LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL TERNAK LANJUT
Oleh:
Nama : Riris Merry Judhayani Lumbantoruan
NPM : E1C020025
Kelompok :
Dosen Pengampu : 1. Ir. Edi Sutrisno M. Sc
2. Prof. Dr. Ir. Endang Sulistyowati M.Sc 3. Dr. Suharyanto S.Pt., M.Si
Asisten Praktikum : 1. Irwan Timoti E1C019019
2. Tumpal Leonardus Banjarnahor E1C019027
LABORATORIUM PETERNAKAN JURUSAN PETERNAKAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BENGKULU
2023
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu makanan yang mengandung protein hewani adalah dada. Karena daging memiliki nilai gizi yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis makanan lain, daging adalah makanan yang paling banyak dikonsumsi. Daging juga memiliki asam amino essensial yang lebih lengkap daripada protein nabati. Daging dapat diolah menjadi berbagai jenis product yang menarik dengan berbagai bentuk dan rasa, yang dapat memperpanjang masa penyimpanan dan meningkatkan nilai ekonomi sambil mempertahankan nilai gizinya. Bakso adalah olahan daging yang sudah lama dikenal dan sangat disukai. Bakso adalah jenis daging yang telah dihaluskan, dicampur dengan bumbu dan tepung, lalu dibentuk menjadi bola-bola kecil dan direbus dalam air panas (Montolalu et al., 2013).
Masyarakat sering mengonsumsi telur, yang merupakan sumber protein hewani. Telur mengandung hampir semua zat gizi yang diperlukan tubuh untuk hidup sehat. Selain kandungan proteinnya yang tinggi (12,8% – 13,1%), telur juga mengandung air 70,8% – 74%, lemak 11,5%
– 14,3%; dan karbohidrat, kalori, kalsium, dan fosfor. Telur sangat populer di kalangan masyarakat karena gizinya yang lengkap dan harganya yang lebih murah daripada daging dan susu. Cangkang, kuning, dan putih telur adalah komponen telur.
Dari praktikum yang dilakukan dimana mengevaluasi tentang daya buih, persentase tirisan, dan stabilitas buih pada telur dan untuk bakso mengevaluasi susut masak, daya mengikat air, folding test (uji lipat).
1.2 Tujuan
1. Mengetahui hasil susut masak, daya mengikat air, folding test (uji lipat).
2. Mengetahui hasil daya buih, persentase tirisan dan stabilitas buih pada telur.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bakso merupakan makanan jajanan dari produk olahan daging yang telah dikenal dan disukai masyarakat banyak. Bahan pangan ini umumnya menggunakan daging sapi sebagai bahan bakunya, sehingga hampir 40% daging sapi di Indonesia digunakan sebagai bahan baku bakso.
Salah satu produk pangan yang diatur oleh SNI adalah bakso daging. Dalam SNI, banyak sekali produk bakso dengan kualitas yang berbeda beda. Salah satu parameter yang digunakan oleh masyarakat untuk menentukan bagus atau tidaknya suatu produk bakso adalah kekenyalannya.
Masyarakat cenderung menyukai bakso yang teksturnya kenyal dan tidak menyukai bakso yang terlalu empuk dan terlalu keras (Pramuditya dan Yuwono, 2014).
Bakso merupakan makanan yang sudah dikenal baik dikalangan masyarakat luas. Selain karena rasanya yang enak dan gurih, juga karena makanan ini banyak ditemukan. Bakso yang muda ditemukan adalah bakso dari daging sapi, bakso ayam yang ditambah dengan bahan tambahan makanan seperti tepung tapioka, bawang merah, bawang putih, serta bahan perasa lainnya yang kemudian dibentuk bulat - bulat dan dilakukan perebusan sampai bola-bola bakso mengapung sebagai tanda bakso telah matang (Zamili et al., 2020).
Kualitas bakso ditentukan oleh daya ikat air, kekenyalan, dan kandungan nutrisinya.
Bakso dengan kualitas baik, mempunyai daya ikat air yang baik pula yaitu air yang betul - betul diikat oleh protein daging dan air bebas yang tertangkap didalam sel - sel daging. Tingkat kekenyalan bakso yang berkualitas baik yaitu bakso memiliki kemampuan untuk pecah akibat adanya gaya tekanan, dan kandungan nutrisi yang terdapat pada bakso berkualitas baik yaitu memiliki kandungan nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi didalam tubuh (Sahputra et al., 2016).
Bakso dibuat dari campuran daging tidak kurang dari 50% dan pati atau tepung serealia,
mie atau bihun, sayuran, dan kuah. Proses pembuatan bakso pada umumnya menggunakan tepung tapioka. Adapun penambahan tepung sebagai filler bakso berguna untuk memperbaiki tekstur, meningkatkan daya ikat air, menurunkan penyusutan akibat pemasakan dan meningkatkan elastisitas produk (Nullah et al., 2016)
Rasa, bau dan kekenyalan merupakan faktor - foktor yang perlu mendapat perhatian dalampembuatan bakso. Konsumen pada umumnya menyukai baso yang kompak, elastis, kenyal tapi tidak keras dan tidak lembek. Rasa merupakan kriteria penting dalam menilai suatu produk pangan yang banyak melibatkan indra pengecapyaitu lidah (Estévez-González et al., 2003)
Telur merupakan produk unggas yang memberi sumbangan cukup besar dalam upaya pemenuhan gizi masyarakat. Telur merupakan bahan pangan yang sempurna, karena kandungan gizinya yang lengkap yaitu karbohidrat, lemak, protein, mineral dan vitamin. Telur yang banyak dikonsumsi adalah telur bebek, ayam dan puyuh. Di Indonesia jumlah telur yang tersedia sangat banyak yaitu sebesar 1,738 ton, jumlah terbesar dari jenis ayam ras yaitu 69,57 %, telur ayam lokal 12,16 %, telur itik 18,26% (Wibowo et al., 2020)
Kestabilan buih merupakan ukuran kemampuan struktur buih untuk bertahan kokoh atau tidak mencair selama waktu tertentu. Indikator kestabilan buih adalah besarnya tirisan buih selama waktu tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume atau derajat pencairan buih. Tirisan yang banyak menyatakan kestabilan buihnya rendah sebaliknya tirisan yang sedikit menyatakan kestabilan tersebut tinggi (Wibowo et al., 2020)
Putih telur atau albumen merupakan bagian telur yang berbentuk seperti gel, mengandung air dan terdiri atas empat fraksi yang berbeda-beda kekentalannya. Bagian putih telur yang terletak dekat kuning telur lebih kental dan membentuk lapisan yang disebut kalaza (kalazaferous). Putih telur terdiri atas tiga lapisan yang berbeda, yaitu lapisan tipis putih telur bagian dalam (30%), lapisan tebal putih telur (50 %), dan lapisan tipis putih telur luar (20 %).
Pada telur segar, lapisan putih telur tebal bagian ujungnya akan menempel pada kulit telur. Putih telur tebal dekat kuning telur membentuk struktur seperti kabel yang disebut kalaza. (Stadelman dan Cotterill. 1995).
Telur memiliki sifat-sifat fisiko kimia yang sangat berguna dalam pengolahan pangan Sifat-sifat tersebut meliputi daya busa, emulsi, koagulasi dan warna. Dalam proses pengolahan
pembuatan film yang stabil untuk mengikat gas, misalnya dalam pengolahan whipped topping dan angel cake (Peranginangin, 2008)
Daya buih merupakan ukuran kemampuan putih telur untuk membentuk buih jika dikocok dan biasanya dinyatakan dalam persen terhadap putih telur. Protein putih telur yang memiliki peranan penting dalam pembentukan buih diantaranya ovalbumin, ovomucin, globulin, ovotransferin, lysozime dan ovomucoid. (Stadelman dan Cotterill, 1995)
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Salah satu sifat fungsional telur adalah daya buih (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Daya buih adalah ukuran
kemampuan putih telur untuk membentuk buih jika dikocok dan
biasanya dinyatakan dalam persen terhadap putih telur.
Buih merupakan dispersi koloid
dari fase gas yang terdispersi di dalam fase cair atau fase padat (Stadelman dan Cotterill,
1995). Buih yang baik memiliki daya buih sebesar 6 sampai 8
kali volume putih telur
(Georgian Egg Commission, 2005).
Salah satu daya guna putih telur adalah sebagai pembentuk buih.
Semakin banyak
udara yang terperangkap, buih
yang terbentuk akan semakin
kaku dan kehilangan sifat
alirnya. Selama pengocokan putih telur, ukuran gelembung udara menurun dan jumlah
gelembung udara meningkat.
Seiring dengan peningkatan
pengikatan udara, buih menjadi stabil dan kehilangan
kelembaban serta tampak mengkilat (Stadelman dan Cotterill,
1995). Daya buih akan
meningkat seiring dengan
pertambahan umur telur sampai
dengan
pH optimum pembentukan buih, kemudian daya buih akan
mengalami penurunan
(Romanoff dan Romanoff, 1963).
Kestabilan buih merupakan ukuran kemampuan struktur buih untuk bertahan atau
tidak mencair selama waktu tertentu. Kestabilan buih
merupakan faktor penting dalam adonan kue karena
mempengaruhi kekokohan
struktur kue yang dihasilkan.
Indikator
kestabilan buih adalah besarnya tirisan buih selama waktu
tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume atau derajat
pencairan buih. Tirisan yang banyak menyatakan kestabilan buihnya rendah. Sebaliknya,
tirisan yang sedikit menyatakan kestabilan tersebut tinggi.
Kestabilan buih merupakan ukuran kemampuan struktur buih untuk bertahan atau
tidak mencair selama waktu tertentu. Kestabilan buih
merupakan faktor penting dalam
adonan kue karena
mempengaruhi kekokohan
struktur kue yang dihasilkan.
Indikator
kestabilan buih adalah besarnya tirisan buih selama waktu
tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume atau derajat
pencairan buih. Tirisan yang banyak menyatakan kestabilan buihnya rendah. Sebaliknya,
tirisan yang sedikit menyatakan kestabilan tersebut tinggi.
Kestabilan buih merupakan
ukuran kemampuan struktur
buih untuk bertahan atau
tidak mencair selama waktu tertentu. Kestabilan buih
merupakan faktor penting dalam adonan kue karena
mempengaruhi kekokohan
struktur kue yang dihasilkan.
Indikator
kestabilan buih adalah besarnya tirisan buih selama waktu
tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume atau derajat
pencairan buih. Tirisan yang banyak menyatakan kestabilan buihnya rendah. Sebaliknya,
tirisan yang sedikit menyatakan
kestabilan tersebut tinggi.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Salah satu sifat fungsional telur adalah daya buih (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
Daya buih adalah ukuran
kemampuan putih telur untuk membentuk buih jika dikocok dan
biasanya dinyatakan dalam persen terhadap putih telur.
Buih merupakan dispersi koloid
dari fase gas yang terdispersi di
dalam fase cair atau fase padat
(Stadelman dan Cotterill,
1995). Buih yang baik memiliki daya buih sebesar 6 sampai 8
kali volume putih telur
(Georgian Egg Commission, 2005).
Salah satu daya guna putih telur adalah sebagai pembentuk buih.
Semakin banyak
udara yang terperangkap, buih yang terbentuk akan semakin kaku dan kehilangan sifat
alirnya. Selama pengocokan
putih telur, ukuran gelembung
udara menurun dan jumlah
gelembung udara meningkat.
Seiring dengan peningkatan
pengikatan udara, buih menjadi stabil dan kehilangan
kelembaban serta tampak mengkilat (Stadelman dan Cotterill,
1995). Daya buih akan
meningkat seiring dengan
pertambahan umur telur sampai dengan
pH optimum pembentukan buih, kemudian daya buih akan
mengalami penurunan
(Romanoff dan Romanoff,
1963).
Kestabilan buih merupakan ukuran kemampuan struktur buih untuk bertahan atau
tidak mencair selama waktu tertentu. Kestabilan buih
merupakan faktor penting dalam adonan kue karena
mempengaruhi kekokohan
struktur kue yang dihasilkan.
Indikator
kestabilan buih adalah besarnya tirisan buih selama waktu
tertentu dan dinyatakan dalam bobot, volume atau derajat
pencairan buih. Tirisan yang
banyak menyatakan kestabilan
buihnya rendah. Sebaliknya,
tirisan yang sedikit menyatakan kestabilan tersebut
III. METODOLOGI
3.1 Alat dan Bahan A. Bakso
Daging ayam broiler
Kompor dan gas elpiji
Panci
Timbangan
Kertas whatmann 41
Alat pengukur DMA
Milimeter block/planimeter
Talenan, pisau, parang, sendok dan mangkok/piring
Food processor
Kaca datar
Baskom
Daging sapi 2 kg
Tepung Tapioka 2 x 500 g
Es batu 2 x 500 g
Garam halus 1 bungkus (500 g)
Bubuk Merica 1 botol f. Bubuk bawang putih 1 botol B. Telur
Telur baru 1 hari 12 butir
Telur lama (7 hari lebih) 12 butir
Mangkok
Gelas ukur ukuran 50 ml
Baker glass dan gelas ukur plastik
Dan lain-lain.
3.2 Cara Kerja A. Bakso
Memotong daging menjadi ukuran yang lebih kecil, kemudian digiling bersama - sama dengan garam, es, dan obat bakso
Menambahkan sagu (tapioka), merica dan bawang putih. Aduk sampai tercampur merata dan adonan menjadi kalis (bisa dicetak)
Mendiamkan adonan selama 10 menit. Sementara itu merebus air sampai mendidih.
Mencetak adonan bakso menjadi bulatan bakso dengan menggunakan sendok teh,lalu masukkan ke dalam air yang sudah mendidih.
Jika bulatan bakso yang direbus sudah mengapung maka diangkat dengan menggunakan serokan, lalu tiriskan
Menghitung susut masak
Menghitung daya mengikat air
Menghitung folding test.
B. Telur
Menimbang telur.
Memecah telur dengan hati-hati, lalu pisahkan putih dan kuninignya.
Menimbang secara terpisah berat putih telur dan kuning telur. Hitung persentase berat masing-masingnya terhadap berat telur
Masukkan putih telur ke dalam gela sukur untuk mengetahui volumenya.
Masukkan putih telur ke dalam gelas plastik ukuran 500 ml, lalu dikocok menggunakan mixer selama 3 menit.
Mengukur volume buih yang terbentuk (Vbuih)
Menghitung persentase tirisan
Menghitung stabilitas buih
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil A. Bakso
I. Ha sil masak=a−b
a x100 % ¿13−15
13 x100 %
¿15,38 %
II. Hasil masak=a−b
a x100 %
¿18−18
18 x100 %
¿0 %
III. Hasil masak=a−b
a =x100 %
¿20−22
20 x100 %
¿10 %
FOLDING TEST = Skor 5 DMA
A=Luas lingkar bekas cairan – luas bekas sampelmemipih 100
¿8–4 100 =0,04
B=Jumlah air bebas(mg)=A x6,45 0,0948 −8
¿0,04x6,45
0,0948 −8=−5,279 C=Persenair bebas(%)= B
300x100
¿−5,279
300 x100=−1,75 DMA = Kadar air – C
= 29,115 – (-1,75) = 30,865
B. Telur Telu
r Berat awal Putih telur Kuning telur Volume
putih telur Dimixer
(5 menit) Tirisan telur
I 67,60 gr 40,7 gr 17,59 gr 40 ml 125 ml 85 ml
II 46,21 gr 20,87 gr 17,88 gr 20 ml 85 ml 75 ml
1. Daya buih
DB(I)= Volume buih
Volume putih telur x100 %
¿125ml
40ml x100 %
¿3,125 %
2. Tirisan
T(I)= Volume tirisan
Volume buihtelurx100 %
¿ 85ml
125ml x100 %
¿0,68 %
3. Stabilitas buih telur SB(I)=100 %−T
¿100 %−0,68 %
¿99,32 % 4. Daya buih
¿85ml
20ml x100 %
¿4,25 %
5. Tirisan
T(II)= Volume tirisan
Volume buihtelur x100 %
¿75ml
85mlx100 %
¿0,89 %
6. Stabilitas buih telur SB(II)=100 %−T
¿100 %−0,89 %
¿99,11%
4.2 Pembahasan A. BAKSO
Pada praktikum ini dimana mengevaluasi susut masak/hasil masak, folding test dan daya mengikat air pada bakso. Pengujian ini dilakukan 3 sampel dengan pipet runcing, pipet pendek dan pipet belah. Pertama yang dilakukan yaitu melakukan adonan bakso dan merebusnya jadi bakso. Pengujian pada setiap sampel yaitu mentukan hasil masak/susut masak. Susut masak merupakan indikator nilai nutrisi daging sehubungan dengan jus daging yaitu banyaknya air yang berikatan di dalam dan diantara serabut otot.
Daging dengan susut masak lebih rendah mempunyai kualitas relatif lebih baik dibandingkan dengan susut masak lebih besar (Soeparno, 2009). Hasil dari ketiga sampel tersebut dari sampel I hasil masaknya 15,38 %, sampel II hasil masaknya 0 % dan sampel III hasil masaknya 10 %. Dari ketiga sampel nilai yang terendah yaitu sampel II dengan hasil masak 0%.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Soeparno (2005), daging yang memiliki kualitas yang baik adalah daging dengan susut masak terendah, karena tidak banyak kehilangan nutrisi selama pemasakan. Soeparno (2009) yang menyebutkan bahwa susut masak lebih rendah mempunyai kualitas relatif lebih baik dibandingkan dengan susut masak lebih besar. Terjadinya perbedaan pada hasil masak/susut masak pada ketiga sampel disebabkan beberapa faktor dari terjadinya kesalahan dalam penimbangan, pemasakan dan lain – lain. Hal ini sesuai dengan Farida (2012),
faktor, misalnya kondisi daging yang digunakan serta bahan tambahan lain yang diberikan pada produk tersebut.
Folding test yang dilakukan pada ketiga sampel memiliki skor 5 yang artinya bakso tidak retak waktu dilipat. Sesuai dengan pendapat Lee (1984), uji lipat dengan nilai 3 menunjukkan tingkat elastisitas cukup baik dan nilai 4 elastisitasnya baik. Uji lipat menunjukkan kekuatan dan elastisitas gel dan biasanya digunakan pada industri-industri karena sederhana dan cepat (Hastings et al.,1990).
Pengujian selanjutnya dengan melakukan pengujian daya mengikat air pada sampel yang sudah dilakukan. Hasil yang didapat bahwa tahap pertama hasil dari luas lingkar bekas cairan dikurang dengan lukas bekas sampel memipih dibagi dengam 100 maka hasilnya yaitu 0,04. Pada tahap kedua menentukan jumlah air bebas hasil yang diperoleh adalah -5,278. Pada tahap ketiga hasil yang diperoleh dari persen air bebas ialah – 1,75. Sehingga daya mengikat air pada bakso tersebut adalah
B. TELUR
Pada praktikum ini dimana mengevaluasi daya buih telur, tirisan telur, dan stabilitas telur.
Pengujian ini dilakuakan pada 2 sampel telur yang berbeda yaitu telur ayam petelur yang berwarna kuning yang berukuran besar sebagai telur I dan telur ayam kampung yang berwarna kecil dan berukuran kecil sebagai telur II. Pertama yang dilakukan yaitu pengujian daya foaming/busa/buih pada putih telur yang sudah di pisahkan dari kuning telur dan ditimbang. Pada telur I, berat putih telur 40,7 gr dari berat awal 67,60 gr dengan volume 40 ml yang diukur dengan gelas ukur dan pada telur II, berat putih telur 20,87 gr dari berat awal 46,21 gr dengan volume 20 ml diukur dengan gelas ukur.
Foaming pada putih telur didapat dengan pengocokan yang dilakukan dengan menggunakan pengaduk mixer. Pengocokan menggunakan mixer dilakukan pada kedua telur.
Pertama - tama pengocokan terhadap putih telur I dengan menggunakan pengocok mixer di kocok dengan kecepatan stabil selama 3 menit namun foaming/busa yang dihasilkan belum banyak sehingga ditambah 2 menit untuk menghasilkan foaming/busa yang maksimal. Hasil yang diperoleh dari pengocokan dari telur I volumenya 125 ml dan telur II volumenya 85 ml.
meningkat. Putih telur menjadi lebih encer karena daya buih yang lebih tinggi karena telur disimpan lebih lama. Menurut Hou, Singh, Muriana, dan Stadelmant (1996), putih telur encer dapat menghasilkan volume daya buih yang lebih besar daripada putih telur yang lebih kental.
Adanya udara yang terperangkap selama proses pengocokan menyebabkan pembentukan buih.
Seperti yang dinyatakan oleh Yadaf et al. (2010), pengocokan putih telur dapat mempengaruhi volume buih putih telur yang relatif stabil. Menurut Lowe (1995), buih yang terbentuk menjadi lebih kaku dan kehilangan sifat alirnya jika udara terperangkap lebih sedikit. Yadaf et al. (2010) menyatakan bahwa pembukaan ikatan pada molekul protein menyebabkan rantai protein yang lebih panjang, dengan mengakibatkan penurunan persentase daya buih putih telur. Dalam penelitian mereka, Stadelman dan Cotterill (1995a) menemukan bahwa putih telur dengan elastisitas rendah menghasilkan volume buih yang tinggi, tetapi putih telur dengan elastisitas tinggi menghasilkan struktur buih yang stabil.
Tirisan pada telur I dan telur II yang dilakukan di laboratorium hasil yang didapatkan 0,68
% dan 0,89 %. Terdapat perbedaan bahwa telur II lebih tinggi dari telur I karena ini disebabkan oleh lama penyimpanan. Semakin lama penyimpanan maka tirisan buih semakin banyak dibandingkan tirisan yang rendah dan tirisan mengacu pada kemampuan putih telur untuk mempertahankan integritasnya ketika dikocok atau diproses. Semakin rendah persentase tirisan, semakin kuat dan tahan lama putih telur.
Stabilitas buih telur pada telur I dan telur II yang dilakukan di laboratorium hasil yang didapatkan 99,32 % dan 99,11 %. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dimana telur I lebih tinggi dari telur II dikarenakan waktu simpan berpengaruh sangat terhadap rata-rata persentase stabilitas buih putih telur. Menurut Stadelman and Cotteril (1997 ), struktur buih yang stabil umumnya dihasilkan dari putih telur yang mempunyai elastisitas tinggi, sebaliknya volume buih yang tinggi diperoleh dari putih telur dengan elastisitas rendah
.
Hal ini dikarenakan kandungan air pada putih telur lebih banyak dibandingkan dengan bagian lainnya sehingga penyimpanan putih telur tidak bisa bertahan lama (Romanoff and Romanoff, 1993).Semakin encer putih telur maka tirisan buih yang dihasilkan semakin tinggi (Silverside and Budgell, 2004). Kestabilan buih berbanding terbalik dengan tirisan buih. Kestabilan buih yang tinggi dicirikan oleh rendahnya tirisan buih dan kestabilan buih yang rendah dicirikan oleh
melewati kerabang tanpa ada yang menghalangi, sehingga penurunan kualitas dan kesegaran teur semakin cepat terjadi (Muchtadi dan Sugiyono, 1992).
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari praktikum teknologi hasil ternak lanjut ini dapat disimpulkan bahwa dari percobaan pada
1. Pada sampel bakso dimana hasil masak yang dengan persentase rendah dinyatakan bagus karena tidak kehilangan nutrisi pada daging, pada folding test semua sampel memilliki skor 5 dan pada daya mengikat air hasilnya ialah 30,865
2. Pada sampel telur I dan telur II yang diujikan bahwa daya buih diantara kedua sampel telur, telur II lebih tinggi dari telur II , stabilitas pada kedua sampel telur, telur I lebih tinggi dari telur II dan tirisan pada kedua sampel telur, telur I lebih rendah dari telur II. Ini dipengaruhi oleh lama penyimpanan pada telur. Ini dikarenakan kandungan air yang terdapat pad telur lebih banyak dibandingkan dengan putih telur.
5.2 Saran
Pada praktikum ini sebaiknya dilakukan dengan baik dan untuk praktikan sebaiknya saling membantu dalam mengerjakan praktikum ini.
DAFTAR PUSTAKA
Estévez-González, A., García-Sánchez, C., Boltes, A., García-Nonell, C., Rigau-Ratera, E., Otermín, P., Gironell, A., & Kulisevsky, J. (2003). Sustained attention in the preclinical phase of Alzheimer’s disease. Revista de Neurologia, 36(9), 829–832.
https://doi.org/10.33588/rn.3609.2002613
Farida, A., K. Effendi, dan Syahriadi. 2012. Kualitas Bakso Kelinci pada Kondisi Rigormortis yang Berbeda dengan Penambahan Tepung Kanji dan Tepung Sagu. Jurnal Sains dan Teknologi.12 (1): 277-286.
Hastings RJ, Keay JN, and Young KW.1990. The properties of surimi and kamaboko gels from nine British species of fish. International J. Food Sci and Tech. 25: 281-294
Hou, H., R. K. Singh, P. M. Muriana and W. J. Stadelmant. 1996. Pasteurization Of Intact Shell Egg. Food Microbiol. 13: 93 - 101
Kurniawan, I. 1991. Pengaruh penambahan asam atau garam asam terhadap daya dan kestabilan buih putih telur itik Tegal umur satu dan empat belas hari. SKRIPSI. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Lowe. 1995. Experimental cookery. 4. ed. New York: John Wiley & Sons, 1995. 573p
Montolalu S, N. Lontaan, S. Sakul, A. Dp. Mirah. 2013. Sifat Fisiko-Kimia dan Mutu Organoleptik Bakso Broiler dengan Menggunakan Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L).
Jurnal ZootekVol. 32(5), Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Muchtadi dan Sugiono. 1992. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Depdikbud Jendral Pendidikan PAU Pangan dan Gizi. Bogor: IPB
Nullah, L. N., Hafid, H., & Indi, A. (2016). Efek Bahan Filler Lokal Terhadap Kualitas Fisik Dan Kimia Bakso Ayam Petelur Afkir. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Peternakan Tropis, 3(2), 58.
Peranginangin, R. (2008). Teknologi Pengolahan Telur Ikan. Squalen Bulletin of Marine and Fisheries Postharvest and Biotechnology, 3(1), 24.https://doi.org/10.15578/squalen.v3i1.167
Romanoff, A. L and A. Romanoff. 1993. The Avian Egg. John Wiley and Sons Inc., New York Sahputra, D., Ferasyi, T. R., Ismail, I., Razali, R., Sulasmi, S., & Darmawi, D. (2016). ISOLASI
BAKTERI COCCUS GRAM POSITIF DI DALAM SUSU ULTRA HIGH TEMPERATURE (UHT) 6 DAN 3 BULAN MENJELANG KEDALUWARSA (Isolation of Gram-Positive Cocci Bacteria in Ultra High Temperature (UHT) Processed Milk at 6 and 3 Months Prior to Expiration). Jurnal Medika Veterinaria, 10(1), 48.
https://doi.org/10.21157/j.med.vet..v10i1.4038
Silverside F. G and K. Budgell. 2004. The effect of storage and strain of hen on egg quality. J.
Poultry Sci. 79: 1725- 1729
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 6; 152- 156; 289-290; 297–299.
Stadelman, W. F and O. J. Cotterill. 1997b . Egg Science and Technology. The AVI Publ., Co., Inc., Westport
Stadelman, W.J. O.J. Cotterill. 1995. Egg Science and Technology 4th Ed. Food Products Press.
An Imprint of The Haworth Press, Inc. New York.
Wibowo, C. H., Sudjatinah, M., & Sampurno, A. (2020). Perbandingan Sifat Fungsional Putih Telur Cair Pada Penyimpanan Selama 7 (Tujuh) Hari Dengan Dan Tanpa Penambahan Asam Benzoat. Jurnal Pengembangan Rekayasa Dan Teknologi, 16(1), 57.
https://doi.org/10.26623/jprt.v16i1.2441
Yadaf, A. S, E Shenga, dan R. P Singh,. 2010. Effect Of Pasteurization Of Shell Egg On Its Quality Characteristics Under Ambient Storage. J Food Sci Technol (JulyAugust 2010), 47 (4) : 420-425
Zamili, S., Hulu, M., & Sihombing, F. (2020). PEMBUATAN BAKSO DARI DAGING IKAN TONGKOL (Euthynnus Affinis) MAKING MEATBALLS FROM TUNA FISH (Euthynnus Affinis). CHEDS: Journal of Chemistry, 4(1), 14–18.
LAMPIRAN
Penimbangan Telur I Penimbangan Telur II
Penimbangan wadah Putih telur Penimbangan wadah Kuning telur
Pemisahan putih telur Pemisahan kuning telur
Penimbangan putih telur Penimbangan kuning telur
Pengukuran putih telur I Pengukuran putih telur II
Melakukan pengocokan dengan mixer pada putih telur
Busa/foaming yang sudah di mixer