkat pertumbuhan anakan penyu. Anakan penyu diberi makan secara teratur, dengan jumlah pakan yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Hal ini diperkuat oleh Rinanda et al., (2022), pertumbuhan anakan penyu dipantau secara berkala melalui pengukuran panjang karapas dan berat badan. Setelah mencapai ukuran tertentu, mereka kemudian dilepaskan kembali ke habitat alami mereka. Dalam semua langkah ini, aspek etnomatematika tercermin dalam penghitungan jumlah anakan penyu, kandang, dan makanan, serta dalam pengukuran ukuran kandang dan parameter pertumbuhan lainnya. Informasi dari penelitian tentang pemberian pakan yang optimal untuk pertumbuhan anakan penyu memberikan wawasan yang berharga untuk meningkatkan efektivitas alur pembesaran penyu secara umum, tanpa memandang lokasi khusus.

2) Sebutkan dan jelaskan karakteristik biologi utama yang berpengaruh terhadap keberhasilan restocking Penyu? (Acriska Nissia Gesta_26040122140094)

Restocking penyu adalah proses melepaskan penyu yang telah dibesarkan di penangkaran ke alam liar. Restocking penyu bertujuan untuk meningkatkan populasi penyu yang terancam punah. Keberhasilan restocking penyu dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk karakteristik biologi penyu, kondisi habitat, dan faktor eksternal lainnya. Faktor lainnya yang dapat berpengaruh terhadap keberhasilan restocking penyu seperti ketersediaan habitat, kualitas air, ancaman predator, dan aktivitas manusia. Hal ini diperlukan karena penyu membutuhkan habitat yang sesuai dengan kebutuhannya untuk hidup dan berkembang biak.

Selain itu Penting untuk mempertimbangkan semua faktor ini saat merancang dan melaksanakan program restocking penyu. Program restocking penyu harus dilakukan dengan hati-hati dan terencana untuk memastikan keberhasilannya (Harnino et al., 2020).

Pada proses restocking penyu terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan agar proses dari restocing penyu dapat berjalan dengan lancar. Penyu lekang menjadi salah satu penyu yang hampir punah, sehingga perlu dilakukan restocking pula terhdap penyu jenis ini. Proses restocking dapat diawali dengan mengamati tahap kehidupannya, dimana pada tahapan tukik akan lebih rentan terhdap stres dan predator dibandingkan dengan penyu dewasa, sedangkan penyu dewasa memiliki peluang hidup yang lebih tinggi setelah dilakukannya restocking. Hal lain yang diperlu diperhatikan adalah kondisi kesehatannya dimana penyu yang sehat dengan kekebalan tubuh yang kuat akan lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Penyu yang berasal dari habitat yang sama dengan lokasi restocking memiliki peluang hidup yang lebih

(17)

tinggi. Kondisi biologi seperti diatas perlu diperatikan agar proses restocking dari penyu lekang dapat berhasil (Setyanto., 2021).

3) Mengapa memilih posisi atau lokasi penempatan hatchery penangkaran yang tepat sangat dibutuhkan pada usaha restocking? (Galuh Yuanita Maira_2604012113074)

Pemilihan posisi atau lokasi penempatan hatchery penangkaran dalam usaha restocking penyu memerlukan perhatian yang cermat terhadap sejumlah faktor penting karena dapat mempengaruhi keberhasilan usaha restocking. Lokasi yang dipilih harus memungkinkan hatchery untuk menciptakan kondisi yang mirip dengan habitat alami penyu untuk sarang telur.

Hal ini diperkuat oleh Taringan et al. (2020), yang menyatakan bahwa pada usaha restocking penyu perlu memperhatikan beberapa faktor seperti suhu inkubasi, keberadaan predator, paparan matahari, dan penyakit pada penyu. Suhu inkubasi merupakan salah satu yang memiliki dampak besar pada laju pertumbuhan embrio penyu. Suhu yang tepat adalah kunci untuk mendukung perkembangan embrio yang sehat dan peningkatan tingkat penetasan telur.

Namun, perubahan suhu yang berlebihan, baik terlalu tinggi maupun terlalu rendah, dapat menyebabkan kerusakan pada embrio dan menghambat proses penetasan. Selain itu, perlu mempertimbangkan keberadaan predator yang dapat merusak sarang dan memakan telur penyu.

Perlindungan efektif dari predator seperti burung, kura-kura, dan anjing pantai adalah tugas penting hatchery. Faktor lain yang harus diperhatikan adalah paparan matahari, karena dapat mempengaruhi suhu hatchery. Paparan matahari yang berlebihan dapat mengakibatkan suhu berlebihan, sedangkan kurangnya paparan matahari dapat mengurangi suhu hatchery. Selain itu, penyakit pada penyu juga harus diwaspadai. Pengawasan kesehatan telur dan tukik penting untuk mencegah penyakit yang dapat mempengaruhi pada penyu.

Perbedaan posisi penempatan hatchery pada suhu sarang memiliki dampak yang signifikan pada tingkat keberhasilan usaha restocking pada saat penetasan telur penyu.

Menempatkan hatchery di tempat terbuka cenderung meningkatkan suhu dalam sarang, terutama di daerah dengan iklim panas. Paparan sinar matahari langsung dapat mengakibatkan suhu yang tinggi dalam sarang, yang pada gilirannya dapat mengganggu perkembangan normal embrio penyu dan menyebabkan penurunan persentase penetasan telur penyu. Sebaliknya, penempatan hatchery di tempat yang teduh atau terlindungi dari cahaya matahari membantu menjaga suhu dalam sarang tetap stabil. Suhu yang stabil dalam sarang mendukung perkembangan embrio yang sehat dan dapat meningkatkan persentase penetasan telur penyu.

Hal ini diperkuat oleh Nugroho et al. (2017), yang menyatakan bahwa keadaan lingkungan

(18)

yang memiliki salinitas rendah, tingkat kelembaban yang sesuai, dan substrat yang baik sangat penting untuk menciptakan kondisi yang mendukung penetasan dan perkembangan telur penyu.

4) Berdasarkan studi literatur dan analisa Saudara setelah mendesain hatchery/pembesaran untuk restocking Penyu, apakah feasible atau layak dilakukan di Indonesia? (Muharnanta Fahreza_26040122140106)

Hatchery ini dirancang dengan tujuan utama untuk menciptakan lingkungan yang optimal bagi inkubasi telur penyu. Dengan suhu dan kelembapan dipelihara pada tingkat yang sesuai untuk mendukung keberhasilan penetasan dan pertumbuhan awal anakan penyu.

Pengaturan yang tepat dari parameter ini sangat penting karena kondisi lingkungan saat inkubasi akan memengaruhi perkembangan telur dan kesehatan anakan penyu yang menetas.

Hal ini diperkuat oleh Iqbal et al., (2023), keberadaan sistem pemantauan otomatis memberikan keuntungan tambahan dalam pengelolaan hatchery. Dengan teknologi ini, petugas dapat mengawasi kondisi hatchery secara real-time dan merespons perubahan yang mungkin terjadi dengan cepat dan efisien. Kemampuan untuk mengambil tindakan korektif dengan cepat dapat secara signifikan meningkatkan peluang keberhasilan dalam proses penetasan telur penyu.

Meskipun demikian, ada sejumlah tantangan yang harus diatasi untuk menerapkan hatchery otomatis ini secara efektif di Indonesia. Salah satunya adalah ketersediaan listrik yang stabil, karena hatchery ini bergantung pada pasokan energi listrik yang konsisten untuk operasinya. Biaya awal yang tinggi juga menjadi kendala potensial, mempertimbangkan investasi yang diperlukan untuk membangun dan memasang hatchery ini. Puteri et al., (2019), perawatan dan pemeliharaan rutin akan menjadi aspek penting untuk memastikan kinerja optimal hatchery dalam jangka panjang. Meskipun tantangan ini mungkin ada, dengan pertimbangan yang cermat dan perencanaan yang matang, desain hatchery otomatis ini memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya pelestarian penyu di Indonesia, menguatkan dukungan terhadap diversifikasi strategi pelestarian yang lebih luas.

(19)

V. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

1) Penyu, salah satu hewan reptil yang hidup di lautan, dikenal karena memiliki cangkang keras yang melindungi tubuhnya. Kualitas air, termasuk pH, suhu, salinitas, dan kadar oksigen terlarut (DO), adalah syarat ekologis penting bagi kehidupan penyu. Perairan dengan ekologi yang stabil memberikan penyangga optimal bagi kehidupan penyu.

2) Desain yang telah dibuat merupakan desain penetasan tukik yang mana pemilihan posisi atau lokasi penempatan hatchery penangkaran dalam usaha restocking penyu memerlukan perhatian yang cermat terhadap sejumlah faktor penting karena dapat mempengaruhi keberhasilan usaha restocking. Lokasi yang dipilih harus memungkinkan hatchery untuk menciptakan kondisi yang mirip dengan habitat alami penyu untuk sarang telur.

3) Desain pada pembesaran penyu terdiri dari kolam-kolam yang sirkulasi airnya dijaga dengan baik, selain itu ukuran dari setiap kolam juga mempengaruhi kondisi pembesaran tukik atau penyu

5.2 Saran

1) Diharapkan pada saat praktikum ditayangkan video yang mendukung modul tersebut untuk memudahkan praktikan dalam memahami.

2) Diharapkan melalukan sesi doa pada saat memulai dan mengakhiri praktikum.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Akbar, M. R., Luthfi, O. M. dan Barmawi, M., 2020. Pengamatan Kesesuaian Lahan Peneluran Penyu Lekang Lepidochelys olivacea, Eschscholtz, 1829 (Reptilia:

Cheloniidae) di Pantai Mapak Indah, Nusa Tenggara Barat. Journal of Marine Research, 9(2): 137-142.

Ario, R., Wibowo, E., Pratikto, I., & Fajar, S. (2016). Pelestarian habitat penyu dari ancaman kepunahan di turtle conservation and education center (TCEC), Bali. Jurnal kelautan tropis, 19(1), 60-66.

Banoet, N. P., Dima, A. O. M. dan Ninda, A., 2019. Karakteristik Sarang, Bioreproduksi, Morfometrik, dan Performans Tukik Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) Pada Sarang Alami dan Semi Alami di TWA Menipo, Kecamatan Amarasi Timur Kabupaten Kupang. Jurnal Biotropikal Sains, 16(1): 54-63.

Benni, B., Adi, W., dan Kurniawan, K. 2017. Analisis karakteristik sarang alami peneluran penyu. Akuatik: jurnal sumberdaya perairan, 11(2): 1-6.

Darmayati, M., Afriwan, H., & Trinanda, R. (2018). REDESIGN SIGN SYATEM PENANGKARAN PENYU DI PARIAMAN. DEKAVE: Jurnal Desain Komunikasi Visual, 7(2).

Dewi, L. A. A. T., Warpala, I. S., & Mulyadiharja, S. (2018). VARIASI PEMBERIAN JENIS PAKAN MENGAKIBATKAN PERBEDAAN TERHADAP BERAT TUBUH TUKIK PENYU LEKANG (Lepidochelys olivacea) DI TEMPAT KONSERVASI PENYU PANTAI PENIMBANGAN SINGARAJA. Jurnal Pendidikan Biologi Undiksha, 5(2), 57-67.

Harnino, T. Z. A. E., Parawangsa, I. N. Y., Sari, L. A. dan Arsad, S., 2021. Efektifitas Pengelolaan Konservasi Penyu di Turtle Conservation and Education Center Serangan, Denpasar Bali. Journal of Marine and Coastal Science, 10(1): 242-255.

Harnino, T. Z. A. E., Parawangsa, I. N. Y., Sari, L. A., & Arsad, S. (2021). Efektifitas Pengelolaan Konservasi Penyu di Turtle Conservation and Education Center Serangan, Denpasar Bali. Journal of Marine and Coastal Science Vol, 10(1), 242- 255.

Iqbal, M., Nurfathurrahmah, N., dan Azmin, N., 2023. Keberhasilan Ekowisata Berbasis Penangkaran Penyu Hijau (Chelonia mydas) Dengan Sarang Semi Alami Pada Lokasi Hatchery Yang Berbeda Di Taman Nasional Moyo Satonda. Oryza (Jurnal Pendidikan Biologi), 12(2): 219-228.

(21)

Isdianto, A., C. A. Intyas., O. M. Luthfi., M. A. Asadi., M. F. Haykal dan B. M. Putri. 2022.

Pengelolaan Berkelanjutan pada Kawasan Konservasi Penyu Hijau. UB Press, Malang.

Isdianto, A., Intyas, C. A., Luthfi, O. M., Asadi, M. A., Haykal, M. F. dan Putri, B. M., 2022.

Pengelolaan Berkelanjutan pada Kawasan Konservasi Penyu Hijau. Universitas Brawijaya Press.

Juliono, J., dan Ridhwan, M. 2017. Penyu dan usaha pelestariannya. Serambi Saintia: Jurnal Sains dan Aplikasi, 5(1).

Lestari, N., Sunardi, S., Yudianto, E., Setiawan, T. B., dan Trapsilasiwi, D., 2019.

Etnomatematika pada proses penetasan telur penyu hijau semi alami di sukamade, taman nasional meru betiri sebagai bahan ajar siswa berbasis fraktal. saintifika, 21(1):

61-70.

Mansula, J. G., dan Romadhon, A. 2020. Analisis Kesesuaian Habitat Peneluran Penyu di Pantai Saba, Gianyar, Bali. Juvenil: Jurnal Ilmiah Kelautan dan Perikanan, 1(1): 8- 18.

Nadaoka, K dan Uchida, K. (2017). Nest relocation as a conservation measure for marine turtle eggs in relation to beach erosion. Ecological Modelling., 352: 60-70.

Nugroho, A. D., Redjeki, S., dan Taufiq, N. 2017. Studi Karakteristik Sarang Semi Alami Terhadap Daya Tetas Telur Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Paloh Kalimantan Barat. 2(2): 23-35.

Pantai Warebar-Yenbekaki Distrik Waigeo Timur, Kabupaten Raja Ampat. Cassowary, 3(1):

21-31.

Parinding, Z., 2021. Preferensi Habitat Persarangan Penyu Di Kawasan Pulau Kecil.

CENDEKIA: Jurnal Ilmu Pengetahuan, 1(2): 8-14.

Puteri, F. R., Afiati, N., dan Widyorini, N., 2019. Pengaruh Komposisi Jenis Pakan Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan Tukik Penyu Sisik (Eretmochelys Imbricata) Di Penetasan Semi-Alami Penyu Taman Nasional Karimunjawa (The Effect Of Different Feeding Composition on Growth of Baby Hawksbills Turtle (Eretmochelys imbricata) in Semi-Natural Hatching Den in Karimunjawa National Park). Saintek Perikanan: Indonesian Journal of Fisheries Science and Technology, 14(2): 110-114.

Ridwan, E., A. Sara, L. Asriyana. (2017). Karakteristik biofisik habitat peneluran Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Kampa, Konawe Kepulauan. Jurnal Manajemen Sumber Daya Perairan, 2(4), 295-305.

(22)

Rinanda, D., Afriansyah, B., dan Syarif, A. F., 2022. Pemberian pakan berbeda terhadap pertumbuhan tukik penyu sisik (eretmochelys imbricata) di pantai tikus emas, Sungailiat. Jurnal Sumberdaya Akuatik Indopasifik, 6(1): 47-56

Rosalina, D., & Prihajatno, M. (2022). UPAYA KONSERVASI PENYU LEKANG (Lepidochelys olivacea) DI WILAYAH KONSERVASI EDUKASI MANGROVE DAN PENYU PANTAI CEMARA, BANYUWANGI, JAWA TIMUR. Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia, 14(1), 1-10.

Setyanto, A., 2021. Konservasi Laut dalam Pendekatan Biologi. Universitas Brawijaya Press.

Steiner, T., Parga, M dan Reina, R. (2021). Effects of egg handling and relocation on olive ridley turtle (Lepidochelys olivacea) eggs and hatchlings. Marine Biology., 168(2):

21.

Suherman, Y., & Astri, R. (2019). Implementasi Sistem Penunjang Keputusan Dalam Upaya Efektifitas Penentuan Daerah Penghasil Penyu Untuk Kegiatan Monitoring Penangkaran Penyu Pada Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Kota Pariaman.

JOISIE (Journal Of Information Systems And Informatics Engineering), 1(1), 20-27.

Suraeda, R. Y., Sunaryo, S., & Kushartono, E. W. (2018). Laju Pertumbuhan Spesifik Tukik Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) dengan Pemberian Pakan Buatan Yang Berbeda di Turtle Conservation And Education Center, Bali. Journal of Marine Research, 7(3), 185-192.

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan Kawasan Ekowisata Penangkaran Penyu di Desa Sebubus, Kabupaten Sambas menggunakan konsep “ Sea Turtle Breeding Integrated Area ” yang di dalamnya terdapat

Penelitian ini dilakukan untuk mengenali faktor internal dan eksternal dalam kegiatan penangkaran penyu di Batavia Bangka Beach sehingga strategi

Perancangan Kawasan Ekowisata Penangkaran Penyu di Desa Sebubus, Kabupaten Sambas menggunakan konsep “Sea Turtle Breeding Integrated Area” yang di dalamnya terdapat tiga

Sistem Kandang `Model kandang yang digunakan di penangkaran penyu KEE Desa Malaka terdiri dari 4 jenis, yaitu kolam penetasan telur semi alami 1 unit, kolam komunal pemeliharaan tukik

Laporan praktikum Mineralogi Optik & Petrografi disusun untuk menyelesaikan salah satu syarat Praktikum Mineralogi Optik & Petrografi Semester IV, Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas AKPRIND Indonesia, Tahun Ajaran

Laporan Praktikum Dasar-Dasar Agronomi Semester Gasal

Laporan program kerja ekstra Pramuka Dewan Ambalan Pangeran Diponegoro dan Dewi Sartika Gugus Depan SMA Negeri 1 Pasir Penyu Tahun 2023/2024 Gugus Depan 02 059 – 02

Laporan praktikum WebGIS dengan OpenGeo Suite untuk pemetaan berbasis website di Fakultas Geografi UGM tahun