• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH HUKUM ADAT “Hukum Adat Ketatanegaraan”

N/A
N/A
umam

Academic year: 2024

Membagikan "MAKALAH HUKUM ADAT “Hukum Adat Ketatanegaraan”"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

i

MAKALAH HUKUM ADAT “Hukum Adat Ketatanegaraan”

Dosen Pengampuh : Dr. Baiq Ratna Mulhimah, M.H

Disusun Oleh Kelas 4B 1. Faisal Hadi (220201041) 2. Faqih Al-Hudawi (220201052) 3. Tria Mareta Lentanara (220201056)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI MATARAM 2024

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Dengan segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pada mata kuliah Hukum Adat yang berjudul “Hukum Adat Ketatanegaraan” tepat pada waktunya. Sholawat serta salam kami haturkan kepada Nabi besar Muhammad SAW.

Bersama keluarga dan sahabatnya yang telah mengantarkan umat Islam dari kebodohan menjadi orang yang berilmu seperti sekarang ini.

Sebelumnya kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Baiq Ratna Mulhimah, M.H. selaku pembimbing mata kuliah Hukum Adat, yang telah membimbing dan mengarahkan kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami dengan baik. Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan para pembaca dan kedepannya kami dapat memperbaiki makalah ini agar lebih baik lagi.

Kami menyadari bahwa tidak semua orang sempurna begitupun dengan makalah yang kami buat ini, masih banyak kekurangannya. Namun kami sudah berusaha semaksimal mungkin agar makalah ini siap tepat waktu. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk menyempurnakan makalah ini.

Mungkin cukup sekian dari kami,semoga makalah ini bermanfaat dikemudian hari, Aamiin.

Mataram, 27 Februari 2024

(3)

iii DAFTAR ISI

COVER ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

a. Latar Belakang ... 1

b. Rumusan Masalah ... 1

c. Tujuan Pembuatan ... 2

BAB II PEMBAHASAN ... 3

a. Tata Susunan Persekutuan dan Jenis-Jenis Sekutuan Hukum ... 3

b. Bentuk Desa ... 7

c. Tingkatan-Tingkatan Dalam Masyarakat ... 9

d. Harta Kekayaan Desa ... 12

BAB III PENUTUP ... 15

a. Kesimpulan ... 15

b. Saran ... 15

DAFTAR PUSTAKA ... 16

(4)

1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang

Hukum adat merupakan suatu bentuk hukum yang masih ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perlu kita ketahui juga bahwa hukum adat merupakan suatu bentuk hukum yang berlaku dalam kehidupan dan budaya hukum masyarakat Indonesia dan masih berlaku hingga saat ini.

Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam catatan atau dokumen, tetapi diakui keberadaannya dalam masyarakat Indonesia sebagai hukum yang mengatur tata tertib dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Hukum adat adalah hukum yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat, yang diakui oleh masyarakat Indonesia dan diwariskan oleh nenek moyang. Oleh karena itu dapat kita simpulkan bahwa hukum adat merupakan hukum yang diterapkan sejak dahulu kala dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan publik.

Hukum adat sampai saat ini dipertahankan oleh masyarakat. Hal ini karena kita meyakini bahwa keputusan yang diambil oleh pengadilan adat terhadap tindak pidana yang diadili oleh masyarakat hukum adat akan memberikan kepuasan rasa keadilan dan pemulihan keseimbangan kehidupan.

Mempelajari keberadaan hukum adat melalui keberadaan pengadilan adat dan perangkat hukum adat yang masih dipertahankan oleh masyarakat hukum adat Indonesia. Untuk menyelesaikan berbagai perselisihan dan kejahatan yang tidak dapat ditangani oleh lembaga kepolisian atau pengadilan sebagai lembaga pemasyarakatan.

Hukum adat ketatanegaraan adalah segala peraturan hukum adat yang mengatur tentang susunan masyarakat adat, bentuk perkumpulan hukum adat, perlengkapan, susunan status, dan kewajiban setiap anggota masyarakat adat.

b. Rumusan Masalah

1. Tata Susunan Persekutuan dan Jenis-Jenis Sekutuan Hukum 2. Bentuk Desa

3. Tingkatan-Tingkatan Dalam Masyarakat 4. Harta Kekayaan Desa

(5)

2 c. Tujuan Pembuatan

1. Untuk Mengetahui Tata Susunan Persekutuan dan Jenis-Jenis Sekutuan Hukum 2. Untuk Mengetahui Bentuk Desa

3. Untuk Mengetahui Tingkatan-Tingkatan Dalam Masyarakat 4. Untuk Mengetahui Harta Kekayaan Desa

(6)

3 BAB II PEMBAHASAN

a. Tata Susunan Persekutuan dan Jenis-Jenis Persekutuan Hukum

Persekutuan hukum adalah perikatan atau perkumpulan antar manusia yang mempunyai anggota-anggota yang merasa mempunyai keterikatan antara anggota yang satu dengan anggota lainnya berada dalam satu kesatuan yang penuh solidaritas, di mana dalam anggota-anggota tertentu berkuasa untuk bertindak atas nama mewakili kesatuan itu guna mencapai tujuan dan kepentingan bersama.1

Pembahasan tentang susunan masyarakat Indonesia merupakan bagian yang sangat penting dalam hukum adat, karena untuk mengetahui hukum penting sekali untuk mempelajari sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum tersebut pada setiap waktu dan dalam bidang apapun yang dimana dalam kehidupan sehari-hari yang diatur dalam hukum. Oleh karenanya, maka tiap uraian tentang hukum adat dari sesuatu lingkungan hukum susunan badan-badan persekutuan hukum yang bersangkutan perlu dikemukakan.

Menurut dasar tata susunannya, maka struktur hukum di Indonesia dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

1. Masyarakat Geneologis

Masyarakat hukum adat yang strukturnya berdasarkan asas keturunan ialah masyarakat hukum adat yang anggota-anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal satu keturunan yang sama. Artinya, seseorang menjadi anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan karena ia menjadi atau menganggap diri keturunan dari seorang bapak asal (nenek moyang dari laki-laki), tunggal melalui garis keturunan laki- laki atau dari seorang ibu asal (nenek moyang dari perempuan), tunggal melalui garis keturunan perempuan, sehingga menjadi semua anggota-anggota masyarakat tersebut sebagai satu kesatuan dan tunduk pada peraturan-peraturan hukum (adat) yang sama.

Dalam masyarakat hukum adat yang ditentukan berdasarkan keturunan, terdapat 4 (empat) macam pertalian keturunan, yaitu:

1 Dr. H. Erwin Owan Hermansyah Soetoto, S.H, M.H, dkk. Buku Ajar Hukum Adat (Malang: Madza Media, 2021) hlm. 45

(7)

4

a. Struktur masyarakat Patrilineal, yaitu susunan masyarakat yang menarik garis keturunan dalam hubungan diri dengan orang lain melalui garis laki-laki.

Contoh, perkawinan jujur dan ciri-ciri perkawinan jujur adalah eksogami dan petrilokal. Eksogami adalah perkawinan jujur yang ideal jika jodoh diambil dari luar marga sendiri. Patrilokal adalah tempat tinggal bersama yang ideal ditempat tinggal suami. Contoh perkawinan jujur di dalam masyarakat Gayo, Batak, Bali, Ambon.

b. Struktur masyarakat Matrilineal, yaitu struktur masyarakat yang menarik garis keturunan dengan menggabungkan diri dengan orang lain melalui garis perempuan. Contoh, perkawinan semendo dan ciri-ciri perkawinan semendo adalah endogami dan matrilokal. Endogami adalah perkawinan yang ideal jika jodoh diambil dalam kalangan suku sendiri. Matrilokal adalah tempat tinggal bersama yang ideal ditempat tinggal istri. Contoh masyarakat perkawinan semendo adalah Minangkabau, Kerinci.

c. Struktur masyarakat Patrilineal Beralih-alih, yaitu struktur masyarakat yang menarik garis keturunan secara bergiliran atau berganti-ganti sesuai dengan bentuk perkawinan yang dialami oleh orang tua, yaitu bergiliran kawin jujur, kawin semendo maupun kawin semendorajo-rajo. Contoh pertalian keturunan demikian terdapat dalam masyarakat Rejang Lebong, Lampung Pepadon.

d. Struktur masyarakat Parental/Bilateral, yaitu pertalian keturunan yang ditarik secara garis keturunan melalui garis ayah maupun garis ibu. Pada masyarakat terstruktur secara bilateral tidak ada perkawinan khusus, begitu juga dengan tempat tinggal dalam perkawinan tidak ditentukan dengan jelas. Contoh masyarakat bilateral/Parental dalam mayarakat Aceh, Jawa, Sunda, Makasar.2 2. Masyarakat Teritorial

Menurut para ahli hukum di zaman Hindia Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat atau persekutuan hukum yang teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi, sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.

Para anggota masyarakat teritorial merupakan anggota-anggota yang terkait dalam kesatuan yang teratur baik keluar maupun ke dalam. Apalagi ada anggota

2 Dr. Yulia, S.H., M.H., Buku Ajar Hukum Adat (Sulawesi: Unimal Press, 2016) hlm. 21 - 23

(8)

5

yang pergi merantau untuk semantara waktu masih tetap merupakan anggota kesatuan teritorial itu. Begitu pula orang yang datang dari luar dapat masuk menjadi anggota kesatuan dengan memenuhi persyaratan adat yang terus dipatuhi oleh masyarakat tersebut.

Van Dijk, membedakan persekutuan hukum teritorial ke dalam tiga jenis, yaitu:

a. Persekutuan desa.

Yang dimaksud dengan “persekutuan desa” adalah suatu tempat kediaman bersama di dalam daerahnya sendiri termasuk beberapa penduduk di sekitarnya, yang tunduk pada perangkat desa yang berkediaman di pusat desa.

b. Persekutuan daerah.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan “persekutuan daerah” adalah suatu daerah kediaman bersama dan menguasai ta- nah hal ulayat bersama yang terdiri dari beberapa dusun atau kampung dengan satu pusat pemerintahan adat bersama. Contohnya masyarakat Nagari di Minangkabau.

c. Perserikatan desa.

Adapun yang dimasud dengan “perserikatan desa” yakni apabila di antara beberapa desa atau marga yang terletak berdampingan yang masing- masing berdiri sendiri mengadakan perjanjian kerja sama untuk mengatur kepentingan bersama, misalnya kepentingan dalam mengatur pemerintahan adat bersama, pertahanan bersama, kehidupan ekonomi, pertanian, dan pemasaran bersama.

Bagi masyarakat adat yang bersifat ketetanggaan semata-mata pengertian masyarakat desa menurut perundang-undangan tersebut mudah disesuaikan, baik mengenai kewargaan adatnya, sistem kekerabatannya yang parental terbatas, kehidupan ketetanggaannya, maupun susunan pemerintahan dan perangkat desanya, dan terutama di mana yang menjadi kepala desanya dapat merangkap kependudukannya sebagai kepala adat di samping sebagai kepala desa (struktur pemerintahan yang resmi).3

3 Prof. Dr. A. Suriyaman Masturi Pide, S.H., M.Hum., Hukum Adat (Dahulu, Kini, dan Akan Datang) (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014) hlm. 55

(9)

6 3. Masyarakat Geneologis - Teritorial

Masyarakat hukum ini adalah kesatuan masyarakat yang hidup tetap dan teratur dimana anggota-anggotanya bukan saja terikat pada tempat kediaman pada suatu daerah tertentu, tetapi juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan atau hubungan kekerabatan.

Tidak dapat dipungkiri pada masa sekarang ini bentuk-bentuk kehidupan kekerabatannya mengalami perkembangan. Bahkan hampir tidak dapat ditemukan lagi bentuk masyarakat yang benar-benar geneologis maupun teritorial. Sebagian terbesar telah mengarah pada bentuk masyarakat campuran (geneologis-teritorial).

Kondisi ini dimungkinkan oleh karena:

a. Timbulnya hubungan perkawinan campuran, antar suku, maupun antar daerah b. Program mobilisasi penduduk yang memungkinkan pembauran suku atau

pemukiman

c. Hubungan kekerabatan modern berupa pengangkatan anak dan pengakuan atas dasar hubungan baik.

Masyarakat campuran ini dalam masyarakat terdiri dari bentuknya yang asli dan dalam bentuk yang baru. Dalam bentuk yang asli adalah seperti masyarakat

“Kuria” dengan “Huta-huta” dilingkungan masyarakat Tapanuli. “Marga” dan

“Tiyuh-tiyuh” di Lampung. Dalam bentuknya yang lama para anggota kesatuan masyarakat itu terikat pada suatu daerah Kuria atau Marga.

Dengan demikian didalam suatu daerah di mana terdapat masyarakat campuran, akan berlaku dualisme hukum yaitu:

a. Hukum administrasi pemerintahan berdasarkan perundang-undangan

b. Hukum Adat yang baru yang berlaku bagi semua anggota kesatuan masyarakat desa bersangkutan

c. Hukum Adat yang tradisional bagi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum tertentu menurut daerah asalnya masing-masing

d. Hukum antar adat yang berbeda dalam pergaulan masyarakat yang campuran.

Secara teoritis, maka mungkin terjadi kombinasi-kombinasi, sebagai berikut:

a. Masyarakat hukum adat geneologis yang:

• Tunggal

(10)

7

• Bertingkat

• Berangkai

b. Masyarakat hukum adat teritorial yang :

• Tunggal

• Bertingkat

• Berangkai

c. Masyarakat hukum adat geneologis-teritorial (atau sebaliknya hal itu bergantung dari faktor mana yang lebih dahulu berpengaruh) yang :

• Tunggal

• Bertingkat

• Berangkai4 b. Bentuk Desa

Menurut Undang-undang no. 5 tahun 1979 pasal I dikatakan yang dimaksud dengan “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, sedangkan “Dusun adalah bagian wilayah dalam Desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksaan pemerintahan Desa”. Pasal 39 mnyatakan “Pada saat mulai berlakunya Undang-undang, tidak berlaku lagi Undang-undang no 19 tahun 1965 tentang Desapraja dan segala ketentuan yang bertentangan yang atau tidak sesuai dengan Undang-undang ini”.

Dengan demikian terhitung sejak diundangkan UU no. 5 tahun 1979 tersebut, maka bentuk-bentuk Desa lama yang di zaman Hindia Belanda diatur berdasarkan Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO) di Jawa-Madura dan Inlandse Gemeentie Ordonantie Buitengewesten (IGOB) di luar Jawa-Madura. Oleh karena pada kenyataanya dalam penerapan UU no. 5 tahun 1979 tidak “lulus oballas” (lancer) dikarenakan disana sini masih nampak ada pengaruh dari bentuk-bentuk desa lama (menurut hukum adat), oleh karena itu bentuk-bentuk desa lama harus kita ketahui untuk menjadi bahan pertimbangan dan pemecahan jika terdapat kelemahan dalam penerapan UU no. 5 tahun 1979 tersebut.

4 Aprilianti, S.H., M.H., Kasmawati, S.H., M.Hum., Hukum Adat di Indonesia (Bandar Lampung:

Pusaka Media, 2022) hlm. 32 - 34

(11)

8

Bentuk-bentuk desa di seluruh Indonesia berbeda-beda, dikarenakan beberapa faktor, antara lain sebagai berikut:

1. Wilayah yang ditempati penduduk; ada wilayah yang sempit ditempati ditempati penduduk yang padat, sebaliknya ada wilayah yang luas ditempati penduduk yang jarang.

2. Susunan masyarakat hukum adat; masyarakat adat (desa) yang susunannya berdasarkan ikatan ketetanggaan (territoriaal) da nada yang susunannya iberdasarkan ikatan kekerabatan (geneologis) atau berdasarkan iakatan keagamaan.

3. Sistem pemerintahan hukum adat dan nama-nama jabatan pemerintahan adat yang berbeda-beda dan penguasaan iharta kekayaan yang berbeda.

Di pulau Jawa seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur desa dengan dukuh- dukuhnya merupakan wilayah yang ditempati sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang sangat padat. Begitu pula di daerah Pasundan desa dan lembur- lemburya atau di daerah Banten desa dengan ampian-ampiannya. Walaupun penduduknya agak jarang, namun antara bagian-bagian desa dengan pusat desa tidak berjauhan demikian pula halnya dengan di Bali, desa dan banjar-banjarnya, tetapi di Bali penduduk desanya dapat dibedakan antara marga adat Banjar (dalam pemerintahan tanah kering) dan warga adat Subak dalam pemerintahan tanah basah / pengairan).

Lain halnya dengan daerah-daerah di luar Jawa, bentuk wilayah kediaman yang dapat disamakan dengan bentuk desa adalah seperti di Aceh disebut “mukim”

sebagai kesatuan beberapa “gampong” di Batak disebut “Negari” atau “Kuria” dengan beberapa “huta”, di Minangkabau disebut “Nergari” dan beberapa “kampuang” atau

“suku” di Sumatera Selatan, “Marga” dan beberapa “Suku”, di Lampung Marga dengan beberapa kampong “Peyuh / Tekon”. Di Kalimantan yang masih merupakan rumpun suku dan anak-anak sukunya; di Sulawesi Selatan, dalam bentuknya yang lama “Wanua” (Bugis), “Pa’rasangan” atau “Bori” (Makasar), di Sulawesi Utara,

“Wanua” (Minahasa); di Ambon (Maluku) “Aman” dengan “soa” di Irian Jaya yang masih merupakan perkampungan yang kecil-kecil “keban” (Sumbawa), di Timor yang masih merupakan perkampungan suku-suku yang masih kecil.

(12)

9

Pada umumnya yang merupakan bentuk desa di luar Jawa, merupakan tempat kediamnan penduduk yang terdiri dari perkampungan yang kecil-kecil yang terdiri dari beberapa rumah dengan hak ulayat atas tanah perladangan dan hutan yang luas.

Kampung-kampung tersebut ada yang setengah berdiri, mengatur pemerintahan rumah tangga kampungnya dengan raja-raja adatnya masing-masing. Kebanyakan letak perkampungannya jauh dari pusat desa dan bahkan masih ada yang penduduknya tidak menetap masih berpindah-pindah tempat sesuai dengan kehidupan pertanian lading atau pengembalaan ternak.5

c. Tingkatan-Tingkatan Dalam Masyarakat 1. Kepala Desa

Kepala Desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk Desa. Seorang kepala Desa haruslah seorang warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat, yang selanjutnya akan ditentukan dalam peraturan daerah tentang tata cara pemilihan Kepala Desa. Untuk desa-desa yang memiliki hak tradisional yang masih hidup dan diakui keberadaannya, pemilihan Kepala Desa hanya dilakukan berdasarkan ketentuan hukum adat setempat, yang ditetapkan dalam peraturan daerah dengan pedoman pada peraturan pemerintah. Masa jabatan Kepala Desa adalah enam tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

Masa jabatan Kepala Desa, bagi desa yang merupakan masyarakat hukum adat, yang keberadaannya masih hidup dan diakui, dapat dikecualikan dan hal ini diatur dengan peraturan daerah. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 26 Ayat (1) disebutkan kepala desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggung jawabannya kepada rakyat, menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya, namun harus tetap memberi peluang kepada masyarakat melalui Badan Permusyawaratan Desa untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal- hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban yang dimaksud.

2. Badan Permusyawaratan Desa

Sebagai perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau sebutan lain yang sesuai

5 Warjiyati, Memahami Hukum Adat (Surabaya: IAIN Surabaya, 2006)

(13)

10

dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkutan yang berfungsi sebagai lembaga pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, seperti dalam pembuatan dan pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan belanja desa dan keputusan kepala desa. Di desa dibentuk lembaga kemasyarakatan yang berkedudukan sebagai mitra pemerintah Desa dalam memberdayakan masyarakat Desa. Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi untuk menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung, dan menyalurkan aspirasi (pendapat) masyarakat. Anggota BPD adalah wakil penduduk desa bersangkutan.

Mereka ditetapkan menjadi anggota BPD dengan cara musyawarah dan mufakat.

Masa jabatannya adalah enam tahun yang dapat dipilih lagi untuk satu kali masa jabatan berikutnya, sama seperti kepala desa. Perangkat desa merupakan badan yang ada di desa dengan tujuan membantu urusan dalam pemerintahan desa.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa, antara lain sebagai berikut.

1. Urusan tingkat pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.

Misalnya, mengangkat ketua RW dan RT.

2. Urusan tingkat pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota, tetapi urusan tersebut diserahkan pengaturannya ke desa. Misalnya, membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).

3. Tugas pembantuan dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan atau pemerintah kabupaten/kota. Misalnya, membantu mengumpulkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dari masyarakat desa.

4. Urusan pemerintahan lainnya, yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan ke desa. Misalnya, pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan LKMD. Dengan demikian, pemerintahan desa berperan bagi kehidupan masyarakat.

3. Sekretariat Desa

Sekretariat Desa berkedudukan sebagai unsur staf pembantu Kepala Desa dan memimpin Sekretariat Desa yang mempunyai tugas menjalankan administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di Desa serta memberikan pelayanan administrasi kepada Kepala Desa.

4. Kepala Dusun

Kepala dusun merupakan orang yang mengetahui sebuah dusun, satu wilayah di bawah desa. Satu desa biasanya terdiri dan beberapa RT dan RW.

(14)

11 5. Lembaga Kemasyarakatan Desa

Di desa dibentuk lembaga kemasyarakatan desa, seperti rukun tetangga, rukun warga, pembinaan kesejahteraan keluarga, karang taruna, danlembaga pemberdayaan masyarakat atau yang disebut dengan nama lain. Lembaga Kemasyarakatan Desa bertugas membantu pemerintahan desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa. Lembaga Kemasyarakatan Desa berfungsi sebagai wadah partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan.

Pemerintah, kemasyarakatan, dan pemberdayaan yang mengarah terwujudnya demokratisasi dan transparansi di tingkat masyarakat serta menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif dalam kegiatan pembangunan.

6. Lembaga Adat Desa

Kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan pusat kehidupan masyarakat yang bersifat mandiri. Dalam kesatuan masyarakat hukum adat tersebut dikenal adanya lembaga adat yang telah tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan masyarakatnya. Dalam eksistensinya masyarakat hukum adat memiliki wilayah hukum adat dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan masyarakat desa berkaitan dengan adat istiadat dan hukum adat yang berlaku.

Lembaga adat desa merupakan mitra pemerintah desa dan lembaga desa lainnya dalam memberdayakan masyarakat desa.

Secara garis besar dapat dipahami bahwa, Desa dipimpin oleh seorang kepala desa. Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. Dalam melaksanakan tugasnya, kepala desa dibantu oleh perangkat desa. Perangkat Desa terdiri atas:

a. Sekretariat Desa

b. Pelaksana kewilayahan c. Pelaksana teknis

d. Sekretariat Desa

Sekretariat Desa dipimpin oleh Sekretaris Desa dibantu oleh unsur staf sekretariat yang bertugas membantu kepala desa dalam bidang administrasi pemerintahan. Sekretaris Desa dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Kepala

(15)

12

Urusan. Kepala Urusan mempunyai tugas untuk membantu Sekretaris Desa dalam bidang urusan yang menjadi tanggung jawabnya.6

d. Harta Kekayaan Desa

Di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa tidak diatur mengenai harta kekayaan Desa. Pada bagian 8 tentang Sumber Pendapatan, kekayaan dan Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa (pasal 21) dikatakan bahwa:

1. Pendapatan asli daerah sendiri : a. Hasil tanah-tanah Kas Desa

b. Hasil swadaya dan partisipasi masyarakat desa c. Hasil dari gotong royong masyarakat

d. Lain-lain dari hasil usaha desa yang sah.

2. Pendapatan yang berasal dari pemberian Pemerintah Daerah a. Sumbangan dan bantuan pemerintah

b. Sumbangan dan bantuan pemerintah daerah

c. Sebagian dari pajak dan retribusi daerah yang diberikan kepada desa.

3. Lain-lain pendapatan yang sah

Menurut hukum adat suatu desa sebagai badan hukum adat mempunyai harta kekayaan desa yang memiliki atau dikuasai oleh desa, baik berupa tanah, baungunan, hutang piutang, dan lainnya. Di masa yang sekaran hal yang menyangkut pemilikan tanah atau penguasaan tanah harus mengingat UUPA (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960).

Pasal 1 ayat (2) UUPA dinyatakan:

“seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesian sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa babgsa Indonesia dan merupakan kekayaan Nasional.

Pasal 2 ayat (1) menyatakan:

“atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan halhal sebagai yang dimaksuk dalam pasal 1 bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.

6 Dewi Wulansari, Hukum Adat di Indonesia (Bandung: PT Refika Aditama, 2010)

(16)

13

Inilah beberapa tentang harta kekayaan desa menurut hukum adat yang dibeberapa daerah masih dianggap berlaku menurut hukum adat setempat. Harta kekayaan tersebut merupakan bidang-bidang tanah, bangunan dan mungkin juga kalau ada berupa hutang piutang dan lain-lain.

1. Tanah Hak Ulayat

Semua bidang tanah yang dikatakan tanah hak ulayat desa adalah berupa tanah hutan termasuk hutan larangan yang diserahkan pengawasannya kepada desa yang bersangkutan seperti tanah hutan, semak belukar, rawa-rawa, tanah-tanah bekas peladangan yang telah ditinggalkan penggarapnya yang berada diwilayah batas desa yang bersangkutan yang dikuasai oleh desa (Kuria, Marga, Nagari, Negorij, dan lainnya). Yang bukan milik kerabat, milik perseorangan, perusahaan dan sebagainya. Di beberapa tanah hak ulayat itu disebut Wewenggokonn-Jawa (Torluk-Angkola), (Ulayat-Minangkabau), (Tanah Marga-Lampung), (Penyampeto atau Pawatasan-Kalimantan), (Limpo-Sulawesi Selatan), (Tatabuan- Bolaang nongodow), (Patuanan-Ambon), (Paer-Lombok), (Prabumian atau Payar- Bali). Bidang-bidang tanah tersebut apabila tidak dimanfaatkan untuk sumber kehidupan penduduk desa yang bersangkutan dan atau tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan daerah (nasional) maka berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) UUPA dikuasai oleh Negara sepenuhnya.

2. Tanah Desa

Sebidang tanah desa yang berada didalam atau sekitar desa atau kampung yang bukan milik kerabat, milik perorangan, milik yayasan atau lembaga atau perusahaan adalah Tanah Desa atau Tanah Milik Desa. Tanah dimaksud seperti Tanah pekuburan, tanah tempat ibadah (masjid, surau, gereja, pura), tanah-tanah tempat lembaga pendidikan (sekolah, madrasah, pesantren, pondok), tanah balai desa, tanah lapangan desa, (tempat olah raga, tempat mengembalakan ternak), tanah pasar desa, dan lain-lainnya. Bidang-bidang tanah yang disediakan desa untuk kebutuhan hidup dari keluarga kepala desa dan perabot desa-nya selama memangku jabatan seperti Tanah Bengkok atau Tanah Pakulen di pedesaan Jawa adalah Tanah Desa. Tetapi bidang-bidang tanah (kebun buah-buahan, tempat penangkapan ikan, dan lain-lain) yang disediakan adau berasal dari cikal bakal keturunan para keluarga penghulu adat yang dipusakai turun temurun sebagai milik bersama bukan tanah desa melainkan Tanah Kerabat atau Tanah Suku.

Tanah-tanah serupa ini kebanyakan terdapat di perkampungan luar Jawa.

(17)

14 3. Bangunan Desa

Semua bangunan seperti Balai Desa, Kantor Desa, Tempat-tempat ibadah (masjid, gereja, pura, dan sebagainya), Tempat pemandian (ditepi sungai), Bangunan Pasar, Bangunan Pelabuhan Transport di Desa, Pintu Gerbang Desa, Pakaian Perlengkapan Adat Kesenian (tabuhan, gamelan, dan lain-lain) yang bukan milik perorangan, yayasan, perkumpulan atau perusahaan dan bukan dapat meminjam atau menyewa dari pihak lain adalah milik desa. Akan tetapi bangunan berupa Balai Adat, Rumah Kerabat, Alat pakaian kesenian Adat pedesaan yang bersifat kekerabatan (genealogis) bukan milik desa melainkan milik kerabat keturunan yang bersangkutan (persekutuan hukum adat) kecuali telah diserahkan kepada desa. Selanjutnya termasuk kekayaan adat selain mebeulair, alat-alat kantor (brandcash, mesin ti, dan lain-lain), hutang piutang desa (sewa pasar, inventaris yang belum dilunasi), mesin traktor, alat pertanian termasuk bibit, pupuk, dan lumbung desa yang tidak ada sangkut pautnya dengan milik perorangan, yayasan, perkumpulan, perusahaan, koperasi dan lain-lainnya, kesemuanya adalah harta kekayaan desa.7

7 Rosdalina, Hukum Adat (Yogyakarta: Deepublish, 2017) hlm. 68

(18)

15 BAB III PENUTUP a. Kesimpulan

Hukum adat ketatanegaraan merupakan suatu hukum yang ada di masyarakat Indonesia telah berkembang dengan masanya dalam arti hukum adat ini membahas bagaimana literature kehidupan masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-harinya hukum adat ketatanegaraan yang di dalamnya membahas secara jelas tentang hukum adat ketatanegaraan di Indonesia di gunakan mulai dari kalangan pemerintahan sampai ke anggotanya atau pegawainya dan masyarakat yang menjadi rakyatnya bagaimana hukum adat ketatanegaraan ini mengatur baik dari fungsinya atau dari kegiatannya adapun dalam macam-macam bentuknya dapat kita lihat dari pembagian antara bagaimana sutu hukum adat ini bias berjalan dengan semestinya dengan tidak mengkesampingkan hukum adatnya.

b. Saran

Kami menyadari bahwa kami masih jauh dari kata sempurna, Insyaallah kedepannya kami akan lebih fokus dalam menjelaskan suatu makalah yang akan dibebankan kepada kami dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan. Maka dari itu kami mohon saran dan kritikan yang membangun dari ibu dosen, teman-teman dan bagi siapa saja yang membaca makalah ini, agar kami dapat menyajikan makalah berikutnya dengan lebih baik dari yang sekarang.

(19)

16

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Yulia S.H., M.H. (2016). Buku Ajar Hukum Adat. Sulawesi: Unimal Press.

Hermansyah Soetoto, E. (2021). Buku Ajar Hukum Adat. Malang: Madza Media.

Kasmawati S.H., M.Hum., A. (2022). Hukum Adat di Indonesia. Bandar Lampung: Pusaka Media.

Masturi Pide, A. (2014). Hukum Adat. Jakarta: Prenadamedia Group.

Rosdalina. (2017). Hukum Adat. Yogyakarta: Deepublish.

Warjiyati. (2006). Memahami Hukum Adat. Surabaya: IAIN Surabaya.

Wulansari, D. (2010). Hukum Adat di Indinesia. Bandung: PT Refika Aditama.

Referensi

Dokumen terkait

Lebih jauh membahas tentang Hukum Adat, suatu adat dikatakan sebagai hukum adat atau seingkatnya yang merupakan karakteristik hukum adat adalah hukum yang umumnya

tanah adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia dalam sistem

Negara Indonesia yang terbentuk dari bersatunya masyarakat hukum adat (adatrecht gemeenschap) menjadi wilayah hukum adat (adat recht kringen),

Dari uraian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa corak dan sifat hukum adat yang ada dalam alam pikiran masyarakat indonesia sangat berbeda dengan corak

Pembangunan hukum berdasarkan hukum adat yang ada dalam masyarakat tidak terlepas dari faktor bahwa hukum adat itu adalah sebuah kebudayaan bangsa Indonesia, hukum

Dalam konsideran menimbang , dapat dipahami bahwa hukum adat Dapek Salah seyogyanya merupakan hukum adat yang memang ada, lahir tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Kota

berlakunya hukum adat di Indonesia, maka dapatlah dikatakan bahwa segala praktik adat yang dilakukan oleh masyarakat hukum adat dihormati sepenuhnya oleh Negara,

Pengertian Hukum Kekeluargaan Adat Dalam ketentuan kekeluargaan adat istiadat ialah suatu hukum adat yang mengatur mengenai bagaimana kedudukan individu seseorang sebagai anggota