LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL TERNAK (Teknologi Daging, Telur, Susu, dan Kulit)
Oleh:
Muhammad Naufal Shidqi 200110210312
Kelas E
LABORATORIUM TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN 2023
I
JUDUL PRAKTIKUM
1.1 Teknologi Daging, Mutu Mikrobiologi, dan Kerusakan Pangan 1.2 Teknologi dan Sifat Fungsional Telur
1.3 Teknologi Susu dan Mutu Inderawi 1.4 Teknologi Pengolahan Kulit
II
HASIL PENGAMATAN
2.1 Teknologi Daging, Mutu Mikrobiologi, dan Kerusakan Pangan 2.1.1 Mutu Fisik Daging
2 Pemotongan dan Perecahan Karkas (Ayam Tidak Dilelahkan) a. Berat Kaki, Kepala, dan Jeroan : 340 gram
b. Berat Karkas : 1105 gram
c. Persentase Karkas (Perhitungan) : 73,67 %
%𝑘𝑎𝑟𝑘𝑎𝑠 =𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑎𝑟𝑘𝑎𝑠
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 ℎ𝑖𝑑𝑢𝑝 𝑥100%
%𝑘𝑎𝑟𝑘𝑎𝑠 = 1105
1500𝑥73,67%
d. Parting
3 Keempukan Daging 5 x 2,5 x 1,5
- Hasil Pengukuran ke-1 : 2 mm/detik/gram - Hasil Pengukuran ke-2 : 50 mm/detik/gram
- Rataan Nilai Keempukan Daging :52,33 mm/detik/gram Cara perhitungan :
- Keempukan daging = = 55+51+51
3 = 52,33 mm/detik/gram 4 Susut Masak
a. Berat Sebelum Dimasak : 30 gram b. Berat Setelah Dimasak : 25 gram c. Susut Masak (Perhitungan) : 16,67 %
%𝑠𝑢𝑠𝑢𝑡 𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘 =𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑏𝑒𝑙𝑢𝑚 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘 − 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘
𝑥100%
%𝑠𝑢𝑠𝑢𝑡 𝑚𝑎𝑠𝑎𝑘 = 30 − 25
30 𝑥100% = 16,666 = 16,67%
5 Daya Ikat Air
a. Berat Sampel Daging : 0,3 gram b. Luas Area Total : 14,13 cm2 c. Luas Area Daging : 10,2 cm2 d. Area Basah (Perhitungan) : 3,925 cm2 e. Mg H2O
mg H2O : 3,925
0,0948− 8,0 = 33,4 f. DIA
DIA = 𝐾𝐴 % = 𝑚𝑔𝐻2𝑂
300 𝑥100%
60% =111,41
300 𝑥100%
% 𝐷𝐼𝐴 = 22, 86 2.2 Teknologi dan Sifat Fungsional Telur
2.2.1 Teknologi Telur 1. Kualitas Telur Segar
A. Uji Kualitas Eksterior
a. Warna Kerabang : TS 1 coklat : TS 2 coklat gelap
b. Bentuk : 84,05 (oval)
c. Shape index : TS1 76,98 : TS2 79,52
d. Panjang : 5,69 mm : 5,47 mm
e. Lebar : 44,8 mm : 4,35
f. Tekstur
- Hasil Perabaan : Normal, licin
- Kelas Mutu : AA
g. Keutuhan
- Hasil Pengamatan : Tidak retak, tidak pecah (utuh)
- Kelas Mutu : sound
h. Kebersihan
- Hasil Pengamatan : TS 1 noda kurang dari 1/16 : TS2 tidak ada noda
- Kelas Mutu : TS 1 B : TS 2 B. Uji Kualitas Interior
Sebelum Telur Dipecahkan a. Berat Telur
- Hasil Timbangan : 48g : 43g
- Kelas Mutu : TS1 Medium ; TS2 kecil/ peewee b. Rongga Udara
- Kedalaman : < 0,31 cm
- Kelas Mutu : AA
c. Kuning Telur (yolk)
- Hasil Pengamatan : Bayangan yolk tidak jelas
- Kelas Mutu : AA
Setelah Telur Dipecahkan
a. Tebal Kerabang : 0,94 mm : 0,93 mm b. Indeks Kuning Telur : 0,37 cm : 0,35 cm c. Indeks Putih Telur : 0,67 cm : 0,059 d. Haugh Unit (HU)
- Nilai HU : 81,5 : 80,7 - Kelas Mutu : AA
2. Kualitas Telur Segar Setelah Disimpan Satu Minggu pada Suhu Ruang A. Uji Kualitas Eksterior
a. Warna Kerabang : Coklat pucat b. Bentuk : 84,05 (oval)
c. Shape index : TD1 76,47 : TD2 76 d. Panjang : 5,61 mm : 5,75 mm e. Lebar : 4,29 mm : 4,37 f. Tekstur
- Hasil Perabaan : Normal, licin - Kelas Mutu : AA g. Keutuhan
- Hasil Pengamatan : Tidak retak, tidak pecah (utuh) - Kelas Mutu : sound
g. Kebersihan
- Hasil Pengamatan : Noda kurang dari 1/4 - Kelas Mutu : C
B. Uji Kualitas Interior Sebelum Telur Dipecahkan a. Berat Telur
- Hasil Timbangan : 42g : 47g - Kelas Mutu : Medium b. Rongga Udara
- Kedalaman : < 0,31 cm - Kelas Mutu : AA c. Kuning Telur (yolk)
d. Hasil Pengamatan : Bayangan yolk tidak jelas e. Kelas Mutu : AA
Setelah Telur Dipecahkan
a. Tebal Kerabang : 0,85 mm : 1,06 mm b. Indeks Kuning Telur : 0,31 cm : 0,34 cm c. Indeks Putih Telur : 0,056 cm : 0,051 d. Haugh Unit (HU)
e. Nilai HU : 79,7 : 67,9 f. Kelas Mutu : TD1 AA : TD2 A
2. Kualitas Telur Dengan Dipping (Minyak Kelapa) Setelah Disimpan Satu Minggu Pada Suhu Ruang
A. Uji Kualitas Eksterior
a. Warna Kerabang : Coklat terang
b. Shape index : TM1 73,74 : TM2 74,18 c. Bentuk : 84,05 (oval)
d. Panjang : 5,75 mm : 5,77 mm e. Lebar : 4,24 mm : 4,28 f. Tekstur
- Hasil Perabaan : Normal, licin - Kelas Mutu : AA
g. Keutuhan
- Hasil Pengamatan : Tidak retak, tidak pecah (utuh) - Kelas Mutu : sound
h. Kebersihan
- Hasil Pengamatan : Noda kurang dari 1/16 - Kelas Mutu : B
B. Uji Kualitas Interior Sebelum Telur Dipecahkan
a. Berat Telur
- Hasil Timbangan : 37g : 39g
- Kelas Mutu : TM1 kecil; TM2 kecil/ peewee b. Rongga Udara
- Kedalaman : < 0,31 cm - Kelas Mutu : AA c. Kuning Telur (yolk)
- Hasil Pengamatan : Bayangan yolk tidak jelas - Kelas Mutu : AA
Setelah Telur Dipecahkan
a. Tebal Kerabang : 0,96 mm : 0,97 mm b. Indeks Kuning Telur : 0,35 cm : 0,36 cm c. Indeks Putih Telur : 0,057 cm : 0,017 d. Haugh Unit (HU)
- Nilai HU : 79,1 : 53,8
Kualitas Telur
Lama
Penyimpanan
Daya Buih (%)
Kestabilan Buih (%)
Tirisan Buih (%)
Segar AA 7 4,16 99, 924 0, 076
Suhu Ruang AA 7 4,92 99, 946 0, 054
Minyak AA - 3,63 99, 9875 0, 0125
2.3 Teknologi Susu dan Mutu Inderawi 2.3.1 Penentuan Mutu Susu 1. Berat Jenis (BJ)
a. Suhu Susu : 16 oC
b. Skala Laktodensimeter : 1,035\
c. Perhitungan BJ : 1, 0327 2. Kadar Lemak (KL)
a. Skala Butirometer Gerber : 3,35 % b. Nilai KL (Lihat Tabel) : 5,50
3. Penentuan Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL) Fleischmann a. Kadar Lemak : 3,35 %
b. BJ : 1,0327
c. Nilai BKTL (Lihat Tabel) : 5,00 2.4 Keadaan Susu
Pengamatan Hasil
Uji fisik : 1) Warna 2) bau
1) Putih kekuningan 2) Normal
3) Manis asin
3) Rasa 4) Konsistensi
4) Normal Nilai uji fisik = 1
Uji kebersihan Bersih
Nilai uji kebersihan = 2
Uji alcohol Tidak ada butir-butir didinding Nilai uji alkohol = 1
Uji didih Tidak ada butir-butir didinding
Nilai uji didih = 1
Uji reductase Lebih dari 5 jam
Nilai reductase = 3
Derajat asam Ml NaOH yang digunakan untuk
titrasi = 1,5 mL Derajat asam :
= 1,5 mL x 4
= 6 Soxhlet Henkel
Nilai derajat asan (antara 4,5 – 7) = 2
Table Pembagianm Kelas Susu Menurut nilai
Kelas Nilai minimal
1 17,5
2 15,5
3 14,5
4 13,5
Keterangan : Nilai minimal dibawah 13,5 tidak diberikan kualifikasi (afkir) Kesimpulan untuk nilai susu :
Nilai susu = 19,25
Kesimpulan : Mutu susu sampel memenuhi standar SNI 2.5 Produk – Produk Olahan Susu
1. Yoghurt
Lakukan pengamatan terhadap cita rasa, warna dan penampakan yoghurt tersebut.
a. Warna : putih
b. Penampakan : cairan kental c. Konsistensi : homogen
d. Bau atau aroma : normal atau khas youghurt e. Rasa : asam atau khas
Sesuai : SNI-2981-2009 Pengamatan SNI 3141.1 :
2011
Hasil Pengamatan Nilai
Berat jenis (BJ) Minimal 1,0270 Suhu : 16 °𝐶
Skala Laktodensimeter : 1,035
BJ susu = 1,0327
4
Kadar lemak Minimal 3% 3,35% 5,5
Bahan kering (BK) 12,7%
Bahan Kering Tanpa Lemak (BKTL)
Minimal 7,8% 9,35% 5
Uji alcohol Negatif Negative
Derajat asam 6 - 7,5 6
2. Susu Pasteurisasi
Lakukan pengamatan terhadap cita rasa, bau, dan warna susu pasteurisasi tersebut.
a. Warna : khas/normal b. Bau : khas
c. Rasa : khas
(dilakukan secara organoleptic : SNI 3951 : 2018) 3. Susu Sterilisasi
Lakukan pengamatan terhadap cita rasa, bau, dan warna susu sterilisasi tersebut a. Warna : khas/normal
b. Bau : khas c. Rasa : khas
Sesuai : SNI 3950-2014 2.6 Mutu Indrawi
a. Warna
Panelis 463 394 158 792
1 3 3 4 4
2 4 6 2 4
3 5 4 4 4
4 2 5 3 4
5 2 5 3 4
6 6 5 5 4
7 6 5 5 5
8 4 3 4 5
9 4 4 5 5
10 2 3 2 5
11 4 3 2 4
12 5 4 5 4
13 4 5 4 3
14 5 2 4 3
15 5 2 4 5
16 5 6 4 5
17 5 6 4 4
18 3 4 4 5
19 4 4 5 2
20 3 5 5 4 b. Rasa
Panelis 107 296 315 792
1 4 5 4 5
2 4 5 3 3
3 5 5 4 6
4 3 5 4 5
5 6 5 5 6
6 5 6 4 4
7 6 6 2 5
8 4 4 3 3
9 5 6 6 5
10 3 4 3 4
11 5 5 5 5
12 4 5 4 5
13 5 4 4 6
14 5 4 3 6
15 6 5 5 4
16 6 4 4 6
17 4 4 4 4
18 6 3 3 5
19 4 6 6 5
20 5 3 3 4
c. Flavour/bau
Panelis 107 296 315 792
1 4 2 5 5
2 4 6 5 6
3 4 5 4 6
4 4 6 4 4
5 4 5 5 6
6 4 6 3 4
7 4 5 4 5
8 4 2 4 5
9 5 6 6 5
10 4 4 5 4
11 3 4 3 5
12 4 5 3 3
13 6 5 5 6
14 5 6 4 3
15 6 6 5 5
16 5 4 3 4
17 6 6 6 4
18 5 4 3 3
19 2 5 5 4
20 6 5 4 5
d. Total Penerimaan
Panelis 107 296 315 792
1 4 5 6 4
2 4 5 5 4
3 5 5 3 5
4 5 5 5 3
5 4 2 5 4
6 5 5 4 5
7 6 5 5 6
8 4 4 3 6
9 5 6 6 5
10 5 3 5 5
11 5 4 4 5
12 5 4 3 5
13 5 5 4 6
14 5 4 4 6
15 5 2 5 4
16 2 3 3 6
17 6 6 4 4
18 6 3 5 6
19 4 5 6 3
20 6 4 5 5
2.7 Teknologi Pengolahan Kulit
2.7.1 Pengukuran Kuantitas Kulit a. Berat Kulit : 5g
b. Tebal Kulit
- Croupon : 1,5 mm
- Kepala : 1,66 mm
- Perut : 1,14 mm
- Ekor : 2,65 mm
- Rata-rata Ketebalan Kulit : 1,73 mm c. Luas Kulit
- Panjang Kulit : 28,5 cm - Lebar Kulit : 16,5 cm
- Luas Kulit : 663,75 cm
• Prinsip : Kulit digarami dengan garam dapur (NaCl) atau garam klorin (NaCl + Na2SO4) dari kadar air 65% menjadi ± 30%. Metode penggaraman kering, timbang garam krosok ditimbang sebanyak 40-50% dari berat kulit yang akan digarami.
• Prosedur pengawetan kulit : metode penggaraman kering, yang pertama dilakukan adalah garam krosok ditimbang sebanyak 40-50% dari berat kulit yang akan digarami. Selanjutnya, dilakukan penggaraman secara merata pada permukaan kulit. Setelah merata, kulit dilipat dengan bagian dalam saling bertemu kemudian disimpan pada wadah. Yang perlu diperhatikan cairan yang terbentuk selama penyimpanan dibuang untuk menghindarri kebusukan. Kulit yang telah digarami dapat disimpan pada suhu ruang selama ± 1 bulan sebelum digunakan.
III
PEMBAHASAN
3.1 Teknologi Daging, Mutu Mikrobiologi, dan Kerusakan Pangan 3.1.1 Mutu Fisik Daging
Daging adalah serat daging/otot yang melekat pada tulang kerangka/skelet, kecuali daging bagian bibir, hidung, telinga, yang berasal dari ternak sehat sewaktu disembelih (Muctadi dan Sigiyono,1982). Praktikum Teknologi Daging memerlukan beberapa pengamatan, yaitu pemotongan dan perecahan karkas, keempukan daging, susut masak, dan daya ikat air.
Menurut Soeparno (2009) daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasil pengolahan dari jaringan tersebut yang sesuai untuk dapat dimakan juga tidak akan menyebabkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Menurut Koswara (2009) daging unggas merupakan sumber protein hewani yang baik, karena kandungan asam amino esensial yang relatif lengkap.
Serat dagingnya pendek dan lunak, sehingga mudah untuk dicerna. Jumlah kalori yang dihasilkan oleh daging unggas juga lebih rendah dibandingkan dengan nilai kalori daging sapi atau babi. Menurut (SNI 01-3924-2009) karkas ayam pedaging merupakan bagian dari ayam hidup, setelah dipotong, dihilangkan bulunya, dikeluarkan jeroan dan lemak abdominalnya, dipotong kepala, leher serta kedua kakinya (ceker). Persentase bobot karkas ayam broiler yang normal berkisar antara 65-75% dari bobot hidupnya (Mc Nitt, 1983).
Dalam praktikum ini melakukan 4 tahap perhitungan diantaranya pemotongan dan perencahan karkas, keempukan daging, susut masak dan daya ikat air. Dengan menggunakan daging ayam yang tidak dilelahkan.
Pada ayam yang tidak dilelahkan didapat hasil untuk pemotongan dan perecahan karkas yaitu bobot hidup 1,5 kg, berat darah 10 g, berat bulu 35 g, berat kaki, kepala dan jeroan 340 g, berat parting dada 410 g, paha atas 150 g, paha bawah 155 g, sayap 130 g, dan punggung 260 g, berat karkas ayamnya 1105 g dengan persentase karkas sebesar 73,67%. Untuk menghitung persen karkas dapat menggunakan rumus yaitu berat parting per bagian/berat karkas x 100%.
Pada susut masak, diketahui berat daging sebelum dimasak sebesar 30g, kemudian rebus sampel daging tersebut dengan memasukkannya ke dalam plastik, perebusan dilakukan selama 30 menit dengan suhu 90 derajat celcius. Lalu angkat dan dinginkan sampel pada suhu ruang selama ±30 menit. dan setelah dimasak beratnya menyusut menjadi 2 g, sehingga didapat hasil susut masak sebesar 16.67%. Menurut Soeparno (1992) dimana daging yang memiliki susut massak yang rendah memiliki kualitas daging yang lebih baik karena hal tersebut mengindikasikan bahwa semakin besar susut masak yang dihasilkan, maka akan semakin besar juga nutrisi yang hilang berdasarkan penyusutan daging pada saat diolah.
Keempukan daging merupakan hal yang paling penting pada penentuan kualitas daging. Keempukan daging yang didapatkan pada ayam yang tidak dilelahkan 49mm/detik/gram. Lama waktu pemasakan mempengaruhi keempukan daging/kealotan miofibrilar. Protein miofibrilar hampir mengalami koagulasi atau denaturasi sempurna pada suhu 60ºC, sehingga pemasakan pada suhu yang lebih tinggi dapat menyebabkan pengeringan.
Daya ikat air (Water Holding Capacity) menunjukan kemampuan daging untuk mengingat air bebas. Pada sel otot yang hidup, air memiliki peran yang penting dalam fungsi sel yaitu sebagai pelarut atau pembawa substansi, sebagai lubricant, komponen penting dalam banyak reaksi kimia dan mempertahankan turgiditas sel.
Perubahan yang terjadi pada daya ikat air selama konversi otot. Didapatkan hasil
untuk daya ikat air, luas area total sebesar14,13 cm², luas area daging sebesar 10,2 cm², luas area basah sebesar 3,925 cm², angka mg H2O sebesar 33,4 dan daya ikat air (DIA) sebesar 86%. Seperti yang dikemukakan oleh Soeparno (2009) Bahwa dalam menentukan daya ikat air terlihat pada banyaknya cairan yang keluar (drip) pada saat daging beku tersebut di thawing. Semakin tinggi cairan yang keluar dari daging menunjukkan bahwa nilai daya ikat air oleh protein daging tersebut semakin rendah.
3.1.2 Mutu Mikrobiologi Daging dan Kerusakan Pangan
Daging konsumsi hendaknya memiliki tingkat cemaran terhadap mikroba yang rendah sehingga dapat mencegah konsumen dari penularan penyakit food borne disease. Berdasarkan hasil perhitungan jumlah mikroorganisme yang tumbuh pada sampel daging ayam broiler dari pasar tradisional maupun daging segar, keduanya tidak memenuhi syarat maksimal kandungan mikroorganisme yang ditentukan oleh SNI. Jumlah maksimal koloni mikroorganisme yang ada pada daging menurut SNI berkisar 1 x 10⁶ cfu/ml . Jika dibandingkan dengan hasil pengamatan di atas maka koloni yang terdapat pada sampel yang diuji mengandung lebih banyak dibandingkan dengan jumlah normal yaitu 533,64 x 10⁶ cfu/ml.
Jumlah bakteri yang terdeteksi pada ayam broiler pasar tradisional maupun sampel daging segar memiliki jumlah bakteri yang jauh melebihi normal. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kontaminasi bakteri saat proses pemotongan maupun penanganannya yang kurang higienis dikarenakan penanganan yang kurang higienis. Pasar tradisional biasanya identik dengan tempat yang kotor, tidak teratur, dan daging ayam yang dijual biasanya diletakkan begitu saja tanpa ada alas sehingga memudahkan kontaminasi bakteri (Maulitasari, 2014).
Selain itu cemaran mikroba pada daging dapat berasal dari kontaminasi peralatan maupun pada tempat penanganan atau penjualan daging. Cemaran tersebut juga dapat berasal dari alat laboratorium yang kurang steril maupun proses pengerjaan yang kurang aseptis (Bolla, 2023). Banyaknya mikroba juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging meliputi temperatur, ketersediaan air, tekanan osmosis, pH, dan potensial oksidasi reduksi (Harijani et al., 2013).
Hasil uji kerusakan pangan menunjukkan negatif setelah 8 jam pengamatan dilihat dari warna coklat yang menjadi indikator kerusakan belum terbentuk. Hal tersebut terjadi karena waktu penyimpanan belum terlalu lama. Hal ini sesuai dengan pendapat Tamboss (2014), faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri pada daging adalah waktu, temperatur kelembaban, pH, dan komposisi lingkungan sekitar. Hasil uji negatif juga menandakan daging sampel disimpan di lingkungan dengan kondisi tidak mendukung bakteri untuk berkembang biak dengan cepat.
Daging ayam dinyatakan berkualitas baik apabila kandungan mikroba kontaminan tidak melebihi standar yang ditentukan. Kualitas daging yang baik umumnya dihasilkan dari rumah potong ayam (RPA) modern maupun tradisional yang menerapkan sanitasi dan higiene yang baik. Proses penyimpanan dan pendistribusian daging ayam yang tidak sesuai standar, menyebabkan terjadinya kontaminasi mikroba pada daging ayam (Sukmawati dkk., 2018; Bakara dkk., 2014). Kualitas dan keamanan pangan daging ayam telah diatur dalam SNI 3924:2009 untuk karkas dan daging ayam.
3.2 Teknologi dan Sifat Fungsional Telur A. Kualitas Eksterior Telur
Pada pengamatan dan uji eksterior telur, penilaian telur dilihat dari aspek warna kerabang, bentuk (Shape index), panjang, lebar, tekstur, keutuhan, dan kebersihan.
Objek praktikum yang diamati meliputi 6 telur dengan perlakuan dan kondisi yang berbeda, yaitu telur segar, telur yang telah di dipping oleh minyak kelapa, telur yang telah disimpan berumur 7 hari. Dari ketiga perlakuan yang berbeda pada telur, didapatkan hasil bahwa telur memiliki kualitas yang baik dan memiliki nilai mutu yang bagus. Telur tidak memiliki keretakan dan cukup bersih. Menurut Sudaryani (2000) bahwa kerabang telur dapat dilihat dari tekstur dan kehalusannya. Kualitas telur akan semakin baik jika tekstur kerabangnya halus dan keadaan kerabang utuh dan tidak retak.
B. Kualitas Interior Telur
Pada pengamatan dan uji interior telur, penilaian telur dilihat dari dua bagian, yaitu sebelum telur dipecahkan dan setelah telur dipecahkan. Bagian sebelum telur dipecahkan dilihat dari aspek berat telur, rongga udara, dan kuning telur (yolk).
Sedangkan bagian setelah telur dipecahkan dilihat dari aspek tebal kerabang, indeks kuning telur, indeks putih telur, dan haugh unit (HU). Dari ketiga perlakuan yang berbeda pada telur, didapatkan hasil bahwa setiap telur memiliki bobot 48 gram.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Sefton dan Siegel (1974), menyatakan bahwa standar bobot telur yaitu sekitar 55-65 gram. Selain itu, setiap bobot telur memiliki 3 kategori, yaitu ukuran kecil dengan nilai < 50 gram, sedang dengan nilai 50-60 gram, dan besar dengan nilai > 60 gram (Badan Standarisasi Nasional, 2008).
Selanjutnya, pada uji indeks kuning telur dengan perlakuan yang berbeda, didapatkan nilai YI yaitu 0,37 dan 0,35; 0,31 dan 0,34; 0,35 dan 0,36. Nilai indeks kuning telur normal adalah 0,33-0,50. Umumnya telur mempunyai indeks kuning telur 0,42. Makin lama telur disimpan, nilai indeks kuning telur makin kecil akibat migrasi air (Buckle, et al., 2007). Selain itu, menurut Badan Standarisasi Nasional (2008), nilai indeks kuning telur normal sesuai mutu, yaitu mutu I 0,458-0,521,
telur dengan perlakuan telur satu minggu pada suhu ruang dan perlakuan dipping (dicelupkan pada minyak kelapa) pada suhu ruang ini mengalami perubahan, yaitu putih telur menjadi encer. Menurut Samimi (1995), standar indeks putih telur yang baik memiliki nilai sekitar 0,09-0,12. Sedangkan dari Badan Standarisasi Nasional (2008), standar indeks putih telur sesuai mutu, yaitu mutu I 0,134-0,175, mutu II 0,092-0,133, dan mutu III 0,050-0,09. Untuk perlakuan telur segar, keadaan putih telur terbilang cukup baik karena masih sesuai dengan standar penilaian.
Berikutnya yaitu uji Haugh unit (HU). Telur segar, telur pada suhu ruang dan telur dengan perlakuan dipping minyak kelapa memiliki HU secara berturut-turut 79,1 dan 53,8 ; 81,5 dan 80,7; 79,7 dan 67,9. Jika berdasarkan SNI, Menurut SNI 01- 3926 2008 kesegaran telur dibedakan atas: a) Mutu I, memiliki nilai HU >72, b) Mutu II, memiliki nilai HU 62-72 dan c) Mutu III, memiliki nilai HU < 60. Telur segar berada pada mutu III, telur pada masa simpan 7 hari suhu ruang berada pada mutu III dan mutu I, telur dengan perlakuan dipping minyak kelapa berada pada mutu III.
Mengamati sifat-sifat fungsional telur dari aspek daya buih, persentase tirisan buih per jam, dan kestabilan buih per jam. Nilai yang didapatkan secara berturut- turut, yaitu 4 mL, 99%, dan 0,076. Pengocokan putih telur pada suhu ruang (28- 30°C) mudah menghasilkan busa daripada suhu rendah. Hal ini karena pada suhu tersebut putih dan kuning telur akan cepat mengalami pengenceran (Siregar dkk., 2012).
3.3 Teknologi Susu dan Mutu Inderawi 3.3.1 Teknologi Susu
Berdasarkan hasil praktikum, susunan susu menunjukkan susu yang diuji memiliki berat jenis sebesar 1,0327 g/ml, kadar lemak 5,50% dan kadar bahan kering tanpa lemak 5.00. Batas minimum SNI 3141-1: 2011 untuk BJ (berat jenis)
: 1.0327, KL (kadar lemak) 3,35%, BK (bahan kering) 12,7%, BKTL (bahan kering tanpa lemak) 9,35%. Menurut peternak dan petugas, ada perbedaan rata-rata nilai BJ, KL, BKTL, dan KP antara pemerahan pagi dan sore. Nilai rata-rata BJ dan BKTL pada pemerahan pagi hari lebih tinggi dibanding pemerahan sore.
Sebaliknya, nilai rata-rata KL dan KP justru lebih tinggi pada pemerahan sore dibanding pemerahan pagi hari. Perbedaan tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan temperatur saat pemerahan, perbedaan interval pemerahan, maupun perbedaan manajemen pemberian pakan.Terdapat perbedaan nilai hasil dari praktikum dengan standar SNI pada berat jenis yakni susu memiliki kandungan BJ dibawah standar minimum dari SNI.
Nilai BJ susu akan semakin tinggi apabila kadar BKTL di dalam susu semakin banyak, selaras Nurmayanti (2016). Kadar BKTL yang lebih tinggi pada pemerahan pagi pada penelitian Wasito (2017) dapat menyebabkan nilai BJ pada pemerahan pagi hari menjadi lebih tinggi. Sebaliknya, nilai KL akan menurunkan nilai BJ susu. Nilai KL yang lebih tinggi pada pemerahan sore hari juga menyebabkan nilai BJ susu pada pemerahan tersebut menjadi lebih rendah. Selain itu, penurunan berat jenis susu segar juga dapat terjadi karena mastitis. Mastitis dapat mengakibatkan kerusakan pada kelenjar ambing, sehingga terjadi penurunan kualitas dan kuantitas susu. Susu juga akan mengalami perubahan fisik menjadi sedikit lebih cair dibanding susu normal sehingga berat jenis susu akan turun.
Produksi enzim dari mikroorganisme seperti asam laktat, plasmin dan produk lain juga merubah dan merusak laktosa, protein, dan kandungan lainnya, sehingga konsentrasi BK dan BKTL turun. Penurunan BK dan BKTL akan menurunkan nilai BJ. Mastitis subklinis tidak dapat diamati perubahannya secara langsung baik pada susu maupun pada ambing, namun tetap menurunkan produksi susu dan merubah komposisinya.
Uji keadaan susu yang pertama dilakukan adalah uji fisik. Hasil uji fisik menunjukkan menunjukkan susu ada dalam keadaan fisik normal. Berdasarkan hasil uji kebersihan juga susu menunjukkan susu berada dalam kondisi bersih. Uji alkohol menunjukan susu memiliki nilai lebih dari 7 yang berarti memiliki nilai 0.
Sedangkan untuk uji didih tidak menunjukkan adanya butir-butir di dinding yang berarti susu ada dalam kondisi baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat (Soeparno dkk, 2011), apabila saat uji alkohol terbentuk gumpalan maka susu tersebut dalam keadaan tidak baik. Uji derajat asam menunjukkan hasil 6 °SH. Hal tersebut berarti susu Susu yang disimpan pada suhu kamar selama 4 jam dan 6 jam rata-rata derajat asamnya lebih tinggi dari 7,0°SH kemungkinan karena terjadinya kontaminasi dari luar dan kondisi susu cair itu sendiri serta pengaruh lingkungan. Kontaminasi dari luar bisa disebabkan karena pada proses pemerahan tidak higienis yaitu tangan pemerah dan ambing sapi yang tidak dicuci terlebih dahulu dan dibasuh dengan air hangat, serta wadah penampungan air susu yang tidak steril karena memakai botol bekas. Susu dalam ambing sapi sehat dapat mengandung 500 bakteri per mililiter susu dan jumlah ini akan meningkat apabila sapi dalam keadaan sakit. Dari jumlah ini terdapat bakteri-bakteri pembentuk asam laktat seperti Lactobacillus. Bakteri pembusuk asam laktat adalah Streptococcus thermophilus, Lactobacillus lactis, dan Lactobacillus thermophilus (Umar, dkk., 2014). Bakteri-bakteri tersebut termasuk dalam golongan bakteri asam laktat (BAL) yang secara normal berada dalam susu.
Hasil dari uji fisik menunjukkan warna yogurt, susu pasteurisasi dan susu sterilisasi berwarna putih, kekuningan. Bau aroma susu segar adalah khas bau susu karena adanya kandungan asam volatile dan lemak susu. Susu segar normal memiliki rasa agak manis karena kandungan laktosanya. Cita rasa susu berhubungan dengan keseimbangan rasa antara rasa manis akibat kandungan laktosa dan rasa asin dari kadar klorida.
3.3.2 Mutu Inderawi
Berdasarkan hasil praktikum pengujian susu diketahui perhitungan berat jenis susu yaitu 1,0327, kadar lemak susu sebesar 3,35% dengan angkat mutu 5,5. Bahan kering tanpa lemak (BKTL) memiliki kadar lemak sebesar 9,35% dengan nilai berat jenis 1,0327 dan nilai mutu BKTL adalah 5.
Hasil pengamatan uji kualitas susu didapatkan susu memiliki warna putih kekuningan, baunya normal, rasanya normal susu, konsistensinya normal, dan uji fisik didapatkan nilai 1. Kemudian dilakukan uji kebersihan didapatkan rincian keadaannya sedikit terdapat kotoran, nilai uji keadaannya 2. Dilakukan juga uji alkohol dan uji didih, didapatkan rincian keadaannya tidak ada butir-butir didinding, uji alkohol mendapatkan angka 1 dan rincian keadaan pada uji didih tidak ada butir-butir didinding, nilai uji didih mendapatkan angka 1. Uji reduktase dilakukan pengujian waktu reduktase dan nilai uji reduktase didapatkan hasil dengan waktu 4 jam lebih 2 menit dan mendapatkan nilai 2. Kemudian penetapan derajat asam dilakukan pengujian derajat asam dan nilai derajat asam, didapatkan mL NaOH yang digunakan sebesar 1,5L dan nilai derajat asam 12.
Pada analisis statistik terhadap pengaruh rasa susu terhadap tingkat kesukaan panelis, diujikan perhitungan dengan parameter warna, rasa, aroma, dan total penerimaan.
Susu adalah cairan berwarna putih, yang diperoleh dari pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya, yang dapat dimakan atau digunakan sebagai bahan pangan yang sehat, serta padanya tidak dikurangi komponennya atau ditambah bahan-bahan lain (Hadiwiyoto, 1994). Warna pada susu yang normal adalah warna putih kebiru-biruan hingga agak kuning kecoklatan. Bahan utama yang memberikan warna kuning pada susu adaah karoten dan riboflavin. Jenis sapi dan
analisis dengan parameter rasa, didapatkan hasil perhitungan bahwa perlakuan berbeda nyata karena F hitung > F tabel yaitu 1091,85 > 2,76. Rasa susu hampir tidak dapat diterangkan, tetapi yang jelas, menyenangkan dan agak manis Rasa manis ini berasal dari laktosa sedangkan rasa asin berasal dari klorida, sitrat dan garam-garam mineral lainnya (Buckle dkk,2009). Menurut Sudono dkk (2003), rasa susu yang dapat diterima oleh masyarakat umumnya rasa susu hasil olahan.
Sehingga rasa susu juga dipengaruhi langsung oleh tingkat kesukaan masyarakat yang mengonsumsinya. Rasa susu yang asam bisa berasal dari sapi penderita mastitis, serta susu tercemar bakteri setelah pemerahan atau bakteri normal yang mampu memfermentasi laktosa menjadi asam laktat (Ressang dan Nasution, 1982) Pada analisis dengan parameter aroma, didapatkan hasil perhitungan bahwa perlakuan berbeda nyata karena F hitung > F tabel yaitu 598.4 > 2.76. Hofman and Jorgensen (2008), menyatakan bahwa bau susu mudah berubah dari bau yang sedap menjadi yang tidak sedap. Bau ini dipengaruhi oleh sifat lemak susu yang mudah menyerap bau di sekitarnya. Demikian juga bahan pakan ternak sapi dapat merubah bau air susu.
Pada analisis dengan parameter total penerimaan, didapatkan hasil perhitungan bahwa perlakuan 5% F hitung > Ftabel, sehingga berbeda nyata.
3.4 Teknologi Pengolahan Kulit 3.4.1 Pengukuran Kuantitas Kulit
Kulit ternak merujuk pada bagian luar yang keras dan tebal yang melapisi tubuh hewan ternak, seperti sapi, kambing, domba, atau babi. Kulit ternak terdiri dari dua lapisan utama: epidermis (lapisan luar) dan dermis (lapisan dalam). Kulit ternak memiliki banyak aplikasi dalam industri manufaktur, termasuk dalam pembuatan
barang-barang seperti sepatu, tas, pakaian, dan perabotan (Merck Veterinary Manual, 2021). Kulit ternak juga digunakan dalam industri makanan sebagai bahan baku untuk produk seperti kulit pangsit atau kulit kerupuk.
Pada praktikum ini, dilakukan pengukuran kuantitas pada kulit kelinci. Dari hasil pengamatan yang tertera, diperoleh nilai berat, rataan ketebalan, serta luas kulit secara berturut-turut yakni 205,83 gram, 2,15 mm, dan 663,75 cm2. Berdasarkan pernyataan Marsudi dan Yunanto (2013), kuantitas terbaik pada kulit dapat diperoleh pada kondisi dimana perbandingan antara berat, tebal, dan luasnya seimbang. Selain itu, perbedaan tebal pada bagian croupon, leher, dan perut hanya sedikit dan bagian-bagian tersebut permukaannya merata serta kulit terasa padat atau lebih berisi.
Pengawetan kulit merupakan proses perlakuan yang bertujuan untuk memperpanjang umur dan mencegah pembusukan pada kulit hewan. Proses pengawetan kulit melibatkan penghilangan air dan protein serta perlindungan terhadap pertumbuhan mikroorganisme yang dapat menyebabkan pembusukan.
Dalam praktikum ini, terdapat dua metode pengawetan yang digunakan, yaitu metode penggaraman kering dan metode pickling (pengasaman).
Pengawetan dengan metode penggaraman kering merupakan salah satu metode tradisional yang digunakan untuk mengawetkan kulit . Dalam proses ini, kulit yang telah dikikis dari daging dan jaringan lainnya ditaburi dengan garam kering secara merata. Jumlah garam yang digunakan biasanya sebesar 50% dari berat kulit.
Garam bekerja menarik/menyerap air keluar dari kulit dan menciptakan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme. Selain metode penggaraman kering, metode pickling juga digunakan dalam praktikum ini.
Metode pickling adalah teknik pengawetan kulit yang menggunakan campuran
asam yang memiliki pH rendah selama beberapa waktu. Larutan asam ini membantu menghilangkan kotoran, lemak, dan protein berlebih dari kulit, sehingga menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Dari hasil pengamatan yang tertera, diperoleh nilai pH kulit yaitu 1. Berdasarkan pernyataan Fahidin dan Muchlis (1999), pH kulit yang sudah diawetkan dengan metode pickling adalah ± 2,5. Kulit pickle yang baik dipengaruhi oleh jumlah garam yang digunakan pada proses pembuatannya, bila garam yang digunakan terlalu banyak akan mengakibatkan permukaan yang tidak rata pada kulit jadi (leather) dan bila terlalu sedikit akan menyebabkan kulit pickle terasa licin lemas dan mulur akibat pembengkakkan (Purnomo, 1985) serta menyebabkan penyusutan ketebalan kulit dan pada akhirnya kulit akan berwarna putih, bertekstur lembut dan lemas (Purnomo dan Wazah, 1984).
IV
KESIMPULAN
4.1 Teknologi Daging, Mutu Mikrobiologi, dan Kerusakan Pangan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa ayam yang tidak dilelahkan memiliki kualitas daging yang baik karena daya ikat airnya tinggi.
Mutu mikrobiologi pada produk pangan hasil ternak merupakan hal yang sangat penting. Bahan pangan umumnya merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme. Mikroorganisme yang hidup dalam produk olahan dapat didasarkan atas sifat-sifatnya terhadap jenis media tumbuh untuk digunakan bagi metabolisme atau hasil fermentasinya. Mikroorganisme ini disebut mesophiles (mesophilic miccroorganisme) yang tumbuh paling baik pada suhu 20 – 25 oC sampai dengan 40 – 45 oC. Tingginya jumlah koloni bakteri pada ayam dapat disebabkan oleh beberapa faktor, baik intrinsik maupun ekstrinsik, sehingga ayam swalayan memiliki jumlah koloni bakteri yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayam pasar. Walaupun kedua ayam tersebut tidak sesuai dengan SNI, namun ayam pasar memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan ayam swalayan.
4.2 Teknologi dan Sifat Fungsional Telur
Objek praktikum yang diamati meliputi 6 telur dengan perlakuan dan kondisi yang berbeda, yaitu telur segar, telur yang telah di dipping oleh minyak kelapa, telur yang telah disimpan berumur 7 hari. Hasil pengujian kualitas eksterior bahwa semua telur memiliki kualitas eksterior yang baik dan memiliki nilai mutu yang bagus. Telur tidak memiliki keretakan dan cukup bersih. Kualitas Interior Telur Pada pengamatan dan uji interior telur, penilaian telur dilihat dari dua bagian, yaitu sebelum telur dipecahkan dan setelah telur dipecahkan. Kemudian, pada uji indeks putih telur dengan perlakuan
telur satu minggu pada suhu ruang dan perlakuan dipping (dicelupkan pada minyak kelapa) pada suhu ruang ini mengalami perubahan, yaitu putih telur menjadi encer.
Telur segar, telur pada suhu ruang dan telur dengan perlakuan dipping minyak kelapa memiliki HU secara berturut-turut 79,1 dan 53,8 ; 81,5 dan 80,7; 79,7 dan 67,9. Telur segar berada pada mutu III, telur pada masa simpan 7 hari suhu ruang berada pada mutu III dan mutu I, telur dengan perlakuan dipping minyak kelapa berada pada mutu III.
Perlakuan dan lama penyimpanan akan berpengaruh terhadap indeks putih dan kuning telur. Telur yang disimpan selama seminggu dan telur yang dicelupkan pada minyak kelapa indeks yolk nya akan menurun selain itu putih telurnya akan lebih encer dibandingkan dengan telur segar. Untuk perlakuan telur segar, keadaan putih dan kuning telur terbilang cukup baik karena belum disimpan lama.
4.3 Teknologi Susu dan Mutu Inderawi
Dari hasil praktikum, susu yang diuji memiliki kualitas yang kurang baik. Dapat dilihat dari berat jenisnya yang masih berada dibawah nilai minimum dari SNI, dan kandungan BK dan BKTLnya yang cukup, warnanya kekuningan. Begitupun dengan hasil uji alkohol, uji kebersihan, uji didih, dan uji reduktasenya juga dapat dikatakan baik sedangkan untuk uji derajat keasaman melebihi standar yang telah ditetapkan.
Dari hasil praktikum yang telah dilaksanakan, susu diuji analisis statistik dengan parameter warna, rasa, aroma, dan total penerimaan. Hasil analisis statistik parameter warna menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata, hasil analisis statistik parameter rasa menunjukkan perlakuan berbeda nyata, hasil analisis statistik parameter aroma menunjukkan perlakuan berbeda nyata, dan hasil analisis statistik parameter total penerimaan menunjukkan perlakuan berbeda nyata. Hasil menunjukkan bahwa analisis statistik susu semua parameter berbeda nyata kecuali parameter warna.
4.4 Teknologi Pengolahan Kulit
Dari praktikum yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa objek pengamatan memiliki berat, ketebalan dan luas permukaan secara berturut-turut 205,83 gram, 2,15 mm, dan 663,75 cm2. Kuantitas terbaik pada kulit dapat diperoleh pada kondisi dimana perbandingan antara berat, tebal, dan luasnya seimbang. Selain itu, perbedaan tebal pada bagian croupon, leher, dan perut hanya sedikit dan bagian-bagian tersebut permukaannya merata serta kulit terasa padat atau lebih berisi.
Selain pengukuran, dua metode pengawetan juga dilaksanakan dalam praktikum ini yakni metode pengawetan dengan penggaraman kering dan pickling. Metode penggaraman kering adalah teknik pengawetan kulit tradisional dimana kulit akan ditaburi garam kering secara merata. Metode pickling dilakukan dengan cara merendam kulit kedalam larutan asam yang akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
DAFTAR PUSTAKA
Bajpai, S. K., et al. (2019). Impact of Pickling Parameters on the Physical and Chemical
Buckle KA, RA Edwarda, G.H. F T, M. Woolton. 2009. Ilmu Pangan. Jakarta Universitas Indonesia
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleedrds, dan M. Wooton. 2007. Ilmu Pangan.
Edition. The Howart Press, Inc. USA.
Epaarachchi, A. M., et al. (2020). The Influence of Pickling and Basification on the Leather
Fahidin., & Muchlis. (1999). Ilmu dan Teknologi Kulit. Diktat. Bogor: Fakultas Teknologi
Hadiwiyoto, S. 1994. Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Yogyakarta: Liberty.
Hafez, E.S.E., dan Hafez, B. (2013). Anatomy and Histology of the Skin. Dalam Hafez, E.S.E.
Hal. 1, 227, 228, 289, 290, 300.
Hamdani, A. (2019). Metode Pengawetan Kulit Ikan Kering dalam Penyamakan Kulit Ikan.
Harijani N, Rahadi USE, Nazar DS. 2013. Isolasi Escherichia coli pada daging yang diperoleh dari beberapa pasar tradisional di Surabaya Selatan. Vet. Med. 6(1):
39-44
Jurnal Penyamakan Kulit, 16(1): 12-18.
Koswara, S. 2009. Teknologi Praktis Pengolahan Daging. 1–24.
Lawrie, R. A. 2003. Ilmu Daging. Universitas Indonesia. Jakarta .
Marsudi dan Yunanto, D. 2013. Produk Kulit Non Alas Kaki dan Non Busana.
Direktorat
Merck Veterinary Manual. (2021). Skin of Domestic Animals.
Nababan, M., Suada, I. K., & Swacita, I. B. N. (2015). Kualitas susu segar pada penyimpanan suhu ruang ditinjau dari uji alkohol, derajat keasaman dan angka katalase. Indonesia Medicus Veterinus, 4(4), 374-382.
Nurmayanti 2016. Komposisi Susu Segar dari Sapi Perah Penderita Mastitis Subklinis di Peternakan KUNAK Kabupaten Bogor. Skripsi Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Pembinaan SMK 2013.
Pertanian IPB. 7-21, 29, 102-104.
Properties of Leather. Journal of the Society of Leather Technologists and Chemists, 103(5): 167-172.
Purnawijayanti. 2001. Penelitian Penanganan pada Daging. Universitas Negeri Malang. Malang.
Purnomo, E. (1985). Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Yogyakarta:
Akademi
Purnomo, E., & Wazah. (1984). Teknologi Penyamakan Kulit. Ed 2. Yogyakarta:
Akademi
Quality Produced by Modern Synthetic Tanning Agents. Journal of the Society of Leather Technologists and Chemists, 104(2): 70-77.
Ressang, A. A, dan A. M. Nasution. (1982). Ilmu Kesehatan Susu (Milk Hygiene). Edisi ke-2 Institut Pertanian Bogor.
Samimi, M. H. dan Ball, H. R. 1995. Quality Assurance Egg Science and Technology 4th
Sefton, A. E. and Siegel. 1974. Inheritance of Body Weight In Japanse Quail. Poultry.
Sci 53:
Soeparno. 1992. Ilmu Teknologi Daging. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Press, Yogyakarta
Soeparno. 2009. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gajah Mada Press.
Yogyakarta.
Sudono. A., R.D. Rosdiana, dan B.S. Setiawan. (2003). Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Cetakan I. Penerbit PT. Agromedia Pustaka. Bogor.
Teknologi Kulit. 18-19.
Teknologi Kulit. 55-59.
Terjemahan Hari Purnomo dan Adiono. UI Press. Jakarta.