• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah 014

N/A
N/A
Wandi Andi

Academic year: 2025

Membagikan "makalah 014"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

PATOFISIOLOGI, FARMAKOLOGI DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI RISIKO TINGGI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN

DASAR MANUSIA DALAM KONTEKS KELUARGA Dosen Pengampu :

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2 SUWANDI : P23025 ELSA ALIA : P23004 SITTI NUR ANISA ARWIS :P23023 A NITA : P23001

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA GENERASI POLEWALI MANDAR PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

TAHUN AKADEMIK 2024/2025

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul "Patofisiologi, Farmakologi dan Asuhan Keperawatan pada Bayi Risiko Tinggi dan Dampaknya terhadap Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia dalam Konteks Keluarga" dapat diselesaikan dengan baik.

Bayi risiko tinggi merupakan kondisi yang memerlukan perhatian khusus dalam pelayanan kesehatan. Pemahaman yang komprehensif mengenai patofisiologi, farmakologi, dan asuhan keperawatan pada kondisi seperti prematuritas, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), Respiratory Distress Syndrome (RDS), asfiksia, dan hiperbilirubinemia sangat penting bagi tenaga kesehatan, khususnya perawat dalam memberikan pelayanan yang optimal.

Makalah ini disusun sebagai upaya untuk memberikan pemahaman yang mendalam mengenai lima kondisi utama pada bayi risiko tinggi, serta dampaknya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam konteks keluarga. Diharapkan makalah ini dapat menjadi referensi yang bermanfaat bagi mahasiswa keperawatan, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang.

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penulisan ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Bayi Risiko Tinggi ... 4

B. Kebutuhan Dasar Manusia dalam Konteks Keluarga ... 5

C. Peran Keluarga dalam Perawatan Bayi Risiko Tinggi ... 6

BAB III PEMBAHASAN A. Prematuritas ... 7

1. Patofisiologi ... 7

2. Farmakologi ... 8

3. Asuhan Keperawatan ... 9

4. Dampak terhadap Kebutuhan Dasar Manusia ... 10

B. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ... 11

1. Patofisiologi ... 11

2. Farmakologi ... 12

3. Asuhan Keperawatan ... 13

4. Dampak terhadap Kebutuhan Dasar Manusia ... 14

C. Respiratory Distress Syndrome (RDS) ... 15

1. Patofisiologi ... 15

2. Farmakologi ... 16

3. Asuhan Keperawatan ... 17

4. Dampak terhadap Kebutuhan Dasar Manusia ... 18

D. Asfiksia ... 19

1. Patofisiologi ... 19

2. Farmakologi ... 20

3. Asuhan Keperawatan ... 21

4. Dampak terhadap Kebutuhan Dasar Manusia ... 22

E. Hiperbilirubinemia ... 23

(4)

1. Patofisiologi ... 23

2. Farmakologi ... 24

3. Asuhan Keperawatan ... 25

4. Dampak terhadap Kebutuhan Dasar Manusia ... 26

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 27

B. Saran ... 28

DAFTAR PUSTAKA ... 29

(5)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Angka kematian bayi (AKB) merupakan salah satu indikator penting dalam menilai derajat kesehatan suatu negara. Menurut data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, AKB di Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap tingginya AKB adalah kondisi bayi risiko tinggi yang meliputi prematuritas, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), Respiratory Distress Syndrome (RDS), asfiksia, dan hiperbilirubinemia (Kemenkes RI, 2020).

Bayi risiko tinggi adalah bayi yang memiliki kemungkinan besar mengalami kematian atau kecacatan selama periode perinatal atau dalam tahun pertama kehidupannya. Kondisi ini memerlukan penanganan khusus dan komprehensif yang melibatkan tim multidisiplin, termasuk perawat sebagai tenaga kesehatan yang berperan penting dalam memberikan asuhan keperawatan secara berkelanjutan (Sudarti & Fauziah, 2019).

Pemahaman yang mendalam mengenai patofisiologi setiap kondisi bayi risiko tinggi sangat penting untuk dapat memberikan intervensi yang tepat. Selain itu, pengetahuan tentang farmakologi pada neonatus juga diperlukan mengingat karakteristik farmakokinetik dan farmakodinamik obat pada bayi berbeda dengan dewasa. Hal ini berkaitan dengan immaturitas organ-organ tubuh bayi, terutama hati dan ginjal yang berperan dalam metabolisme dan ekskresi obat (Hockenberry & Wilson, 2018).

Asuhan keperawatan pada bayi risiko tinggi tidak hanya berfokus pada aspek fisik bayi, tetapi juga harus mempertimbangkan dampaknya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam konteks keluarga. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam proses perawatan dan pemulihan bayi. Kondisi bayi risiko tinggi dapat menimbulkan stres pada keluarga dan mempengaruhi dinamika keluarga secara keseluruhan (Nursalam et al., 2020).

Teori kebutuhan dasar manusia menurut Abraham Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan yang harus dipenuhi, dimulai dari kebutuhan fisiologis, keamanan, kasih sayang, harga diri, dan aktualisasi diri. Pada bayi risiko tinggi, pemenuhan kebutuhan dasar ini dapat terganggu akibat kondisi patologis yang dialami, sehingga memerlukan intervensi khusus dari tenaga kesehatan dan dukungan keluarga (Potter & Perry, 2017).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Bagaimana patofisiologi prematuritas, BBLR, RDS, asfiksia, dan hiperbilirubinemia pada bayi?

2. Bagaimana prinsip farmakologi dalam penanganan bayi risiko tinggi?

(6)

3. Bagaimana asuhan keperawatan yang tepat untuk bayi dengan kondisi prematuritas, BBLR, RDS, asfiksia, dan hiperbilirubinemia?

4. Bagaimana dampak kondisi bayi risiko tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam konteks keluarga?

5. Bagaimana peran keluarga dalam mendukung perawatan bayi risiko tinggi?

C. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum

Menjelaskan patofisiologi, farmakologi, dan asuhan keperawatan pada bayi risiko tinggi serta dampaknya terhadap pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam konteks keluarga.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis patofisiologi prematuritas, BBLR, RDS, asfiksia, dan hiperbilirubinemia pada bayi

b. Menjelaskan prinsip farmakologi dalam penanganan bayi risiko tinggi

c. Merumuskan asuhan keperawatan yang tepat untuk setiap kondisi bayi risiko tinggi d. Mengidentifikasi dampak kondisi bayi risiko tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan

dasar manusia dalam konteks keluarga

e. Menjelaskan peran keluarga dalam mendukung perawatan bayi risiko tinggi

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Bayi Risiko Tinggi

Bayi risiko tinggi adalah bayi yang memiliki kemungkinan besar mengalami morbiditas dan mortalitas yang tinggi selama periode perinatal hingga tahun pertama kehidupan. Definisi ini mencakup bayi yang lahir dengan kondisi yang dapat mengancam kelangsungan hidupnya atau menyebabkan gangguan tumbuh kembang jangka panjang (Sudarti & Fauziah, 2019).

Menurut Hockenberry & Wilson (2018), bayi risiko tinggi dapat dikategorikan berdasarkan beberapa faktor, yaitu:

1. Faktor Prenatal

Faktor prenatal yang dapat menyebabkan bayi berisiko tinggi meliputi kondisi ibu selama kehamilan seperti diabetes mellitus, hipertensi, infeksi TORCH, malnutrisi, dan penggunaan obat-obatan tertentu. Faktor genetik dan kromosomal juga berperan dalam menentukan risiko bayi.

2. Faktor Intranatal

Faktor yang terjadi selama proses persalinan seperti persalinan lama, persalinan dengan tindakan, kelahiran sungsang, dan komplikasi tali pusat dapat meningkatkan risiko bayi mengalami komplikasi.

3. Faktor Postnatal

Faktor setelah kelahiran yang dapat mempengaruhi kondisi bayi meliputi adaptasi terhadap kehidupan ekstrauterin, kemampuan menyusu, dan respons terhadap lingkungan.

Karakteristik bayi risiko tinggi menurut Potter & Perry (2017) meliputi:

a. Ketidakstabilan fisiologis b. Immaturitas sistem organ c. Kerentanan terhadap infeksi

d. Kesulitan dalam adaptasi terhadap lingkungan ekstrauterin e. Memerlukan perawatan intensif dan monitoring ketat B. Kebutuhan Dasar Manusia dalam Konteks Keluarga

Teori hierarki kebutuhan Maslow menjadi dasar dalam memahami kebutuhan dasar manusia. Pada bayi, pemenuhan kebutuhan dasar ini sangat bergantung pada orang tua dan keluarga. Lima tingkat kebutuhan menurut Maslow adalah:

1. Kebutuhan Fisiologis

Kebutuhan paling dasar yang meliputi oksigen, makanan, air, eliminasi, istirahat, dan aktivitas. Pada bayi risiko tinggi, pemenuhan kebutuhan fisiologis seringkali terganggu akibat immaturitas organ atau kondisi patologis yang dialami.

(8)

2. Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan

Mencakup kebutuhan akan lingkungan yang aman, bebas dari ancaman, dan terlindungi. Bayi risiko tinggi memerlukan lingkungan yang terkontrol dan aman untuk mendukung proses penyembuhan.

3. Kebutuhan Cinta dan Kasih Sayang

Kebutuhan untuk dicintai, diterima, dan menjadi bagian dari kelompok. Bonding dan attachment antara bayi dengan orang tua sangat penting untuk perkembangan emosional bayi.

4. Kebutuhan Harga Diri

Kebutuhan untuk dihargai dan mendapat pengakuan. Meskipun bayi belum dapat mengekspresikan kebutuhan ini secara verbal, respons positif dari lingkungan sangat penting.

5. Kebutuhan Aktualisasi Diri

Kebutuhan untuk mengembangkan potensi diri. Pada bayi, ini berkaitan dengan stimulasi yang tepat untuk mendukung tumbuh kembang optimal.

C. Peran Keluarga dalam Perawatan Bayi Risiko Tinggi

Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan bayi risiko tinggi.

Menurut Nursalam et al. (2020), peran keluarga meliputi:

1. Peran sebagai Provider

Keluarga berperan dalam menyediakan kebutuhan fisik bayi seperti nutrisi, tempat tinggal, dan biaya perawatan. Dalam konteks bayi risiko tinggi, keluarga harus memastikan tersedianya fasilitas perawatan yang memadai.

2. Peran sebagai Caregiver

Keluarga berperan langsung dalam memberikan perawatan sehari-hari kepada bayi.

Hal ini meliputi pemberian ASI, perawatan kulit, monitoring tanda vital, dan pemberian obat sesuai instruksi tenaga kesehatan.

3. Peran sebagai Educator

Keluarga berperan dalam memberikan stimulasi dan edukasi yang tepat untuk mendukung tumbuh kembang bayi. Meskipun bayi masih sangat muda, stimulasi dini sangat penting untuk perkembangan neurologis.

4. Peran sebagai Advocate

Keluarga berperan sebagai advokat untuk memastikan bayi mendapat pelayanan kesehatan yang optimal. Hal ini termasuk berkomunikasi dengan tenaga kesehatan dan membuat keputusan terbaik untuk bayi.

5. Peran sebagai Support System

Keluarga berperan dalam memberikan dukungan emosional dan psikologis tidak hanya kepada bayi tetapi juga kepada anggota keluarga lainnya yang terdampak kondisi bayi risiko tinggi.

(9)

BAB III PEMBAHASAN A. PREMATURITAS

1. Patofisiologi

Prematuritas adalah kondisi bayi yang lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu lengkap. Patofisiologi prematuritas berkaitan dengan immaturitas berbagai sistem organ tubuh yang belum siap untuk kehidupan ekstrauterin (Hockenberry & Wilson, 2018).

a. Sistem Respirasi

Pada bayi prematur, paru-paru belum mencapai maturitas penuh. Surfaktan yang diproduksi oleh pneumosit tipe II masih kurang, menyebabkan kolaps alveolar dan kesulitan bernafas. Compliance paru rendah dan resistensi jalan nafas tinggi menyebabkan bayi memerlukan usaha yang lebih besar untuk bernafas.

b. Sistem Kardiovaskular

Transisi sirkulasi dari fetal ke neonatal pada bayi prematur seringkali terganggu.

Patent ductus arteriosus (PDA) sering terjadi karena respons ductus arteriosus terhadap oksigen masih kurang sensitif. Hal ini dapat menyebabkan pirau kiri ke kanan dan gagal jantung kongestif.

c. Sistem Gastrointestinal

Immaturitas sistem gastrointestinal menyebabkan koordinasi refleks mengisap dan menelan yang belum sempurna. Motilitas usus yang lambat dan produksi enzim pencernaan yang kurang dapat menyebabkan intoleransi feeding dan necrotizing enterocolitis (NEC).

d. Sistem Neurologis

Bayi prematur memiliki risiko tinggi mengalami perdarahan intraventrikuler karena fragilitas pembuluh darah otak dan autoregulasi cerebral yang belum matang.

Mielinisasi yang belum lengkap juga mempengaruhi fungsi neurologis.

e. Termoregulasi

Bayi prematur memiliki rasio luas permukaan tubuh terhadap berat badan yang tinggi, lemak subkutan yang sedikit, dan kemampuan produksi panas yang terbatas, sehingga mudah mengalami hipotermia.

2. Farmakologi

Prinsip farmakologi pada bayi prematur berbeda dengan bayi cukup bulan karena immaturitas organ-organ yang berperan dalam farmakokinetik dan farmakodinamik obat.

a. Absorpsi

Absorpsi obat per oral pada bayi prematur dapat terganggu karena motilitas gastrointestinal yang lambat, pH lambung yang tinggi, dan waktu transit yang panjang. Absorpsi perkutan meningkat karena stratum corneum yang tipis dan rasio luas permukaan tubuh yang tinggi.

b. Distribusi

Bayi prematur memiliki kandungan air tubuh total yang tinggi (85-90%) dan lemak tubuh yang rendah (1-3%). Hal ini mempengaruhi volume distribusi obat, terutama obat yang larut dalam air akan memiliki volume distribusi yang lebih besar.

c. Metabolisme

(10)

Fungsi hati pada bayi prematur belum matang, menyebabkan aktivitas enzim metabolisme obat seperti cytochrome P450 masih rendah. Hal ini menyebabkan clearance obat yang lambat dan waktu paruh yang memanjang.

d. Ekskresi

Fungsi ginjal pada bayi prematur belum matang dengan glomerular filtration rate (GFR) yang rendah dan kemampuan konsentrasi urin yang terbatas. Hal ini mempengaruhi eliminasi obat yang diekskresikan melalui ginjal.

3. Asuhan Keperawatan

Asuhan keperawatan pada bayi prematur memerlukan pendekatan holistik dan berkesinambungan dengan fokus pada stabilisasi kondisi fisiologis dan pencegahan komplikasi.

a. Pengkajian

Pengkajian meliputi evaluasi sistem respirasi (frekuensi, pola, retraksi, sianosis), kardiovaskular (frekuensi jantung, tekanan darah, perfusi), neurologis (tingkat kesadaran, refleks, aktivitas kejang), gastrointestinal (kemampuan menyusu, distensi abdomen), dan termoregulasi (suhu tubuh, tanda hipotermia).

b. Diagnosa Keperawatan

1) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan immaturitas paru

2) Risiko gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan instabilitas kardiovaskular 3) Risiko hipotermia berhubungan dengan immaturitas termoregulasi

4) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan immaturitas gastrointestinal

5) Risiko infeksi berhubungan dengan immaturitas sistem imun

6) Gangguan bonding orang tua-bayi berhubungan dengan hospitalisasi c. Intervensi Keperawatan

1) Manajemen Respirasi: Monitor tanda distress respirasi, berikan oksigen sesuai kebutuhan, posisikan bayi untuk memaksimalkan ekspansi paru, lakukan suction jika diperlukan

2) Manajemen Termoregulasi: Gunakan inkubator atau radiant warmer, monitor suhu tubuh secara kontinyu, hindari kehilangan panas

3) Manajemen Nutrisi: Berikan ASI atau formula sesuai toleransi, monitor berat badan harian, evaluasi kemampuan menyusu

4) Pencegahan Infeksi: Terapkan prinsip aseptik, cuci tangan sebelum kontak dengan bayi, batasi pengunjung

5) Dukungan Keluarga: Libatkan orang tua dalam perawatan, berikan edukasi tentang kondisi bayi, fasilitasi skin-to-skin contact

d. Evaluasi

(11)

Evaluasi dilakukan secara kontinyu terhadap stabilitas tanda vital, peningkatan berat badan, kemampuan feeding, dan bonding orang tua-bayi.

4. Dampak terhadap Kebutuhan Dasar Manusia a. Kebutuhan Fisiologis

Prematuritas mempengaruhi semua aspek kebutuhan fisiologis. Kebutuhan oksigen terganggu akibat immaturitas paru, kebutuhan nutrisi sulit dipenuhi karena refleks mengisap yang belum matang, dan termoregulasi yang tidak stabil mempengaruhi homeostasis tubuh.

b. Kebutuhan Keamanan

Bayi prematur memerlukan lingkungan yang sangat terkontrol untuk merasa aman.

Suara bising, cahaya yang terlalu terang, dan stimulasi berlebihan dapat menyebabkan stres pada bayi.

c. Kebutuhan Cinta dan Kasih Sayang

Hospitalisasi yang berkepanjangan dapat mengganggu proses bonding antara orang tua dan bayi. Hal ini dapat berdampak pada perkembangan emosional bayi jangka panjang.

d. Dampak pada Keluarga

Keluarga mengalami stres yang tinggi karena ketidakpastian kondisi bayi, biaya perawatan yang mahal, dan perubahan dinamika keluarga. Orang tua seringkali merasa bersalah dan cemas terhadap kondisi bayi.

B. BERAT BADAN LAHIR RENDAH (BBLR) 1. Patofisiologi

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah kondisi bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, terlepas dari usia kehamilan. BBLR dapat disebabkan oleh kelahiran prematur atau intrauterine growth restriction (IUGR) pada bayi cukup bulan (Sudarti &

Fauziah, 2019).

a. Pertumbuhan Intrauterin Terhambat (IUGR)

IUGR terjadi akibat gangguan perfusi plasenta yang menyebabkan suplai nutrisi dan oksigen ke janin berkurang. Kondisi ini dapat menyebabkan adaptasi fetal berupa redistribusi aliran darah ke organ vital (otak, jantung, adrenal) dengan mengorbankan organ lain seperti ginjal, paru, dan hati.

b. Konsekuensi Metabolik

Bayi BBLR memiliki cadangan glikogen hati yang terbatas dan lemak subkutan yang sedikit. Hal ini menyebabkan risiko hipoglikemia yang tinggi dalam jam-jam pertama kehiduan. Kemampuan glukoneogenesis yang terbatas memperburuk kondisi hipoglikemia.

c. Adaptasi Kardiopulmoner

Bayi BBLR seringkali mengalami kesulitan adaptasi kardiopulmoner karena immaturitas paru dan jantung. Surfaktan yang kurang menyebabkan atelektasis dan kesulitan ventilasi. Persistensi sirkulasi fetal dapat terjadi akibat hipoksia kronik intrauterin.

d. Sistem Imun

(12)

Bayi BBLR memiliki sistem imun yang belum matang dengan kadar imunoglobulin yang rendah, terutama IgG yang ditransfer dari ibu. Sel-sel imun seperti neutrofil dan makrofag juga memiliki fungsi yang terbatas.

2. Farmakologi

Penanganan farmakologi pada bayi BBLR memerlukan penyesuaian dosis yang cermat karena perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik.

a. Prinsip Pemberian Obat

Dosis obat pada bayi BBLR umumnya dihitung berdasarkan berat badan atau luas permukaan tubuh. Frekuensi pemberian seringkali dikurangi karena eliminasi obat yang lambat akibat immaturitas organ.

b. Obat-obatan yang Sering Digunakan:

1) Dekstrosa 10%: untuk mengatasi hipoglikemia

2) Antibiotik (Ampisilin, Gentamisin): untuk sepsis neonatorum

3) Vitamin K: untuk pencegahan perdarahan

4) Besi dan asam folat: untuk pencegahan anemia

5) Multivitamin: untuk mendukung metabolisme

c. Monitoring Efek Samping Bayi BBLR lebih rentan terhadap efek samping obat karena clearance yang lambat dan volume distribusi yang berbeda. Monitoring ketat terhadap fungsi ginjal, hati, dan sistem saraf pusat diperlukan.

3. Asuhan Keperawatan a. Pengkajian

Pengkajian meliputi evaluasi antropometri (berat badan, panjang badan, lingkar kepala), tanda vital, kemampuan menyusu, kadar gula darah, dan tanda-tanda infeksi.

b. Diagnosa Keperawatan

1) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan cadangan energi yang terbatas

2) Risiko hipoglikemia berhubungan dengan cadangan glikogen yang kurang 3) Risiko hipotermia berhubungan dengan rasio luas permukaan tubuh yang tinggi 4) Risiko infeksi berhubungan dengan immaturitas sistem imun

5) Gangguan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan dengan BBLR c. Intervensi Keperawatan

1) Manajemen Nutrisi: Inisiasi menyusu dini, pemberian ASI atau formula sesuai kebutuhan, monitoring intake dan output, evaluasi kemampuan menyusu

2) Monitoring Gula Darah: Pemeriksaan gula darah serial, pemberian dekstrosa jika diperlukan, observasi tanda hipoglikemia

(13)

3) Manajemen Termoregulasi: Jaga kehangatan tubuh, gunakan metode kangaroo care, hindari kehilangan panas

4) Pencegahan Infeksi: Terapkan universal precaution, batasi kontak dengan orang yang sakit, monitor tanda infeksi

5) Stimulasi Tumbuh Kembang: Berikan stimulasi yang tepat sesuai usia, libatkan orang tua dalam perawatan

4. Dampak terhadap Kebutuhan Dasar Manusia a. Kebutuhan Fisiologis

BBLR mempengaruhi semua aspek kebutuhan fisiologis dengan risiko hipoglikemia, hipotermia, dan gangguan nutrisi yang tinggi. Kebutuhan kalori per kilogram berat badan lebih tinggi dibandingkan bayi normal.

b. Dampak Jangka Panjang

Bayi BBLR memiliki risiko mengalami gangguan tumbuh kembang, gangguan neurologis, dan penyakit metabolik di kemudian hari. Catch-up growth dapat terjadi dengan nutrisi dan stimulasi yang adekuat.

c. Dampak pada Keluarga

Keluarga mengalami kecemasan tinggi terkait kondisi bayi dan kekhawatiran terhadap tumbuh kembang jangka panjang. Biaya perawatan yang tinggi dan durasi hospitalisasi yang lama mempengaruhi ekonomi keluarga.

C. RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (RDS) 1. Patofisiologi

Respiratory Distress Syndrome (RDS) atau Hyaline Membrane Disease adalah kondisi gangguan pernapasan pada bayi baru lahir yang disebabkan oleh defisiensi atau tidak adanya surfaktan paru. Kondisi ini paling sering terjadi pada bayi prematur (Hockenberry &

Wilson, 2018).

a. Peran Surfaktan

Surfaktan adalah campuran lipid dan protein yang diproduksi oleh pneumosit tipe II di alveoli paru. Surfaktan berfungsi menurunkan tegangan permukaan alveoli sehingga mencegah kolaps alveolar saat ekspirasi. Pada bayi prematur, produksi surfaktan belum adekuat sehingga terjadi atelektasis masif.

b. Patogenesis RDS

Defisiensi surfaktan menyebabkan peningkatan tegangan permukaan alveolar yang mengakibatkan kolaps alveolar progresif. Hal ini menyebabkan penurunan compliance paru, peningkatan work of breathing, dan gangguan pertukaran gas.

Hipoksia dan hiperkapnia yang terjadi menyebabkan vasokonstriksi pulmoner dan persistensi sirkulasi fetal.

c. Pembentukan Membran Hialin

Kerusakan epitel alveolar akibat hipoksia dan barotrauma menyebabkan kebocoran protein plasma ke dalam alveoli. Protein ini bersama dengan fibrin membentuk membran hialin yang mengganggu pertukaran gas lebih lanjut.

d. Komplikasi

Komplikasi RDS meliputi pneumotoraks, bronchopulmonary dysplasia (BPD), persistent pulmonary hypertension of newborn (PPHN), dan kematian akibat gagal napas.

(14)

2. Farmakologi

a. Terapi Surfaktan

Surfaktan eksogen merupakan terapi utama untuk RDS. Jenis surfaktan yang tersedia meliputi surfaktan alami (dari paru babi atau sapi) dan surfaktan sintetik. Pemberian surfaktan dilakukan melalui endotrakeal tube dengan teknik INSURE (Intubation- Surfactant-Extubation).

b. Mekanisme Kerja

Surfaktan eksogen bekerja dengan cara menggantikan surfaktan endogen yang kurang, menurunkan tegangan permukaan alveolar, dan mencegah kolaps alveolar.

c. Dosis dan Cara Pemberian

Dosis surfaktan umumnya 100-200 mg/kg berat badan, diberikan segera setelah diagnosis RDS ditegakkan. Dapat diulang 2-3 kali dengan interval 6-12 jam jika diperlukan.

d. Kortikosteroid Antenatal

Pemberian betametason atau deksametason pada ibu hamil 24-48 jam sebelum persalinan dapat mempercepat maturasi paru janin dan mengurangi insiden RDS.

e. Obat Pendukung

1) Ventilator atau CPAP untuk dukungan pernapasan

2) Oksigen dengan monitoring saturasi ketat

3) Antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi sekunder

4) Diuretik untuk mengatasi edema paru

5) Bronkodilator untuk mengatasi bronkospasme 3. Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian Pengkajian meliputi evaluasi status respirasi (frekuensi napas, pola napas, retraksi dada, napas cuping hidung, sianosis), saturasi oksigen, analisa gas darah, dan tanda-tanda komplikasi.

b. Diagnosa Keperawatan

1) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan defisiensi surfaktan 2) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kolaps alveolar 3) Risiko cedera berhubungan dengan penggunaan ventilator 4) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia 5) Cemas keluarga berhubungan dengan kondisi kritis bayi c. Intervensi Keperawatan

1) Manajemen Ventilasi: Monitor setting ventilator, observasi sinkronisasi bayi dengan ventilator, lakukan suction jika diperlukan

2) Monitoring Oksigenasi: Pantau saturasi oksigen kontinyu, lakukan analisa gas darah serial, observasi tanda hipoksia

(15)

3) Positioning: Posisikan bayi untuk memaksimalkan ekspansi paru, lakukan position changes untuk mencegah atelektasis

4) Pencegahan Komplikasi: Monitor tanda pneumotoraks, observasi tanda infeksi, evaluasi fungsi kardiovaskular

5) Dukungan Keluarga: Berikan informasi tentang kondisi bayi, libatkan keluarga dalam perawatan sesuai kemampuan

4. Dampak terhadap Kebutuhan Dasar Manusia a. Kebutuhan Oksigen

RDS secara langsung mengancam kebutuhan oksigen yang merupakan kebutuhan paling dasar. Gangguan pertukaran gas dapat menyebabkan hipoksia sistemik yang mengancam jiwa.

b. Kebutuhan Nutrisi

Bayi dengan RDS seringkali tidak dapat menyusu karena distress pernapasan.

Kebutuhan energi meningkat akibat increased work of breathing, sementara intake nutrisi terbatas.

c. Dampak Neurologis

Hipoksia dapat menyebabkan kerusakan otak permanen yang mempengaruhi tumbuh kembang jangka panjang. Monitoring neurologis ketat diperlukan untuk deteksi dini komplikasi.

d. Dampak pada Keluarga

Keluarga mengalami stres traumatik melihat bayi dalam kondisi kritis dengan alat bantu napas. Ketakutan akan kehilangan bayi dan biaya perawatan intensif menjadi beban psikologis dan ekonomi.

D. ASFIKSIA 1. Patofisiologi

Asfiksia neonatorum adalah kondisi kegagalan napas spontan dan teratur pada bayi baru lahir yang menyebabkan hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis. Kondisi ini dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah persalinan (Potter & Perry, 2017).

a. Etiologi :Asfiksia dapat disebabkan oleh faktor maternal (hipotensi, anemia berat, diabetes), faktor plasental (solusio plasenta, plasenta previa), faktor tali pusat (lilitan tali pusat, prolaps tali pusat), dan faktor janin (kelainan kongenital, infeksi).

b. Patogenesis :Gangguan pertukaran gas menyebabkan hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis metabolik. Tubuh merespons dengan redistribusi aliran darah ke organ vital (otak, jantung, adrenal) dengan mengorbankan organ lain seperti ginjal, hati, dan usus.

c. Cascade Hipoksia-Iskemia :Hipoksia menyebabkan metabolisme anaerob dengan produksi laktat yang berlebihan. Asidosis yang terjadi menyebabkan disfungsi

(16)

miokard dan vasodilatasi perifer. Reperfusi setelah hipoksia dapat menyebabkan kerusakan sel akibat radikal bebas.

d. Encephalopathy Hipoksia-Iskemia :Otak sangat rentan terhadap hipoksia karena kebutuhan oksigen dan glukosa yang tinggi. Kerusakan neuronal dapat terjadi pada area yang rentan seperti korteks, basal ganglia, dan hippocampus.

2. Farmakologi

a. Resusitasi Neonatal

Resusitasi neonatal mengikuti algoritma A-B-C (Airway-Breathing-Circulation) dengan emphasis pada ventilasi yang efektif sebagai kunci keberhasilan resusitasi.

b. Obat-obatan Resusitasi

1) Epinefrin: Indikasi jika heart rate <60 bpm setelah ventilasi adekuat dan kompresi dada. Dosis 0.01-0.03 mg/kg IV atau 0.05-0.1 mg/kg endotrakeal

2) Volume expander: Normal saline atau Ringer Laktat 10 ml/kg jika terdapat tanda hipovolemia

3) Sodium bikarbonat: Hanya jika terdapat asidosis metabolik berat yang terdokumentasi. Dosis 1-2 mEq/kg diencerkan 1:1 dengan aquadest

c. Terapi Hipotermia

Terapi hipotermia terkontrol (33-34°C) selama 72 jam terbukti neuroprotektif pada bayi dengan encephalopathy hipoksia-iskemia sedang hingga berat.

d. Obat Pendukung

1) Antikonvulsan (Fenitoin, Fenobarbital) untuk kejang

2) Dopamin atau dobutamin untuk dukungan inotropik

3) Furosemid untuk edema serebri

4) Mannitol untuk menurunkan tekanan intrakranial 3. Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian

Pengkajian meliputi evaluasi APGAR score, tanda vital, status neurologis (tingkat kesadaran, refleks, tonus otot, kejang), dan fungsi organ (kardiovaskular, respirasi, ginjal).

b. Diagnosa Keperawatan

1) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia-iskemia 2) Risiko cedera berhubungan dengan kejang

3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan depresi pusat pernapasan

4) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan disfungsi organ

5) Gangguan bonding orang tua-bayi berhubungan dengan kondisi kritis c. Intervensi Keperawatan

(17)

1) Monitoring Neurologis: Observasi tingkat kesadaran, refleks primitive, tonus otot, dan aktivitas kejang

2) Manajemen Airway: Jaga patensi jalan napas, berikan oksigen sesuai kebutuhan, siapkan alat resusitasi

3) Monitoring Hemodinamik: Pantau tanda vital, perfusi perifer, dan output urin 4) Pencegahan Komplikasi: Monitor tanda peningkatan tekanan intrakranial,

evaluasi fungsi organ

5) Dukungan Keluarga: Berikan dukungan emosional, jelaskan kondisi bayi, libatkan dalam perawatan

4. Dampak terhadap Kebutuhan Dasar Manusia a. Kebutuhan Fisiologis

Asfiksia mengancam semua kebutuhan fisiologis dasar, terutama oksigen sebagai kebutuhan paling vital. Gangguan fungsi organ multiple dapat terjadi sebagai konsekuensi hipoksia sistemik.

b. Dampak Neurologis Jangka Panjang

Encephalopathy hipoksia-iskemia dapat menyebabkan cerebral palsy, keterlambatan perkembangan, epilepsi, dan gangguan kognitif. Early intervention sangat penting untuk mengoptimalkan outcome.

c. Dampak pada Keluarga

Keluarga mengalami trauma psikologis yang berat karena bayi dalam kondisi kritis. Ketidakpastian prognosis dan kemungkinan disabilitas jangka panjang menjadi beban emosional yang berat.

E. HIPERBILIRUBINEMIA 1. Patofisiologi

Hiperbilirubinemia adalah kondisi peningkatan kadar bilirubin dalam darah yang menyebabkan ikterus (jaundice) pada bayi baru lahir. Kondisi ini dapat bersifat fisiologis atau patologis (Sudarti & Fauziah, 2019).

a. Metabolisme Bilirubin

Bilirubin terbentuk dari pemecahan hemoglobin eritrosit yang sudah tua. Bilirubin tidak terkonjugasi (indirect) yang terbentuk bersifat lipofilik dan dapat menembus blood-brain barrier. Di hati, bilirubin dikonjugasi menjadi bilirubin terkonjugasi (direct) yang larut air dan dapat diekskresikan melalui empedu.

b. Ikterus Fisiologis

Ikterus fisiologis terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi prematur. Hal ini disebabkan oleh immaturitas sistem konjugasi hati, peningkatan produksi bilirubin, dan reabsorpsi bilirubin dari usus.

c. Ikterus Patologis

Ikterus patologis terjadi akibat hemolisis berlebihan (inkompatibilitas ABO/Rh, defisiensi G6PD), gangguan konjugasi (sindrom Crigler-Najjar), atau obstruksi bilier (atresia bilier).

d. Kernicterus

(18)

Kernicterus adalah komplikasi paling serius dari hiperbilirubinemia, yaitu deposit bilirubin di basal ganglia dan nuclei batang otak yang dapat menyebabkan kerusakan neurologis permanen.

2. Farmakologi

a. Fototerapi: Fototerapi menggunakan cahaya biru (wavelength 420-470 nm) yang mengubah bilirubin tidak terkonjugasi menjadi photoisomer yang larut air dan dapat diekskresikan tanpa konjugasi hati.

b. Mekanisme: Cahaya biru mengubah bilirubin Z,Z menjadi bilirubin Z,E dan lumirubin yang dapat diekskresikan melalui urin dan empedu.

c. Indikasi: Berdasarkan nomogram Bhutani dengan pertimbangan usia bayi, berat lahir, dan faktor risiko.

d. Obat-obatan :

1) Phenobarbital: Menginduksi enzim glucuronyl transferase untuk meningkatkan konjugasi bilirubin

2) Metalloporphyrin: Menghambat heme oxygenase untuk mengurangi produksi bilirubin

3) Immunoglobulin: Untuk hemolisis akibat inkompatibilitas blood group

e. Exchange Transfusion : Indikasi jika kadar bilirubin sangat tinggi atau fototerapi tidak efektif. Prosedur ini mengganti darah bayi dengan darah donor untuk menghilangkan bilirubin dan antibodi maternal.

3. Asuhan Keperawatan a. Pengkajian

Pengkajian meliputi evaluasi ikterus (onset, progresi, distribusi), kadar bilirubin serum, status hidrasi, pola makan, dan eliminasi.

b. Diagnosa Keperawatan

1) Risiko cedera berhubungan dengan hiperbilirubinemia

2) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan letargi 3) Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan fototerapi

4) Defisit volume cairan berhubungan dengan phototherapy dan poor feeding 5) Cemas keluarga berhubungan dengan kondisi ikterus bayi

c. Intervensi Keperawatan

1) Monitoring Bilirubin: Pantau kadar bilirubin serum serial, observasi progresi ikterus secara visual

2) Manajemen Fototerapi: Pastikan jarak lampu optimal (15-20 cm), gunakan eye protection, monitor suhu tubuh

3) Manajemen Nutrisi: Tingkatkan frekuensi menyusu, monitor intake dan output, evaluasi berat badan

(19)

4) Perawatan Kulit: Ganti posisi secara teratur, monitor tanda iritasi kulit, jaga kebersihan kulit

5) Edukasi Keluarga: Jelaskan tentang ikterus dan fototerapi, ajarkan cara monitoring di rumah

4. Dampak terhadap Kebutuhan Dasar Manusia

a. Kebutuhan Fisiologis : Hiperbilirubinemia dapat menyebabkan letargi yang mempengaruhi kemampuan menyusu dan pemenuhan kebutuhan nutrisi.

Phototherapy dapat menyebabkan kehilangan cairan berlebihan.

b. Risiko Neurologis :Kernicterus dapat menyebabkan kerusakan neurologis permanen berupa cerebral palsy, gangguan pendengaran, dan keterlambatan perkembangan.

Deteksi dini dan penanganan cepat sangat penting.

c. Dampak pada Keluarga :Keluarga mengalami kecemasan karena perubahan warna kulit bayi dan proses fototerapi yang memisahkan bayi dari orang tua. Edukasi yang adekuat dapat mengurangi kecemasan keluarga.

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Patofisiologi bayi risiko tinggi melibatkan immaturitas sistem organ yang belum siap untuk kehidupan ekstrauterin. Prematuritas menyebabkan gangguan multiple organ,

(20)

BBLR berhubungan dengan gangguan pertumbuhan intrauterin, RDS disebabkan defisiensi surfaktan, asfiksia menyebabkan hipoksia-iskemia, dan hiperbilirubinemia terjadi akibat gangguan metabolisme bilirubin.

2. Farmakologi pada bayi risiko tinggi memerlukan pemahaman khusus tentang perbedaan farmakokinetik dan farmakodinamik pada neonatus. Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan, usia gestasi, dan maturitas organ. Monitoring efek samping lebih ketat diperlukan karena clearance obat yang lambat.

3. Asuhan keperawatan pada bayi risiko tinggi memerlukan pendekatan holistik dan berkesinambungan dengan fokus pada stabilisasi fisiologis, pencegahan komplikasi, dan dukungan keluarga. Pengkajian yang akurat, diagnosa yang tepat, dan intervensi yang evidence-based sangat penting untuk outcome yang optimal.

4. Dampak terhadap kebutuhan dasar manusia dalam konteks keluarga sangat signifikan. Kondisi bayi risiko tinggi tidak hanya mempengaruhi kebutuhan fisiologis bayi tetapi juga berdampak pada kebutuhan psikologis, sosial, dan spiritual keluarga.

Pemenuhan kebutuhan dasar manusia memerlukan pendekatan family-centered care.

5. Peran keluarga sangat penting dalam mendukung perawatan bayi risiko tinggi. Keluarga berperan sebagai provider, caregiver, educator, advocate, dan support system. Dukungan dan edukasi yang adekuat kepada keluarga dapat meningkatkan outcome bayi dan mengurangi stres keluarga.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Bagi Tenaga Kesehatan

a. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam menangani bayi risiko tinggi melalui pelatihan berkelanjutan

b. Menerapkan evidence-based practice dalam memberikan asuhan keperawatan

c. Mengembangkan protokol atau standar operasional prosedur (SOP) yang jelas untuk setiap kondisi bayi risiko tinggi

d. Meningkatkan kemampuan komunikasi terapeutik dengan keluarga 2. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan

a. Menyediakan fasilitas dan peralatan yang memadai untuk perawatan bayi risiko tinggi b. Mengembangkan unit perawatan intensif neonatal (NICU) dengan standar

internasional

c. Menerapkan family-centered care dalam pelayanan

d. Menyediakan program edukasi berkelanjutan untuk tenaga kesehatan 3. Bagi Institusi Pendidikan

a. Mengintegrasikan materi bayi risiko tinggi dalam kurikulum keperawatan anak

(21)

b. Menyediakan laboratorium simulasi untuk praktik keterampilan keperawatan neonatal c. Mengembangkan penelitian tentang bayi risiko tinggi dan asuhan keperawatannya d. Menjalin kerjasama dengan rumah sakit untuk praktik klinik mahasiswa

4. Bagi Keluarga

a. Meningkatkan pengetahuan tentang perawatan bayi risiko tinggi melalui edukasi kesehatan

b. Aktif berpartisipasi dalam perawatan bayi sesuai kemampuan

c. Membangun support system dengan keluarga lain yang mengalami kondisi serupa d. Melakukan follow-up rutin untuk monitoring tumbuh kembang bayi

DAFTAR PUSTAKA

Hockenberry, M. J., & Wilson, D. (2018). Wong's nursing care of infants and children (11th ed.). Elsevier.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). Profil kesehatan Indonesia tahun 2019.

Kemenkes RI.

Nursalam, Susilaningrum, R., & Utami, S. (2020). Asuhan keperawatan bayi dan anak untuk perawat dan bidan (3rd ed.). Salemba Medika.

(22)

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2017). Fundamentals of nursing (9th ed.). Elsevier.

Sudarti, & Fauziah, A. (2019). Asuhan kebidanan neonatus, bayi, dan anak balita (2nd ed).

Nuha Medika.

Andriani, R. (2020). Buku ajar asuhan keperawatan anak. Deepublish. Tersedia di:

https://books.google.co.id

Hidayat, A. A. A. (2019). Pengantar ilmu keperawatan anak 1 (2nd ed.). Salemba Medika.

Tersedia di: https://books.google.co.id

Kristiyanasari, W. (2017). Asuhan keperawatan neonatus dan anak. Nuha Medika. Tersedia di:

https://books.google.co.id

Marmi. (2015). Asuhan neonatus, bayi, balita, dan anak prasekolah. Pustaka Pelajar. Tersedia di: https://books.google.co.id

Maryunani, A. (2018). Ilmu kesehatan anak dalam kebidanan. Trans Info Media. Tersedia di:

https://books.google.co.id

Mitayani. (2019). Asuhan keperawatan maternitas. Salemba Medika. Tersedia di:

https://books.google.co.id

Muslihatun, W. N. (2016). Asuhan neonatus bayi dan balita (Revisi ed.). Fitramaya. Tersedia di: https://books.google.co.id

Rukiyah, A. Y., & Yulianti, L. (2015). Asuhan neonatus bayi dan anak balita. Trans Info Media.

Tersedia di: https://books.google.co.id

Sondakh, J. S. (2017). Asuhan keperawatan perinatal. Nuha Medika. Tersedia di:

https://books.google.co.id

Walyani, E. S., & Purwoastuti, E. (2016). Asuhan kebidanan persalinan dan bayi baru lahir.

Pustaka Baru Press. Tersedia di: https://books.google.co.id

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “KOP

Faktor risiko , patofisiologi, manifestasi, komplikasi, asuhan keperawatan : Promosi kesehatan, Pengkajian, Diagnosis Keperawatan menggunakan NANDA NIC NOC, asuhan berbasis komunitas

Faktor risiko , patofisiologi, manifestasi, komplikasi, asuhan keperawatan : Promosi kesehatan, Pengkajian, Diagnosis Keperawatan menggunakan NANDA NIC NOC, atau SDKI, SIKI, SLKI asuhan

Faktor risiko , patofisiologi, manifestasi, komplikasi, asuhan keperawatan : Promosi kesehatan, Pengkajian, Diagnosis Keperawatan menggunakan NANDA NIC NOC, atau SDKI, SIKI, SLKI asuhan

iv KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir dengan judul Asuhan Kebidanan

KATA PENGANTAR Puji Syukur kita panjatkan kahadirat tuhan yang maha esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya,sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.makalah

2 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan rahmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Makalah Kualitas Jalan dan Dampaknya Terhadap

KATA PENGANTAR Puji Syukur penuis panjatkan kehadirat Allah SWT yang maha pengasih dan maha penyayang yang telah memberikan kemudahan dan petunjuk dalam penyusunan makalah ini.. Atas