MAKALAH
PENGEMBANGAN INSTRUMENT ASSESMENT SIKAP (AFEKTIF) Disusun Untuk Memenuhi tugas Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran Matematika
Dosen Pengampu:
Dr. Suwarno, M. Pd.
Di susun oleh:
Miftachul Rochmaniyah NIM: 221101070032
Aini Faiqotul Himmah NIM: 222101070004
Ahmad Afton Alfarizi NIM: 221101070041
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
TADRIS MATEMATIKA 2024
PEMBAHASAN
A. Pengembangan Instrument Assesment Sikap (Afektif) 1. Pengertian Assesment Sikap (Afektif)
Asesmen merupakan suatu bentuk kegiatan yang dirancang untuk mengukur tingkat pencapaian peserta didik dalam belajar yang diperoleh melalui penerapan program pengajaran tertentu dalam tempo yang relatif singkat (Sudaryono, 2012). Hal yang sama dalam Permendikbud bahwa asesmen adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik (Tim Penyusun, 2013).
Asesmen adalah sebagai penilaian proses, kemajuan dan hasil belajar peserta didik(Stiggins, 1994). Asesmen yang digunakan bertujuan untuk mengetahui hasil belajar peserta didik agar sesuai dengan standar penilaian meliputi kompetensi pengetahuan, sikap dan ketrampilan (Tim Penyusun, 2013).
Kompetensi sikap dapat dilakukan melalui asemen sikap dengan cara:
1) observasi perilaku, misalnya kerja sama, inisiatif, atau perhatian; 2) pertanyaan langsung, misalnya tanggapan peserta didik terhadap materi yang sudah diberikan; dan 3) laporan pribadi, 4) skala sikap (Kusaeri dan Suprananto, 2012)
Berdasarkan Kurikulum 2013 kompetensi sikap terdiri dari sikap spiritual dan sikap sosial. Sikap sosial adalah kesadaran indi-vidu menemukan perbuatan yang nyata terhadap objek sosial atau yang berhu- bungan dengan pergaulan hidup/ lapangan masyarakat (Ahmad, 1998).
Seorang peserta didik dengan sikap positif yang tinggi menunjukkan tingkat akademik yang tinggi ( Nolan dkk, 2012).
Sikap sosial yang dapat dinilai berdasarkan kompetensi sikap sosial adalah perilaku tanggung jawab, menghargai orang lain, jujur, demokratis serta bijaksana (Tim Penyusun, 2013). Karakter sosial yang ditanamkan seperti tanggung jawab, kritis, menghargai pen-dapat orang lain, dan displin (Khusniati, 2012). Hal ini sesuai dengan Kompetensi Inti (KI) 2:
menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, karjasama, toleran, damai) santun responsif dan proaktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan ling-kungan sosial dan alam(Silabus Kimia SMA kelas XI, Kurikulum 2013).
Asesmen sikap sosial dapat dinyatakan sebagai penilaian terhadap sikap peserta didik yang ditunjukkan melalui suatu perbuatan peserta didik terhadap proses pembelajaran dan nilai- nilai tertentu yang ditanamkan melalui materi tertentu (Majid, 2007). Asesmen sikap sosial penting dalam mendukung keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan
psikomotorik. Peserta didik yang memiliki sikap positif terhadap suatu pelajaran, diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal (Stiggins, 1994). Kurangnya perhatian terhadap sikap sosial menimbulkan masalah dalam kecerdasan emosi peserta didik (Darmansyah, 2014).
Peserta didik yang sulit mengontrol emosi, akan mengalami kesulitan belajar dan bergaul terhadap lingkungan sosialnya
Di Ranah afektif ini merupakan ranah yang berkaitan dengan aspek – aspek emosional seperti perasaan, minat, sikap, kepatuhan terhadap moral.
Didalamnya mencakup penerimaan, sambutan, tata nilai, pengorganisasian, dan karakterisasi. Dalam ranah ini peserta didik dinilai sejauh mana ia mampu menginternalisasikan nilai – nilai pembelajaran ke dalam dirinya.
Ranah ini erat kaitannya dengan tata nilai dan konsep diri.
Menurut Bloom bahwa tujuan afektif dalam pembelajaran sebagai sarana tujuan kognitif adalah mengembangkan minat dan motivasi.
Motivasi sangat penting untuk belajar dan dengan demikian merupakan salah satu cara utama dimana domain afektif digunakan sebagai sarana kognitif. Untuk meningkatkan minat dan motivasi peserta didik sangat penting memperhatikan siatuasi tempat belajar. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa pencapaian tujuan afektif adalah merupakan sarana untuk memfasilitasi pembelajaran kognitif. (Noviansyah, 2020)
Menurut Suryani aspek afektif merupakan sikap yang merupakan dasar dari bagian tingkah laku manusia sebagai gambaran kepribadiannya. Sikap berhubungan dengan pergaul an, sehingga sikap berkaitan dengan cara merespon suatu objek oleh seseorang. Menilai sikap sehingga sangat diperlukan. Selain itu, sikap juga dapat dibentuk dan memerlukan adanya perbaikan, sehingga perilaku atau tindakan yang diinginkan dapat dicapai.
Menurut Sukiman dalam hubungannya dengan hasil belajar, hal yang dinilai bisa berupa minat, sikap, dan nilai- nilai dari individu. Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu aktivitas tanpa ada yang menyuruh. Minat berhubungan dengan perhatian, seseorang yang menaruh minat pada mata pelajaran tertentu cenderung untuk memperhatikan mata pelajaran tersebut. Dengan demikian peserta didik yang berminat pada materi tersebut. Sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep atau orang. Misalnya objeknya adalah sikap peserta didik terhadap mata Pelajaran Matematika. Seharusnya sikap peserta didik terhadap mata Pelajaran Matematika lebih positif dibanding sebelum mengikuti proses pembelajaran tersebut. Perubahan sikap ini merupakan indikator keberhasilan pendidik dalam proses pembelajaran. Nilai
merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap jelek. Beberapa ranah afektif yang tergolong penting adalah
a. Kejujuran: peserta didik harus belajar untuk menghargai kejujuran dalam beriteraksi dengan orang lain
b. Integritas: peserta didik harus dapat dipercaya oleh orang lain, mengikat pada kode nilai.
c. Adil: peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang memperoleh perlakuan hukum yang sama
d. Kebebasan: peserta didik harus yakin bahwa negara demokratis harus memberi kebebasan secara maksimum kepada semua orang.
Krathwohl (1964) mengusulkan lima tingkat taksonomi domain afektif diatur dalam hirarki sesuai dengan kompleksitas. Adapun kelima tingkat taksonomi domain afektif adalah sebagai berikut:(Qadar et al., 2015) a. Tingkat receiving (Menerima)
1) Ada tingkat receiving atau attending, peserta didik memiliki keinginan memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus tertentu.
Contohnya peserta didik yang fokus memperhatikan guru saat menjelaskan konsep-konsep matematika baru, menjelaskan rumus atau metode penyelesaian soal.
2) Tugas pendidik adalah mengarahkan perhatian peserta didik pada fenomena tertentu yang positif. Misalnya, mengarahkan agar peserta didik senang membaca buku, senang bekerjasama, dsb.
b. Tingkat responding (Menanggapi)
1) Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian dari perilakunya. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga sudah memberikan reaksi.
2) Hasil pembelajaran pada ranah ini menekankan pada pemerolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau kepuasan dalam memberi respons. Contohnya peserta didik menanggapi kesulitan dalam memahami konsep matematika dengan mencari solusi alternatif atau strategi yang berbeda. Mereka mungkin mencoba pendekatan baru untuk menyelesaikan masalah yang sulit.
3) Tingkat yang tinggi pada kategori ini adalah minat atau suatu keinginan yang dimiliki oleh siswa, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian kesenangan terhadap sesuatu objek yang menarik atau aktivitas yg khusus. Misalnya: senang membaca buku, senang dengan
guru, senang bertanya, senang membantu teman, senang dengan kebersihan dan kerapian, senang dengan pelajaran dan sebagainya.
c. Tingkat valuing (Menghargai)
1) Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan derajat internalisasi dan komitmen. Derajat rentangannya mulai dari menerima suatu nilai, sampai pada tingkat komitmen.
2) Valuing atau penilaian didasarkan pada internalisasi dari seperangkat nilai yang spesifik.
3) Hasil belajar pada tingkat ini berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil berkaitan dgn nilai yg dianut. Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan sebagai sikap dan apresiasi.
Contohnya peserta didik menghargai pentingnya kerjasama dan kolaborasi dalam memecahkan masalah matematika. Mereka menyadari bahwa belajar matematika tidak hanya tentang bekerja sendiri, tetapi juga tentang berbagi ide, berdiskusi, dan belajar dari teman sekelas.
d. Tingkat organization
1) Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten.
2) Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau organisasi sistem nilai. Contohnya peserta didik mampu mengorganisir berbagai konsep matematika yang telah dipelajari menjadi sebuah kerangka kerja yang terintegrasi. Mereka dapat melihat keterkaitan antara konsep-konsep seperti geometri, aljabar, dan statistik, serta bagaimana konsep-konsep tersebut saling melengkapi dan mendukung satu sama lain.
e. Tingkat characterization
1) Tingkat ranah afektif tertinggi adalah karakterisasi (characterization) nilai.
2) Pada tingkat ini peserta didik memiliki sistem nilai yg menjadi karakter dirinya, yang akan mengendalikan semua perilaku sampai pada waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup.
3) Hasil pembelajaran pada tingkat ini berkaitan dengan karakter pribadi, emosi, dan sikap sosial. Contohnya Siswa menerapkan nilai kerjasama dan kolaborasi dalam pembelajaran matematika dengan berbagi ide, membantu teman sekelas, dan bekerja sama untuk menyelesaikan masalah matematika bersama-sama.
Suharsimi Arikunto (2003) menjelaskan pengukuran ranah afektif tidak dapat dilakukan setiap saat (dalam arti pengukuran formal) karena
perubahan tingkah laku siswa tidak dapat berubah sewaktu-waktu.
Pengubahan sikap seseorang memerlukan waktu yang relatif lama.
Demikian juga pengembangan minat dan penghargaan serta nilai-nilainya.
Sasaran penilaian afektif adalah perilaku peserta didik bukan pengetahuannya.
2. Pengembangan Instrument
Pengembangan instrument sikap lebih banyak menggunakan penilaian yang bersifat tes, kuis atau tanya jawab dan penilaian itu lebih banyak kea rah penilaian kognitif. Selain penilaian tersebut, ad acara lain untuk melakukan penilaian sikap, yaitu dengan Self Assesment dan Peer Assesment. Self assessment atau penilaian diri adalah penilaian yang dilakukan peserta didik sendiri terhadap pekerjaannya sedangkan peer assessment atau penilaian rekan adalah penilaian yang dilakukan oleh peserta didik terhadap rekannya atau teman sejawatnya (Hairida, 2018).
Model penilaian Self Assesment dan Peer Assesment adalah model penilaian inovatif yang sedang berkembang dalam dunia pendidikan pada saat ini, pada model penilaian ini dapat memberikan dampak positif terhadap perkembangan kepribadian peserta didik. Keuntungan dari penggunaan penilaian self assessmentdanpeer assessmentdi kelas antara lain dapat menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik, karena mereka diberi kepercayaan untuk mengevaluasi dan menilai dirinya sendiri, peserta didik menyadari kelebihan dan kelemahan dirinya, karena ketika mereka melakukan penilaian harus melakukan introspeksi terhadap kelebihan dan kelemahan yang dimilikinya dan dapat mendorong, membiasakan, dan melatih peserta didik untuk berbuat jujur, karena mereka dituntut untuk objektif dalam melakukan penilaian.
Model penilaian afektif yang berbasis self assessmen adalah penilaian pada ranah afektif yang di lakukan oleh guru secara individu atau penilaian sikap terhadap dirinya sendiri, penilaian ini dilakukan disaat pembelajaran dan tidak dilakukan oleh guru tetapi dilakukan oleh siswa sehingga penilaian ini merupakan model pengembangan dari penilaian afektif. Jika dihubungkan dengan teori John Dewey yang menghendaki model pembelajaran yang bersifat aktif dan kreatif tidak berpusat pada guru tetapi berpusat pada siswa dimana guru sebagai motivator dan siswa yang aktif melakukan kegiatan, maka pembelajara model self assessment dan peer assessment ini sangat sesuai karena pada model penilaian afektif ini siswa terlibat langsung, siswa diberi tanggungjawab untuk menilai dirinya sendiri ini merupakan beban dari siswa karena siswa harus mengatakan yang sebenarnya, apabila dalam
penilaian siswa mengatakan melakukan sesuatu padahal sebenarnya tidak melakukan maka siswa sudah berbuat dosa, disinilah letak tanggung jawab yang besar bagi siswa.
Penilaian self assessment dan peer assessment cocok diterapkan pada pembelajaran yang berpusat pada siswa, menurut Willey & Gardner (2007) dari hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa penilaian diri dan teman sejawat berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa, yaitu dapat meningkatkan hasil belajar dan meningkatkan hasrat mereka untuk belajar. Dalam penelitian lainnya Willey & Gardner (2008) juga menyebutkan bahwa penilaian diri dan teman sejawat menjadi fasilitas mereka dalam menerima umpan balik yang menguntungan dari teman kelompok mereka, sebagai faktor penentu keberhasilan dalam belajar kelompok mereka. Penilaian self assessmentdanpeer assessmentjuga dapat mendorong siswa untuk mandiri dan meningkatkan motivasi mereka.
Penilaian diri dapat digunakan untuk membentuk dan mengembangkan kemampuan siswa untuk memeriksa dan berpikir kritis mengenai proses pembelajaran yang mereka jalani.
Berdasarkan hasil analisa di atas bahwa implementasi penilaian afektif kurang efektif, sehingga perlu dilakukan revisi pada kurikulum terutama pada penilaian dan harus diberi contoh model penilaian aspek afektif disamping penilaian kognitif dan psikomotorik. Sistem penilaian pada rana afektif perlu dikritik karena pelaksanaannya tidak sesuai dengan cara penilaian yang sebenarnya dan kegiatan ini kelihatannya berjalan aman-aman saja tanpa ada kendala padahal yang banyak dirugikan adalah peserta didik. Maka perlu dibuat sebuah model penilaian afektif yang berbasis self assessment untuk mempermudah guru dalam melaksanakan penilaian, model penilaian afektif yang berbasis self assessmentadalah pengembangan model penilaian afektif yang dilakukan oleh siswa sendiri, siswa mengevaluasi dirinya sendiri dengan menggunakan format, dari sini nanti langsung mendapat hasil dari nilai afektif tersebut sehingga guru tidak lagi disibukkan dengan penilaian afektif karena penilaian afektif sudah dilakukan oleh siswa sendiri. Pada model penilaian afektif yang berbasis self assessmentini sangat diperlukan kejujuran dari seorang siswa karena siswanya sendiri yang menilai, sehingga sebelum pelaksanaan penilaian terlebih dahulu dijelaskan tentang pengertian jujur pada siswa (Muslich & Di Gresik, 2014).
Selain dari yang sudah disebutkan di atas, instrument assessment sikap bisa juga dilakukan dengan menggunakan skala sikap dan lembar kerja pengamatan. Instrument skala sikap bertujuan untuk mengetahui sikap
siswa terhadap suatu objek. .Mardapi (2008) menyatakan bahwa Sikap terhadap mata pelajaran bisa positif atau negatif, hasil pengukuran sikap berguna untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat untuk siswa kedepannya. Lembar pengamatan guru (orang lain) bertujuan untuk mengamati kecendrungan prilaku seseorang dalam sesuatu hal. Pengamatan dilakukan secara langsung selama proses pembelajaran berlangsung.
Masrukan (2014) menyatakan bahwa guru dapat melakukan observasi terhadap peserta didik yang dibinanya.Hasil pengamatan dapat dijadikan sebagai umpan balik dalam pembinaan.
Instrumen skala sikap merupakan jenis instrumen penilaian diri oleh siswa terhadap dirinya. Dengan melakukan penilaian diri, maka guru akan mengetahui bagaimana status sikap yang dimiliki oleh siswa terhadap matematika. Status sikap dapat berupa sikap negatif dan sikap positif. Sidiq (Kartono, 2014) menyatakan bahwa sikap negatif siswa muncul sebagai akibat dari; 1) persepsi umum tentang sulitnya matematika berdasar pendapat orang lain; 2) pengalaman belajar di kelas yang diakibatkan proses pembelajaran yang kurang menarik hati peserta didik; 3) pengalaman di kelas sebagai hasil perlakuan guru (contohnya mencemooh); 4) persepsi yang terbentuk oleh ketidak berhasilan mempelajari matematika. Oleh karena itu, instrumen skala sikap dikembangkan sesuai dengan tujuannya yaitu untuk mendeteksi sikap siswa terhadap matematika baik sikap positif ataupun sikap negatif.Secara otomatis, skala sikap digunakan pada saat sebelum pembelajaran dimulai. Melalui hasil yang diberikan oleh skala sikap, maka guru akan menentukan strategi belajar yang tepat kedepannya.
Pengembangan instrumen lembar pengamatan ini bertujuan untuk memperoleh data amatan sikap siswa oleh orang lain, selanjutnya akan dilakukan triangulasi atau pencocokan antara skor skala sikap dengan skor amatan sehingga akan diperoleh nilai akhir tentang sikap siswa pada pembelajaran matematika yang sebenarnya. Instrumen lembar pengamatan guru (orang lain) merupakan instrumen yang mengamati secara langsung sikap dan perilaku siswa selama belajar matematika. Pengamatan ini bertujuan untuk mengukur sejauh mana sikap yang ditunjukkan siswa selama belajar matematika. Pengamatan prilaku siswa sangat penting dilakukan dalam pembelajaran matematika, karena pada hakikatnya belajar matematika akan mengajak siswa untuk aktif dalam berpikir dan bertindak.
Hodgen & William (2005) menyatakan terdapat 5 prinsip dalam pembelajaran matematika, yakni 1) kegiatan diawali darimana siswa belajar; 2) siswa harus aktif dalam proses pembelajaran; 3) siswa perlu menyampaikan tentang idenya; 4) siswa harus niat belajar dan 5) adanya
umpan balik. Artinya, kelima prinsip tersebut harus dinilai dan diamati agar siswa memiliki rasa tanggung jawab ketika belajar matematika (Hidayad et al., 2017).
DAFTAR PUSTAKA
Hairida, H. (2018). Penilaian Sikap Siswa Dalam Pembelajaran Kimia Melalui Teknik Self Assessment Dan Peer Assessment. Jurnal Pendidikan
Matematika Dan IPA, 9(2), 37. https://doi.org/10.26418/jpmipa.v9i2.25832 Hidayad, A., Masrukan, M., & Kartono, K. (2017). Instrumen Asesmen Sikap Siswa
Berbasis Konservasi pada Pembelajaran Matematika SMP. Journal of Research and Educational Research Evaluation, 6(1), 30–38.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jere/article/view/16205
Muslich, M., & Di Gresik, G. (2014). Pengembangan Model Assessment Afektif Berbasis Self Assessment dan Peer Assessment di SMA Negeri 1 Kebomas.
Jurnal Kebijakan Dan Pengembangan Pendidikan, 2(2), 143–148.
Noviansyah, A. (2020). OBJEK ASSESMENT, PENGETAHUAN, SIKAP, dan KETERAMPILAN. Al-Hikmah: Jurnal Studi Islam Volume, 1(2), 136–149.
Qadar, R., Rustaman, N. Y., & Suhandi, A. (2015). Mengakses Aspek Afektif Dan Kognitif Pada Pembelajaran Optika Dengan Pendekatan Demonstrasi Interaktif. Jurnal Inovasi Dan Pembelajaran Fisika, 2(1), 1–11.
Astuti, W. P., Prasetyo, A. P. B., & Rahayu, E. S. (2014). Pengembangan Instrumen Asesmen Autentik Berbasis Literasi Sains Pada Materi Sistem Ekskresi.
Journal UNNES, 43(2), 94–102.
Sukanti, S. (2011). Penilaian Afektif Dalam Pembelajaran Akuntansi. Jurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, 9(1), 74–82.
https://doi.org/10.21831/jpai.v9i1.960