LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA Ny. I DENGAN TINDAKAN OPERASI SECTIO CAESAREA TEKNIK SPINAL ANESTESI
DI RUANG IBS RSUD 45 KUNINGAN
Disusun Oleh : Nama : Era Marshanda NIM : 200106047
Mengetahui,
Pembimbin Akademik
( ……… )
Pembimbing Klinik
( ……… )
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA 2023
A. Definisi Sectio Caesarea
Persalinan sectio caesarea adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan dengan dilakukan insisi pada dinding perut dan rahim, dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin diatas 500 gram (Prawirohardjo, 2010).
Sectio caesarea merupakan suatu tindakan pengeluaran janin dan plasenta melalui tindakan insisi pada dinding perut dan dinding rahim dalam keadaan utuh (Ratnawati, 2016).
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding perut (Hartanti, 2014). Sectio caesarea adalah suatu pembedahan guna melahirkan anak lewat insisi pada pada dinding abdomen dan uterus (Hartanti, 2014).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sectio caesarea merupakan salah satu cara persalinan, yang mana janin dikeluarkan dengan dilakukan insisi pada dinding abdomen dan dinding uterus, dengan syarat berat janin diatas 500 gram dan rahim utuh.
B. Tipe-Tipe Sectio Caesarea
Tipe-Tipe sectio caesarea menurut (Prawirohardjo 2010), antara lain:
a. Sectio caesarea klasik, yaitu pembedahan secara sanger
b. Sectio caesarea transperitoneal profunda (supra cervicalis = lower segmen caesarean section)
c. Sectio caesarea diikuti dengan histerektomi (caesarean hysterectomy = seksio histerektomi)
d. Sectio caesarea ekstraperitoneal e. Sectio caesarea vaginal
Tipe-tipe sectio caesarea menurut Hartanti (2014), yaitu diantaranya:
a. Segmen bawah: insisi melintang
Sectio caesarea tipe ini memungkinkan abdomen dibuka dan uterus disingkapkan.
Lipatan vesicouterina (bladder flap) yang terletak dengan sambungan segmen atas dan bawah uterus ditentukan dan disayat melintang, lipatan ini dilepaskan dari
segmen bawah dan bersama-sama kandung kemih didorong kebawah serta ditarik agar tidak menutupi lapang pandang.
Keuntungan :
1. Insisinya ada pada segmen bawah uterus.
2. Otot tidak dipotong tetapi dipisah kesamping, cara ini mengurangi perdarahan.
3. Insisi jarang terjadi sampai plasenta.
4. Kepala janin biasanya dibawah insisi dan mudah diekstraksi .
5. Lapisan otot yang tipis dari segmen bawah rahim lebih mudah dirapatkan kembali dibanding segmen atas yang tebal.
Kerugian :
1. Jika insisi terlampau jauh ke lateral, seperti pada kasus bayi besar.
2. Prosedur ini tidak dianjurkan jika terdapat abnormalitas pada segmen bawah.
3. Apabila segmen bawah belum terbentuk dengan baik, pembedahan melintang sukar dilakukan.
4. Terkadang vesika urinaria melekat pada jaringan cicatrix yang terjadi sebelumnya sehingga vesika urinaria dapat terluka.
b. Segmen bawah : insisi membujur
Insisi membujur dibuat dengan skalpel dan dilebarkan dengan gunting tumpul untuk menghindari cedera pada bayi. Keuntungan tipe ini yaitu dapat memperlebar insisi keatas apabila bayi besar, pembentukan segmen bawah tidak baik, terdapat malposisi janin seperti letak lintang atau adanya anomali janin seperti kehamilan kembar yang menyatu. Kerugiannya adalah perdarahan dari tepi sayatan yang lebih banyak karena terpotongnya otot.
c. Sectio Caesarea Klasik
Insisi longitudinal di garis tengah dibuat dengan skalpel kedalam dinding anterior uterus dan dilebarkan keatas serta kebawah dengan gunting berujung tumpul.
Indikasi.
1. Kesulitan dalam menyingkapkan segmen bawah yaitu adanya pembuluh- pembuluh darah besar pada dinding anterior, vesika urinaria yang letaknya tinggi dan melekat, serta mioma segmen bawah.
2. Bayi yang tercekam pada letak lintang.
3. Beberapa kasus plasenta previa anterior.
4. Malformasi uterus tertentu.
Kerugian :
1. Miometrium harus dipotong, sinus-sinus yang lebar dibuka, dan perdarahannya banyak.
2. Bayi sering diekstraksi dari bokong terlebih dahulu, sehingga kemungkinan aspirasi cairan ketuban lebih besar.
3. Apabila plasenta melekat pada dinding depan uterus, insisi akan memotongnya dan akan kehilangan darah dari sirkulasi janin yang berbahaya.
4. Insidensi pelekatan isi abdomen pada luka jahitan uterus lebih tinggi.
5. Insiden ruptur uteri pada kehamilan berikutnya lebih tinggi d. Sectio Caesarea Ekstraperitonial
Pembedahan ini dilakukan guna untuk menghindari perlunya histerektomi pada kasus-kasus yang mengalami infeksi luas dengan mencegah peritonitis generalisata yang sering berakibat fatal. Teknik pada prosedur ini relatif sulit, sering tanpa sengaja masuk kedalam kavum peritonei dan insidensi cedera vesika urinaria meningkat.
e. Histerektomi Caesarea
Pembedahan ini merupakan sectio caesarea yang dilanjutkan dengan pengeluaran uterus.
Indikasi :
1. Perdarahan akibat atonia uteri setelah terapi konservatif gagal.
2. Perdarahan yang tidak dapat dikendalikan pada kasus-kasus plasenta previa dan abruptioplasenta tertentu.
3. Pada kasus-kasus tertentu kanker serviks atau ovarium.
4. Ruptur uteri yang tidak dapat diperbaiki.
5. Cicatrix yang menimbulkan cacat pada uterus.
Komplikasi :
1. Angka morbiditas sebesar 20%.
2. Lebih banyak kehilangan darah.
3. Kerusakan pada traktus urinarius dan usus termasuk pembentukan fistula.
4. Trauma psikologis akibat hilangnya uterus.
C. Indikasi
Indikasi dilakukannya sectio caesarea menurut Prawirohardjo (2010), yaitu sebagai berikut:
a. Indikasi Ibu
1. Panggul sempit absolut
2. Tumor-tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi 3. Stenosis serviks/vagina
4. Plasenta previa
5. Disproporsi sefalopelvik 6. Ruptura uteri membakar
b. Indikasi Janin 1. Kelainan letak 2. Gawat janin
Pada umumnya sectio caesarea tidak dilakukan pada : 1. Janin mati
2. Syok, anemia berat, sebelum diatasi 3. Kelainan kongenital berat (monster)
D. Patofisiologi Sectio Caesarea
Kelainan/hambatan pada proses persalinan yang dapat menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal/spontan, misalnya plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi sefalopelvik, ruptur uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-eklamasi, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea (Prawirohardjo, 2010).
Proses operasi sebelumnya dilakukan tindakan anestesi yang akan menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah hambatan mobilitas fisik. Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah defisit perawatan diri (Prawirohardjo, 2010).
Proses pembedahan dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya jaringan, pembuluh darah, dan saraf-saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan
menimbulkan masalah nyeri dan terdapat luka post operasi, yang mana bila tidak dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah resiko infeksi (Prawirohardjo, 2010).
E. Pathways Sectio Caesarea
Pathways Sectio Caesarea (Prawirohardjo, 2010)
F. Komplikasi Sectio Caesarea
Komplikasi yang timbul akibat dilakukannya tindakan sectio caesarea menurut (Khasanah, 2014) antara lain :
a. Komplikasi pada Ibu 1. Infeksi luka insisi 2. Perdarahan
3. Luka kandung kemih b. Komplikasi pada Janin
1. Kematian perinatal
2. Hipoksia janin
G. Perawatan Post Sectio Caesarea
Pasien pasca operasi perlu mendapatkan perawatan sebagai berikut menurut Hartanti (2014):
a. Ruang Pemulihan
Pasien dipantau dengan cermat di ruang pemulihan, meliputi jumlah perdarahan dari vagina dan dilakukan palpasi fundus uteri untuk memastikan bahwa uterus berkontraksi dengan kuat. Selain itu, pemberian cairan intravena juga dibutuhkan.
Kebutuhan akan cairan intravena termasuk darah sangat bervariasi. Wanita dengan berat badan rata-rata dengan hematokrit kurang dari atau sama dengan 30 dan volume darah serta cairan ekstraseluler yang normal umumnya dapat mentoleransi kehilangan darah sampai 2000ml.
b. Ruang Perawatan
Beberapa prosedur yang dilakukan di ruang perawatan adalah : 1. Monitor tanda-tanda vital
Tanda-tanda vital yang perlu di evaluasi adalah tekanan darah, nadi, jumlah urin, jumlah perdarahan, status fundus uteri, dan suhu tubuh.
2. Analgesik
Pasien dengan berat badan rata-rata, dapat diberikan paling banyak setiap 3 jam untuk menghilangkan nyeri, sedangkan pasien yang menggunakan opioid, harus diberikan pemeriksaan rutin tiap jam untuk memantau respirasi, sedasi, dan skor nyeri selama pemberian dan sekurangnya 2 jam setelah penghentian pengobatan.
3. Terapi cairan dan makanan
Pemberian cairan intravena, pada umumnya mendapatkan 3 liter cairan memadai untuk 24 jam pertama setelah tindakan, namun apabila pengeluaran urin turun, dibawah 30ml/jam, wanita tersebut harus segera dinilai kembali.
4. Pengawasan fungsi vesika urinaria dan usus
Kateter vesika urinaria umumnya dapat dilepas dalam waktu 12 jam setelah operasi atau keesokan pagi setelah pembedahan dan pemberian makanan padat bisa diberikan setelah 8 jam, bila tidak ada komplikasi.
5. Ambulasi
Mobilisasi pada klien post operasi menurut (Manuaba et al. 2009) dilakukan secara bertahap meliputi :
a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi.
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini mungkin setelah sadar.
c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk (semifowler).
e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke-5 pasca operasi.
6. Perawatan luka
Luka insisi diperiksa setiap hari dan jahitan kulit (atau klip) pada hari keempat setelah pembedahan. Pada hari ketiga pasca persalinan, mandi dengan pancuran tidak membahayakan luka insisi.
Fase – fase penyembuhan luka post operasi menurut (Kozier et al. 2010) ada 3 (tiga) tahap, diantaranya :
a. Fase I (Fase Peradangan)
Fase peradangan berlangsung selama 3 sampai 4 hari, setelah pembedahan.
Pada fase ini terjadi penumpukan, benang – benang fibrin dan membentuk gumpalan yang mengisi luka dan pembuluh darah yang terputus. Leukosit mulai mencerna bakteri dan jaringan yang rusak.
b. Fase II (Fase Proliferasi)
Fase Proliferasi (tahapan pertumbuhan sel dengan cepat) berlangsung 3-21 hari setelah pembedahan. Leukosit mulai berkurang dan luka berisi kolagen.
Kolagen terus menumpuk dan menekan pembuluh darah, sehingga suplai darah ke daerah luka mulai berkurang. Luka akan tertutup dengan dibantu pembentukan jaringan – jaringan fibrinous.
c. Fase III (Fase Maturasi)
Biasanya dimulai pada hari ke – 21 dan mucul setengah tahun setelah perlukaan. Kolagen ditimbun dan luka semakin kecil atau mengecil, tegang, jaringan elastis berkurang, timbul garis putih.
7. Pemeriksaan laboratorium
Hematokrit diukur setiap pagi hari setelah pembedahan. Pemeriksaan ini dilakukan lebih dini apabila terdapat kehilangan darah yang banyak selama operasi atau terjadi oliguria atau tanda-tanda lain yang mengisyaratkan hipovolemia.
8. Menyusui
Menyusui dapat dimulai pada hari pasca operasi sectio caesarea.
9. Pencegahan infeksi pasca operasi
Morbiditas demam cukup sering dijumpai setelah sectio caesarea. Infeksi panggul pasca operasi merupakan penyebab tersering dari demam dan tetap terjadi pada sekitar 20% wanita walaupun telah diberi antibiotik profilaksis.
DAFTAR PUSTAKA
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT. Bina Pustaka.
Ratnawati, Agustina Dwi. 2016. Analisis Asuhan Keperawatan Pemberian Teknik Relaksasi Benson Pada Ibu Post Sectio Caesarea Dengan Masalah Nyeri Akut Di Ruang
Flamboyan Rumah Sakit Prof. Margono Soekarjo Purwokerto. Karya Ilmiah Akhir Ners.
Diakses tanggal 11 April 2018. <http://
http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/36/1/AGUSTINA%20DWI%20RATNAWATI
%20NIM.%20A31500816.compressed.pdf>
Hartanti, Septi. 2014. Asuhan Keperawatan Pada Ny. M Dengan Post Sectio Caesarea Hari Ke- 1 Atas Indikasi Disproporsi Cefalopelvic Di Ruang Bougenvil Di RSUD Dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga. Diploma thesis, Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Diakses tanggal 29 Mei 2018. <http://repository.ump.ac.id/2643/>
Khasanah, Rafikatul. 2014. Asuhan Keperawatan Pada Ny. R Dengan Post SC Atas Indikasi Janin Letak Sungsang Di Ruang Dewi Kunthi RSUD Kota Semarang. Diakses tanggal 10 Mei 2018. <http://repository.unissula.ac.id/1517/3/Rafikatul%20Khasanah
%20%2089.331.61374.pdf>
BKKBN, 2012, Pedoman Pelayanan Keluarga berencana Pasca Persalinan, Jakarta, BKKBN.
Bobak, 2005, Rencana Asuhan Keperawatan Maternitas, Jakarta, EGC.
Doengoes, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta : EGC.
Nanda. 2005. Diagnosis Keperawatan Nanda: Definisi & Klasifikasi 2005-2006. Jakarta : prima Medika.
Prawirohardjo, S, 2003, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi, Jakarta, Yayasan Bina Pustaka.